"Eskul basket akan dibubarkan."
Elraga mematung seketika. Sekujur tubuhnya merinding, matanya membulat. Dia tidak percaya apa yang didengarnya. Satu-satunya rumah yang dia singgahi telah hancur berkeping-keping. Teman-temannya, impiannya, gengsinya, semua hancur.
"Bukan bermaksud apa-apa, Elraga. Tapi, Bapak tidak melihat keefisienan dari basket. Lagi juga, memang sudah diujung tanduk. Tidak ada anak-anak yang berniat mengikuti eskul basket. Pula, tidak ada prestasi yang ditorehkan sejauh ini, Elraga."
Kepala sekolah itu tersenyum. "Jadi, kamu umumkan ya ke anggota-anggota kamu kalau, basket dibubarkan."
Elraga tidak menerimanya. "Tidak Pak! Jangan dibubarkan, Pak. Karena, saya sebagai ketua, menjamin Pak, basket akan terus berjalan, Pak. Nyatanya, akhir-akhir ini, kami rajin mengadakan kegiatan latihan, Pak!"
"Tidak Elraga, itu hanya internal. Sangat tidak efisien. Lagian, kamu latihan doang tanpa ada hasil, buat apa?"
"Pak, tolong beri saya kesempatan, Pak. Pasti Pak, kami akan memberikan yang terbaik."
BRAK!
"ELRAGA, SUDAH. BASKET AKAN DITUTUP. TIDAK ADA PRESTASI DARI SANA. LEBIH BAIK DIBUBARKAN SAJA. LAGI JUGA, TIDAK ADA MANFAATNYA DARI KALIAN. TIDAK ADA YANG BERGABUNG. HANYA ADA NAMA BURUK DI SANA, AIB BAGI SEKOLAH. PAHAM KAMU?"
Elraga tidak terima. Kini dia balas menggebrak meja itu, dan berdiri, mensejajarkan dirinya dengan Pak Herawan.
BRAK!!!
"BAPAK TAU APA, PAK? SIAPA YANG SELAMA INI SELALU MENGALIHKAN FASILITAS DAN DANA UNTUK BASKET PAK?! BAHKAN, BOLA KAMI YANG SUDAH KEMPES, KAMI TIDAK MENDAPAT GANTINYA. PADAHAL, SAYA SUDAH AJUKAN PENGGANTIAN BOLA BERKALI-KALI. TAPI BAPAK BILANG TIDAK ADA GUNANYA!
"BAPAK BILANG ESKUL BASKET ITU AIB. TAPI, KETIKA SAYA MAU MEMBANGUN CITRA BASKET LAGI, BAPAK TIDAK MEMBERIKAN FASILITASNYA. COBA, LIHAT, PAK! RING BASKETNYA SAJA MULAI RUSAK, LAGI DAN LAGI SAYA AJUKAN PERMOHONAN UNTUK PENGGANTIAN, BAPAK MENOLAKNYA."
PLAK!
Sebuah tamparan keras mengenai pipi lebam Elraga. Karenanya, dia menoleh ke samping sambil Elraga memejamkan matanya. Menahan rintihan kesakitan karena lebamnya yang kini semakin berdenyut-denyut.
"Jadi, kamu bisa bilang ini semua ulah Bapak, begitu!?"
"Saya gak bilang begitu. Tapi kalau Bapak mengakuinya, sebaiknya bapak introspeksi diri saja terlebih dahulu."
Kepala sekolah itu sekarang terengah-engah napasnya. Matanya memerah marah dengan dadanya yang kembang kempis.
"Mulai dari sekarang, basket saya bubarkan!"
***
"BANGSATTTT!!!!" kesal Algra. Kini, mereka berada dalam satu bundaran di kelas. Elraga terlihat tertekan, dengan wajahnya yang murung sedari tadi.
"MASA SEKOLAH GITU SIH? PARAH BANGET ANJIR," tutur Reno tak mau kalah.
"Tapi bener juga apa kata kepala sekolah," jawab Gerald. "Kita gak ada penerus, kalo kita begini terus, gak bakal ada yang bisa lanjutin. Kita udah diem aja, gitu."
"GUE GAMAU ANJENGGGG," heboh Aldi. "MASA BASKET DIBIARIN GITU AJA. GUE GAMAU!!"
"Bacot ah, Di. Gue juga gak mau, lo jangan kayak begitu, childlish," sindir Elraga. "Sekarang, mending kita pikirin caranya gimana. Biar, kepala sekolah gak jadi bubarin kita."
Sementara itu, Aldi Sasongko, terdiam sejak sindiran Elraga terlanturkan.
"Ya mau gak mau, kita harus bangkitin lagi. Entah cari penerus, atau kita naikin citra basket SMA Arubuana," jawab Reno.
Algra bercetus, "Kita ajak aja sparing anak-anak SMA lain. Biar orang tahu, basket kita gak seremeh itu, anjir!"
"Pinter banget sih temen gue," puji Gerald. "Bisa tuh. Kita cari aja sparingan. Apa gak, kita adain latihan bareng sama SMA luar. Nanti kita bisa cari info-info lomba dari mereka, kan?"
