Glow

By creamilloo

2.2K 268 207

Brothership series 2# Binsung Sebetulnya Zidan cuma pengin Lentera kembali hidup normal. Namun pada kenyataan... More

Pembuka-
0. awal yang orang-orang lihat
1. Cowok yang suka musik
2. Si Cowok Matahari
3. Hidup Seperti Zombie
4. Sebenarnya Apa Arti Kehidupan?
5. Hanya Ada Kegelapan di Tengah Lampu Jalanan Redup
6. Lelah yang Tidak Kunjung Habis
7. Harapan yang Sebetulnya Tidak Ada
8. Mimpi Adalah Sebuah Ilusi
9. Burung yang Terkurung
10. Kita Berjalan Meskipun Tidak Tahu Arah
11. Kita bisa saja tersesat di antara bait harapan yang punah
12. Hari-hari yang Tidak Pernah Padam
13. Pilihan yang Tidak Pernah Ada
14. Kita Manusia Robot
15. Hukuman Untuk Robot yang Rusak
16. Emosi yang Mati
17. Hidup dengan Masa Lalu
19. Mati Rasa
20. Kakak yang Merindukan Adiknya
21. Awal Dari Sebuah Kehancuran
22. Kesendirian yang Menyakitkan
23. Kejujuran Yang Pahit
24. Penyesalan yang Selalu diakhir
25. Kehidupan yang Baru
epilog. Mulai dari Awal dengan Cahaya Baru

18. Mencoba untuk Lebih Kuat

53 7 7
By creamilloo

"Kalau orang bilang teman dapat menguatkan, aku akan berkata sebaliknya. Teman tidak pernah menguatkan. Tidak ada yang dapat menguatkan kamu, kalau kamu saja masih tidak percaya bahwa kamu itu kuat."

4 Tahun Lalu.

Tidak ada hari yang paling buruk, tapi juga tak ada hari yang sempurna untuk Lentera. Entah mengapa akhir-akhir ini dirinya menyadari bahwa dia tidak sempurna seperti yang kebanyakan orang katakan. Lelaki itu benar-benar buruk, tapi dia tidak suka terlihat seperti itu. Dia tidak suka dengan kenyataan bahwa dia tidak sempurna seperti yang Papa inginkan. Dia perlu kesempurnaan itu untuk membuktikan dirinya adalah anak terbaik Papa. Bukan Zidan, bukan si bocah laki-laki penuh cahaya yang menyilaukan itu.

Setelah mobil berhenti, lelaki itu memilih turun lebih dulu diikuti Zidan yang tampak riang di belakangnya. Begitu pula Mama yang tersenyum lebar dengan gaun terbaiknya dan Papa yang begitu berwibawa dengan jasnya. Keluarga itu tampak sempurna—meskipun Lentera tahu bahwa keluarga ini cukup buruk dalam banyak hal. Sesuatu yang akan terus dilindingi Papa untuk tetap menjadi yang terbaik di antara anggota keluarga lain.

Pesta akhir tahun keluarga besar merupakan salah satu pesta yang buruk untuk berbanyak hal. Di sana hanya aka nada orang-orang yang berlomba-lomba menjadi yang terbaik di hadapan Eyang yang sudah sepuh di atas kursi roda dengan asisten yang berdiri takzim di depannya.

Lentera hanya ingin pulang. Selamanya. Tak akan kembali lagi.

"Wih, Lentera si juara dua OSN! Kok turun, sih?" Om Randi mendekat, menepuk bahu Lentera singkat seraya menatap keponakannya dengan sedih—meskipun semua orang tahu tak ada yang sedih atas kekalahan Lentera. Karena semua orang bisa menjadi yang pertama jika Lentera jatuh.

Remaja itu tersenyum tanggung. "Lagi pengin ngalah aja," jawabnya singkat, tak mau terus mengobrol dengan Om-nya itu karena Randi pasti akan mencoba membanggakan Trisna, anak sulungnya yang tahun depan akan memulai kehidupan menjadi siswa SMA. "Oh, iya, bilang ke Trisna jangan keseringan main game, Om. Kemarin bukannya anak Om dapet nilai jauh di bawah KKM?" entah mengapa, Lentera mulai menjadi sosok yang begitu berani serta sombong. Bukan lagi Lentera satu tahun lalu yang masih lemah dan selalu diam saja ketika sedang dibicarakan keburukannya.

