REVOLVER

By seafelizwin

10K 754 277

[END] Samantha awalnya ingin meninggalkan kehidupan lamanya dan pergi jauh dari kota untuk melupakan luk... More

01] Main Cast
02] First Meet
04] Sofa
05] Suspicious
06] Sweet Lips
07] Couple Ring
08] Friends Talk
09] Remember Again
10] A Truth (1)
11] A Truth (2)
12] Complicated
13] Deep Talks
14] New Relationship
15] Married
16] Case Closed
17] kidnapping
18] Bitter Chaos
19] Explanation
20] Treat You Well
21] Last Mission
22] Switzerland and Us

03] Your Name

436 38 9
By seafelizwin


   Samantha terlihat menarik nafas pelan, ia berusaha menenangkan pikirannya. Ia pikir, tidak ada satupun saraf dari pria di hadapannya yang akan mengalami cidera atau pun terluka parah. Namun, dari sekian banyak trauma kecelakaan yang bisa dialami oleh pria tersebut, ternyata ia harus dihadapkan oleh sebuah kondisi yang juga pertama kalinya bagi Samantha untuk menanganinya.

   "Mas, kamu beneran nggak inget nama kamu siapa?"

Pria itu mengangguk lemah.

   "Kalau yang lain? Misalnya alamat rumah? Atau kontak keluarga?" tanya Samantha yang kembali mendapat respon yang tidak ia harapkan.

   Setelah itu, Samantha meminta pria tersebut untuk kembali beristirahat sejenak sembari ia memikirkan cara yang tepat untuk membantu pemulihan dari pria asing tersebut. Salah satunya, dengan saran yang akan Samantha anjurkan pada pria itu saat ini.

   "Mas, kita sehabis ini ke rumah sakit di kota, ya. Supaya kamu bisa dapet penanganan yang tepat," ucap Samantha. Namun, lelaki itu langsung menahan lengan Samantha saat dirinya hendak menjauh.

   "Kenapa, Mas?" tanya Samantha bingung.

   "Saya... nggak mau ke rumah sakit."

   "Tapi, Mas—"

   "Kamu dokter?"

   "Iya, dulu. Dan saya nggak pernah nanganin kasus tentang amnesia, Mas," jelas Samantha.

   Pria itu berusaha bangkit untuk duduk, Samantha pun dengan perlahan membantunya.

   "Kalau gitu, selain amnesia yang lagi saya alamin... kondisi tubuh saya baik, kan?"

   "Nggak bisa dibilang baik, Mas."

   "Tapi bisa kan kalau cuma dirawat di rumah?" tanya pria itu yang membuat Samantha menatapnya bingung.

   "Iya... bisa, tapi..."

   "Saya boleh minta dirawat sama kamu aja?" pinta pria itu yang berhasil membuat Samantha menatap penuh tanda tanya.

   "Saya nggak tau kenapa, tapi kayaknya saya nggak nyaman sama rumah sakit. Meskipun sebenernya saya lagi amnesia..."

   Samantha diam. Namun, beberapa detik kemudian ia kembali mengambil beberapa alat kesehatan yang ia punya dan kembali memeriksa kondisi pria tersebut. Pria itu hanya diam, menuruti apapun yang Samantha perintah saat ia sedang memeriksanya.

   "Kondisi Mas stabil. Meskipun saya bukan dokter spesialis saraf, tapi secara garis besar selain amnesia yang Mas alamin, keadaannya bisa membaik seiring berjalannya waktu," jelas Samantha.

   "Oke."

   "Mas yakin nggak mau dirawat di rumah sakit aja? Kalau ada apa-apa saya nggak bisa tanggung jawab soalnya."

   "Nggak apa-apa." Pria itu lalu tersenyum. Senyumnya manis, terlalu manis untuk dilihat dari dekat.

   "Ya udah kalau gitu, istirahat aja," ucap Samantha sebelum akhirnya kembali meninggalkan pria tersebut di ruangan kesehatan miliknya, membiarkannya untuk beristirahat penuh sampai kondisi fisiknya benar-benar membaik.

***

   Hari sudah mulai petang. Samantha sedang duduk di depan pelataran rumahnya sambil memandangi bintang-bintang yang malam ini terlihat seperti sedang berkumpul di atas rumahnya. Pagi tadi ia membatalkan niatnya untuk pergi ke kota dan berakhir membeli beberapa bahan makanan seadanya di warung milik warga. Pikirnya, ia bisa membelinya esok hari saja.

