Berbanding terbalik dengan tunangannya yang terlihat santai, Yara berdiri dengan tidak nyaman. Kedua tangannya saling meremas satu sama lain. Tatapannya terlihat tidak fokus. Meskipun berulang kali memaksakan diri untuk tersenyum ketika orang yang dia kenali menyapa, Yara tahu sulit baginya untuk terlihat baik-baik saja.
Lagi pula gadis mana yang bisa berbahagia di hari pernikahan lelaki yang mengisi hatinya sejak dulu hingga saat ini dengan perempuan yang bukan dirinya? Jika ada orang bodoh itu di dunia ini, maka itu jelas bukan dirinya. Karena Yara tidak bisa ikut berbahagia atas status baru Yudha.
Pernikahan Yudha dengan gadis asing itu telah berlangsung. Akad nikah di pagi hari dan dilanjutkan dengan resepsi pernikahan di tempat yang sama, salah satu hotel keluarga Hartono. Acara yang sangat mewah hingga dipenuhi tamu undangan dari kalangan atas. Dua keluarga besar yang bersatu melalui ikatan pernikahan tentu tidak akan membuat acara yang sederhana.
Acara pernikahan ini persis sama seperti impian miliknya. Terutama dengan keberadaan Yudha sebagai pengantin pria. Sayangnya sang pengantin wanita bukan lah dirinya. Melainkan gadis asing yang sebelumnya tidak pernah muncul dalam pergaulan Yudha. Yara pun hanya bertemu dengan gadis itu satu kali setelah Yudha mengabari teman-temannya tentang rencana pernikahannya.
Awalnya Yara bertekat untuk tidak menghadiri acara pernikahan Yudha karena tidak ingin melihat dirinya dalam keadaan menyedihkan seperti sekarang. Tapi pada akhirnya terpaksa dia datangi karena tunangannya. Pancingan Putra melalui kalimat-kalimat yang terdengar menyebalkan di telinganya terlalu ampuh untuk membuatnya menurut.
Hal yang membuat Yara merasa miris adalah kebahagiaan yang terlihat di wajah Yudha. Yara yakin bahwa pria itu hanya tersenyum palsu pada tamu undangannya untuk menjaga nama baik keluarga Gunawan. Kebahagiaan atas status barunya sebagai seorang suami pun hanya lah kepura-puraan semata.
Meski begitu hatinya tetap saja terasa sakit. Karena fakta bahwa bukan dirinya yang menyandang status sebagai istri dari Yudha melainkan gadis lain yang kini menambah penderitaannya karena tersenyum bahagia diatas pelaminan. Senyum itu seperti memperparah kondisi lukanya.
Andaikan saat itu Yudha tidak mengalami kecelakaan dan tidak berakhir di kursi roda untuk waktu yang bahkan tidak bisa ditentukan, dia tidak akan menuruti orang tuanya. Dia akan menolak ketika diminta untuk bertunangan dengan Putra. Sehingga mungkin dirinya lah yang akan berdiri disebelah Yudha dan menyambut uluran tangan, menerima ucapan selamat dari tamu undangan atas pernikahan mereka.
Kini Yara menyesali keputusan yang sudah diambilnya. Kehilangan Yudha untuk saat ini seperti menyadarkannya. Bahwa dia hanya perlu mengikuti kata hatinya, bukan paksaan orang lain meskipun mereka adalah keluarganya sendiri.
Yara merasa tidak terima karena dibandingkan gadis asing itu, dirinya lah yang pantas menjadi istri Yudha. Dia lah yang sudah mengenal Yudha sejak mereka kecil, bukan gadis itu. Mereka juga tumbuh bersama dan saling mengetahui kehidupan masing-masing. Perasaannya pada Yudha pun sudah lama dia sadari, bahkan sejak mereka masih sekolah.
Tapi Yara tidak bisa berbuat banyak. Yudha sudah memperingatkannya untuk tidak menimbulkan masalah. Pria itu bahkan melarangnya datang jika Yara berpotensi mengacaukan acara pernikahan ini. Dan mempermalukan dirinya secara langsung didepan umum juga bukan gayanya. Jika memang dia ingin melakukan sesuatu, maka Yara harus merencanakannya lebih dulu dengan matang agar tidak terjadi kesalahan.