Pria itu berubah menjadi orang yang paling tempramen, tak mau dianggap lemah, dan juga egois. Sifat barunya ini seakan-akan memang sejak dulu tertanam jauh dan baru muncul di permukaan.

Om Randi tersentak, menjauhkan diri dari Lentera dimana remaja berumur 17 tahun itu berjalan mendekati Papa yang sedang berbicara dengan Eyang. Lentera ingat bahwa dirinya harus selalu memberi salam pada pria tua yang waktunya sudah terlalu banyak dihabiskan di bumi. Remaja lelaki itu membungkuk sekilas, sebelum mencium punggung tangan Eyang dan menyapnya dengan sopan.

"Malam, Eyang."

Pria tua itu, pria tua yang bahkan tidak ingat letak kamar tidurnya itu tersenyum lemah. "Malam, Zidan. Kok kamu sudah besar?"

Bahkan meskipun Lentera tahu bahwa Eyang sempat menyebut Papanya sebagai Thoriq—Salah satu Om-nya yang sudah tidak pernah hadir ke acara keluarga—Lentera benar-benar benci jika dia disamakan dengan Adiknya yang bahkan sudah bergabung bersama keponakan lain sembari memakan berbagai macam kue. Lelaki berlekung mata tajam itu mengepalkan tangan, hendak marah namun Papa lebih mendahului emosinya yang masih tersekat di tenggorokan.

"Pa, ini Lentera. Zidan sudah lari pergi tadi," Papa mencoba menjelaskan dengan intonasi lembut. Cukup berbeda jika Lentera mengingat kembali kemarahan pria itu beberapa bulan lalu. Hari ketika Lentera kalah dalam OSN—hari yang membuatnya merasakan benci namun tetap menyukai wanita sialan itu. Rafika.

"Apa maksudnya ini, Lentera?!"

"Dua? Kamu piker saya puas dengan ini?"

"Pokoknya ekskul musik lebih baik kamu tinggalkan!"

"Tera?" intrupsi pria paro baya itu, menatap Lentera dengan tajam. "Fokus."

"Ah, iya. Lentera, ya," Eyang kembali berbicara. Tangannya bergerak menyentuh tangan remaja laki-laki yang berdiri kaku di depannya, sembari mengulas senyum kecil. "Lentera anak yang hebat, ya," meskipun Eyang mungkin beberapa detik lagi akan melupakannya lagi—atau lebih tepatnya tidak ingat mana sosok Lentera. Remaja tanggung itu tetap memasang senyum tipis, entah mengapa Eyang dapat memberikan perasaan hangat yang lelaki itu rindukan.

Perasaan yang bahkan akhir-akhir ini mulai perlahan redup dan tidak terbaca keberadaannya.

"Terima kasih, Eyang."

Pesta itu tetap berlangsung secara meriah, diisi oleh obrolan dimana terselip nada ingin meninggikan posisi mereka. Atau tentang anak-anak kecil yang bermain bersama kembang api di halaman. Lentera tetap pada aktivitasnya, layer ponsel yang menampilkan e-book untuk dia baca di bawah lampu taman dan duduk di atas rumput halaman rumah yang terasa dingin akibat udara malam Ibukota yang semakin melembab.

"Kak, Kak. Mau makan ini, gak?"

Tetapi Zidan, bocah laki-laki yang akhir-akhir ini selalu menjadi pusat masalah bagi Lentera pun datang. Membawa sepiring kue cokelat dengan potongan yang besar. Bocah itu tersenyum lebar. "Nih, kue cokelat! Kakak kan—"

"Pergi," Lentera memberi titah, seluruh suara yang sejak tadi ia abaikan kini semakin terdengar kencang dan membuat telinganya berdengung saat remaja itu mulai berteriak tak nyaman. "PERGI GUE BILANG PERGI!!"

"Kak Tera!"

"AAAAAAAA!!"

