Hallo... pdf Sah menikah dg mantan sudah ready versi ebook, pdf & di kbm aplikasi tersedia yaa...
Yg mau ikutan promo 100k dpt 12 judul bisa yaa di order via wa ke 088973689642
1. Baby and me
2. Akibat pernikahan dini
3. I love ayah
4. The baby is mine
5. Baby daddy
6. Istri mudaku
7. Our secret
8. Our baby
9. Terikat luka
10. Sah menikah dg mantan
11. Fantastic baby
12. Friend with benefit
13. Wedding disaster
14. Bittersweet marriage
15. Terikat cinta
16. Bulan the secret wife
Bayar 100k dpet 12 judul2 di atas.. bebas pilih judul, pdf akan d kirim stlah transaksi yaaahhh..
Happy reading
***
Kesedihan terlihat jelas di wajah-wajah keluarganya ketika Evran sampai. Pria itu datang dengan nafas tersenggal akibat berlari dari lobby sampai ke ruangan Zoya. Dan ekpresi kalutnya nampak kentara, Namima sendiri merasa iri melihat betapa di cintainya Zoya.
"Bagaimana keadaannya?" Dengan nafas tersenggal, Evran bertanya penuh khawatir.
"Dia kehilangan bayinya..." jawab Evan lirih.
Bahu Evran lunglai. "Aku mau masuk..."
"Dia belum sadar..." cegah Evan lagi. "Dokter bilang, kita hanya boleh menunggunya di luar."
"Tapi aku harus temani dia, Van. Zoya pasti sangat terpukul!"
Maria menyentuh bahu Evan seraya menatap mata cucunya lantas mengangguk. "Biarkan dia masuk, dia berhak ada di samping Zoya, Van."
Setelah mendapatkan izin dari neneknya, Evran langsung melangkah memasuki kamar untuk menemui Zoya.
Namima bisa melihat kesedihan di mata pria itu. Apa jika sesuatu terjadi pada anaknya, Evran akan merasakan kehilangan yang sama? Kesedihan yang ia lihat atas kehilangan janin Zoya membuatnya bertanya-tanya. Tapi, kenyataan bahwa Evran membenci putranya menyadarkan Namima. Tentu aja, Evran tidak akan pernah merasa kehilangan, karena Langit bukanlah prioritas pria itu.
"Kak Evan, aku pamit pulang..." panggilan Namima membuat pria itu menoleh.
"Oh, iya Mima... naik taksi online saja, ya?"
Namima mengangguk. Begitu mendengar kabar yang menimpa Zoya, Mima langsung datang ke rumah sakit dan meninggalkan bayinya bersama baby sitter yang menemaninya di rumah Evan. Dia mengkhawatirkan kondisi Zoya. Pasti kakak iparnya itu sangat terpukul sampai perempuan itu harus kehilangan buah hatinya. Namima sangat menyesali apa yang telah terjadi, tapi dia sendiri bahkan tidak bisa merubah takdir!
"Nenek juga pulang, Van..."
"Papah juga... ayo, ma... kita pulang!" Erlangga meraih tangan ibunya usai berpamitan. Kini hanya menyisakan Evan dan Amel yang masih berada di ruang tunggu.
"Van.. Kak Evran sudah disini, sebaiknya kita pulang..."
"Tunggu sampai dia sadar, Mel..."
Amel sedikit kecewa dengan jawaban Evan. Kenapa mereka harus menunggunya padahal suami Zoya sudah ada di samping wanita itu. Apa kekhawatiran Evan jauh lebih besar di bandingkan Evran sebagai suaminya?
Entahlah... perasaan itu sedikit mengusik Amel.
"Tapi Kak Evran sudah disini..."
"Mereka bisa saja kembali bertengkar..."
"Itu kan urusan mereka. Bukan ranah kita untuk ikut campur..."
"Iya.. tapi..."
"Aku pulang sendiri," putus Amel, perempuan itu berdiri, berniat menggertak Evan sebenarnya.
Tapi
"Aku pesankan taksi online, ya?"
Amel menatap Evan dengan tatapan tidak percaya, kemana cinta pria itu untuknya? Kemana kekhawatiran dan perhatian itu, bahkan saat ini Amel tidak menemukan itu di mata Evan! Kenapa hanya ada tatapan penuh khawatir untuk Zoya saja? "Nggak perlu. Aku bisa pesan sendiri..."
