Semua sudah berada di ruang makan.
Ayah Serigala kelihatan berubah sangat drastis ketika bertemu warga lokal.
“Tadi, siapa yang mau dilempar ke laut?” Pria itu memandang Axel dan Mai sembari tertawa ramah. Sekalipun ramah, tapi mampu membuat Axel gerah.
“Axel, Om,” sahut Mai cepat.
Dia menggeret salah satu kursi makan, lalu mendudukinya. Posisi duduknya bersebelahan dengan sang ibu, sementara Axel dan ayahnya ada di seberang meja.
“Ngomong-ngomong, bau kamu mirip kue, ya?” Ayah Serigala melirik anaknya.
Axel diam saja. Sudah mandi sampai menggosok tubuh berulang-ulang kali, tetapi ternyata itu tidak cukup menghilangkan bau baju tidurnya yang telah dipakai Mai. Padahal, malam itu Mai menggunakannya sebagai rangkap saja.
“Kue?” ulang Mama yang malah penasaran sedang bicara apa pria itu, mendadak membicarakan kue.
“Gak apa-apa, Bu, Ini sudah baikan? Kata Axel ibunya lagi sakit?” tanya Ayah Serigala mengalihkan pembicaraan.
Mama menjawab, “gak apa-apa, Pak.”
“Oh iya, Bu, maaf datang mendadak dan telat memperkenalkan diri, saya ayahnya Axel, nama saya Ax.”
“Ax? Aks? Eks?” Mama spontan bingung melafalkannya.
Itu adalah nama yang sangat asing untuk ukuran warga pribumi. Baru kali ini, dia mendengar ada bapak-bapak bernama Ax.
“Aks,” ralat Ayah Serigala.
Axel menahan tawa saat Mama melafalkannya dengan 'Eks'. Dia tahu kalau itu bukan nama lengkap sang ayah, tapi memang tetap lucu ketika dilafalkan.
Kapak? Geng kapak?, Pikir Mai teringat bahasa Inggris dari kapak yaitu Axe. Dia langsung paham kenapa karakter ayah Axel garang sekali, memang namanya saja kapak.
“Jangan eks, Bu, nanti jadinya mantan,” tambah Ayah Serigala sambil tertawa ringan. Niat bercanda, tapi tidak ada yang tertawa.
Baru beberapa detik kemudian, Mama tertawa. Telat memang, karena wanita ini lebih mahir matematika ketimbang bahasa Inggris. “Oh, Ex? Eks, iya, iya ...”
Kini tidak hanya Axel yang ingin tertawa, Mai menahan tawa sampai wajahnya penuh kerutan. Dia tidak tahu ternyata Ayah Axel tetap saja berjiwa bapak-bapak.
Mama balik memperkenalkan diri. “Saya ibunya Mai, Pak Ask—”
“Aks, Bu, kalau Ask itu bertanya,” potong Ayah Serigala tertawa palsu. Dia tidak menyangka kalau ibunya Mai separah ini telinganya.
“Kok bisa bertanya, Pak?” Ini pertanyaan wajar dari orang yang tidak tahu bahasa Inggris seperti Mama.
“Iya, karena artinya bertanya, Bu,”
“Oh, A-es-ka itu, ya?” Mama sekali lagi tertawa. “Maaf, Pak Aks.”
Harusnya direkam ini, pikir Mai masih menahan tawa sampai wajahnya kaku seperti patung.
Mama melanjutkan perkenalannya, “nama saya Frida, Pak Aks, Frida gak pakai Y.”
“Ibu bisa aja,” kata Ayah Serigala kembali tertawa, “Terus, ini ibunya cuma tinggal sama suami dan Mai? Bertiga saja?”
“Iya, Pak.”
“Oh, berarti kalau ada hari besar, pasti ngucapinnya seganjil keluarga, ya?”
Mama sempat diam dua detik sebelum akhirnya paham maksud candaannya itu. Dia pun tertawa.
“Oh iya, sekarang suami Ibu sedang dimana? Kerja?”
“Suami saya lagi di kantor polisi sekarang.”
“Ditangkap?”
“Dia polisi, Pak.”