***

Dua minggu berlalu tetapi Zidan semakin terasa asing di mata keempat temannya. Lelaki itu masih datang ke sekolah, belajar seperti biasa, akan tetapi tidak pernah meninggalkan kursinya ketika mendengar bel istirahat. Padahal biasanya Zidan paling pertama pergi untuk sekadar mengisi perut, sekarang bahkan Lia yang selalu mengantarkan makanan ke kursi cowok itu dan menunggu Zidan menghabiskannya sembari memerhatikan kerjaan cowok itu dari samping. Tentang pertanyaan Zidan dua hari lalu, Lia tidak menjawab dan malah menarik pipi lelaki itu agar sadar dari lamunannya. Sungguh, Lia merindukan Zidan yang jahil dan suka memberinya beberapa gombalan dari yang beneran manis sampai yang bikin mual. Tetapi kali ini seakan tidak ada Zidan yang mengaku-ngaku sebagai Milea hanya untuk menghibur Lia dari cinta sepihaknya pada seorang mahasiswa tingkat akhir bernama Yugi.

"Dan. Nanti sebelum ke tempat les, temenin gue, ya?" Lia memerhatikan cowok itu dari samping, yang asik menyoret-coret LKM Kimia dengan salah satu earphone terpasang di telinganya. "Gue pengin crepes di jalan Utomo. Lo tau kalo crepes itu terkenal banget di Tiktok," ucap gadis itu, masih melobi Zidan untuk memenuhi permintaannya. Karena hari ini tujuan mereka sama, Lia tidak lagi pulang naik ojek online jika keduanya tidak memiliki jadwal les di Nuri.

Lelaki itu menoleh. "Harus banget?" tanya cowok itu dengan raut wajah malasnya. "Gue takut di sana rame, apalagi lo bilang crepesnya terkenal di aplikasi Tiktok."

"Tapi enak, loh!"

"Rame, Li," Zidan langsung menjawab, tak ingin diganggu gugat akan keputusannya. "Nanti aja, ya. Gue bisa beliin lo seluruh outlet crepes kalo lo mau. Kayak Dilan."

Gadis itu lantas mendelik jengkel. "Lo itu Zidan, sahabat gue. Bukan Dilan si karakter fiksi!" gadis itu bersungut, mengambil separo dari bagian roti bakar milik Zidan sembari mencebikkan bibir. "Lo tau kalo gue cuma pengin main berdua sama lo, sebentar aja gak apa-apa. Waktu lo masih banyak buat belajar, kok," balasnya, berdiri meninggalkan Zidan yang diam saja dan tidak perduli sahabatnya itu meninggalkannya sendirian di ruang kelas yang hanya diisi oleh tiga orang lain yang mendekam di belakang.

Lelaki itu mengela napas lelah, memakai satu earphonenya kembali dan kini konsentrasi Zidan pada soal Kimia di depannya seakan terpasok penuh. Cowok itu melupakan roti bakarnya, mendorong makannya itu ke samping dan mulai menyelesaikan soal-soal terakhir dari LKM yang sedang dia pegang. Sampai gejala mual itu kembali hadir, membuat perutnya terasa tidak nyaman, lalu lelaki itu berdiri seraya berlari keluar dari ruang kelas. Dia menatap pantulan wajahnya yang semakin kurus, menyentuh pipinya yang tak lagi berisi dan tersenyum tipis. Dia membayangkan Lentera dengan kehidupannya yang sudah hancur, makan yang tidak teratur, kehidupan yang tidak memiliki satu persen cahaya, dan hari yang semakin lambat dengan tubuh yang tidak dapat digunakan secara benar.

Sedangkan Zidan di sini, hanya karena mendapatkan kegiatan belajar yang terlalu penuh, sudah mengeluh ingin berhenti. Mengapa pula dia tidak bersyukur saja, menjadikan hari-harinya ini tampak biasa seperti hari-hari sebelumnya. Dengan tidak lagi mencoba untuk paling menderita di bumi, karena selamanya hidup Zidan masih lebih baik dari Abangnya yang bahkan sudah mulai terabaikan oleh Ayahnya sendiri. Pria paro baya itu pembohong.

Atau memang Zidan yang terlalu bodoh?

Cowok itu keluar dari kamar mandi, tak sengaja bertemu dengan Ishak dan satu temannya. Adik dari Heri itu tersenyum tipis, masuk ke kamar mandi diikuti satu temannya yang tampak takut-takut melihat Zidan. Mungkin teman Ishak tahu bahwa lelaki di depannya ini adalah teman Kakaknya Ishak yang galak, membuat Zidan juga dianggap sebagai cowok jahat dari sekumpulan pereman.