   Ia tidak sampai hati meninggalkan pria asing yang baru saja ia obati tersebut sendirian.

   "Eh—ngapain ke sini?" tanya Samantha panik saat melihat pria yang tadi pagi ia tolong menghampirinya yang sedang duduk di luar.

   "Saya bosen tiduran di kasur terus."

   Samantha menatap penuh protes dan menarik nafas pelan. "Ayo, di dalem aja. Di luar dingin." Pria itu pun menurut.

   Ia mengikuti langkah Samantha yang menggandengnya menuju ruang tengah dari rumah milik wanita tersebut. "Duduk di sini aja, biar saya ambilin makan, ya? Mas belum makan deh dari pagi."

   "Maaf ngerepotin."

   "Santai aja, nanti saya tagih bonnya di akhir," ujar Samantha yang berhasil mengundang kekehan dari sang pria.

   Pria tersebut melihat ke sekeliling rumah tersebut. Ia heran terdapat rumah sebagus ini di sebuah tempat terpencil. Terlebih lagi, pemilik dari rumah tersebut adalah seorang wanita yang mungkin lebih muda dari usianya. Sedari tadi pun, ia tidak melihat adanya sosok penghuni lain yang berada di rumah ini.

   "Dia tinggal sendirian?" tanya sang pria dalam hati.

   Tak lama kemudian, Samantha sudah kembali ke ruang tengah dan membawa beberapa nasi dan juga sayur yang ia masak di sore hari tadi.

   "Saya sengaja belum makan, nungguin kamu. Tapi kalau kamu nggak bangun-bangun saya bakal makan duluan, sih," ucap Samantha sambil terkekeh.

   "Porsinya dikit aja..."

   "Enggak. Masnya belum makan dari pagi. Abisin, kalau enggak besok nggak bakal saya kasih makan," ucap Samantha yang membuat pria itu menelan salivanya pelan.

   "Galak juga," monolognya dalam hati.

   Setelah selesai dengan kegiatan makan malam, mereka berdua tetap memilih duduk di ruang tengah. Lebih tepatnya, Samantha ingin mengetahui sedikit demi sedikit informasi yang bisa ia dapat dari pria asing yang baru saja ia tolong pagi tadi. Samantha takut, jika kerabat maupun keluarga dari pria ini pasti akan sangat khawatir atas hilangnya anggota keluarga mereka secara tiba-tiba.

   "Mas nggak ada inget sesuatu? Apa aja deh, yang bisa saya lakuin buat ngebantu Mas."

Pria itu menggeleng, "Nggak ada. Nggak tau kalau besok."

   "Iya juga, sih. Ya udah deh," jawab Samantha pasrah.

   "Kamu... kok nggak ada curiga atau ngusir saya buat pergi dari sini?"

   Samantha menatap pria itu datar. Lalu, ia tersenyum.

   "Ngapain? Kurang kerjaan banget."

   "Kan bisa aja saya orang jahat. Bisa aja saya ternyata nggak amnesia..." ujar pria tersebut. Pasalnya, sejak saat ia meminta untuk tinggal dan dirawat oleh Samantha, wanita itu sama sekali tidak menunjukkan gestur penolakan. Ia hanya langsung menurut.

   "Kan yang rugi mah Masnya, kalau pura-pura amnesia."

   Samantha kembali menatap pria itu tepat pada kedua matanya. "Saya gak peduli Mas orang jahat atau bukan, saya cuma nolong. Lagian kasian Masnya amnesia, kalau diusir mau ke mana emang?" tanya Samantha yang membuat pria itu terkekeh pelan.

   "Nggak tau juga, sih..."

   "Saya nggak takut juga kalo Masnya malah jahatin saya, atau mau bunuh juga terserah deh. Saya nggak punya hal yang ngebuat saya menyayangi nyawa saya sendiri."

   "Jadi, kamu tinggal di sini sendirian?"

Samantha mengangguk. "Iya, keluarga saya udah meninggal..."

   "Dibunuh," lanjut Samantha yang membuat pria tersebut terkejut.

   "Dibunuh? Sama siapa?"