Karena itu pilihan untuk tetap diam meskipun hatinya di dalam sana seperti diremas dengan kuat adalah pilihan yang tepat. Dia akan meyakini bahwa Yudha hanya pergi sebentar dan terpaksa singgah di suatu tempat. Dan bagaimana pun juga, pada akhirnya pria itu tetap akan pulang.
"Naik keatas sana dan perhatikan wajahnya lebih dekat lagi. Dengan begitu kau bisa menilai apakah dia benar-benar bahagia atau tidak. Jika dia bahagia, berarti sudah waktunya kau berhenti mengharapkan apa yang nyatanya tidak ditakdirkan untukmu."
Bisikan yang terdengar tepat di telinga kanannya membuat kepala Yara menoleh. Dia menarik mundur kepalanya ketika sadar jarak antara wajahnya dan Putra terlalu dekat. Diperhatikannya ekspresi wajah Putra yang kini terlihat sedang mencemooh dirinya.
Tak perlu dirinya melihat lebih dekat karena Yara yakin dengan apa yang dilihatnya sekarang. "Dia hanya berpura-pura bahagia. Aku tau itu." Keyakinan itu yang bisa membuat rasa sakitnya sedikit terobati meski tidak seampuh yang dia harapkan.
Ada alasan sehingga Yudha menikahi Anin. Meskipun belum tahu apa alasannya, Yara bahkan berani untuk bertaruh bahwa itu bukanlah cinta. Karena itu dia merasa yakin bahwa Yudha hanya berpura-pura bahagia agar tidak ada yang meragukan keaslian pernikahan ini.
Mendengar kalimat yang terdengar percaya diri itu, Putra berdecak. "Pendapat dari perempuan yang sedang patah hati jelas sulit untuk dipercaya. Karena mereka seketika menjadi ahli untuk membohongi diri sendiri."
Yara ingin membantah. Dia tidak sedang membohongi dirinya sendiri. Dugaannya pasti akan terbukti benar karena dia sudah mengenal Yudha sejak lama. Tapi tidak dilakukannya karena pertanyaan lain di kepalanya lebih membutuhkan jawaban Putra.
"Apa ini tujuanmu memaksaku untuk kesini? Karena ingin mengolok-olok perasaanku?"
"Tentu saja bukan," jawab Putra tegas, mengabaikan nada sinis Yara. Dengan melihat acara ini dan kebahagiaan yang Yudha rasakan saat ini, dia ingin Yara segera menerima kenyataan. "Aku tidak memaksamu. Aku mengajakmu dengan baik-baik dan kau mengiyakan. Akui saja, Yara. Dalam hatimu itu kau sempat berharap pernikahan ini dibatalkan. Karena itu kau bersedia datang dan memastikan dengan mata dan kepalamu sendiri pernikahan ini tidak terjadi. Tapi sayangnya harapanmu tidak terkabulkan."
Bibir Yara tertutup rapat, karena kalimat Putra memang benar adanya. Dan dia tidak ingin membuat pria itu besar kepala. Memang dalam hati dan pikirannya yang terdalam, dia berharap Yudha berubah pikiran. Dia berdoa pernikahan ini tidak jadi dilangsungkan. Harapan yang nyatanya sia-sia belaka.
Walaupun tak mendapat respon yang dia inginkan, Putra tetap merasa bersemangat untuk memojokkan tunangannya itu. "Kalau aku jadi Yudha, aku juga akan melakukan hal yang sama. Menikahi gadis yang menerima kekuranganku dan tidak akan perduli dengan perasaan gadis lain yang sering berujar cinta tapi terlihat tidak sanggup setelah membayangkan akan aku repotkan seumur hidupnya."
Rahang Yara mengeras. Matanya menatap Putra tajam. "Aku membencimu."
Andai saja keluarganya tidak mendorongnya untuk bertunangan dengan Putra, maka Yara pasti akan mendapatkan pria impiannya. Dan dia tidak harus menanggung rasa sakit yang dia alami sekarang. Keluarganya, Putra dan perempuan yang menjadi istri Yudha itu, Yara membenci mereka semua.
"Aku tau." Putra mengangguk dengan wajah tanpa ekspresi. Dia sudah berulang kali mendengar kalimat itu hingga merasa terbiasa. "Tapi sayangnya orang yang kau benci ini adalah tunanganmu sendiri. Belajar lah untuk menyukaiku, Yara. Karena aku akan pastikan bahwa cepat atau lambat, kita akan menyusul mereka."
