Double up!
Jangan lupa votementnya!!!!
Beberapa tahun kemudian, Tena sedang menyuapi jagoan kembarnya di ruang tamu. Chandra sudah mendapat gelarnya menjadi sarjana kedokteran dan kini tengah bekerja di rumah sakit.
Haidar dan Haikal langsung berlari menuju kakak perempuan mereka yang baru datang.
"Assalamualaikum," ucap Chandra.
"Waalaikumsalam, Uty," jawab kedua adiknya bersamaan. Keduanya memanggil Chandra dengan sebutan ukhty, yang artinya saudara perempuan, hanya saja mereka membuatnya lebih singkat menjadi uty.
"Uty bawa hadiah buat kalian," kata Chandra sembari merogoh tas lalu mengeluarkan dua buah permen.
"Makasih, Uty!" ucap Haidar dan Haikal bersamaan lagi lalu kembali pada Tena yang masih duduk di sofa ruang tamu.
"Abi belum pulang, Umma?" tanya Chandra pada Tena.
"Belum, katanya nanti sore," jawab Tena. Suaminya itu sudah dua hari berada di luar kota karena panggilan dakwah.
"Oh, kalau gitu aku ke kamar dulu," pamit Chandra dan Tena mengangguk. Chandra masuk ke kamar dan menggantung jas putihnya di gantungan baju, lalu merebahkan diri di kasur. Ia meraba tas jinjingnya dan mengambil ponsel, ada notifikasi pesan dari Muja. Chandra langsung membukanya.
"Masa iya dia mau ngelamar aku? Halah, paling bercanda doang, Muja, kan, emang suka bercanda," gumam Chandra lalu melempar ponselnya ke samping bantal.
Malamnya, Juna sudah sampai di rumah jam lima sore tadi. Mereka sedang makan malam usai melaksanakan shalat isya berjamaah di musala rumah mereka. Selesai makan malam, mereka hendak kembali ke kamar masing-masing, tapi tiba-tiba bel rumah Juna berbunyi.
Chandra bergegas membuka pintu dan terkejut, Muja benar-benar datang bersama kedua orang tuanya.
"Assalamualaikum, Bu Persit," ucap Muja.
"Waalaikumsalam, gue bukan Persit," jawab Chandra lalu beralih menatap orang tua Muja. "Silakan masuk, Om, Tante," ajaknya.
"Calon suami gak disuruh masuk juga?" tanya Muja.
"Ya, masuk," ujar Chandra singkat.
"Eh, Taya? Tumben, malam-malam ke sini, silakan duduk," ujar Tena mempersilakan sahabatnya itu duduk bersama keluarganya. Chandra terus ke dapur, hendak menyiapkan minuman dan camilan.
"Wuih, ada kakak tentara!" seru Haidar.
"Kok, Kakak gak pakai baju tentara lagi?" tanya Haikal.
Muja terkekeh dan mengusap rambut kedua bocah itu. "Nanti kakak pakai kalau mau kerja," ujarnya dan kedua bocah itu manggut-manggut.
Tak lama kemudian, Chandra kembali dari dapur dan meletakkan beberapa gelas minuman serta toples berisi camilan. "Silakan, Om, Tante ... Muja," ucapnya lalu duduk di samping Tena.
"Jadi, kedatangan kami ke sini ... kami ingin mempererat kekeluargaan kita," ujar Jefri membuka topik obrolan.
Muja berdehem pelan dan membenarkan posisi duduknya, lalu menatap ke arah Juna. "Saya mau melamar Chandra jadi istri saya, Om ... saya udah suka sama dia dari SMA," ujarnya.
Juna menoleh pada Chandra lalu kembali menatap Muja. "Saya, sih, setuju-setuju aja, tapi jawabannya tetap saya serahkan ke anak saya."
"Gimana jawaban kamu, Nak?" tanya Tena pada putrinya.
"Gimana, ya? Muja nyebelin, sih, jahil juga, tapi ...." Chandra menggantung kalimatnya.
"Tapi apa?" Muja penasaran.
