Fajar Kelabu

By SanPaDonesulo

4.1K 610 801

Para Boboiboy Elemental dan warga Pulau Rintis mengalami peristiwa yang tidak terpikirkan sebelumnya dan suli... More

Kata Pengantar
Awal Mula
Guncangan : Bagian (1)
Guncangan : Bagian (2)
Runtuh : Bagian (1)
Runtuh : Bagian (2)
Runtuh : Bagian (3)
Pertengkaran
Bertengkar Lagi
Penyebab : Bagian (1)
Penyebab : Bagian (2)
Penyebab : Bagian (3)
Transformasi : Bagian (1)
Transformasi : Bagian (2)
Halusinasi : Bagian (1)
Halusinasi : Bagian (2)
Lilin
Kedatangan Sepupu
Firasat
Obrolan Malam
Bencana dan Pilu : Bagian (1)
Bencana dan Pilu : Bagian (2)

Kerja Sama

53 12 10
By SanPaDonesulo

"Gimana ini cara ngangkut mereka?" soal Halilintar, tak menghiraukan si Landak Ungu.

"Karung goni, ya, maksudmu, Li?" tanggap Fang dengan nada santai.

Tidak habis pikir terhadap bocah, eh, lebih tepatnya, remaja lelaki satu itu. Banyaknya manusia yang tergeletak pingsan di hadapannya. Sungguh tidak masuk akal bila dia tidak menengoknya. Apa itu hanya sekadar basa-basinya? Atau apakah kedua lensa matanya dalam kondisi bermasalah, sampai-sampai, orang pun dipandangnya karung goni? Ah, apa mungkin ia, sebenarnya, cuman melawak di tengah situasi cukup genting ini?

"Matamu, tuh, karung goni! Kagak ngelihat, apa, orang-orang yang bertaburan di sini, macam bintang di angkasa?" cela Halilintar atas ucapan Fang yang dianggap konyol.

"Puitis sekali kalimat Anda. Saya teramat terpana mendengarkannya, hingga, saya ingin merekam ulang, Hali," respon Fang di luar dugaan Halilintar.

"Apaan sih, Fang? Nggak jelas! Itu sarkasme, bukan majas!" seru Halilintar.

"Wah ...! Ini, nih, bukti akibat dari tidak belajar bahasa dengan baik. Sarkasme termasuk ke dalam majas. Banyak sekali jenis majas atau gaya bahasa, seperti simile, metonimia, repetisi, litotes, dan lain-lain, termasuk pula sinisme, ironi, satire. Begitu penjelasan singkat perihal gaya bahasa dalam sastra. Bagaimana? Apakah Anda memahaminya?" papar Fang sangat rinci bak guru dadakan.

"Wow ... terima kasih pengajaran Anda, Bapak Fang. Pikiran saya tercerahkan oleh intelektualitas Anda," cibir Halilintar.

"Iya, sama-sama, muridku. Diriku terharu, tersanjung pujian Anda," sahut Fang.

"Sudah ... sudah! Kalian malahan sibuk ribut sendiri," lerai Yaya.

"Wah, Anda ini tidak mengerti hal berbahasa yang benar. Itu keliru, Yaya. Kalau ribut sendiri, misal saya ini tidak suka terhadap diri sendiri, saya mengajak berkonflik dengan saya sendiri, beradu mulut dan fisik sendiri. Nah ... itulah ribut sendiri," sanggah Fang.

"Tahu nih, Yaya. Lagi pula, mana ada juga yang ribut dengan diri sendiri? 'Ih ... aku benci dengan diriku! Aku pukul aku! Aku pukul aku!' 'Kan aneh kedengarannya?" timbrung Gopal.

"Hah ... terserah kalianlah! Ini, aku ingin tanya, cara angkut ma—eh, maksudnya, orang-orang yang terkapar ini bagaimana?" tanya Yaya.

"Sepertinya, setelah aku bertanya perihal itu dan lima belas menit terbuang sia-sia demi adu argumen yang nggak jelas dari Fang, baru ada yang menyadari dan mengerti, ya?" sindir Halilintar.

"Aku tidak ikut-ikutan, loh, ya! Anda jangan sembarangan menuduh!" berang Fang, tersinggung dengan perkataan Halilintar.

