Pagi ini kelas 10 Mipa-2 dengan kompak berpakaian olahraga. Ini akan menjadi kali pertama mereka berolahraga di SMA. Rasa gugup dan semangat terasa jelas di ruangan kelas. Mereka berangkat pagi-pagi sekali karena semangat yang berkobar, demi merasakan olahraga di SMA.
Rio berangkat paling akhir, lima menit sebelum jam masuk. Begitu masuk ke dalam ruang kelas, tampak Alvin sudah duduk sembari mengobrol bersama Arghi dan Jofan. Arghi naik motor sendiri pagi ini. Rio juga tidak ada niatan menjemputnya untuk berangkat bersama.
"Hai Yo!" sapa Alvin melihat teman sebangkunya berangkat. Ia pikir temannya ini tidak akan berangkat hari ini. Ternyata berangkat kesiangan. Rio tersenyum membalas sapaan Alvin lantas duduk di kursinya. Alvin mengamati, "aku kira hari ini bolos," ujarnya mengungkapkan isi pikirannya.
Rio tertawa mendengar pikiran aneh sahabatnya. Satu minggu saja belum terlewati di sekolah mana mungkin dia berani bolos. Lagipula Rio bukanlah anak bandel yang akan seenaknya bolos sekolah.
"Emang kamu, suka bolos. Sengaja makan sambel biar bolos pelajaran kan?" ledek Rio membahas kejadian kemarin. Alvin tertawa terbahak-bahak mendengar Rio yang meledeknya. Arghi ikut tertawa mendengar ledekan Rio. Benar juga kemarin Alvin seperti sengaja makan sambal agar perutnya sakit dan bisa bolos pelajaran.
"Setuju sih, masa kemarin kesakitan sekarang udah baik-baik aja. Kan perlu dicurigai," timpal Arghi membuat tawa Rio kembali menggema sedangkan Alvin sudah nampo Arghi agar tidak melanjutkannya. Bisa-bisa temannya yang lain menganggap dia benar-benar pura-pura sakit.
"Ayo ke lapangan sekarang!"
Sang ketua kelas yang baru menjabat kemarin memerintahkan teman-temannya mengikutinya ke lapangan indor untuk pelajaran olahraga. Di sana sudah ada guru olahraga yang tampak masih muda. Tentu saja para siswi langsung heboh melihatnya. Sedangkan siswa laki-laki hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah para siswi yang kelepek-kelepek di dekat guru olahraga.
Mereka berbaris rapi mengikuti perintah sang guru. Guru tersebut diam saja sudah tampak begitu memesona, apalagi saat berbicara dengan suara bassnya. Para siswi berteriak dengan wajahnya. Sungguh norak.
"Sebelum memulai pembelajaran hari ini kita bisa perkenalan terlebih dahulu," ujar sang guru membuka jam pelajarannya. Dia tampak memiliki senyum menawan, membuat siswi kembali histeris dibuatnya.
"Perkenalkan, nama saya pak Niki. Bidang yang saya ampu lebih pada permainan bola. Untuk atletik akan diajarkan saat kelas dua dan selain itu akan diajarkan di kelas tiga. Tentu dengan guru yang berbeda," ujarnya dengan tenang. Para siswi segera bersiap menyerbunya dengan pertanyaan masing-masing. Tapi sebelum hal tersebut terjadi pak Niki lebih dulu mengerti.
"Kalian bisa menanyakan pertanyaan saat bertemu saya di luar jam pelajaran yakni saat ekstrakulikuler. Artinya kalian bisa bergabung di ekstrakulikuler basket, futsal, sepak bola, badminton, atau pilihan terakhir mengikuti pramuka dengan rajin. Saya menjadi salah satu pembina pramuka," jelasnya membuat para siswi kompak patah hati. Padahal mereka sudah gatal untuk menggoda guru muda tersebut. Tapi gagal karena persyaratan itu.
