Happy Reading
****
"Aneh," Hana bergumam.
Ada banyak kertas di depannya. Itu semua adalah data milik Kenzie yang selama ini dikumpulkannya. Menjadikan laki-laki itu sebagai bahan eksperimen memang terdengar sangat jahat namun Hana tidak punya pilihan lain. Anggap saja Hana sedang menepati janjinya untuk menyembuhkan laki-laki itu. Karena sebenarnya Hana tidak ingin mengambil keuntungan dalam eksperimen ini. Seiring berjalannya waktu Hana sadar, Kenzie butuh uluran tangan.
Hana menutup wajahnya dengan kedua tangannya, dia merasa sangat bersalah karena terlalu banyak membohongi Kenzie.
"Maaf, Ken," lirih Hana.
Soal mimpi Kenzie, semuanya adalah kenyataan. Hana sudah merencanakan semua itu. Dia meminta bantuan Laras dan Zio untuk berpura-pura menculiknya. Dan Hana memilih cara terekstrem untuk itu dengan meloncat dari balkon. Hana sendiri tidak menyangka Kenzie akan menjadi sangat histeris saat melihatnya meloncat dari balkon. Matanya saat itu dipenuhi ketakutan yang amat luar biasa. Terbukti dari tubuhnya yang kaku dan tidak bisa apa-apa saat itu. Mendekat untuk menariknya dari Zio saja Kenzie tidak bisa.
Tujuan Hana melakukan semua itu adalah untuk memberikan satu alasan terakhir agar Hana bisa menyelesaikan eksperimennya. Kenzie menganggap bahwa dirinya adalah seorang monster. Bahkan yang lebih parah mungkin dia menganggap dirinya adalah seorang Psychopath. Terlihat jelas dari tingkah lakunya. Awalnya Hana memang sempat berfikir seperti itu namun Hana tidak boleh menyimpulkannya dengan gegabah, karena itulah dia melakukan eksperimen ini. Dan dengan aksi penculikan kemarin malam semakin menguatkan kesimpulan yang diperoleh bahwa Kenzie bukanlah monster ataupun Psychopath.
"Jika dipikir lagi, sudah berapa kali aku meminta maaf padamu, Ken?" tanya Hana menatap foto Kenzie.
Perlu diketahui, seorang Psychopath tidak memiliki simpati maupun empati. Mereka tidak mampu untuk merasakan emosi dan cenderung egois. Tidak memiliki kecerdasan emosional dan agresif. Dan yang paling penting adalah seorang Psychopath tidak bisa jatuh cinta. Jikapun ada, itu bukan cinta melainkan obsesi. Pemikiran seorang Psychopath sangat jauh berbeda dari manusia normal. Mereka selalu merasa tindakan yang mereka lakukan adalah hal yang benar, sekalipun mereka baru saja melakukan tindakan kriminal.
"Kak Hana? Ini obat tidur yang kakak minta," ucap Laras memasuki ruangan Hana.
"Terimakasih."
"Bagaimana keadaan laki-laki itu, kak?" Laras bertanya. Jujur saja dia sangat kaget saat Hana memintanya untuk membantunya melakukan sesuatu. Berpura-pura memprovokasi Kenzie.
"Dia sudah bangun dan percaya dengan cerita yang aku buat. Aku merasa sangat jahat sampai tak berani bertemu dengannya," ujar Hana.
Kau itu tempat pulang. Lebih jelasnya kau itu rumahku.
Hana memegangi kepalanya yang tiba-tiba pusing.
'kenapa laki-laki itu selalu membuatku jantungan?'
"Kau senang semua rencanamu berjalan lancar?"
Zio berdiri di dekat pintu. Melihat Hana yang memamerkan senyumannya sudah dipastikan gadis itu dalam mood yang bagus.
"Tentu saja," ujar Hana dengan senyum yang merekah indah.
"Untuk hal ini kau sangat mudah ditebak."
"Hal apa?"
"Hatimu."
"Hatiku? Kenapa dengan hatiku?"
'ck, menyebalkan.'