"Lah ... ini satu lagi. Ada apa sih, marah-marah tak jelas ke saya?" ucap Halilintar heran.

"Heh ... kamu mau bilang, kami semua, tuh, bloon, gitu? Kurang ajar kamu! Percuma pintar, tetapi tidak beretika berbicara!" protes Gopal.

"Nggak kok, Gopal. Yah, kecuali, kamu, sih," balas Halilintar.

"JLEEEBBBBBB ...!" pekik Gopal.

"Pal, suara apa tadi?" soal Fang.

"Oh, itu suara angsa yang nyanyi saat makan dan tersangkut tulang ikan di lehernya," jelas Gopal.

"Oooh, begitu ...," sahut Fang sembari menganggukan kepalanya.

"Yeh ... ini anak dungu atau apa sih? Masa begituan kagak ngarti sih? Katanya, anak pintar, juara pertama dari satu siswa," cemooh Gopal terhadap Fang.

"Sudahlah!" hardik Yaya kepada Gopal dan Fang. Ia mengepalkan kedua telapak tangannya, seakan ingin menjadikan kedua temannya yang konyol tidak tertandingkan itu sebagai guling tinjunya. Hal tersebut merupakan petunjuk yang amat berbahaya bagi siapapun yang berada di sekitarnya. Oleh sebab itu, lantas, Halilintar menjaga jarak, menyelamatkan diri dari Yaya sebelum terlambat.

"Sabar, Yaya ... sabar .... Semua itu sesuatu bi—" ucap Halilintar, menghibur Yaya yang emosinya di tingkat maksimum.

"Apa, heh? Apa? Suruh-suruh sabar ke orang lain. Ngaca dulu, dong, Hali! Kau juga buat darahku naik! Aku heran bisa punya teman-teman absurd kayak kalian!" omel Yaya.

"Wah ... apalagi saya," timpal Gopal.

"Heh ... kau juga, ya, Gopal! Ih! Lama-lama, aku buat talenan aja ini bocah!" geram Yaya.

"E—eh... nanggung, Yaya! Mengapa tidak sekalian saja rancang denah konstruksi bangunan sekolah kita yang hancur lebur tadi? Hahahaha, ya 'kan?" gurau Fang, ditanggapi tatapan mata setajam silet oleh gadis penyuka pakaian merah muda itu.

"Kayaknya, candaanmu tidak ada artinya, deh, Fang," bisik Hali.

"Yah .... Setidaknya, 'kan, aku telah berupaya untuk mencairkan suasana, Hali. Daripada suram berkepanjangan, Li," elak Fang.

"Hei, teman-teman. Ayolah, bantu mereka dahulu! Apa kalian tidak kasihan sama mereka? Sama adik atau kakak atau orang tua atau guru atau pacar atau te—" bujuk Kiara.

"Aduh ...! Kepanjangan ajakannya, Kiara! Malas dengarnya! Disingkat saja, supaya tidak membosankan! Ingat, SPJ; singkat, padat, dan jelas," sela Gopal.

"Hah ... iya ... iya ... Kuulangi lagi. H, tmn-tmn, ay lh, bntu mrk dhlu! Ap klian tdk kshn s—" tutur Kiara.

"Kau bicara bahasa apa sih, Ra? Sumpah, deh! Alien kayak Ejo Jo pun, bakalan bingung maksudmu!" protes Gopal.

"Yeh ... kamu sendiri minta aku singkatin kata-kataku barusan. Ya, udah ... aku ikut maumu aja. Sekarang, malah dianggap salah. Ini salah, itu salah. Jadi, mana yang benar, Pal?" tangkas Kiara.

"Ehem ... ehem ... nyamuk sedang lewat busway. Nyiiiit ...," ujar Taufan tiba-tiba, melewati celah antara Yaya dan Halilintar.

"Bodoh amat, aku nggak peduli!" ketus Halilintar.

"Terserah Kakak lah. Memang, ya, kalau orang yang punya selera humor yang rendah, ya, seperti ini," cakap Taufan rada mengejek.

"Taufan, Hali, Yaya, Gopal, Fang, yuk, kita akhiri pertikaian yang tanpa arah ini! Aku lelah dengar kita bergaduh satu sama lainnya, sementara banyak orang yang perlu pertolongan kita saat ini. Apakah kalian tidak iba?" tegur Kiara.