   "Enggak tau. Saya nyerah buat cari tau."

   Pria itu kembali menatap penuh sendu ke arah Samantha, "Maaf, udah nanya kaya gini."

   "Santai aja. Hmm, by the way, saya enaknya manggil kamu siapa ya, Mas?" tanya Samantha sambil menopang dagu ke arah pria di sampingnya.

   "Eh, bentar..." ucap Samantha yang kini mengarahkan satu jemarinya untuk menyentuh kalung yang terpasang indah di leher pria tersebut. Ia mengeluarkan ujung dari kalung tersebut, berharap dapat menemukan satu petunjuk. Namun, ia hanya melihat satu huruf 'S' sebagai bandul dari kalung yang tengah dikenakan oleh pria tersebut.

   "Kayaknya ini inisial nama kamu deh, Mas."

   "Mungkin..."

   "Kalau gitu, saya panggil kamu..."

   "Saga."

   Ucap Samantha sambil menatap pria tersebut sambil tersenyum.

   "Mas Saga? Om Saga? Atau Bapak Saga? Hahaha." Pria itu menatap penuh protes, "Saya kayaknya nggak setua itu, deh."

   "Hahaha, ya udah Saga aja. Gimana? Boleh gak?"

Pria itu lalu tersenyum, "Boleh. Bagus, kok."

   Samantha kembali tersenyum, "Oke deh. Hehe."

   Setelahnya, Samantha mengajak pria tersebut untuk kembali beristirahat, namun, kali ini ia membawa sang pria ke sebuah kamar lain. "Kamu tidur di sini aja, ruangan tadi bau obat, kan? Hehe."

   "Terus kamu tidur di mana?" tanya sang pria pelan. 

   "Ya tidur di kamar saya, lah. Emang kamu pikir saya tidur berdua sama kamu gitu?" Samantha menatap tidak percaya pada pria yang sudah ia beri nama 'Saga' tersebut.

   "Takutnya kamu tidur di sofa..."

   "Enggak kok, Ga. Semoga cepet sembuh, ya. Oh iya, saya punya beberapa baju cowok deh di lemari, kali aja kamu mau ganti pakaian. Dingin soalnya kalo cuma pake kaos tipis kayak gini," ujar Samantha sambil menatap Saga hangat.

   "Tadi yang ganti pakaian... kamu?" tanya Saga ragu.

   Samantha lalu tertawa. "Bukan, lah. Tadi saya nyuruh anak gadisnya warga sekitar yang gantiin," jawab Samantha menggoda. Sementara Saga menatap kaget atas jawaban dari sang wanita.

   "Hahaha, kaget banget. Bukan, kok, tadi Bapak-bapak yang gantiin."

Saga pun langsung bernafas lega.

   "Hahaha, takut banget sih, punya pacar—eh iya, kan amnesia. Maaf, hehehe..."

   "Ya udah istirahat gih, saya juga mau ngunci rumah dulu, terus tidur. Semoga lekas sembuh ya, Saga."

Saga kembali tersenyum. "Makasih ya, Samantha."   

***

Continue Reading

You'll Also Like

38.4K 3.2K 26
(FOLLOW AUTHOR SEBELUM MEMBACA! BEBERAPA PART DIPRIVATE SECARA ACAK) "๐‘ท๐’†๐’Ž๐’†๐’๐’‚๐’๐’ˆ๐’๐’š๐’‚ ๐’•๐’†๐’•๐’‚๐’‘ ๐’๐’“๐’‚๐’๐’ˆ ๐’๐’‚๐’Ž๐’‚, ๐’ƒ๐’–๐’Œ๐’‚๐’?" -Hilman Sat...
941K 3.9K 1
(Sudah di hapus sebagian Babnya) - EBOOK sudah tersedia di google playbook. buku bisa dipesan pada penulis! "Bukankah mencintai Lelaki yang tak per...
138K 16.8K 45
[Bagian kedua dari kisah Satu Cerita Untuk Kamu] Semuanya mereda dan berjalan semestinya, hingga Renjana bertemu Kavi Yogaswara. Lelaki dengan segala...
84.8K 5.9K 18
Laksita Hana Bahira adalah seorang Perempuan yang terpaksa menyewakan Rahimnya pada seorang Laki-laki karena satu masalah yang sedang membebaninya. N...