Zidan tak perduli, berjalan kembali ke kelas dan melirik saat Felix mendatanginya dari belakang. Lelaki itu menunjukkan satu buah permen kaki, memberikannya pada Zidan dengan memasukkan ke dalam saku seragam cowok itu.

"Abis dari mana?"

Zidan menoleh. "Kamar mandi."

Lelaki itu ber-oh panjang, merangkul sahabatnya sedikit kencang. "Lo udah makan roti bakarnya, kan?" tanya Felix lagi, menilai sahabatnya dari samping. Dimana gelengan Zidan membuat Felix jengkel. Cowok itu menjauhkan tangannya dari bahu Zidan, menatap sahabatnya sedih. "Perut lo bisa-bisa kosong, Dan."

"Biarin," balasnya, acuh. "Emang itu tujuannya kok."

"Dan."

"Lix."

Dua remaja itu saling berpandangan, sebelum salah satunya memberi tepukan ringan pada cowok di depannya seraya berkata. "I'm fine," lantas Zidan berbalik, berjalan meninggalkan Felix yang termangu sembari menggenggam permen kaki lain yang sengaja dia beli dua. Satu untuknya dan satu lagi untuk Zidan agar hari cowok itu lebih cerah. Tetapi nyatanya Felix sama sekali tidak bisa menarik cowok itu, atau setidaknya mengajak Zidan berbicara tentang dirinya. Tentang kehidupannya. Atau tentang apa pun yang sedang lelaki itu pikirkan. Entah mengapa Felix baru menyadari bahwa Zidan tidak banyak menceritakan soal kehidupannya selain tentang Lentera atau pun Papanya yang suka bertindak seenaknya.

Lelaki itu baru menyadari bahwa Zidan itu masih terasa asing untuknya, bahkan semenjak 2 tahun lebih ia mengenal lelaki itu.

***

4 Tahun Lalu.

Tidak ada hal yang paling Lentera inginkan selain hidup dengan tenang tanpa hari yang menyibukkan. Namun yang tetap dia dapatkan adalah kegiatan belajar yang terus berputar sampai Tera menyadari bahwa harinya sangat monoton. Kepalanyan semakin berisik, seluruh dunia seperti tengah mengejeknya dan Lentera mulai merasa sendirian di tengah keramaian yang kadang membuatnya sesak. Padahal dulu Lentera begitu menyukai keramaian, suka jika sudah bertemu dua sahabatnya, atau bahkan akan merasa sedih jika harus diam di rumah dengan buku-bukunya yang tampak membosankan.

Lelaki itu keluar dari kamar mandi, melirik beberapa teman sekelasnya dengan datar sembari terus berjalan ke kelasnya sendiri. Helaan napas terdengar, sebelum Tera melangkah ke kursinya dan menarik kursi ke belakang untuk dirinya duduk sebelum membetulkan kursinya kembali. Menoleh ketika Marko memanggilnya.

"Lo ... udah gak apa, apa?" tanya lelaki bermabut acak-acakan itu, menatap Lentera sembari menilainya seakan Tera yang habis dari kamar mandi untuk membasuh wajahnya yang kusut itu tampak berbeda.

Padahal Tera merasa sama saja. "Gak apa, apa," cowok itu kembali duduk lurus, membuka salah satu buku tulisnya untuk menyelesaikan tugas PKn untuk dikumpulkan pulang sekolah nanti.

Marko masih melirik cowok itu, sebelum menggeleng pelan dan mengeluarkan salah satu permen yupi yang dia beli di kantin. Sebetulnya dia cuma iseng, pengin saja beli permen berbentuk bintang warna-warni itu, dan melihat Lentera membuatnya berpikir bahwa mungkin Tera membutuhkan sedikit makanan manis.

Maka dia membuka bungkus permennya, menyodorkannya pada teman sebangkunya itu. "Lo mau?"

Lentera melirik permen milik Marko, menggeleng pelan. "Buat lo aja," ia kembali pada buku soalnya, tak memerdulikan tatapan khawatir Marko yang hanya akan terus membuat Tera merasa tidak enak. Entah pada Marko atau malah pada dirinya sendiri, tetapi satu hal bahwa Tera mulai muak dengan orang-orang. Dia sudah terlalu jauh sekarang, entah dari Marko, atau pun Wira, Jodi, Yoyo dan Adnan.

