Geonhak membelai rambut Dongju yang masih setengah basah dengan lembut. Dia menarik pelan-pelan ujung selimut hingga menutupi bahunya. Pemuda itu tidur dengan lelap. Napasnya naik turun dengan teratur dan pelan, seluruh kelopak mata Dongju rapat tak bergeming meskipun Geonhak mencium keningnya sebelum dia menyambar jas di atas tempat tidur dan beranjak pergi.
Dengan energi yang seperti baru diisi penuh, Geonhak mengendarai mobil membelah jalanan Seoul yang tidak begitu padat. Dua puluh menit kemudian dia sudah sampai ke kantor, menghadapi Yeosang yang menyambut dengan ekspresi bingung.
"Lo bilang tiga hari, Hyung."
"Tapi lo udah dapet data yang gue minta kan?"
"Ya belum semua, habis lo mendadak gini sih," protes Yeosang. "Nih, gue malah nggak sempat ngeprint." Dia menyodorkan iPad pada Geonhak.
"Nanti aja, gue lihat dulu."
Geonhak memakai kacamatanya dan menggeser layar demi layar. Semakin ia baca, debaran di dada Geonhak semakin keras. Kadang ia mengangkat wajah hanya untuk memastikan pada Yeosang bahwa informasi di situ memang sudah akurat.
"Sesuai dengan apa yang gue dapet Hyung," sahut Yeosang paham dengan raut wajah menuntut penjelasan dari Geonhak. "Apa yang bakal lo lakuin?"
"Kita nggak punya bukti, ini semua Cuma praduga yang kebetulan sama dengan apa yang terjadi sekarang."
Yeosang keberatan. "Gue nggak berpikir kalau kebetulan bakal sama persis kayak gini. Memang dia orangnya, Hyung."
Penegasan Yeosang di akhir membuat Geonhak semakin gusar. Dia meletakkan iPad itu di atas meja dan menarik kasar dasinya.
"Hari ini nggak ada jadwal kan?"
"Enggak lah, orang lo minta cuti tiga hari."
Geonhak mengangguk. "Ganti baju lo, kita harus pergi ke beberapa tempat."
***
Bunyi alarm bernada lagu terdengar sayup-sayup tapi berhasil membangunkan Dongju. Dengan gerakan pelan ia melihat sekeliling. Baginya tempat itu tetap terasa asing meski dia sudah dua malam tidur di kamar Geonhak. Dongju menyibakkan selimut, dan memeriksa ponsel yang ia matikan sejak kemarin malam. Beberapa pesan masuk. Hatinya berdebar aneh. Tidak ada satu pun pesan dari Juyeon, sesuatu yang mungkin akan mengusik pikiran Dongju setelah dia menenangkan diri dari perasaan bersalah yang selalu mengikuti.
Jemari Dongju bergerak menggulir layar ponselnya sementara dia beringsut turun dari tempat tidur dan keluar kamar. Perut Dongju berteriak lapar. Dia beruntung karena Geohak sudah menyiapkan makanan siap saji di atas meja. Dongju mendengus saat membaca pesan dari Geonhak yang bernada posesif itu. Dia sama sekali tidak paham kalau berhubungan seks dapat membangun ikatan-ikatan yang lebih rumit, membentu simpul, mengencang dan melekat dalam perasaan kita jika kita melakukannya dengan orang yang tulus kita cintai. Akan mulai timbul cemburu, ketidakinginan untuk ditinggalkan, merasa sudah dimiliki seutuhnya lalu berujung pada tuntutan membangun komitmen.
Bagi Dongju, hal-hal seperti itu harus ia kubur sedalam mungkin. Terlalu besar kemustahilannya hingga ia tidak pernah sedikit pun berani berharap bahwa semua akan seperti yang dia inginkan. Dia hanya mampu menganggap Geonhak sebagai penolong, mungkin seseorang yang akan mengeluarkannya dari terowongan gelap yang selama ini mengurung Dongju dalam ketidaktahuan. Terowongan tanpa petunjuk, yang terdengar hanya suara sang ibu, mengatakan berbagai macam hal yang tidak Dongju pahami.
Tubuh Dongju menegak saat dia melihat nama Sora berkedip-kedip di layar. Jarang-jarang anak itu meneleponnya. Tiba-tiba saja Dongju terhenyak. Kunyahan di mulutnya pun berhenti.
"Dongju lo dimana?" tanya Sora tanpa sempat menyapa terlebih dahulu.
"Ngghh... kenapa? Ada masalah?"
"Gue di rumah sakit." Suara perempuan itu bergetar.
"Sora, lo nggak apa-apa kan?"
"Bukan gue, Hyunjin ..."
Dongju langsung bangkit. Suara deritan kursi terderngar nyaring saat bergesek dengan lantai marmer.
"Hyunjin? Dia kenapa? Sora lo jangan nangis dulu, dia kenapa?"
"Ada yang nyerang dia pas pulang jaga tadi malem," jelas Sora diselingi isak tangis. "Lo bisa ke sini Dongju? Mamanya pingsan terus dan keluarga yang lain belum dateng, gue bingung."