Tentu saja Zio merasakannya. Setiap kali berhubungan dengan Kenzie, Hana selalu bersemangat. Seolah-olah semua hal tentang manusia itu adalah hal yang sangat menarik. Ah, benar juga. Zio lupa bahwa Hana selalu menyukai hal yang menarik dan menantang. Hanya saja gadis itu mungkin tidak menyadarinya.
"Aku pergi."
"Loh? Bukannya kau baru datang?"
Zio melangkah keluar dari ruangan Hana. Berada di dekat Hana hanya akan membuat hatinya kian sesak dan akhirnya hancur.
"Bahkan sudah sangat hancur," Zio bergumam seraya menatap langit.
"Mau aku perbaiki?"
Zio sempat terkejut saat suara yang terdengar tidak asing itu menyapanya. Namun saat melihat sesosok yang tengah berdiri di depannya, Zio hanya bisa menghela nafas berat.
Bianca tersenyum, melihat wajah Zio saja sudah membuat hidupnya yang mendung menjadi cerah. Yah, walaupun itu tidak akan bertahan lama. Karena matahari akan selalu terbenam saat waktunya sudah datang.
"Tidak ada yang bisa diperbaiki," ujar Zio menanggapi pernyataan Bianca tadi.
"Semua yang hancur itu bisa diperbaiki jika kau tau caranya," sahut Bianca seraya berjalan mendekati Zio.
"Berhenti di situ," perintah Zio yang ajaibnya dipatuhi oleh Bianca.
Bianca tersenyum,"oke."
"Ada apa ini? Kau membuatku takut, kau sakit? Gelagat mu setiap hari makin aneh asal kau tau."
Bianca terkejut. Barusan dia bilang apa?
"Kau bertanya aku sakit atau tidak?"
Zio mengangguk, apa gadis itu tidak mendengar perkataannya sedari tadi?
"Bukannya kau sudah tau jawabannya?"
Zio terdiam melihat tatapan Bianca padanya. Apa ini? Atmosfernya terasa berat setelah Bianca berkata seperti itu.
"Sakit atau tidak, apa kau pernah peduli? Tentu saja tidak. Memangnya aku siapa?"
Benar. Seharusnya Zio tidak mengajukan pertanyaan konyol itu padanya. Zio yang hanya memikirkan Hana, Zio yang selalu berada di dekat Hana, Zio yang menyukai Hana kenapa malah menanyakan hal itu? Sepele namun tetap saja rasanya sangat sakit.
"Tumben sekali hari ini kau tidak memberiku peringatan untuk tidak menggangu Hana padahal kau tau aku sekarang dimana, kenapa?"
Zio bungkam. Dia juga tidak tau alasannya. Bianca jelas-jelas berada di depan klinik milik Hana dan seharusnya dirinya pun khawatir dengan kedatangan gadis itu kesini.
"Kalau begitu, apa kau mau aku memberimu peringatan itu?"
"Terlambat," Bianca kembali tersenyum.
Lengah. Zio tidak menyadari bahwa Bianca membawa sesuatu di tangannya. Jantung Zio berdetak kencang saat melihat arah tatapan Bianca. Dia melihat apa? Apa ada sesuatu dibelakang?
Zio menoleh kebelakang. Matanya membulat melihat Hana yang tengah berdiri di belakangnya.
"Bianca!!!" teriak Zio saat melihat Bianca berjalan cepat menuju Hana.
"Bianca?" Hana bersuara seraya menahan perih di telapak tangannya.
"Hello, Hana. Apa kau merindukanku?"
Hana tersenyum,"tidak. Untuk apa aku merindukanmu?"
"Bianca apa yang kau lakukan!" bentak Zio seraya menarik tangan gadis itu dari Hana.
Zio merebut pisau yang berada di tangan Bianca lalu membuangnya. Zio tau Bianca tidak berniat mengarahkan pisau itu ke area vital Hana. Dari dulu selalu saja seperti ini, Bianca tidak pernah berubah sedikitpun.
"Ini yang aku tidak suka darimu! Kelakuan buruk dan niat jahat mu itu!"
Zio berjalan mendekati Hana,"tanganmu terluka. Mau aku perban?"
Hana menggeleng,"ada luka lain yang harus kau perban."
Hana menepuk pundak Zio lalu pergi menuju parkiran. Meninggalkan Zio yang terdiam seraya mencerna ucapan Hana.