Dan Yara akan memastikan sebaliknya. Bahwa pernikahannya dengan Putra tidak akan pernah terjadi sampai kapanpun, meski banyak hal yang harus dia korbankan. "Kalau kau masih tetap disini, aku akan pulang lebih dulu," gumamnya dengan suara yang terdengar kesal.
Putra menahan lengan Yara sebelum gadis itu bisa beranjak meninggalkannya. "Sebelum pulang kita harus bertemu pasangan pengantin baru itu, Yara. Kau harus mengucapkan selamat atas pernikahan mereka sebelum pergi." Karena Yara tak juga bergeming, Putra bertanya dengan nada sinis. "Kenapa? Kau takut akan lebih patah hati lagi?"
Yara menepis tangan Putra. "Tidak! Kenapa aku harus takut? Aku hanya sedang memikirkan sesuatu," desisnya pelan. Sekuat tenaga dia mencoba untuk tidak menarik perhatian.
Kedua alis Putra terangkat. "Apa lagi yang harus kau pikirkan? Kalimat ucapan yang ingin kau katakan pada mereka?"
"Tentu saja aku harus memikirkan itu. Karena aku tidak mungkin dengan jujur mengatakan semoga kalian cepat bercerai kan?"
Putra terdiam. Menatap Yara dengan intens sebelum menyeringai. "Kau bisa mengatakannya. Dengan begitu lebih mudah bagimu untuk melepaskan pria itu setelah ini. Karena setelah kehilangan dia sebagai pria pujaan, kau juga akan kehilangannya sebagai seorang teman."
Meskipun ucapan itu terkesan benar, tetap saja Yara tidak suka mendengarnya. Dia belum sepenuhnya kehilangan Yudha. "Aku benar-benar ingin membatalkan pertunangan kita."
"Kau tidak akan bisa melakukannya," ucap Putra senang. "Tidak! Lebih tepatnya kau tidak memiliki keberanian untuk melakukannya."
"Sangat mudah menghancurkan hubungan yang tidak memiliki pondasi yang kuat. Baik itu hubungan kita dan pernikahan mereka, aku pastikan akan berakhir dengan cepat."
***
"Jadi, pria itu asisten suamimu?"
Anin menatap wajah Mita melalui pantulan cermin sebelum mengangguk singkat. Tak heran Mita tiba-tiba menanyakan perihal Ditya padanya setelah temannya itu terlihat cukup kaget melihat kesibukan Ditya di acara pernikahannya. Entah bagaimana pertemuan Ditya dan Mita saat proses jual beli tanah minggu lalu karena Mita pun belum menceritakan tentang pertemuan itu padanya.
Wajah Anin terlihat segar setelah selesai mandi. Bersih tanpa ada sisa-sisa make up yang melekat di wajahnya sepanjang hari ini. Dia bahkan sempat berendam selama beberapa menit hingga tubuhnya terasa rileks meskipun kakinya kini sedikit terasa pegal.
Berdiri di atas pelaminan dengan banyaknya tamu undangan yang datang untuk mengucapkan selamat atas pernikahannya jelas sebagai penyebabnya. Anin bahkan sempat merasa iri pada Yudha yang terlihat nyaman dan santai karena duduk sepanjang acara.
"Bukan cuma asisten. Ditya juga teman Mas Yudha sejak mereka kecil. Aku pikir aku sudah bilang sebelumnya."
"Kamu cuma bilang kalau teman barumu ada yang tertarik dengan tanah itu," bantah Mita sambil menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Tubuhnya menelungkup. Diraihnya satu bantal dan diletakkannya tepat dibawah dada.
Anin menoleh ke belakang. "Aku cuma bilang begitu?" tanyanya yang dibalas anggukan oleh Mita. "Intinya ya begitu lah. Dia temannya Mas Yudha sekaligus jadi asistennya sekarang. Jadi kalian sudah deal?"
"Sudah. Tapi ini nggak ada sangkut pautnya dengan kamu kan?" tanya Mita dengan nada penuh curiga. Matanya bahkan menyipit tajam.
Anin terkekeh, mencoba sebaik mungkin untuk tidak merespon Mita dengan berlebihan. "Tentu saja ada sangkut pautnya denganku. Kan aku yang bantu kamu untuk cari pembeli tanah."
"Ya, siapa tau kalau kamu sengaja minta bantuan dia."