"Oke lo tunggu gue, lo jangan kemana-mana dulu."
***
Langkah kaki Dongju terasa berat. Sama beratnya ketika dia datang ke rumah sakit saat Seoyun dan Yoona dilarikan ke sana. Apalagi ini?
God, please jangan Hyunjin. Gue bakal bunuh diri gue sendiri kalau sampai sesuatu yang buruk terjadi sama dia juga. Its not fair, really. Ini semua terlalu jahat dan kelewat batas.
Bangsat! Kenapa lo nggak datang ke hadapan gue dan bunuh gue aja?
Tangan Dongju terkepal. Selama lift kosong itu membawanya ke area lantai ICU, pikiran Dongju terus mengeluarkan suara-suara bising. Dia ingin sekali menyalahkan seseorang atau bila perlu menghabisinya, tapi dia tidak pernah tahu dimana dan siapa orang itu. Mungkin tidak jauh, mengamati dan tersenyum puas. Dongju merasa sanggup melakukan apa saja saat ini asal Hyunjin selamat.
Ayunan kaki pemuda itu memelan saat ia melihat Sora berdiri gelisah di depan sebuah pintu kaca. Dongju menghampirinya dan merangkul bahu Sora yang naik turun karena sesenggukan.
"Dia baik-baik aja, kan?" tanya Dongju ragu.
"Luka tusuknya banyak, Ju. Dia kehabisan darah," jawab Sora sambil menyeka pipinya yang basah.
"Lo balik gih, istirahat. Biar gue yang di sini."
Sora menggeleng. "Dokter baru masuk dan gue pengen tahu keadaan dia."
"Mamanya dimana?"
"Dibawa ke ugd, pingsan terus. Kakaknya ikut nemenin di sana."
Dongju mengangguk, dia lalu mengamit tangan Sora agar duduk di bangku tunggu. Tidak ada siapa pun yang keluar dari ruang ICU setelah mereka menunggu hampir lima belas menit dan masing-masing hanya diam.
"Sora, gue minta maaf," kata Dongju tiba-tiba.
Perempuan di sampingnya menoleh. "Kenapa, Ju?"
"Mungkin semua ini ada kaitannya sama gue dan tuduhan orang-orang."
Sora hanya diam, dia takut salah memberi tanggapan. Sejujurnya dalam hati kecil Sora, dia pun mengalami ketakutan yang sama. Walaubagaimana pun, dia dan Dongju berteman. Tidak ada yang bisa menutupi kenyataan itu termasuk dari orang yang hendak berniat jahat pada mereka.
"Apa polisi bilang sesuatu sama lo, Ju? Kalau mungkin semua ini ada kaitan sama entah apa urusan lo dengan orang itu? Mungkin nggak sih kalau sebenernya target dia tuh elo?" Sora menebak asal.
"Semua emang ada hubungannya sama gue, Ra."
"Serius, lo?" Dia terbeliak.
Namun belum sempat Dongju menjelaskan, beberapa orang menghampiri mereka. Salah satunya adalah Detektif Seokjin.
"Ternyata kamu udah di sini," dia tersenyum dan mengangguk ke arah Sora.
"Pak, ada apa sebenernya?" Dongju lekas bangkit. Dia sudah tidak bisa bersikap tenang dan Seokjin memaklumi hal itu.
"Kita ngobrol di luar, gimana? Teman kamu juga harus kasih informasi soalnya."
Dongju melirik Sora sekilas. Dia lalu segera mengekor tubuh Seokjin keluar dari area ruang tunggu pasien. Seokjin membawanya ke bagian balkon yang sepi. Tidak ada pemandangan indah dari atas sana. Hanya hamparan atap-atap alumunium yang menaungi tempat pembuangan sisa limbah medis.
"Pelaku yang sama?" tanya Dongju tanpa berbasa-basi.
Seokjin mengangguk. Kali ini dia tidak ragu.
"Apa sesulit itu menangkapnya, Pak? Sampai-sampai harus terus berjatuhan korban dan mereka semua teman saya," keluh Dongju masih dengan ekspresi wajah yang diatur sedemikian rupa agar tidak terlihat takut.
"Kita beruntung karena Hyunjin masih memiliki kesempatan untuk bertahan, jadi nanti kita bisa meminta keterangan dari dia."
"Rambut Hyunjin digunting asal?"
Seokjin menoleh cepat. "Kamu tahu itu?"
"Semua korban rambutnya digunting asal, termasuk ibu saya. Jadi sampai sini boleh nggak kita menyimpulkan kalau pelakunya adalah orang yang sama?"
"Tenang Dongju, kita tidak boleh gegabah ."
"Dia pasti berpindah-pindah tempat tapi nggak pernah keluar dari kota ini. Dia berbaur, menyatu dengan kita dan bersikap normal sampai-sampai kita nggak akan nyangka kalau dia orangnya."
"Dia lebih pintar dari itu, Ju. Korban diamatinya berhari-hari, hingga dia tahu kapan waktu yang tepat untuk dia beraksi dan dimana titik paling aman untuk menyerang."