"Aku antar, Mel. Aku bisa balik lagi kesini nanti..."
"Nggak usah, kamu tunggu saja sampai Zoya sadar. Aku bisa pulang sendiri!" Amel menghentakan kakinya sebelum pergi, perasaan kecewa itu menyentak ulu hati.
Bahkan entah apa yang di pikirkan oleh Evan ketika pria itu lebih peduli dengan keadaan sahabatnya di banding istrinya. Hingga membiarkan Amel pergi dan pria itu sama sekali tidak mengejarnya.
***
Ruangan itu nampak hening. Hanya suara isak tangis Zoya yang terdengar saat ini. Tidak ada luka yang lebih menyakitkan saat kita di tinggal oleh orang terkasih, apalagi kali ini— Zoya harus kehilangan bayinya. Anak yang telah lama dia harapkan hadir di tengah-tengah hubungan pernikahan mereka telah tiada. Meski saat ini, hubungannya bersama Evran tidak baik-baik saja, tetap saja kehilangan janinnya mejadi hal yang menyakitkan bagi Zoya.
"Maafkan aku, Zoya..." Evran berbicara dengan lirih serta penuh penyesalan. "Kalau saja aku tidak membuat masalah, dia pasti akan tumbuh baik di rahimmu!"
Zoya menoleh dengan air mata berderai, wanita itu menatap Evran dengan ekspresi kecewa. Ketika tatapan keduanya beradu, sorot Evran jelas menggambarkan penyesalan yang mendalam. Padahal disini, bukan hanya Evran saja yang salah, dirinya juga merasa bersalah karena ceroboh dan tidak menjaga bayinya dengan baik.
"Seharusnya kamu yang pergi dari hidupku, bukan anakku, Vran!" Kemarahan dalam suara Zoya menggetarkan hati Evran.
Benar, seharusnya dia pergi, bukan anaknya.
Evran mengangguk. "Iya, seharusnya aku yang pergi..." pria itu menyahut dengan lapang dada, jika menyakitinya bisa membuat Zoya merasa lega, Evran akan coba terima.
"Aku muak melihatmu... aku membencimu! Kalau saja kamu membiarkan aku pergi, aku yakin dia masih ada disini...." Zoya menyentuh perutnya dengan perasaan hampa. Bayinya kini telah tiada.
Evran tidak bisa berkutik. Seandainya waktu bisa di putar sebentar saja, lebih baik dia kehilangan Zoya sementara dan melihat anaknya lahir daripada harus merasakan kehancuran yang sama seperti hari ini.
"Maafkan aku!" Evran menunduk dengan air mata yang menetes. Pria itu mencoba menyembunyikan lukanya.
"Pergilah," pinta Zoya lirih. "Aku nggak mau melihatmu lagi, Vran. Cukup sampai disini. Aku sudah kehilanganmu, dan sekarang aku harus kehilangan anakku..."
Evran mendongak untuk menatap Zoya. Ketika tatapan keduanya beradu, hanya ada luka di mata mereka.
Iya, luka yang sama.
Luka akan kehilangan yang mereka rasa. Serta luka karena mereka kehilangan satu sama lain.
Evran berdiri, namun sebelum pergi pria itu ingin menyampaikan "Jaga dirimu baik-baik, Zoya. Aku harap setelah ini kamu bisa hidup dengan baik dan bahagia!"
Untuk terakhir kalinya, Evran menatap Zoya, kali ini tatapannya menyiratkan luka dan cinta. Terpaksa, dia harus melepaskan cintanya meski ia terluka. Terpaksa dia harus terluka untuk membuat cintanya bahagia.
Pria itu berbalik pergi, meninggalkan cintanya dan membiarkan dia bahagia tanpanya.
Usai pintu tertutup rapat, Zoya tergugu oleh tangisnya. Detik itu juga, Zoya juga telah melepaskan cintanya pergi. Saat ini juga, Zoya telah menangisi cinta dan buah hatinya.
Zoya menangis karena luka di hatinya semakin menganga lebar. Air mata meleleh membanjiri pipinya dan kenangan manis bersama sang suami harus dia kubur dalam-dalam bersama hilangnya cinta mereka.
