Hari demi hari berlalu. Tahun pun sudah berganti. Tak disangka, waktu berjalan begitu cepat. Dua tahun sudah berlalu. Dua insan yang dulunya sempat mempermasalahkan pemilihan sekolah menengah atas itu kini sudah berada di tingkat akhir.
Setelah Keira pindah ke Heru Garuda, kehidupannya kembali seperti semula. Seperti semula dalam arti, Eric yang selalu merecokinya, selalu mengikutinya ke mana-mana, mengurusi semua urusannya. Hal tersebut membuat Keira jadi susah memiliki teman kembali. Kehidupannya benar-benar kembali seperti dulu. Para siswa laki-laki terlihat seperti tidak berani mendekatinya. Para siswa perempuan sibuk memandangnya dengan tatapan yang Keira pahami sebagai tatapan tidak bersahabat.
Bel berbunyi kencang, menandakan bahwa istirahat sudah datang. Sekejap, kelas Keira langsung berubah ramai. Gadis itu menutup bukunya dengan gerakan malas. Sebentar lagi, Eric pasti akan sampai di depan kelasnya, menjemputnyaㅡatau mungkin lebih cocok disebut memaksa, karena laki-laki itu sama sekali tidak pernah meminta persetujuannya meski Keira pernah menunjukkan keenggenannya secara terang-terangan.
Maksudnya, bagaimana Keira bisa tetap tahan berada di tempat yang sama bersama para gadis yang mengagumi Eric? Bersama para gadis yang jelas-jelas memiliki status lebih tinggi darinyaㅡkekasih.
Selama dua tahun terakhir, Keira berkali-kali menekankan pada dirinya sendiri. Bahwa hubungannya dengan Eric tidaklah lebih dari sekadar sahabatㅡbagi laki-laki itu. Dan saudaraㅡbagi dirinya sendiri. Tapi apa daya, Keira sudah tidak bisa mengelak sebuah fakta bahwa dirinya memiliki perasaan khusus terhadap Eric. Perasaan khusus, yang entah kapan bisa diungkapkannya kepada sang pemilik hati.
Keira menundukkan kepalanya. Kedua tangannya bertaut erat. Embusan napasnya terdengar pasrah. Ingin sekali, Keira kembali ke masa-masa hidupnya yang dulu sekali. Di saat dirinya tidak memiliki pikiran sedikit pun untuk menaruh rasa kepada Eric. Kalau mau, Keira ingin sekali menghapus perasaannya bagi Eric. Ingin sekali dia menghilang semua perasaan sentimental itu terhadap sosok laki-laki yang selalu menemaninya selama bertahun-tahun terakhir. Tapi, bagaimana bisa Keira melakukannya? Jika Eric selalu mengikutinya ke mana-mana. Selalu berada di dekatnya, sama sekali tidak pernah mau untuk jauh-jauh darinya?
"Kei?" Tubuh Keira tersentak. Gadis itu menoleh ke samping, mendapati Eric yang sudah berdiri di samping bangkunya. Laki-laki itu menatapnya dengan satu alis terangkat ketika dia tidak kunjung membalasnya. "Mikirin apa sih? Serius banget. Ayo, udah istirahat."
Keira menganggukkan kepalanya satu kali. Dia beranjak kemudian bergegas berjalan di belakang Eric yang sudah di depan. Matanya menatap punggung Eric yang dibalut seragam putih. Keira tidak menyangka. Semakin dewasa, ketampanan Eric juga berkali-kali lipat bertambah. Bahu laki-laki itu semakin kekar dan lebar, punggungnya tampak begitu kokoh. Hanya begitu saja, jantung Keira sudah berdebar kencang. Andai saja.... Andai saja laki-laki itu juga mengklaim hubungan mereka di tingkat lain sebagaimana Eric suka melakukannya bersama perempuan lain, mungkin Keira tidak perlu seperti ini sekarang. Hanya dianggap sebagai sahabat, menjadi bayang-bayang laki-laki itu, yang sialnya, dia tidak memiliki opsi apapun selain menurut.
Keluar dari kelas, kedua mata Keira yang awalnya menerawang itu tiba-tiba membulat ketika mendapati dirinya tak sengaja menabrak seseorang. Lalu, setelahnya langsung terpejam erat ketika sadar bahwa keseimbangannya hampir menghilang karena terlalu terkejut.
Kedua mata Keira sempat mengerjap saat merasakan tubuhnya tidak terjatuh dan malah ada dua tangan yang jatuh pada bahunya, meremasnya pelan, seolah-olah sedang menahan tubuhnya untuk tidak semakin ke depan dan terjatuh. Kedua mata Keira yang terpejam perlahan-lahan terbuka. Saat itu, Keira mendapati sepasang mata bersorot dingin yang tengah menatapnya datar. "Sorry...." refleks, Keira langsung bersuara dengan wajah penuh bersalah.
Laki-laki yang tak sengaja ditrabaknya itu segera melepaskan dua tangannya dari bahu Keira. Tidak mengucapkan sepatah kata pun, laki-laki itu malah melengos begitu saja, masuk ke dalam kelas.