"Aku selalu melakukan hal buruk pada Hana? Aku selalu berniat jahat pada Hana?"
Zio membalikkan badannya, ada apa dengan tatapannya itu?
"Kau tau aku seperti itu, tapi kenapa kau hanya diam dan membenciku karena hal itu?"
Sejak dulu, Bianca selalu bertindak di luar akal sehat. Dia tidak peduli dengan konsekuensi dari semua yang dia lakukan. Apakah itu membahayakan orang lain atau dirinya sendiri. Bianca benar-benar tidak peduli. Tapi kenapa Bianca menjadikan Hana target utamanya? Ada begitu banyak manusia di dunia ini dan kenapa harus Hana?
"Bukankah wajar aku membencimu setelah semua yang kau lakukan pada Hana?"
"Apakah aku seburuk itu? Apakah kelakuanku benar-benar buruk dan kau sudah lama mengetahuinya?" Bianca bertanya.
Zio diam, tidak berniat menjawab karena Bianca pasti sudah tau jawabannya.
"Tapi kenapa kau tidak membantuku dan hanya diam saja?"
Bianca tersenyum, Zio lagi-lagi hanya diam tanpa suara.
"Hana tidak akan hancur disaat aku berniat menghancurkannya karena dia punya kau."
Bianca tidak mengerti kenapa Zio selalu menatapnya dengan mata penuh kebencian. Apa karena dia memperlakukan Hana dengan buruk? Tapi kenapa Zio yang membencinya? Bukankah seharusnya Hana yang benci pada dirinya tapi kenapa Zio ikut-ikutan?
"Tapi apa kau tau? Aku bisa hancur hanya dengan tatapan mata mu itu."
Bianca tersenyum,"bagaimana? Mau membawaku ke rumah sakit lagi dan mengurungku disana padahal kau tau itu hal yang sia-sia?"
Bianca sudah menduga hal ini. Zio yang bungkam tanpa kata. Dengan penuh rasa kecewa Bianca berjalan ke tempat dimana pisaunya di lempar. Dia memungutnya dan membersihkan noda darah itu dengan bajunya.
"Dokter disana tidak tau cara memperbaiki Bianca. Aku sudah bilang kalau seseorang yang bernama Zio yang tau caranya. Tapi mereka malah menertawakanku, aku kesal padahal aku berkata serius tentang itu," gerutu Bianca.
Bianca memegangi mulutnya,"mulutku keram karena banyak bicara dan tersenyum."
Bianca menghela nafas. Zio tak kunjung bersuara. Lalu apa lagi yang harus dirinya lakukan disini?
"Aku pergi."
Bianca melangkah pergi. Setelah mengatakan itu kira-kira apa yang akan dipikirkan Zio? Apakah Zio akan semakin membencinya? Itu sudah pasti. Karena Zio itu keras kepala.
"Berhenti disana."
Zio bisa melihat Bianca yang seketika mengehentikan langkahnya. Apa ini 'cara memperbaiki' yang dimaksud gadis itu?
"Putar badan dan mendekatlah kesini."
Bianca tidak bergerak. Dia tetap diam ditempat. Zio memejamkan matanya, apa dirinya terlalu berekspektasi tinggi kalau Bianca akan mendengarkan semua ucapannya? Tapi, bukankah itu yang Bianca inginkan selama ini? Perhatian dari dirinya? Bukankah alasan kenapa dia mengganggu Hana adalah untuk menarik perhatiannya?
"Astaga," kaget Zio saat membuka matanya, Bianca berdiri tepat didepannya.
"Kenapa? Kenapa kau memanggilku?" tanya Bianca dengan mata yang berbinar.
"Itu," Zio menggaruk kepalanya.
"Aku minta maaf."
Zio memalingkan wajahnya, kenapa dia malah mengatakan itu?
"Pada siapa? Padaku?" tanya Bianca yang berhasil membuat kesal Zio.
"Zi, wajahmu memerah? Kau demam?" tanya Bianca dengan mengarahkan telapak tangannya ke dahi Zio.
Dengan cepat tangan Zio mencekal tangan Bianca,"berhenti bertanya."
"Baiklah."