Evan berdiri saat Evran keluar dari ruangan Zoya. Pria itu nampak lebih kacau dari sebelum dia datang.
"Apa sesuatu terjadi padanya? Dia menangis, Vran? Apa yang kalian bicarakan?"
Evran menoleh dengan senyum di bibirnya. Senyum yang bahkan Evan tahu bahwa itu adalah senyuman terpaksa yang pria itu tunjukan padanya.
"Temani dia, Van. Temani sampai dia merasa baik-baik saja." Usai menepuk bahu adiknya, Evran melangkah pergi setelah memberikan beban di pundak Evan.
Menemaninya?
Kenapa harus dia?
Kenapa bukan Evran saja?
***
Suara deru mobil membangunkan Amel yang tidak sengaja tertidur di sofa ruang tamu. Gegas, perempuan itu berdiri dan membuka pintu lebar demi menyambut kepulangan Evan. Jam menunjukan pukul 11 malam, seharusnya rumah sakit sudah menutup jam besuk kan?
Amel harus mendesah kecewa karena bukan Evan yang mengendarai mobil yang baru saja memasuki halaman rumah, tetapi pria itu adalah Evran yang berjalan gontai.
"Kak Evran..." panggilan Amel mengambil alih perhatian pria itu.
"Kamu belum tidur, Mel? Sudah malam, lho..."
Amel nampak gelisah. "Evan nggak ikut pulang, Kak?" Kecemasan menghiasi wajah Amel.
"Evan menemani Zoya di rumah sakit, Mel. Aku yang memintanya..."
"Tapi... kenapa bukan kakak saja?" Amel berucap lirih, takut-takut kalau Evran tersinggung.
Evran tidak bisa menyembunyikan ekspresi kecewanya di wajah pria itu. "Iya, mau bagaimana lagi? Dia nggak mau melihatku lagi... jadi satu-satunya jalan ya aku mengalah saja. Evan ada disana untuk menemani Zoya, karena cuma dia yang bisa memahami Zoya."
Melihat raut kecewa menghiasi wajah Amel, Evran berkata, "Aku minta maaf, Mel. Karena cuma Evan yang bisa mengendalikan Zoya saat ini. Sebaiknya kamu tidur, ini sudah malam. Besok Evan pasti pulang. Aku sudah mengabari keluarga Zoya, besok mereka datang dari Semarang untuk menemani istriku..."
Evran hendak melangkah namun pertanyaan Amel menghentikan kakinya. "Bagaimana dengan hubungan kalian?"
Amel memutar tubuhnya untuk berhadapan langsung dengan pria itu.
"Mungkin berpisah adalah jalan terbaik untuk kami..."
"Dan kakak setuju begitu saja?"
"Mau bagaimana lagi? Dia memintanya... dan sudah tidak ada apapun yang mengikat kami."
"Tapi bukankah kalian saling mencintai? Kalau kalian berdua berpisah, bagaimana denganku dan Evan?"
Evran terkekeh pelan, alih-alih merasa marah karena Amel membahasnya. "Ya, mungkin kami saling mencintai, tapi cinta kami saling melukai, Mel. Kamu takut Evan berpaling pada Zoya, heh?"
Amel menunduk malu, ketakutan itu tentu menghantuinya.
"Adikku jelas mencintaimu. Dia nggak akan meninggalkanmu karena Zoya. Baginya, Zoya hanya seorang sahabat, sementara kamu.... dia menjadikanmu ratu di hatinya. Tidak usah meragukan perasaan adikku, Mel. Kalau dia menginginkan Zoya, dia sudah memperjuangkannya sejak dulu..." setelah memberikan senyuman terbaiknya, Evran meneruskan langkahnya yang sempat terhenti sementara Amel masih terpaku di tempatnya berdiri.
Benarkah Evan seperti itu di mata Evran?
Tapi, ketakutan itu menghantui Amel. Dia masih merasa kecewa karena evan memilih menunggu dan tetap berada di sisi Zoya di banding pulang dan memeluknya.
******
Amel merasa ragu dg perasaannya.. huwaaaa... di uji bgt disini nih..
Mulai kelihatan yaaa konfliknya 😁😁😁
Vote dan komennya di tunggu..
See you teman2.. bsok mampir ke terikat luka yaa..