"Aku biasanya nggak setuju sama berbagai opini. Namun, untuk kali ini, aku sependapat," tutur Hali.

"Iya ... ya .... Padahal ... kita pahlawan, loh, mengapa kita malah kekanak-kanakan, ya, mementingkan ego kita sendiri ketimbang nasib dan derita makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya?" sesal Yaya atas tindakannya baru saja.

"Guys! Kita gak usah larut dalam ketidakjelasan ini! Nanti, kita malah jadi larutan gula dan garam alias oralit! Nah, sekarang, kita mesti mikirin cara ngangkat-nya orang-orang ini ke rumah sakit!" cetus Fang.

"Tumben, otaknya lancar," celetuk Halilintar, namun, diabaikan oleh orang yang dimaksudkannya.

"Sebetulnya, kita bisa dengan manual, pakai ambulans. Namun, persoalannya, korbannya bukan belasan, tetapi, puluhan atau ratusan orang. Jadi, pastinya, sulit evakuasi mereka ini dalam waktu singkat dan tidak efisien," ungkap Taufan.

"Heleh .... Kalian susah benar cari ide. Tinggal pake kekuatan dari jam ajaib kita aja, 'kan mudah urusannya? Hidup itu dibawa gampang saja, gak perlu repotin diri sendiri," usul dari alien berambut seperti duri landak dan berwarna ungu, Fang.

"Wah ... brilian juga, akalnya Fang!" puji Yaya.

"Hehe ... siapa dulu, dong? Pria terganteng sedunia, begitu loh!" sahut Fang sembari membusungkan dada, menyanjung dirinya sendiri.

"Ck ...! Ah ... kumat lagi, dah, penyakitnya," leceh Halilintar.

"Jangan buang waktu! Kita mesti eksekusi detik ini juga!" tegas Kiara.

"Lah, eksekusi apa, Ra? Eksekusi tanah sengketa, gitu, maksudmu?" tanya Gopal, kelimpungan.

"Ya, ampun ... eksekusi angkut korbanlah! Masa eksekusi tanah. Kamu, tuh, gimana, sih?" jawab Kiara, sebal dengan soalan Gopal yang kurang penting untuknya.

"Tahu, nih ... kagak nyambung," timpal Fang seraya ikut-ikutan menyudutkan Gopal.

"Udah! Udah! Yuk, buruan, kita lakukan sekarang!" ajak Yaya.

"Ayo!" pekik Taufan, Halilintar, Fang, Gopal, Yaya, dan Kiara.

Sesudahnya, gerombolan remaja itu pun memulai evakuasi para korban dengan kekuatannya masing-masing, kecuali Kiara dan Gopal. Kiara tidak memilki kekuatan hebat bak para pahlawan di film terkenal. Sementara, Gopal tidak mempunyai kekuatan yang relevan dengan aksi dirinya menggotong para korban ke rumah sakit terdekat. Akibatnya, mereka terpaksa menyelamatkannya dengan manual, alias menelusuri, menggendongnya satu persatu, dan membawanya ke tempat pelayanan kesehatan terdekat di sana.

Fang menggunakan jurusnya, tangan bayangnya. Ia meraup banyak orang dalam genggaman tangan bayangnya. Ia memegangnya sembari membawanya ke rumah sakit terdekat. Yaya dan Hali turut serta mencari korban dengan kekuatannya masing-masing. Halilintar, sesuai namanya, cepat dan gesit bergerak ke mana-mana. Yaya, dengan kemampuan mengontrol gravitasi, dapat luwes melayang dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain di udara. Taufan sendiri tidak langsung terlibat dalam pengangkutan para korban, sebab ia ditugaskan untuk mencari lokasi rumah sakit terdekat yang cukup menampung ratusan manusia. Ia akan melubangi tanah di rumah sakit tersebut dengan bor angin, sebagai penanda kepada kawanannya mengenai lokasi yang tepat untuk menaruh para warga yang menjadi korban dari bencana misterius itu. Kadangkala, ia juga membantu meringankan beban teman-teman dan saudaranya dengan mengangkut para korban yang terlihat olehnya di sepanjang perjalanannya.