Selanjutnya satu per satu siswa memperkenalkan diri sekaligus pak Niki mengabsen mereka. Dia tampak menanyakan minat pada siswanya di bidang olahraga. Mungkin akan merekrutnya setelah jam pelajaran untuk ikut ekstrakulikuler yang dibinanya.
"Kamu mantan kapten basket ya?" tanya pak Niki begitu Rio berdiri. Dia sudah cukup hafal dengan wajah siswa yang begitu mencolok di bidangnya. Dia berkali-kali melihat pertandingan antar sekolah entah itu tingkat SD sampai SMA. Jadi, dia sudah sangat mengincar beberapa siswa yang menurut penglihatannya baik untuk direkrut dalam timnya. Beruntung sekali salah seorang pemain terbaik di angkatan lalu masuk di sekolah ini. Entah itu sebuah keberuntungan untuknya atau juga keberuntungan untuk siswa bernama Rio.
"Iya, pak," jawab Rio. Dia penasaran kenapa bisa seorang guru langsung menebaknya dengan tepat. Padahal dia belum pernah bertemu dengan guru tersebut apalagi mengenalnya sebelum hari ini.
"Kamu bisa lanjutkan di SMA," ujar pak Niki tersenyum ramah. Rio mengangguk memang niatnya masuk kembali ke ekstrakulikuler basket. Pak Niki melanjutkan ke siswa selanjutnya. Hanya Rio yang tampak mencolok di matanya. Selain wajah yang familiar juga fisik Rio yang kekar membuatnya terlihat jelas seorang atlet.
"Ok, hari ini dan minggu depan agendanya permainan bola basket. Hari ini kita berlatih kemudian minggu depan penilaian."
Setelah selesai sesi perkenalan dengan cepat materi diberikan. Pak Niki mengambil penilaian dari tiga aspek meliputi menggiring bola, memasukkan bola, dan melakukan adu tanding antar lima orang untuk melihat kekompakan. Latihan dimulai dari latihan dribble. Hal itu mudah bagi segelintir orang, bagi sebagian besar merasa sulit melakukannya. Apalagi pak Niki menekankan agar tidak melihat pada bola melainkan memandang ke depan. Tangan memang bergerak mendribble tapi mendribble udara bebas karena bola sudah memantul tanpa sepengetahuan mereka.
Alvin bisa melakukannya, dia hanya tampak tidak berniat melakukannya. Arghi menyerah sejak awal pada pelajaran olahraga, begitupun dengan Jofan yang diam-diam menyerah. Jofan suka olahraga hanya saja kemampuannya sangat payah. Hanya Rio yang tampak bersemangat dan menunjukkan keahliannya membuat para siswa menatapnya kagum. Pantas saja dia segera dikenal oleh pak Niki. Kemampuannya sangat mumpuni untuk masuk kriteria anak emas.
Di jam pertama mereka belajar bersama lantas pada bel pelajaran kedua mereka diminta berlatih sendiri. Rio mengalah tidak mengambil bola karena tidak mau membuat temannya yang lain menjadi tidak berlatih. Dia memberikan bolanya pada Jofan yang tampak berdiri menunggu lainnya selesai berlatih. Alvin dan Arghi tampak sudah berlatih mendribble bahkan mencoba memasukkan bola.
"Oh, terima kasih," ujar Jofan saat mendapat bola dari Rio. Rio hanya menggumam dan duduk di pinggir lapangan melihat temannya berlatih seperti yang lain, yang tidak mendapat bola.
"Yo, gimana cara masukkin bola? Bolanya nggak pernah masuk, nih!" keluh Arghi yang sudah mengoper bola pada temannya yang lain. Dia menghampiri Rio yang duduk di pinggiran lapangan memperhatikan.
"Kotak putih itu sasarannya. Jangan nembak di luar area kotak putih," jelas Rio. Tangannya meminta Alvin yang hendak mengoper bolanya kepada temannya yang lain. Dia berjalan santai ke lapangan membuat beberapa anak memperhatikannya. Mencoba melihat contoh nyata memasukkan bola. Melihat gerakan Rio yang tenang dan hap! Bola masuk tanpa hambatan. Lantas beberapa siswa yang tadi menyingkir memberi ruang untuk Rio segera berebut mempraktikan yang Rio contohkan.