"Mau gimana lagi? Karena gue juga suka sama lo ... gue terima," lanjut Chandra.
"Alhamdulillah," ucap Muja senang.
---+++---
Sebulan kemudian, Pernikahan Chandra dan Muja digelar dengan mewah dan meriah di ballroom hotel bintang lima. Keduanya berjalan dengan Chandra yang menggandeng lengan Muja, melewati barisan TNI angkatan darat yang mengangkat pedang saat kedua mempelai lewat atau biasa disebut pedang pora.
Setelah melewati berbagai rangkaian acara, pesta pernikahan akhirnya selesai sementara. Chandra sudah berganti pakaian di kamar hotel yang telah di-booking oleh Muja, kepalanya agak pening karena aksesoris serta gaun yang mewah dan berat melekat di tubuhnya dari pagi sampai siang.
"Nanti malam pestanya masih lanjut, kamu gak apa-apa?" tanya Muja.
"Gak apa-apa, lagian nanti malam teman-teman sekolah kita mau datang, jadi aku harus hadir," kata Chandra.
"Tidur siang aja dulu, istirahat. Nanti Ashar aku bangunin," kata Muja, Chandra hanya membalas dengan anggukan lalu memejamkan matanya.
Malamnya, night party berlangsung dari jam delapan sampai jam sebelas malam. Chandra keluar dengan gaun modern berwarna putih, sedangkan Muja dengan jas formal berwarna hitam. Bulan, Naraya, Juan, dan Satria, serta beberapa teman Chandra memakai gaun dan jas dengan warna senada, mereka menjadi bridesmaids dan groomsmens.
Setelah adegan potong kue dan suap-suapan, kini saatnya kedua mempelai berdansa. Musik klasik pun mengalun, Muja menyilangkan jemarinya dengan jemari Chandra, tangan sebelahnya meraih pinggang ramping sang istri hingga tubuh keduanya menempel.
"Gue takut jatuh," cicit Chandra.
"Naik ke atas sepatuku," kata Muja.
Chandra menggeleng. "Nanti kaki lo sakit."
Muja mendekatkan bibirnya ke telinga Chandra. "Naik aja," ujarnya.
Chandra akhirnya naik, menginjakkan kakinya di atas sepatu Muja. Pria itu pun memulai dansanya. Tangan kanan Chandra berpegangan kuat di bahu suaminya, takut jatuh. Chandra memilih menutup mata dan menyembunyikan wajahnya di dada Muja, tidak ingin memperlihatkan ekspresi tegangnya pada semua orang.
Usai dansa, Muja langsung menangkup pipi Chandra dan mencium bibirnya di hadapan para tamu undangan. Chandra tentu saja terkejut karena itu merupakan ciuman pertamanya.
"Sosor terus, Bang!" seru Juan.
"Acara belum kelar woy!" timpal Satria.
Muja melepas ciumannya dan menatap pada dua adik laki-lakinya. "Iri bilang, Dek!" balasnya.
"Gue malu, Ja!" gerutu Chandra, suaminya malah terkekeh saja.
Beberapa jam kemudian, acara selesai. Chandra buru-buru ke toilet karena merasa tidak enak perut. Ia menghela napas kasar, tamu bulanannya datang.
"Kenapa?" tanya Muja saat istrinya keluar dari kamar mandi sambil meringis.
Chandra berjalan mendekati Muja dan duduk di sampingnya sambil memegangi perut. "Gue halangan, perut gue sakit banget, mana gak bawa pembalut," ujarnya.
Muja langsung beranjak dari duduknya. "Tunggu, aku beliin pembalut."
"Eh? Gak malu beliin pembalut? Lo, kan cowok," kata Chandra.
"Ngapain malu? Kan, aku beliin buat Istriku ... aku pergi dulu, ya, assalamualaikum," ucap Muja tanpa menggunakan bahasa gaul.
"Waalaikumsalam, hati-hati," balas Chandra.
Muja bergegas ke minimarket membelikan pembalut untuk istrinya. Setelah itu ia kembali ke hotel, Chandra masih meringkuk di kasur sambil memegangi perutnya yang terasa melilit. Ia langsung memberikan bungkusan berisi pembalut pada istrinya.