Mereka melakukannya amat kompak. Mereka bahu-membahu antara satu dengan lain, selain menjalankan tugas utama mereka dalam evakuasi tersebut. Walaupun lama, tetapi, setelah sekian lama, kiranya enam jam lamanya, akhirnya, mereka pun dapat memindahkan korban-korban bencana dengan aman dan lancar, tanpa gangguan yang berarti. Hal itu tidak bermakna tidak berefek terhadap mereka. Perjuangan keras itu berdampak pada tenaga mereka yang terkuras habis. Tampak amat kentara pada wajah Taufan, Fang, Yaya, Hali, Gopal, dan Kiara yang pucat dan berpeluh keringat yang bercucuran deras ke dagu. Bahkan, Kiara hampir pingsan karena lelah yang berlebihan sehabis kegiatan yang betul-betul mengeksploitasi energinya. Mereka memilih untuk mengistirahatkan pikiran dan raga di rumah sementara Fang, dengan alasan jaraknya yang tak terlalu jauh dengan lokasinya saat ini.

Mereka berjalan agak sempoyongan. Sungguhpun, jaraknya tidak lebih dari dua ratus meter, tetapi, itu tidak berlaku bagi mereka. Mereka merasa bagaikan berjalan puluhan kilometer, amat sulit dan jauh. Bahkan, Taufan, manusia energik di antara kerabatnya yang lain, terlihat hendak pingsan. Dengan sigap, si Petir Merah itu segera mendekapnya.

"Kasihan sekali ... adik kecilku ini," gumam Halilintar.

Ia menggendongnya. Sebetulnya, ia terlalu letih berbuat segala hal. Namun, karena itu adiknya, maka, ia tidak akan kompromi terhadap dirinya sendiri. Baginya, adiknya adalah prioritas utamanya, selain kakeknya.

"Wiih ... seorang Hali tiba-tiba peduli sama orang lain," seloroh Fang.

Akan tetapi, Halilintar tidak menghiraukanya. Sebenarnya, Fang telah mengetahui sejak lama soal sikap temannya itu. Ia cuman mau mencairkan suasana agar situasi tidak tegang dan menghilangkan kejenuhan pikirannya juga.

Selepas menempuh perjalanan yang berat untuk mereka, kurang lebih setengah jam, mereka sampai di tempat tujuan, kediaman sementara Fang. Jikalau dipandang sekilas, seperti rumah berhantu, angker. Padahal, pemilik rumahnya, Fang, malas membersihkan halaman depan dan mengecat rumahnya, sehingga tidak terawat dengan baik. Orang tua dan kakaknya telah mengomeli dirinya ratusan ribu kali tentang kerapian dan kebersihan tempat tinggalnya. Akan tetapi, ia hanya menganggapnya angin lalu. Layak peribahasa; masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.

Fang membukakan kunci pagar rumah itu. Pagarnya berbahan besi yang dicat berkilauan, meski saat ini terlihat lebih usang dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Motif hiasan pagarnya pun tidak berubah sedikitpun. Halaman depan rumah itu hijau, dipenuhi rumput yang tumbuh menjulang tinggi. Ditinjau dari sisi depan rumah, terdapat retakan di dindingnya, efek dari guncangan tanah tanpa penyebab yang jelas itu.

Mereka melangkah menuju ke rumah yang berukuran sangat besar itu. Di sekelilingnya, para tetangga sibuk membersihkan isi rumahnya, mulai membuang pecahan-pecahan gelas atau piring dan lain-lain. Fang terduduk sambil bersandar di tiang teras rumahnya. Kiara dan Taufan terbaring di lantai. Gopal dan Yaya berdiri sambil berpegang pada tiang. Halilintar langsung terduduk di lantai dengan napas yang terengah-engah.

Tidak ada satu pun di antaranya yang berbicara. Semuanya sibuk memulihkan ritme pernapasannya yang tidak teratur. Dalam kisah hidup mereka, baru kali pertama, mereka kelelahan sejadinya, jauh lebih membuang tenaga ketimbang bertarung dengan Ejo Jo maupun Bora Ra. Hampa dan nihil bunyi, hingga, pada akhirnya, ada yang memecahkan keheningan itu dengan pertanyaan yang sejatinya retoris belaka.

