Sean tengah melahap makanan yang telah Katrina hangatkan beberapa menit yang lalu. Pria itu duduk di atas kursi makan setelah selesai turun dari lantai atas dan berpakaian. Sean tampak seperti remaja keren jika memakai kemeja milik Dante itu. Tampak gagah dan berkarisma, dengan kedua kancing teratas kemejanya yang tidak dikancing, karena terlalu ketat jika dikancingkan.
Katrina berdiri memperhatikan Sean yang tengah memakan makanannya. Sebenarnya, tadi ia hendak kembali ke kamarnya. Namun, Sean memaksanya untuk menemani pria itu makan di sini. Katrina pun akhirnya menyetujuinya dengan setengah hati.
“Kamu kenapa tidak duduk?” tanya Sean memasukkan satu sendok nasi dan lauk-pauk ke dalam mulutnya.
“Tidak apa-apa. Kamu makan saja dengan tenang, tidak usah banyak bicara kalau lagi makan!”
Sean tersenyum disela kunyahannya. Perkataan Katrina barusan merupakan sebuah bentuk perhatian. Itu pikir Sean.
“Aku sudah selesai.” Sean mengelap bibirnya menggunakan tisu yang tersedia di atas meja makan, lalu mengambil segelas air putih. Meneguknya hingga tandas tak tersisa.
Sean beranjak dari tempat duduknya. Sementara itu, Katrina membereskan piring dan gelas yang barusan Dean gunakan untuk makan. Mencucinya di tempat cucian peralatan.
Setelah selesai, Katrina menyusunnya kembali ke tempat asalnya.
Grep!
Tubuh Katrina menegang saat sebuah tangan kekar melingkar mesra di pinggangnya. Sean memeluk Katrina dari belakang, meletakkan dagunya di bahu kanan Katrina.
“Apakah kamu masih tidak ingin mengambil keputusan yang tepat? Aku tidak bisa menunggu lagi, Sweety." Sean berbisik tepat di telinga Katrina. Hembusan nafas hangatnya membuat Katrina merinding.
“Aku tidak tahu, lepaskan aku!” Katrina mencoba lepas dari pelukan Sean, tapi Sean malah semakin mengerat pelukannya.
“Apakah kamu tidak memikirkan keadaan anak-anak? Mereka membutuhkan sosok seorang ayah. Mereka membutuhkan kehadiranku sebagai ayah mereka,” ujar Sean lalu melepas pelukannya terhadap tubuh Katrina. Sean kemudian membalikkan paksa tubuh Katrina agar menghadap ke arahnya.
“Jangan bersikap egois, Katrina. Mereka menginginkan figuran seorang ayah untuk melengkapi kebahagiaan dalam sebuah bentuk keluarga kecil. Mereka—”
“Aku tau itu, Sean. Aku tahu dan mengerti, tapi aku masih belum yakin kalau kamu bisa menjadi ayah yang baik untuk mereka. Perlakuanmu yang semena-mena dulu padaku, membuatku trauma dan bimbang sampai sekarang. Aku tidak bisa semudah itu mengambil sebuah keputusan, karena ini menyangkut kebahagiaan dan masa depan kedua anakku!” potong Katrina tegas.
“Ralat, Katrina. Mereka juga adalah anakku. Anak kita!” tegas Sean.
Katrina menghela napasnya, “Sudahlah, untuk saat ini aku tidak mau membahas soal ini dulu. Biarkan semuanya berjalan dengan semestinya. Aku—”
“Apa maksudmu?! Katrina, aku tersiksa dengan semua ini. Apakah kamu tidak bisa mengerti hal itu? Kamu hanya memikirkan perasaanmu saja, tapi tidak perasaanku! Aku membutuhkan kalian. Kalian adalah kebahagiaanku!”
“Lihat saja, bahkan sekarang kamu kembali ke sifatmu dulu. Egois dan tidak mengerti perasaanku. Kamu berkata, seolah-olah hanya kamulah yang menderita.” Katrina menggelengkan kepalanya sembari tersenyum pahit.