"Apa yang terjadi sama Hyunjin?"
"Dia baru selesai jaga tadi malam, dan Hyunjin punya kebiasaan pulang lewat pintu samping. Pelaku tahu di sana tidak ada cctv. Kalau bukan karena ada cleaning service yang mau buang sampah, Hyunjin mungkin tidak akan selamat. Luka tusukan langsung mengarah pada titik-titik vital. Dilakukan dengan kalkulasi dan jarak yang sudah dia perhitungkan dari awal. Saya pernah melihat yang seperti ini di latihan dasar kemiliteran."
"Maksud Bapak dia profesional di bidangnya?"
"Bisa dibilang begitu."
Dongju semakin kesal. Mereka dihadapkan pada seorang pembunuh elit yang lebih cocok dipakai untuk menghabisi para bos mafia tapi sekarang dia malah mengincar anak-anak mahasiswa yang tidak bersalah.
"Ju, Hyunjin udah sadar."
Suara Sora yang muncul di belakang mereka secara tiba-tiba membuat Dongju sontak berbalik. Tanpa menunggu ijin Seokjin, dia langsung menghambur masuk mengikuti Sora ke ruang ICU.
"Orang tuanya belum bisa kemari, kalian juga boleh masuk tapi bergiliran ya?"
"Lo duluan deh," tunjuk Sora ke arah pintu.
Dongju mengangguk. Diantar salah satu perawat dia masuk ke sebuah ruang yang luas dan tertutup tirai. Lutut Dongju gemetar saat dia melihat Hyunjin berbaring tak berdaya di sebuah bangsal. Beberapa pendeteksi alat vital terpasang di tubuhnya. Mata pemuda itu terbuka, dengan wajah menengadah ke arah lampu LED putih di atas langit-langit seolah dia sedang memandangi sesuatu yang lebih menarik perhatian. Dongju mendekat. Memegangi pembatas besi di sisi blankar.
"Hyun, ini gue," kata Dongju lirih.
Matanya memanas melihat luka lebam memenuhi wajah Hyunjin. Kelopak dan tulang rahang anak itu berwarna biru keunguan, masih terdapat bercak darah. Sudut bibirnya sobek, lehernya dibebat perban dan goresan-goresan benda tajam lain yang di tangan juga dada.
"Ju," panggil Hyunjin. Sepertinya dia tidak sanggup menoleh, hingga hanya mata pemuda itu saja yang bergerak ke arah Dongju.
"Maafin gue Hyun, semua gara-gara gue lo jadi kayak gini."
"Lo ngomong apaan?"
Dongju merunduk. Menyembunyikan tetes air mata yang kini jatuh membasahi permukaan sepatu.
"Gue udah bilang, lo harus jauhin gue, Hyun. Sekarang lo lihat kan, akibatnya? Gue bener-bener nggak bisa maafin diri gue karena nggak mampu ngelindungin lo, Hyun."
Pria itu mencibir pelan. Entah karena ucapan Dongju yang dia anggap tidak masuk akal atau bibirnya masih terasa sakit.
"Jangan nangis, bego. Gue nggak apa-apa. Gue ..."
Hyunjin terlihat kesakitan saat mencoba menarik napas.
"Please, lo harus bertahan. Gue nggak mau kehilangan temen baik gue lagi," bisik Dongju.
"Gue bakal bertahan ... ka-kalau lo janji satu hal sama gue."
"Apa Hyun?"
"Lo nggak boleh... nggak boleh ninggalin gue, Ju."
"Hyun..."
"Lo harus janji, baru gue mau bertahan."
Dongju menatap Hyunjin tidak percaya.
"Lo harusnya benci sama gue karena gue yang jadi penyebab semua ini, Hyun."
"Nggak lah, nggak perlu ngerasa benci. Justruu ... gue khawatir. Kalau ada apa-apa sama gue, siapa yang bakal jagain lo?"
Dongju termanggu saat mendengar kalimat Hyunjin barusan. Rasa sedih dan marah sekarang larut seperti teh susu. Dongju sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang lebih menguasai hati dan pikirannya kali ini.
"Lo ngomong apaan Hyunjin, masih mikirin gue aja."
Hyunjin mengerjapkan matanya beberapa kali. "Lo harus inget isyarat gue ini."
"Isyarat apaan?" Dongju memandang bingung.
"Mata gue. Kalau gue ngedip kayak gini, berarti kita ada di hadapan si pelaku."
Tubuh Dongju menegak. "Lo tahu orangnya? Lo bisa lihat muka dia?"
Tepat saat Hyunjin hendak menjawab, pintu di belakang Dongju terbuka. Perawat tadi menghampiri Dongju dan menariknya ke sisi ruangan.
"Gantian ya, wali pasien udah dateng. Kamu bisa nengok lagi besok." Bisik si perawat.
Dongju mengangguk pasrah.Padahal tinggal sedikit lagi dia berhasil mendapat petunjuk besar lewat ingatan Hyunjin.
Entahlah. mungkin Tuhan belum mengijinkan setiap takdir itu bertemu.