"Yaudah," tutur Aldi, sekarang pembawaannya berubah setelah disindir Elraga. Nampaknya, dia sekarang tahu, mana saat-saat fokus serius, maupun bercanda. "Kita begitu aja. Nanti gue cari kabar deh, kalo misalnya ada, gue kasih tau lo semua. Sore latihan, gas gak?"
"GASSS!!!"
Semuanya semangat. Kini, senyuman terbit di bibir tipis Elraga. Dia berharap, dengan teman-temannya ini, dia dapat membangkitkan, dan juga menggerakkan basket SMA Arubuana.
Sisanya, guru masuk dan mereka memulai pelajaran mereka lagi, dengan Elraga yang pikirannya terbang pada eskul kesayangannya, basket.
***
Setelah berlatih basket, Elraga kini menyempatkan diri ke supermarket terdekat. Di depan kulkas, dia termenung sendiri. Karena, banyak sekali minuman yang disediakan, yang membuat Elraga sendiri bingung. Apa yang sebaiknya dia pilih?
Dari semua pilihan, akhirnya dia memilih sekaleng soda. Dia tahu, tidak seharusnya dia menenggak soda, tapi tak apalah. Sesekali. Dia membuka kaleng soda itu dan menenggaknya.
Padahal, dia belum membayarnya.
Sudut-sudut mulutnya terairi aliran soda itu. Jakunnya naik turun. Dia merasa segar.
Di kasir, dia memberikan kaleng soda yang sudah terbuka itu. Sementara kasir menilai harganya, Elraga meraba-raba kantungnya, mencari dompetnya. Dan hal buruk terjadi sekarang.
Dompetnya raib! Di mana dompetnya?!
Sial, sekarang di belakangnya mengantre satu gadis yang menunggunya. Elraga terus mengecek kantung-kantung celananya, barangkali ada uang yang terselip. Di jaketnya juga.
Tapi sialnya tidak ada uangnya sama sekali, sepeserpun.
"Sebentar ya, Mbak," tutur Elraga sedikit panik sambil mengaduk-aduk kantung celananya. "Kayaknya, uang saya ada di kantung sini, deh."
Sementara itu, kasir menatap Elraga dengan sebal dan bercampur kasihan.
Elraga benci situasi seperti ini.
Kini dia menyamping, membiarkan gadis di belakangnya membayar semua barang belanjaannya terlebih dahulu, sementara Elraga mencari-cari uangnya. Dia tidak bisa lari, atau mengembalikan barangnya. Karena, soda itu telah ia teguk!
"Sekalian aja, Mbak."
Elraga terpaku sebentar.
"Sekalian sama bayaran Mas-mas yang ini ya, Mbak."
Sumpah, demi apapun Elraga malu setengah mati. Gengsinya yang tinggi kini harus berdempetan dengan kenyataan.
"Enggak usah. Uang gue pasti di motor."
"Mas gak boleh keluar."
"Saya gak bakal lari, Mba—"
"Enggak boleh, Mas. Sebagai gantinya, Mas tunggu dulu di sini."
Elraga mengatupkan bibirnya dengan napasnya yang terengah-engah. Dia benci kasir ini. Dia mau marah rasanya. Rahangnya kini tercetak semakin jelas. "Mbak, saya gak bakal lari, Mbak. Saya bisa jamin. Uang saya benar-benar ada di motor, Mbak! Kalau Mbak gak percaya, pegang kunci motor saya. Motor saya jauh lebih mahal daripada kaleng minuman ini!"
"Udah Mbak, gapapa. Biar saya aja yang bayar, satu aja kan?"
"Lo juga, gausah sok pahlawan." Elraga melempar kunci motornya ke meja kasir. "Sebentar, saya gak bakal lari."
Sekarang, di motor, dia mengaduk-aduk tas, dan juga dasbornya. Sial, sial dan sial.
Dompetnya ternyata tidak ada. Di mana dia?
Kini, dengan raut muka getir, dia terus mengeceki satu persatu barang bawaannya dan tidak terselip uang sama sekali. Bagaimana ini?
Gadis tadi, kini keluar menuruni tangga dengan raut wajah sedikit menahan marah. Dia melempar kunci motor Elraga, dan tepat, seirama dengan instingnya, Elraga bisa menangkapnya.
"Lo gapapa, kan?"
"Gue ga butuh bantuan lo!" desis Elraga.
"Lo kalo dibantu harusnya berterima kasih. Lo diajarin kan sama Mama lo?" desis cewek itu sambil melempar sisa kaleng Elraga tadi.
Elraga dengan cekatan menangkap kaleng itu dengan sempurna. Instingnya dalam permainan basket dapat ia implementasikan ke dalam kesehariannya, setidaknya. Di samping itu, sejujurnya dia terpana akan cewek itu.
Cewek itu kini berjalan ke luar area meninggalkan area parkiran motor di supermarket itu.
Sial, Elraga setidaknya harus mengetahui siapa nama gadis itu. Agar, dia bisa mengganti budi yang telah dia bantu. Meski Elraga tidak memintanya.
Dia sadar ketika dia pulang, ternyata dia tidak membawa dompetnya. Dompet itu tergeletak di nakasnya. Sungguh hari yang sial.
Tapi, sejujurnya, gadis tadi tidak asing Elraga lihat wajahnya. Tapi, siapa ya?