"Hah ... hah ... capek juga, ya?" lirih Halilintar.

"Ho'oh, Li ... bener ...," balas Fang.

"Eh, guys, tahu nggak kalian?" soal Halilintar.

"Nggak," interupsi singkat Fang.

"Ish, kau, nih! Jangan dipotong dulu lah, Fang!" murka Hali.

"Kayak kue aja, dipotong segala!" kelakar Fang.

"Itu nggak lucu, Fang!" hardik Hali.

"Ehm ... iyalah .... Jadi, kamu mau ngomong apa tadi, Li?" tanya Fang.

"Eh ... apa, ya? Ah, 'kan. Saya jadi lupa, nih. Gara-garamu, sih, Fang!" tukas Halilintar.

"Loh ... apa salah saya, Li? Lagi pula, tabiatmu memang gemar lupa, Hali, mulai dari menyerang adikmu sendiri sebab kamu mengira mereka musuhmu, saat kamu anggap dirimu adalah Ada Da. Lalu, setiap kamu berjanji sesuatu, aku yakin kamu pasti mengingkarinya, cuma karena satu alasan, lupa. Ingat tidak, waktu kamu berjanji hendak ikut camping bersama kita, tapi, kamu malah datang setelah acara kemah selesai? Ingat tak?" tampik Fang.

"Ah ... jangan bahas aib di depan Kiara, dong! Malu, tahu!" tutur Halilintar.

"Yeh ... sepertinya, Halilintar sudah punya tambatan hati nih ... cie ... uhuy," canda Fang.

"Ish! Bukanlah, Fang!" bentak Halilintar.

"Wei ...," potong Gopal spontan, menghentikan perkelahian kecil di antara kedua sahabatnya.

"Aku Halilintar, Pal, bukan Wei," sangkal si pengguna elemen petir merah itu.

"Iya, gua tau, Li. Teman-teman, kita pengen makan bareng 'kah? Aku malas lah, kembali ke rumah, mana rumahku bersepah lagi, Hali, Fang, Yaya," usul Gopal.

"Ehm, aku minta maaf, semuanya. Kayaknya, aku tidak bisa gabung sama kalian. Aku harus menjenguk dan menjaga adikku di sana, di posko. Harap dimaklumi, dia kan masih belia. Khawatirnya, nanti, terjadi apa-apa dengan dia dan nggak ada yang bisa bantu dia," tolak Yaya sembari menjelaskan keadaan keluarganya di posko.

"Baiklah ... kami mengerti. kamu harus segera ke sana, Yaya," ujar Gopal.

"Terima kasih. Saya permisi," pamit Yaya, berancang-ancang meninggalkan Gopal, Fang, dan Halilintar di teras.

"Hnn ...," tanggap Halilintar.

"Eh, ya .... Jadi ... aku mau nanya," cakap Gopal.

"Iya, apa, Pal?" respon Fang.

"Kita cari makanan di mana?"

Bersambung ....

Halo, Readers. Sudah lama, Author tidak meng-update bab cerita terbaru pada fanfic Boboiboy, Fajar Kelabu. Author meminta maaf kepada Readers, pasti kalian menunggu sangat lama update bab cerita terbaru ini. Oh, ya, ceritanya belum selesai, ya. Jadi, tetap tunggu kelanjutan ceritanya (update bab cerita terbaru), ya ....

Continue Reading

You'll Also Like

150K 7.5K 31
Aelin tidak menyangka kalau sang ibu menikah lagi dengan seorang duda, ayah Aelin meninggal dunia sekitar 3 tahun yang lalu karena serangan jantung...
214K 15.6K 87
Tiga pasang remaja yang di takdirkan menemukan bayi yang di takdirkan mengurus ke empat bayi karna suatu insiden dulunya bayi bayi itu di tempatkan...
1.7M 109K 53
"Seharusnya aku mati di tangannya, bukan terjerat dengannya." Nasib seorang gadis yang jiwanya berpindah ke tubuh seorang tokoh figuran di novel, ter...
57.2K 8.7K 28
WARNING : BxB, YAOI, M-PREG JENO x RENJUN ========================== Kisah asmaranya selalu berakhir rumit. Sekarang Renjun sudah menyerah, terserah...