Sambil mengaduk es teh pesanannya, Celine masih memikirkan tentang pohon itu. Dia merasa pernah melihatnya. Akan tetapi, tak ingat di mana. Di televisi? Buku? Koran? Dia sama sekali tak bisa mengingatnya seberapa banyak pun mencoba.
Gelas yang masih terisi penuh dan es yang mulai cair, membasahinya. Menyadari es yang dipesannya belum tersentuh, gadis itu perlahan meminumnya, sebelum benar-benar melupakan keberadaannya. Pikirannya jadi sedikit tenang, tetapi tak benar-benar tenang. Mungkin sebaiknya dia mencoba mengalihkan diri sejenak?
"Celine mau ke mana?" tanya Melati ketika Celine berdiri dari kursinya.
"Kamar mandi," jawabnya singkat. "Enggak usah ditemenin, deket sini, kok." Dia menunjuk arah kamar mandi yang letaknya berada di sebelah kanannya, juga memang tak jauh dari tempat duduk.
"Kalau ada apa-apa, chat aja, ya."
Celine mengangguk seraya segera beranjak dari sana, menuju ke kamar mandi. Interior kamar mandi kedai merupakan ruangan luas dengan lantai marmer putih dan cat dinding putih, sama seperti kamar mandi tempat umum pada umumnya. Terdapat kaca persegi panjang yang bisa digunakan berkaca sekitar 4 sampai 5 orang. Wastafel tersedia di dekat kaca. Di depan wastafel, dengan jarak yang cukup jauh, terdapat lima kamar mandi. Satu pintu tertutup, sepertinya ada yang memakai.
Melihat empat kamar mandi yang terbuka, bisa saja dia masuk dan menenangkan diri di sana. Akan tetapi, dia tak ingin. Sebab dia ke kemari hanya untuk membasuh muka. Berharap semoga saja pikiran tentang pohon flamboyan itu lenyap bersama air yang mengalir, terbuang melewati celah-celah pipa. Lagi pula, jika dia masuk ke kamar mandi, mungkin pikirannya malah akan semakin berkelana dan bisa saja hal itu membuat Melati dan teman-temannya khawatir. Ditambah, dia tak mau membayangkan apa reaksi mereka jika tahu bahwa pikirannya mengelana hanya karena sebuah pohon.
Konyol banget sih, batin Celine tersenyum geli.
Setelah membasuh mukanya, dia mengambil tisu yang tersedia. Mengelap air yang menempel di wajah dan juga tangan, dan membuangnya ke tempat sampah di samping wastafel paling kanan, wastafel yang digunakannya. Pikirannya kini benar-benar jernih, persoalan mengenai pohon itu pun tak terlalu mengganggu. Setelah menghela napas, dia segera melangkah ke pintu.
Ketika menyentuh knop pintu, jari-jari tangan tegas menahan agar tak dapat menekan. Jari-jari yang tiba-tiba mencengkeram knop pintu membuat jantung seolah berhenti berdegup. Tangan menjadi dingin, karena sensasi sentuhan yang begitu dikenalinya. Belum sempat berbalik untuk memastikan, tubuhnya langsung didorong oleh lengan kekar. Tubuhnya menabrak dada lelaki itu, membuat perasaan semakin tak nyaman. Rasa yang sama pada hari itu. Rasa yang tak ingin dirasakan lagi. Tak salah lagi, firasatnya tak mungkin salah menduga. Lelaki itu ... pasti hanyalah dia seorang, tak mau diingat lagi, bahkan menyebut namanya pun tak mampu. Namun, sesungguhnya masih ada harapan bahwa dugaannya salah. Sayangnya, dugaan itu sama sekali tak salah, ketika si lelaki menempelkan kepala di pundaknya, tertampil sosok berahang tegas dengan pancaran karismatik yang membuat Celine benar-benar tak bisa bernapas.
"Akhirnya ketemu juga."
Suara rendah itu membuat tubuhnya makin menegang. Jantungnya yang semula memompa darah dengan normal, menjadi ngawur hingga memecah pembuluh darah, membuat pergerakannya terkunci oleh sesuatu tak terlihat. Seperti sebuah rantai yang mengikat tangan dan kaki agar tak bisa kabur dan melawan. Ikatan yang kuat, tak bisa dilepas. Berkarat. Jika memaksa, maka akan berbekas di tangan dan kaki, meninggalkan noda yang tak akan hilang walau dibasuh ribuan air sungai.
"Aku kangen kamu."