Ayah Serigala tertawa, dan langsung berkata, “maaf ya, Bu, itu bercanda. Saya tahu ayahnya Mai itu polisi.”
Tidak tersinggung, Ibu Mai ini ikut tertawa. Mereka berdua sepertinya sudah cocok untuk menjadi keluarga besar. Selera humor mereka satu frekuensi.
Saling lempar guyonan tidak bermutu ini membuat Axel malu bukan main. Sementara itu, Mai malah ikut tertawa terbahak-bahak.
“Renyah sekali, Yah,” komentar Axel lirih sekali, “sangat renyah.”
“Ya, jadi orang itu auranya harus nyenengin, kalo orang-orang itu bilangnya hidup untuk membadut, bikin ketawa orang, biar gak cepet tua. Ketawa dong, jangan tegang-tegang terus, lihat Mai aja ketawa.”
Axel melirik Mai yang tidak bisa berhenti tertawa. “Iya karena dia emang receh.”
“Jangan diem, makan, tidur kayak sapi gini, Xel, nanti Cow eat.”
“Apalagi ini?” Beberapa detik kemudian, Axel paham. Sekalian saja, dia pun memplesetkan artinya, “Oh, Maem pus alias mampus?”
Mai tertawa sampai berlinang air mata melihat mereka yang seperti duo pelawak garing. Semakin aneh lawakan tersebut, semakin layak ditertawakan.
“Apa sih, Mai?” Axel bingung dengan apa yang harus ditertawakan.
Seumur hidup dia akan hidup bersama orang seperti Mai. Axel memikirkan nasibnya. Dia adalah manusia serigala yang hidupnya bisa ratusan tahun, dan Mai juga akan mewarisi awet mudanya. Itu artinya dia akan bersama pasangan receh selama ratusan tahun.
Neraka, pikir Axel.
Mama tersenyum manatap keakraban mereka bertiga. Dia lantas menikmati jus buah alpukat yang telah dibuat sebelumnya.
Namun, beberapa saat kemudian, kepalanya terasa berputar. Sambil memegangi kening, dia bergumam, “ini ... Kenapa ... tiba-tiba ... Vertigo?”
“Ma? Ada apa?” Mai memegangi tangan ibunya.
Mata Mama berkunang-kunang, rasanya seperti aliran darah berjalan lambat. Akibatnya, tubuh itu menjadi lemas seketika. Tidak ada tenaga, dan lima detik kemudian pingsan di tangan Mai.
Axel dan ayahnya terkejut. Mereka berdiri bersamaan, dan mendekati wanita itu.
“Mama?” Mai panik. Belum pernah dia melihat ibunya tidak bertenaga sampai pingsan. “Ma? Mama!”
Axel membantu Mai untuk memegangi tubuh Mama agar tetap tegap di kursi. Sementara itu, si Ayah Serigala mencium isi minuman di dalam gelas.
Mai menyerahkan ibunya pada Axel, lalu berdiri sembari mengotak-atik ponsel mencari nomor kontak sang ayah. Dia mondar mandir dekat meja, menanti teleponnya tersambung. “Papa, angkat dong ... Pa ...”
Axel melihat sang ayah. “Yah, ini kenapa?”
Karena tidak mencium adanya hal aneh, Ayah Serigala terpaksa meminum jus tersebut. Barulah, saat itu dia merasakan adanya sensasi aneh seperti membakar lidahnya. Ini adalah bukti ketika ada racun, tetapi dia yakin ini tidak mematikan.
“Kok bisa gak berbau? Ini apa?” Ayah Serigala sangat serius. Dia pun curiga ada hubungannya dengan peristiwa di sekolah Axel. Jadi, dia mencari kulit buah alpukat di tempat sampah sekitar situ.
“Nyari apa, Yah?” tanya Axel.
Setelah diobrak-abrik, kulit alpukat ditemukan dan ditemukan,, tapi tidak ada apapun. Tak menyerah, Ayah Serigala membuka lemari pendingin di sana, dan mengambil sisa buah alpukat yang masih disimpan.
Ada satu alpukat yang masih tersimpan, dan ketika dia meneliti seluruh kulitnya, terlihatlah ukiran kecil bertulisan Andalas.