Sean meredupkan tatapannya. Barusan dia kelepasan diri. Untung saja tidak sampai berteriak.
“Maafkan aku, Sayang. Aku berkata seperti itu, karena aku sudah merasa sangat frustrasi dan menderita. Tanpa kehadiranmu dan kedua anak kita, rasanya kehidupanku tidak lengkap. Hampa dan kosong.”
“Kamu—” Katrina menghentikan ucapannya, saat mendengar handphone-nya yang berada di saku celana kulotnya berdering.
Katrina merogoh handphone-nya. Ternyata Abraham yang menghubunginya.
“Siapa?” tanya Sean penasaran.
“Daddy Abraham,” jawab Katrina hendak mengangkat telponnya, tapi dengan cekatan Sean mengambil alih handphone itu dari tangannya.
“Sean, apa yang—”
“Kamu diam! Aku yang akan berbicara dengan Daddy!” potong Sean cepat.
Sean mengangkat telpon itu, lalu menunggu Abraham menyapa dari seberang sana.
“Apa kabar, Menantu?” sapa Abraham di seberang sana.
“Kabar kami baik, Daddy!” Suara bariton Sean yang rendah mengagetkan Abraham di seberang sana.
“Lho, Sean?! Kok kamu yang nyahut sih?!” Suara Abraham terdengar kaget.
“Kenapa memangnya Daddy? Apakah Daddy pikir aku tidak mengetahui semuanya?! Sayangnya Daddy salah, aku sudah mengetahui semuanya Daddy.”
“Pantas saja kamu tidak mengangkat telpon dari Daddy. Daddy memang sudah curiga kalau kamu sudah mengetahui semuanya.”
“Daddy benar-benar licik. Bisa-bisanya Daddy memisahkanku dari istriku sendiri. Padahal, aku sangat memercayai Daddy.”
“Kamu sendiri yang salah, karena menyakiti Katrina dulu! Daddy hanya ingin memberikanmu pelajaran, suapaya kamu menyesal dan tidak menyakiti Katrina lagi.”
“Aku sudah menyesal, Daddy. Dan aku mohon, Daddy jangan mencampuri urusan kami lagi. Saat ini aku sedang berjuang untuk meluluhkan hati Katrina kembali, doakan aku agar berhasil Daddy.” Sean menatap Katrina. Membuat Katrina memalingkan wajahnya ke arah lain.
“Baiklah kalau begitu, Daddy akan mendoakanmu. Yang semangat berjuangnya, Son.”
“Thanks, Daddy. Kalau begitu aku tutup telponnya.”
“Eh, jangan dulu. Daddy mau berbicara dengan Katrina!”
“No, Daddy! Aku sedang ingin berduaan dengannya, jangan mengganggu kami.”
Tut!
Sean mematikan sambungan teleponnya tanpa dosa, membuat Katrina mendelik tajam menatap kepadanya.
“Apa-apaan kamu ini?! Dasar tidak sopan!” ketus Katrina merebut handphone-nya dari tangan Sean.
Sean tertawa, “Sekali-kali tidak sopan sama Daddy, tidak masalah, Sweety.”
“Kamu memang selalu tidak sopan!” ketus Katrina kemudian hendak melenggang pergi menuju kamarnya, tapi dengan cepat Sean menahan pergelangan tangannya.
“Ada apa lagi?!” tanya Katrina agak menaikkan nada suaranya. Kesal.
“I love you,” ungkap Sean lalu mengecup kening Katrina selama beberapa detik.
💧💧💧💧
Setelah beberapa menit yang lalu selesai sarapan pagi bersama kedua anak kembarnya, Katrina kini tengah menyiram tanaman di depan rumahnya.
Hari ini tanggal merah, jadi si kembar tidak pergi ke sekolah. Libur.