Pada umumnya seorang gadis akan bahagia ketika seorang lelaki gagah mengatakan hal itu sambil memeluknya dari belakang. Akan tetapi, apa yang dirasakan Celine berbeda. Daripada bahagia, dia malah semakin ketakutan. Dia ingin memanggil Melati untuk menyusulnya kemari. Sayang, tangannya terasa sangat lemas, tak dapat digerakkan. Terlebih ketika lelaki itu makin mengeratkan pelukan, membuat makin terikat. Perih terasa membakar area sekitar mata Celine, terlebih ketika lelaki itu tiba-tiba mendorongnya hingga menabrak pintu. Tak kencang, tetapi tetap membuatnya semakin ketakutan. Firasatnya makin buruk, napasnya pun tak dapat terkontrol. Beragam memori lama mulai terputar satu-persatu bagai deretan film. Awal bencana. Tatapan. Kotor. Benci.
“Hei, kamu kenapa diem aja?” Dia menyeringai, menggerakkan jari untuk memaksa gadis itu menghadapnya. “Jangan takut. Aku enggak akan menyakitimu ... Celine.”
Mata setajam elang itu menatap bagai kelaparan. Seringai lebarnya membuat badan Celine semakin bergetar tak terkendali. Memori usang yang ingin terhapus pun kembali terputar dengan cepat hingga membuat setitik air mata tak sengaja keluar dari netra kanannya. Seringai yang tampak di wajahnya berangsur hilang. Pandangan mata yang kelaparan itu berubah menjadi sendu.
“Celine ... apakah kamu sangat bahagia karena kita bisa bertemu tanpa gangguan mereka?” Dia memegang kedua pipi Celine dengan senyuman yang terlihat mengerikan bagi gadis itu. “Kamu tahu? Selama kamu pergi, aku benar-benar kesepian. Makanya, ketika denger kalau kamu ada di sini, aku langsung gembira.” Dia tertawa kecil, yang terdengar bagai tawa seorang penjahat di telinga Celine. Tubuhnya makin menegang, seiring mendekatnya badan sosok tinggi itu padanya. “Akhirnya, kita bisa bersama lagi. Bukankah itu hebat?” Pandangannya berbinar-binar dengan seulas senyuman yang seolah mengatakan pada Celine bahwa dia tak akan bisa lari lagi.
Seolah, merupakan kode bahwa dia akan membawa pergi Celine hingga menjadi miliknya seorang.
Tak bisa bergerak, gadis itu hanya dapat diam dengan kedua mata terbelalak. Fisiknya benar-benar telah terkunci oleh cengkeraman yang seolah mencekik bahunya itu. Napas semakin tak teratur, bagai diterbangkan ke angkasa hingga tubuhnya ikut dingin dan kaku, bersama dengan jiwa yang ruwet seperti benang kusut.
Tak bisa dibenarkan lagi, kecuali jika dia mengambil tindakan untuk memanggil bantuan.
Bantuan!
Akhirnya Celine sedikit tersadar. Rasa takut yang menyelimuti masih ada, sehingga membuat mulutnya tersumpal oleh kain tak terlihat. Namun, rantai yang mengikat tangan, takkan mencegah untuk memanggil bantuan. Setidaknya hanya sebuah panggilan telepon.
Ketika meraih saku untuk mengambil telepon pintar, tangan itu mencengkeramnya. Cengkeraman itu makin kuat. Dan tatapan yang bagai elang kelaparan itu kembali terpasang di wajahnya yang mengerikan, seolah mencekik leher.
“Aku … tak akan membiarkan orang lain menyentuhmu dan mengganggu kita lagi, Celine," ucapan diakhiri dengan nada rendah. Nada yang seolah mengancam dan membuat firasat buruk yang sedari tadi mendera semakin menjadi.
Dan mungkin saja kejadian lampau akan kembali terulang. Dan semua akan kembali seperti dahulu.
Memikirkannya membuat perut Celine mual. Ketakutan yang semakin menyerang dan siksaan yang kembali didapat, tanpa sadar mendorong air mata kembali terjatuh.
Dia sungguh tidak ingin lagi.
Merasakan.
Dia.
Ingin.
Hidup.
Normal.
.
Hanya itu.
Jumkat : 1022
Tanggal : 14 Januari 2022
Catatan Penulis
Salah satu bagian tersulit dalam membuatnya adalah, membuatnya agar tetap dalam batas 16 tahun. Namun, apakah ini sudah termasuk batas 16 tahun?