Andalas, kata yang juga ditemukan oleh Axel ketika Mai dimasukkan ke dalam lemari gudang sekolah.
Saat alpukat itu ditunjukkan, dia sudah paham apa yang terjadi. Pandangan matanya jatuh ke Mama, lalu beralih ke Mai yang panik di telepon, dan terakhir pada sang ayah.
Melalui mind link, dia berkata, kita bawa keluarga Mai ke rumah saja, Ayah, mereka mengancam kita.
Boleh saja, tapi pertama kita harus memberitahu mereka siapa kita, balas sang ayah.
“Iya,” sahut Axel lirih sekali. Ia tertunduk lesu memandangi Mama yang masih pingsan, merasa kalau ini memang salahnya.
Jangan salahkan dirimu, jodoh itu artinya berbagi takdir, keluarganya, keluarga kita juga, ucap ayahnya melalui pikiran.
Axel tidak yakin konsep jodoh di dunia serigala bisa masuk ke manusia biasa. Dia melihat Mai kembali. Baginya, gadis itu begitu normal dan rapuh. Andai saja tidak berjodoh dengannya, pasti hidupnya akan jauh bahagia.
Hal berbahaya semacam ini pasti akan terulang di kemudian hari. Bentrok antar kelompok itu biasa di dunianya, tapi tidak di dunia manusia biasa.
Mai tampak selesai menelpon ayahnya. Dia kembali memegangi ibunya sambil bilang, “sebentar lagi Papa, dokter, sama ambulans datang.”
Ayah Axel menenangkan, “kamu jangan panik, Mai, ibu kamu baik-baik saja. Sepertinya ada yang membuatnya tak sadarkan diri.”
“Sengaja? Maksudnya diracun? Tapi oleh siapa? Sejak kemarin Mai ada di rum— eh ...” Mai mengingat kalau semalam dia dan Axel tidak ada di rumah. Bulu tengkuknya berdiri, membayangkan ada orang jahat masuk rumah ketika sang ibu sendiri.
“Tapi ... Mustahil, Mai udah ngunci pintu .... Gak ada orang .... ” Ucapnya kembali.
“Iya itu kalo orang biasa,” sahut Axel masih tertunduk bersalah, “inilah juga alasan aku gak mau keluar rumah.”
Mai syok sampai kehabisan kata-kata. Kini tidak hanya dirinya yang menjadi target, sekarang ibunya pun sengaja dibuat seperti ini sebagai ancaman.
Ayah Axel berkata, “Kita harus bicara setelah ayahmu datang, Mai, kita berlima, sudah gak bisa disembunyi'in lagi. Kamu harus cerita sama orangtua kamu siapa kami. Setelah itu, kalian akan ke rumah kami, kami akan jaga kalian.”
Mai hanya diam, menandakan kalau sudah setuju. Ini sudah tidak bisa didiamkan lagi, waktunya membongkar semua rahasia.
***
NOTE.
Halo, bab selanjutnya kumpul-kumpul keluarga dulu.
Btw, kalau akhir-akhir ini aku jarang muncul, sorry, gak nyangka sih kalau ada masalah, padahal niatnya mulai rutin up.
Kemarin itu ada someone yang depresi, aku jadi ikutan stress, harus ngecek keadaannya tiap hari, tiap saat, soalnya bahaya banget kalau lagi depresi.
Dia itu bipolar, kalau lagi fase depresi, pasti molor sampai lupa waktu atau mikir bundir mulu, kalo lagi fase mania, ya harus sabar nemenin soalnya jelas dia lupa kalau cuma manusia biasa yang bisa mati karena banyak hal.
Aku paham, soalnya aku kadang gitu, makanya aku gak bisa biarin orang kayak gini sendirian, bahaya, harus selalu dipantau.
Tapi untungnya sekarang dia udah reda, jadi aku ikut tenang. Pusing pala kalau lagi gini, apalagi kalau orangnya toxic dan gak bisa terbuka.
Mungkin untuk pembaca baru, kalian belum tahu, dibalik penulis cerita humor ini, ada kehidupan yang dipenuhi orang toxic. Tapi, untungnya walaupun penuh toxic, sebagian temanku itu badut, jadi sedikit tenang aja 👌