Anin menggeleng singkat. Kakinya melangkah mendekati sofa dan duduk disana. "Aku cuma jadi perantara kalian. Cepat atau lambat dia akan butuh tanah untuk persiapannya berumah tangga nanti. Karena kebetulan aku tawari, dia langsung mau. Kalau nggak bangun rumah pun, tanah bisa dijadikan investasi kan? Kamu tau sendiri harga tanah semakin naik."
Setelah mengatakan kalimat itu, Anin menghela nafas samar. Ternyata dia mampu berbohong dengan lancar pada Mita meskipun sahabatnya itu terlihat tidak sepenuhnya percaya. Tidak apa-apa. Hanya sekali ini saja dia membohongi gadis itu.
Mita membawa tubuhnya bangkit. Duduk diatas tempat tidur dengan kaki menjuntai, menghadap Anin. "Aku sudah kasih sebagian uang penjualan itu ke pamanku."
Hal itu jelas tidak mengejutkan bagi Anin meskipun sebagian dari penjualan tanah itu terhitung cukup besar jumlahnya. Orang seperti paman Mita sebenarnya tidak cukup pantas untuk mendapatkannya. Tapi Anin tahu Mita tidak akan merasa tenang hanya dengan memberi sedikit uang pada pamannya itu.
"Aku harap pamanmu itu tau caranya berterima kasih dan nggak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi."
"'Ini tanda baktimu sebagai keponakanku. Aku harap lain kali kau membantuku lagi.' Itu yang dikatakannya sehingga kami bertengkar. Aku minta paman untuk nggak muncul lagi kalau hanya ingin meminjam uang karena dengan menjual tanah itu sudah jadi batas akhirku, Nin. Tapi dia bilang aku harus jadi keluarganya yang berguna. Dia bahkan mengancam dengan pernikahanku kelak."
Raut sendu di wajah Mita membuat Anin meradang. "Apa hubungannya dengan pernikahan?"
"Kamu tau sendiri kalau dalam urutan wali nikahku nanti, dia yang paling dekat."
Mulai dari ayah, kakek dari pihak ayahnya, saudara kandung dan saudara seayah, Mita memang tidak memilikinya. Keluarga Mita yang tersisa dalam urutan wali nikah memang paman dari pihak ayahnya dan anak laki-laki pamannya itu. Tapi Anin tidak habis pikir kenapa ancaman seperti ini harus membebani Mita karena di luar sana banyak wali hakim dan orang-orang paham agama yang bisa ditanyai pendapat mereka mengenai masalah keluarganya ini?
Anin memang bukan orang yang terlalu paham agama. Tapi setidaknya untuk urusan ini dia sedikit mengerti. Karena sebelum menikah, kegelisahannya mengenai wali nikahnya memang sempat datang. Fakta bahwa ayahnya tidak akan bisa menjadi wali nikahnya karena dia yang lahir diluar pernikahan sah membuatnya membaca banyak penjelasan di internet.
"Jangan pikirkan itu dulu. Jadi wali nikah sekalipun itu ayahmu nggak gampang karena ada syarat-syaratnya juga. Dan bagiku, pamanmu yang akalnya nggak sehat seperti itu nggak akan bisa jadi wali nikahmu kelak."
Mita pikir kalimat Anin ada benarnya juga. Dan itu seketika mampu memperkuat dirinya. "Aku bukannya mau balas dendam atas kelakuannya dulu. Tapi jika dipikir-pikir, apa pantas dia bersikap seperti sekarang? Meminjam uang yang terlihat seperti pemerasan pada anak kakaknya yang dulu dia abaikan ketika butuh pertolongan? Apa dia pikir isi rekeningku nggak akan ada habisnya?"
"Tenang saja. Kita punya Om Bimo dan Mas Sandy yang siap bantu kalau pamanmu itu macam-macam. Sikapnya yang seperti itu mungkin karena dia tau masih ada sebagian uang hasil penjualan tanah yang kamu simpan. Kalau lain kali dia menyinggung ini, kamu harus bisa bohong. Bilang uang itu kamu kasih ke aku untuk bayar utang atau apapun itu. Orang kayak pamanmu itu nggak bisa dikasih hati karena jadinya nggak tau diri. Dia pikir kamu ini manusia pencetak uang untuknya?"
Mendengar itu Mita tertawa. "Kok kamu yang jadinya lebih kesal dari aku?"