"Ah, susah banget sih!" keluh Arghi dan mengacak surainya yang sudah basah karena keringat. Alvin duduk, dia tidak bersemangat untuk olahraga. Hanya malas berkeringat.
Rio ikut duduk di sebelah Alvin, sedangkan Arghi sibuk meminta bola untuk kembali berlatih. Jofan juga duduk tapi di sisi lapangan yang lain. Dia baru berlatih dan bolanya sudah diminta temannya. Tidak bisa menolak dan akhirnya pasrah tidak mendapat bola lagi.
Arghi mendapat bola dengan mudah, dia sangat cerewet meminta pada teman-temannya. Sasarannya adalah para laki-laki yang tampak bisa melakukan tembakan tanpa kesulitan. Bahkan sampai Arghi dua kali mendapat giliran berlatih Jofan tetap tidak mendapat operan bola. Dia tampak terlalu kikuk untuk meminta bola sehingga hanya dilewati begitu saja.
Rio memperhatikan diam-diam. Berdiri dan mengambil bola dari sang ketua kelas yang sejak tadi berlatih. Melemparnya pada Jofan membuat remaja itu sempat terkejut. Dia pikir Rio akan menimpuknya dengan bola, tapi ternyata Rio hanya memberinya bola.
"Makasih, ya..." ujar Jofan untuk kedua kalinya. Dia tersenyum senang karena dibantu mendapatkan bola oleh Rio. Bahkan Rio berdiri tidak jauh darinya seperti membantunya untuk berlatih. Tidak banyak omong tapi bagi Jofan itu sangat berarti untuknya.
"Rio, bantu aku latihan juga dong!" pinta salah seorang siswi yang sedari tadi juga berlatih di sebelah Jofan. Dia ingin diperhatikan Rio juga. Kesempatan untuk pdkt secara tidak langsung.
"Coba masukin dengan target dalam lingkaran!" tunjuk Rio tanpa bergerak dari tempatnya berdiri. Siswi tersebut mengikuti arahan dari Rio tapi tetap saja tidak berhasil memasukkan bola. Bola tersebut melambung tanpa memantul ke papan.
"Cara megang bolanya salah," koreksi Rio akhirnya tahu kesalahan yang dilakukan oleh siswi itu.
"Gimana caranya? Aku ajarin!" pintanya dan mendekat pada Rio. Memegang bola di sebelah Rio dan menargetkan pada ring basket, berharap Rio akan membantunya secara kontak langsung. Jantungnya bahkan sudah berdebar gugup memikirkan disentuh Rio.
"Tangannya buka ke atas, pake jari tangan pegang bolanya. Nih kayak gini!"
Nyatanya Rio malah mengambil bola dan memperlihatkan cara memegang bola sampai cara memposisikan diri yang benar saat menembak bola. Sedikit kecewa apalagi para siswi yang lain mulai berdatangan meminta bantuan juga. Jadilah mereka belajar bersama, bukan lagi secara privat. Rencana modusnya gagal seketika.
•••FebriDRF•••
Hai, terima kasih sudah membaca atau bahkan yang memberikan vote. Aku harap kalian setia menanti bab selanjutnya yang sampai 100 bab. Kenapa bisa sebanyak itu? Jumlah kata setiap bab aku buat berkisar 1200 kata aja, nggak lebih. Oleh sebab itu aku berencana publish dua kali sehari atau bahkan tiga kali sehari kalau memungkinkan.
Kalian boleh banget rekomendasiin bacaan ini ke kawan kalian. Aku harap kalian nggak komen di cerita ini. Kalaupun memang pingin komen, silakan saja. Tapi aku nggak ada rencana balas komentar kalian karena saat ini sudah fokus nulis cerita lain. 😂👍
Sekali lagi, terima kasih buat para pembaca.