"Mulai sekarang aku akan mengawasi mu. Jika kau tidak mendengarkan ku dan kembali melakukan sesuatu yang buruk. Aku akan membuang mu," ujar Zio lalu melangkah pergi.
Bianca menutup mulutnya. Ucapan Zio tadi berhasil membuat jantungnya berdetak kencang.
****
"Tanganmu berdarah," ujar Kenzie menghampiri Hana.
Hana melihat telapak tangannya, cukup dalam juga ternyata. Bianca benar-benar keterlaluan.
"Harus dijahit."
Hana menggeleng pelan,"aku tidak bisa menjahitnya."
"Aku akan menjahitnya untukmu, duduklah."
Kenzie menuntun Hana untuk duduk di bangku lalu mengambil kotak P3K yang ada di meja.
"Bajingan mana yang melakukan ini padamu?" tanya Kenzie berjongkok di depan Hana.
"Ken, kenapa bahasamu kasar sekali?"
Kenzie meraih tangan Hana yang terluka dan membersihkan darahnya dengan alkohol.
"Aku tanya bajingan mana yang berani melukaimu?"
"Ken, jika aku beritahu pun kau tidak akan tau orangnya."
"Begitukah?"
Hana mengangguk, setelahnya dia melihat Kenzie yang sibuk menjahit lukanya.
"Dari mana kau belajar menjahit seperti ini?"
"Tidak ada."
"Kau belajar sendiri?"
Kenzie mengangguk, dia mengehentikan kegiatannya lalu menatap Hana,"dari dulu aku terbiasa menjahit sendiri luka-luka yang ada di tubuhku."
"Kenapa kau bisa terluka? Ada berapa banyak luka di tubuhmu? Dan, siapa yang berani melukaimu?"
"Diamlah, aku tidak bisa fokus."
Nada bicara Kenzie kali ini terdengar dingin. Apa yang terjadi? Apa ada sesuatu yang sedang dipikirkannya? Terlepas dari itu semua, yang paling membuat Hana tidak bisa berkutik adalah raut wajah Kenzie. Sepertinya Kenzie sedang berusaha menahan amarahnya.
"Maaf."
"Kenapa? Apa kau melakukan kesalahan lagi?"
"Sepertinya."
"Berbohong tentang mimpiku semalam, apa itu kesalahanmu?"
Hana terperangah sekaligus tersadar jika Kenzie bukanlah orang bodoh yang mudah tertipu. Kenapa Hana bisa melupakan poin penting itu?
"Kau marah?"
"Tidak."
"Lalu kenapa nada bicaramu seperti itu?"
Kenzie berdiri setelah selesai menjahit luka Hana. Dia mengumpulkan kapas bekas darah milik Hana lalu membuangnya.
Hana melihat Kenzie yang mengabaikannya menjadi sedikit kesal. Tidak biasanya laki-laki itu bersikap dingin seperti ini. Hana memang melakukan kesalahan namun reaksi Kenzie diluar dugaan. Biasanya laki-laki itu akan murka tapi sekarang kenapa malah diam tak bersuara?
"Ken?" panggil Hana yang melihat Kenzie berjalan menuju balkon.
"Sudah berapa lama kau bekerja dengan Gerlan?"
Langkah Hana terhenti di dekat jendela. Bagaimana Kenzie mengetahui hal itu?
"Kau terluka seperti itu apa karena ulahnya?"
Kenapa Kenzie bisa berfikir seperti itu? Jelas-jelas itu karena ulah Bianca. Apa sedari tadi dia bersikap dingin karena hal ini?
Hana berjalan mendekat, memegang ujung baju Kenzie,"Ken? Kau kenapa? Katakan padaku."
Kenzie berbalik badan. Sekarang terlihat jelas wajah Kenzie yang merah padam.
"Aku sedang mencoba menahan diri untuk tidak membunuh orang yang melukaimu saat ini juga. Kau tau? Rasanya sangat menyebalkan," ujar Kenzie dengan rahang yang mengeras.
'hanya karena aku terluka sedikit kau menjadi seperti ini? Bagaimana jika aku mati?'
***
Mohon maklum jika menemukan typo karena setelah selesai menulis satu chapter aku langsung update tanpa baca ulang terlebih dahulu ಥ‿ಥ
See you next chapter~