Lelaki itu mencoba untuk sendirian tiap saat, meskipun Wira terus mendatanginya. Atau Jodi yang mencoba mengajaknya kembali ke ekskul musik, sampai Marko yang selalu mengajaknya berbicara. Hubungannya dengan Yoyo setelah insiden di kantin sudah cukup membaik, karena lelaki itu mencoba memahami Lentera beradasarkan cerita Wira, bagaimana Yoyo mencoba sabar padanya tetapi Tera tetap acuh.

Dia mulai berubah menjadi asing di antara semuanya.

Atau setidaknya, karena merasa bahwa tidak cocok dengan orang lain, lebih baik Lentera menjauh secara perlahan. Walaupun orang-orang akan selalu mendatanginya.

"Ter!" Brian berdiri di depan lelaki itu, menatap si Adik kelas yang sudah bolos ekskul selama 2 minggu dengan khawatir. "Bentar lagi ada lomba, loh. Please, dateng ya? Gue butuh gitaris dan lo yang paling cocok buat bagian ini," kata cowok itu, mencoba menarik perhatian Tera dari buku soalnya yang tampak lebih menarik.

Padahal kalau dilihat sekilas saja, lebih memungkinkan menatap wajah lelaki berhidung bangir dengan rambut hitam acak-acakan di depannya alih-alih soal Matematika yang mulai membuat Brian pusing.

"Lo inget gak, satu tahun lalu—"

"Satu tahun lalu gue cuma nyoba doang, Bang," cowok bermata kecil yang melengkung tajam itu mendongak, menatap lelaki di depannya dengan tatapan dingin yang cukup membuat Marko mengatupkan bibir. "Gue udah mutusin buat berhenti, harusnya lo paham," ia berdiri, berjalan meninggalkan Brian yang terdiam dengan Yugi mengusap-usap bahu cowok itu untuk tidak meledak. Bagaimana pun, emosi sahabatnya memang sedang tidak terkontrol setelah gagal mengambil jurusan musik di salah satu universitas yang ada di Seoul, sehingga Brian harus pasrah pada tujuannya ke jurusan Ekonomi dan Bisnis tahun depan.

Lelaki itu tersenyum tipis. "Satu tahun lalu, lo bilang bakal nyanyiin lagu lo. Inget?"

Lentera diam, memikirkan kapan dia berkata demikian. Tapi alih-alih ingatan yang datang, malah suara-suara berisik yang membuatnya nyaris berteriak.

"Brian itu orang gila musik!"

"Sumpah, lo itu cuma perlu belajar. Gak usah musik-musik lagi!"

"Lo gak takut apa nilai lo makin jelek?"

"Inget, di dunia ini mana ada yang paham sama lo. Cuma lo yang paham diri lo sendiri!"

"Semua orang di sekitar lo cuma benalu, Tera!"

"Lo itu anak sampah!"

"Gue bahkan gak inget kapan gue main musik, Bang," ia membalas seraya pergi meninggalkan Brian yang kini mengela napas kasar sambil mengacak rambut ikalnya hingga makin berantakan.

Sedangkan Lentera terus berjalan keluar, tak sengaja bersitatap dengan Rafika yang sepertinya ingin masuk ke dalam kelas diikuti bel masuk terdengar. Tapi cowok itu melewati gadis tersebut dengan dingin.

Semua orang memang tidak pantas untuknya.


a.n

Aku lagi pengin upload cepet. Kayaknya cerita ini mau aku buru-buruin tamat di wattpad wehehehe

Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

4.3M 252K 54
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
847K 24K 55
Zanna tidak pernah percaya dengan namanya cinta. Dia hanya menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang merepotkan dan tidak nyata. Trust issue nya so...
1M 33.4K 45
-please be wise in reading- ∆ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ∆ Tentang Vanila yang memiliki luka di masalalu dan tentang Vanila yang menjadi korban pelecehan...
34.4K 1.4K 23
Author : AngeLeeteuk Kumpulan cerita pendek tentang member SJ,mulai dari wamilnya sang leader, skandal yang di alami Eunhyuk,hingga kejutan dari Ki...