“Mommy!” Dara berlari keluar rumah dan menghampirinya dengan boneka barbie di pelukannya.
“Ada apa, Sayang?” tanya Katrina sembari tetap menyiram tanamannya.
“Paman Sean sudah pulang? Kenapa tidak ada?”
“Iya, dia sudah pulang.”
“Kapan?”
“Tadi setelah subuh.”
“Yaaaahh ... padahal Dala pengen main baleng Paman Sean lagi,” keluh Dara mengerucutkan bibir mungilnya.
Katrina tersenyum tipis. “Kamu udah mandi?”
“Belum, Mommy.”
“Kalau Kak Gara?”
“Kak Gala lagi mandi. Aku juga nanti mandinya setelah Kak Gala mandi.” Dara terdiam sejenak, lalu kembali berujar, “Mommy ....*
“Ya, ada apa?” Katrina menghentikan aktivitas menyiram tanamannya, karena semuanya sudah selesai disiram.
“Hali ini kan hali libul, Dala mau jalan-jalan Mommy.”
“Jalan-jalan ke mana?”
“Ke mana aja, yang penting jalan-jalan.”
“Baiklah. Kita akan jalan-jalan, tapi sekarang kamu harus mandi dulu.”
“Siap, Mommy. Yaudah kalau gitu Dala mau mandi dulu ya, Mommy. Dala sayang Mommy!” seru Dara tersenyum. Memamerkan gigi susunya.
Katrina terkekeh pelan, lalu melangkah memasuki rumah. Menyimpan alat yang tadi ia gunakan untuk menyiram tanaman kembali ke tempatnya.
Katrina pergi ke kamarnya untuk mengambil tas dan handphone-nya. Setelah itu, Katrina pergi ke kamar si kembar untuk memastikan apakah mereka sudah bersiap atau belum.
Ceklek!
Katrina membuka pintu kamar kedua anaknya. Gara dan Dara memang satu kamar, tetapi pisah ranjang. Mereka berdua punya ranjang sesuai motif kesukaan masing-masing. Gara yang ranjangnya bermotif power rangers, sedangkan Dara hello kitty. Semuanya bermotif sama, dari mulai bantal, bantal guling, dan selimut.
“Gara,” panggil Katrina kepada anak laki-lakinya yang tengah bermain dengan robot-robotannya di atas ranjang tempat tidur.
“Eh, Mommy. Apa benel hali ini kita jalan-jalan?”
“Iya. Dara masih mandi?”
“Iya, Mom. Mommy aku pengen makan di lestolan yang ada ayam golengnya gitu,” pinta Gara.
“Iya, nanti kita akan makan di sana. Sekarang, kamu bereskan semua maiann kamu ini. Simpan kembali ke tempatnya.”
“Baik, Mommy.” Gara pun membereskan semua robot-robotan yang tadi ia mainkan.
Tak berselang lama, Dara keluar dari dalam kamar mandi dengan handuk yang melilit di tubuh mungilnya. Bocah itu berjalan ke arah lemari, membukanya dan mengambil beberapa pakaian yang diperlukan untuk hari ini.
“Mau Mommy bantu?” tawar Katrina lembut.
"Tidak usah, Mommy. Dala bisa sendili,” jawab Dara mulai bersiap dengan pakaiannya.
Setelah selesai berpakaian, Dara kemudian duduk di kursi yang biasa ia gunakan untuk berkaca.
“Biar Mommy kepang rambutnya.” Katrina menghampiri putrinya, dan mulai mengepang rambut panjangnya menjadi dua.
“Nah, sudah selesai. Cantik sekali putri Mommy ini!” Katrina mencubit pelan kedua pipi Dara yang gembul. Merasa sangat gemas.
“Ayo belangkat, Mommy!” seru Gara menarik pelan pakaian yang Katrina gunakan.
“Iya, Sayang.”
💧💧💧💧
To be continued....
Mommy cantikkk....
Daddy tampan....