"Mana mungkin aku nggak akan kesal? Kalau keluarga ayahku macam-macam ke aku, kan kamu juga yang duluan kesal."
"Sejujurnya aku lebih kesal ke kamu karena kebanyakan pasrah loh, Nin. Ngomong-ngomong, Mas Sandy tadi datang?"
"Enggak. Cuma Om Bimo sama istrinya. Tapi tadi dia sudah kirim pesan kok," jawab Anin sambil menggerakkan ponselnya.
"Pasti dia lagi patah hati karena pernikahanmu "
Anin berdecak. "Dia harus keluar kota. Jangan aneh-aneh deh!" ketusnya.
"Kamu saja yang nggak peka, Nin."
"Kalau Mas Sandy suka aku dan berniat serius, pasti dia yang lebih dulu datang bertemu Papa. Buktinya nggak kan? Tandanya pikiranmu salah. Jangan bahas pria lain. Aku gadis yang bersuami sekarang."
"Kalau begitu lebih baik kembali ke suamimu sekarang. Dia pasti sudah nggak sabar untuk malam pertama kalian."
"Dasar sinting!" Anin melemparkan satu bantal sofa ke arah. "Apanya yang malam pertama? Kakiku pegal-pegal nih."
Mita terkekeh sambil memainkan bantal sofa dipangkuannya yang untungnya tadi bisa dia tangkap dengan mudah. "Kamu ke kamarmu sana. Aku ngantuk, Nin. Sudah diberi ijin untuk menumpang mandi, kamu nggak niat untuk tidur disini juga kan?"
Anin menyandarkan punggungnya. "Kamu ngusir aku?"
"Iya! Meskipun hotel ini milik keluarga ayahmu, tapi kamar ini sudah jadi milikku untuk malam ini."
Anin mendengus. Sebenarnya dia juga tak berniat untuk menumpang tidur di kamar ini. Tapi rasanya Anin masih ingin tetap disini untuk beberapa menit lagi. "Barang-barangku?" tanyanya setelah sadar bahwa gaun yang tadi dilepasnya sudah tak ada lagi di sandaran sofa.
"Sudah ada yang bawa tadi."
Kepala Anin mengangguk-angguk. "Makasih karena kamu sudah bantu banyak sejak kemaren dan juga hari ini. Harusnya aku memang biarin kamu istirahat ya?"
"Apaan coba? Itu nggak gratis. Nanti waktu aku nikah, aku pastikan kamu juga yang akan sibuk. Jangan menunda-nunda lagi. Pergi sana!"
Meskipun bibirnya menggerutu, Anin tetap menurut. Dia memasukkan ponselnya ke dalam tas kecil miliknya. Dalam kepalanya dia mencoba untuk menebak kemungkinan apakah Yudha juga sudah selesai bersih-bersih atau belum.
"Oh, iya!"
Suara Mita menghentikan langkah Anin. Diperhatikannya gadis itu yang kini berjalan, menyusulnya ke arah pintu kamar. "Ada apa?" tanyanya karena belum ada tambahan kalimat lainnya dari bibir Mita.
"Berhubung kondisi suamimu lagi begitu, aku kasih saran. Sebaiknya kamu yang diatas, biar kalian nggak kesusahan."
"Eh? Maksudnya?" tanya Anin bingung.
Tapi Mita seperti tak ingin menjelaskan karena hanya mengangkat bahu sekilas. Mita mendorong tubuhnya hingga Anin kini berada di lorong. "Posisi kalian nanti, kamu yang diatas dan suamimu dibawah. Itu saja nggak paham."
Dan setelah menyadari maksud dari ucapan Mita, Anin bersiap membuka mulut. Hendak menegur tapi sayangnya pintu sudah lebih dulu tertutup. Suara tawa Mita yang mungkin sedang berdiri dibalik pintu terdengar samar, seolah-olah sedang mengejeknya. Entah untuk kelambatan daya tangkap otaknya atas kalimat Mita atau karena temannya itu sukses membuat kepalanya terasa panas.
***
Yudha segera melompat ke atas tempat tidur ketika pintu kamarnya diketuk. Dia benar-benar kaget meski dalam hatinya sempat bersyukur karena Anin mengetuk lebih dulu dan bukannya langsung masuk ke kamar begitu saja. Sehingga istrinya itu tidak mendapati dirinya saat berdiri tegap didepan jendela.