"Banyak banget, Muja," protes Chandra karena Muja membeli berbagai jenis pembalut untuknya.
"Aku gak tahu kamu biasa pakai yang mana, jadi aku beli semua," kata Muja.
"Makasih banyak," ucap Chandra lalu membawa salah satu pembalutnya ke toilet. Beberapa menit kemudian ia keluar lagi, sudah ada air hangat di atas nakas.
"Minum air hangat dulu," tawar Muja.
Chandra mengangguk lalu mendekat dan duduk di samping suaminya. Ia menerima gelas berisi air hangat dari Muja dan meminumnya setengah lalu kembali merebahkan diri di kasur.
"Masih sakit perutnya?" tanya Muja dan Chandra mengangguk. Muja ikut merebahkan diri di samping Chandra dan mengelus perutnya.
"L-Lo ngapain?!" tanya Chandra panik. "Gue belum siap!" lanjutnya.
"Masih aja pakai lo-gue, aku cuma mau bantu hangatin perut kamu aja," kata Muja.
"Oh," gumam Chandra, mendadak deg-degan karena posisi keduanya sangat dekat bahkan menempel. Ia membiarkan tangan Muja mengelus perutnya.
---+++---
Di rumah Juna, Tena baru selesai menidurkan Haidar dan Haikal. Saat masuk ke kamar, Tena terkejut karena tiba-tiba Juna menarik pinggangnya hingga masuk ke kamar lalu mengunci pintu.
Juna mengendus leher istrinya. "Malam ini boleh, kan?" tanyanya.
"Apa, sih, yang nggak buat Suamiku?" tanya Tena balik.
Juna langsung menggendongnya ala bridal menuju spring bed ukuran king size dan membaringkan istrinya di sana.
"Jangan sampai kebobolan, ya, aku gak mau nambah anak," kata Tena, tidak ingin punya anak lagi karena usianya yang sudah hampir kepala empat.
"Alright, my Queen," sahut Juna lalu mulai mencumbui istrinya.
Tapi saat keduanya sudah sama-sama naked, Tena merasakan nyeri perut dan ada sesuatu yang keluar dari kemaluannya.
Juna melirik ke bawah dan kaget, istrinya tiba-tiba datang bulan di saat yang tidak tepat. "Kamu gak apa-apa?" tanyanya pada istrinya.
"Maaf, Mas ... aku mens." Tena segera bangun dan bergegas ke kamar mandi. Setelah beberapa menit, ia keluar dan langsung menghampiri suaminya yang tengah membersihkan noda darah Tena yang mengenai seprai dengan tisu dan air.
"Kenapa Mas bersihin? Ini darah kotor aku," ujar Tena, merasa malu.
Juna sudah selesai membersihkan seprainya. "Gak apa-apa, perut kamu sakit, gak?"
"Gak terlalu sakit, kok ... maaf, ya, aku malah mens ...."
"Gak apa-apa, namanya juga perempuan. Seprainya udah aku bersihin, kamu rebahan aja lagi, aku mau ambil air hangat buat kamu," ujar Juna yang hendak pergi keluar kamar.
Tena menarik lengan suaminya. "Gak usah, Mas rebahan sama aku aja sambil nenen." Ia membawa Juna kembali ke kasur. Tena merebahkan diri di kasur sambil membuka tali piyamanya.
Juna pun ikut merebahkan diri, lalu menyusu di dada istrinya seperti bayi sambil memeluknya sampai terlelap. Tena hanya tersenyum melihat wajah polos Juna yang tertidur sambil mengemut buah dadanya.
"Kalau bayi yang ngemut rasanya biasa aja, tapi kalau suami yang ngemut kenapa enak, ya?" gumam Tena, entahlah ... ada yang bisa menjawab pertanyaan Tena?
End
Thank you to those of you who always vote and comment on this fanfic. Seperti biasa, book saya selaku diakhiri dengan yang enak-enak.
~Sekian~