Malam ini istrinya itu membutuhkan istirahat setelah lelah seharian ini. Dan mendengarkan ceritanya tentang masa lalu hingga penjelasan kenapa dia harus tetap berpura-pura tidak bisa berjalan jelas bukan waktu yang tepat. Karena Yudha pikir lebih baik dia mengubur itu semuanya dan tidak menyeret Anin untuk ikut serta. Karena setelah semuanya selesai, dia akan memulai hidupnya yang baru.
Yudha menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang setelah menarik selimut untuk menutupi kakinya. Tapi ketenangan yang sudah ditunjukkannya segera berakhir digantikan dengan keheranan. Keningnya mengernyit setelah menyadari bahwa bukan istrinya yang memasuki kamar melainkan Rima.
"Istrimu masih di kamar temannya."
Kalimat itu seakan-akan menjadi jawaban atas pertanyaannya mengenai keberadaan Anin saat ini. Meskipun tanpa Rima katakan pun Yudha bahkan sudah mengetahuinya. "Anindia memang bilang ke saya kalau dia akan beres-beres dengan bantuan temannya, Bunda. Setelah selesai dia akan kesini."
Raut wajah Rima terlihat tidak senang, Yudha menyadarinya. Namun itu tidak hanya sekarang. Sejak kemarin dan seharian ini pun bundanya memang bersikap sama. Hanya padanya, tidak untuk orang lain termasuk Anin. Dan sikap Rima sudah memberitahu Yudha bahwa apa yang dilakukannya sudah diketahui. Umpan yang sengaja dia lemparkan sudah termakan.
"Karena itu Bunda menemuimu mumpung nggak ada Anin. Ada yang perlu kita bicarakan, berdua."
Yudha mengangguk mengerti. "Bunda duduk lah dulu."
Bukannya melangkah menuju sofa, Rima malah beranjak mendekati ranjang. Wanita itu tidak duduk, melainkan hanya berdiri dengan tatapan yang tidak terbaca. "Bunda nggak akan lama. Bunda ingin tau, kenapa kamu meretas ponsel Bunda?"
Mata Yudha berkedip sebelum tersenyum tipis. "Kemampuan Ayah ternyata masih seperti dulu."
Kemampuan Riko di bidang IT jelas tidak bisa diragukan. Hal itu yang menarik minat Yudha sejak dulu, hingga kini dia mengikuti jejak ayahnya itu. Rasa kagum dan pujian darinya jelas tulus dari hati. Tapi fakta bahwa dia sengaja untuk ditemukan juga tidak bisa dibantah sehingga kalimatnya itu memang terdengar seperti basa-basi belaka.
"Kamu yang sengaja membuat diri kamu ketahuan, Yudha. Karena kamu memang ingin Bunda membahas tentang hal ini denganmu kan?"
Yudha memandangi wajah Rima dengan lekat. Dia memang ingin membahas hal ini sebelum memberitahu Anin. Karena ada hal yang ingin dia ketahui dan pastikan terlebih dulu.
"Saya sudah berjanji pada Anindia untuk menemukan ibu kandungnya. Dan saya akan lakukan apapun untuk memberikan hal yang bisa membuatnya bahagia." Termasuk menerobos ke privasi bundanya. Tapi Yudha bersumpah bahwa dia tidak melihat hal lain selain pesan antara Rima dengan Puspita.
"Karena itu kamu sengaja membawa Anin ke rumah? Untuk melihat gimana reaksi Bunda padanya?"
Yudha menggeleng. "Alasan utamanya karena saya memang ingin memperkenalkan Anindia pada Ayah dan Bunda sebagai calon istri saya. Tanpa diduga, Bunda memberi reaksi berlebihan sehingga saya semakin yakin Bunda tau banyak hal tentangnya."
"Kenapa kamu bisa yakin bisa dapatkan informasi melalui Bunda?" tanya Rima tak mengerti. Padahal selama ini dia sudah berhati-hati ketika berhubungan dengan Ridwan Hartono agar tidak ada yang bisa mengorek informasi melalui dirinya. Lebih parahnya lagi, dia lah yang akan dikira sebagai ibu kandung Anin.
"Waktu itu, entah kapan tepatnya saya pernah melihat Bunda berdebat dengan mertua saya. Ada Ayah juga disana. Untuk tiga orang yang tidak berkaitan dalam urusan pekerjaan, hal itu cukup mencurigakan. Saya sedikit menguping dan mendengar kalian membahas mengenai si putri bungsu."
Hal itu bahkan sudah sempat Yudha lupakan karena apa yang mereka bicarakan tidak ada hubungannya dengannya. Tapi sebelum membuat kesepakatan dengan Anin malam itu, Yudha tiba-tiba teringat. Dengan kemungkinan yang kecil, dia membawa Anin menemui ayah dan bundanya. Siapa yang bisa menduga bahwa Rima terlalu mudah terpancing perasaan?
"Dan apa yang sudah kamu dapatkan?"
"Identitas ibu mertua saya. Mulai dari nama, tempat tinggal hingga bagaimana kehidupannya sekarang. Maaf karena apa yang saya lakukan tidak bisa dibenarkan, Bunda. Tapi saya tidak menyesal sudah melakukannya."
Yudha tidak menyesal tapi merasa geram. Disaat Anin sibuk mencari keberadaan ibu kandungnya, wanita yang bersangkutan malah hidup dengan bahagia di negeri tetangga. Menikah dan juga memiliki keluarga sendiri. Seakan-akan tidak pernah ada gadis bernama Anindia yang pernah dilahirkannya.
"Kamu belum memberitahu Anin tentang itu kan?" tanya Rima cemas.
Yudha menggeleng lagi. "Tapi saya akan mengatakannya malam ini."
Helaan nafas lega terdengar keluar dari mulut Rima. Dengan begitu dia bisa menghentikan Yudha sebelum semuanya terlanjur. "Dan kamu pikir istrimu akan bahagia setelah tahu tentang hal ini?"
"Tentu saja," jawab Yudha cepat. "Ini yang dia inginkan sejak lama."
Jika saja bukan karena informasi ini, Anin pasti tidak akan mau menerima lamarannya. Apa lagi sesuatu yang bisa Yudha pikir akan mampu membahagiakan Anin jika bukan hal ini? Dengan begitu dia juga bisa melunasi satu janjinya lebih cepat.
"Apa kamu sudah tau apa yang dulu terjadi sehingga Anin bisa lahir ke dunia ini? Kenapa dia tidak pernah tau siapa ibu kandungnya? Kenapa Ridwan Hartono mati-matian menyembunyikan masa lalu dari keluarganya terutama dari Anin?"
Yudha terdiam. Ini yang ingin dia ketahui dari Rima. Masa lalu Ridwan Hartono dan wanita bernama Puspita Haryati itu. Dan dia ingin tahu alasan kenapa Anin harus menjalani kehidupan seperti sekarang hanya karena kedua orang tuanya.
Tapi apakah Rima mau memberitahu dirinya tentang hal itu? Yudha merasa tidak yakin bundanya akan sedikit terbuka padanya.
"Anin mungkin bahagia setelah mendapat informasi tentang ibu kandungnya, kamu benar sekali. Tapi apa kamu pikir itu akan cukup baginya? Anin nggak akan puas. Dia pasti akan mengorek apa yang dulu terjadi. Dan apa kamu pikir istrimu akan bahagia setelah tau bahwa ibu kandungnya menganggap dirinya tak pernah melahirkan Anin? Dengan kata lain, kelahiran Anin nggak pernah diharapkan?"
Bibir Yudha tertutup rapat. Kepalanya mulai mencerna semua kalimat bundanya. Dia tidak pernah tahu hal ini. Tidak! Lebih tepatnya dia tak pernah memikirkan kemungkinannya akan seperti ini.
Tak pernah diharapkan?
Mungkinkah sama seperti bagaimana kelahirannya di mata Arya Gunawan? Meskipun ibunya mengharapkannya lahir tapi tidak dengan ayahnya. Sementara kisah Anin kebalikan dari ceritanya.
"Anin akan tau hal ini. Tapi suatu saat nanti, bukan sekarang. Bukan disaat dia masih menganggap perasaannya yang harus lebih dulu diutamakan. Kalau kamu menyayanginya, tahan dirimu. Biarkan Anin tau dari orang yang bisa menjelaskannya secara rinci. Baik itu dari Ridwan Hartono atau mungkin dari Puspita secara langsung."
***
Stay safe and healthy semua 😉🙂
Semoga Suka 🤗
Bukittinggi, 8 Januari 2022
Salam Sayang 😘
~fansdeviyy,,,