Mendapati respon seperti itu, Keira langsung menelan ludahnya susah payah. Keira mengenal laki-laki itu. Dia adalah Ryan Azrael, siswa paling pintar di sekolahnya yang juga tidak memiliki teman. Bedanya, alasan Ryan tidak memiliki teman adalah bukan karena tidak ada yang berani mendekatinya atau karena sosoknya yang menyebalkan. Ryan tidak memiliki teman, karena laki-laki itu terlalu sibuk belajar. Setidaknya, itulah yang Keira ketahui.
"Kei." Dua kali, tubuh Keira terkesiap. Matanya yang sempat bertabrakan dengan Ryan yang tengah membaca buku, langsung lari ke depan, pada Eric yang tengah menatapnya sebal. Satu alis laki-laki itu terangkat. Tangannya dilipat di dada. "Mikirin apa sih?"
Keira langsung menggelengkan kepalanya berkali-kali.
"Kamu mau makan apa hari ini?" tanya Eric lagi.
Bahu Keira terangkat kecil. "Terserah kamu."
Eric melirik Keira sekilas. "Pangsit mie?"
Keira mengangguk.
"Oke."
...
"Gak pulang, Ric?" Eric yang kala itu tengah duduk di jok motornya sembari bermain ponsel, langsung menoleh ke sumber suara.
Marcell sedang meneguk mineral. Terlihat peluh mengalir di pelipis Marcell, tanda kalau laki-laki itu baru saja terlibat dalam permainan ohlaraga.
"Gue masih nungguin Keira." Eric menjawab seadanya. Sejak Keira pindah ke Heru Garuda, gadis itu memang selalu pulang dan pergi bersamanya. Berbeda dengan Amanda yang lebih memilih untuk melakukannya bersama sopir.
"Keira piket?"
"Hmmm," gumam Eric sembari melirik Marcell yang sedang mengeluarkan sebatang rokok serta korek apinya dari kantong celana. Ketika asap mulai mengepul di sekitarnya, Eric langsung mengibas-ngibaskan tangannya di udara.
"Anjir lah."
"Keira gak suka bau rokok. Entar, kalau gue bau rokok gimana?" tanya Eric dengan tangan yang terus mengibas-ngibas di udara.
Lantas, dengan sengaja Marcell mengisap rokoknya keras-keras lalu mengembuskannya ke wajah Eric. Laki-laki itu langsung melotot. "Jink, gak usah deket-deket gue!"
Marcell tergelak rendah. "Kenalin donkkk."
"Kenalin apaan."
"Sama Keira."
"Udah kan."
"Lebih spesifik gitu. Gue sama Keira kan sahabat lo. Aturin kek. Pertemuan antara gue sama Keira." Marcel menatap Eric dengan alis naik turun.
Bukannya jawaban, Marcell malah mendapatkan tatapan tajam Eric serta satu alisnya yang menukik ke atas tajam. Marcell segera membuang puntung rokoknya di tempat sampah. "Tulul. PDKT, Ric, PDKT! Gue mau PDKT sama Keira."
Alis Eric berubah menyatu dengan kening yang sudah berkerut dalam. Tubuhnya yang awalnya hanya terduduk malas di jok, kini berubah tegak. "Gak!" jawab Eric dengan tegas. Belum juga Marcell membalas, Eric sudah mendahului. Telunjuk laki-laki itu mengudara menuding Marcell berkali-kali dengan tatapan penuh peringatan. "Awas lo!"
"Lo maruk ahhh." Marcell langsung mengambil sebatang rokoknya lagi. Ketika korek api sudah dinyalakan, laki-laki itu melirik Eric sebal. "Lo kan udah punya cewek. Kasih kali keㅡ"
"Cewek lain bisa gue kasih ke lo. Kalau Keira, gak!"
"Kenapa? Lo sama Keira kan gak ada hubungan apa-apa. Lagipula, gue gak minta izin sama lo. Gue cuma minta tolong sama elo, si bego."
Kedua mata Eric mengerjap satu kali. Lipatan di keningnya semakin tampak dalam ketika Marcell malah cengar-cengir di depannya. Padahal hatinya sudah sangat panas dengan kepala yang hampir pecah. "Babi. Hubungan gue sama Keira sama sekali bukan urusan lo ya!" Wajah Eric mulai berubah warna. "Cel, gue gak peduli. Meskipun lo sahabat gue, gue tetep gak peduli. Kalau lo beneran deketin Keira, lo harus hadapin gue dulu."
Terlihat Marcell langsung terkekeh. Laki-laki itu menggelengkan kepala satu kali, kemudian menatap Eric dengan geli. "Mau?" tanyanya tiba-tiba melenceng dari topik seraya menyodorkan sebatang rokok pada laki-laki yang kini tampak begitu emosi tersebut.
"Gue bilang Keira gak suka sama rokok."
"Anaknya kan gak ada di sini."
"Baunya, bangsat, baunya!"
Marcell semakin tergelak.
"Anjing lo, sejak kapan lo tertarik sama Keira!? Lo gak beneran suka sama Keira, kan!?"
"Siapa sih yang gak suka sama Keira, Ric? Udah cantik, pinter, bodinya ugh apalagiㅡ" Ucapan Marcell langsung terputus ketika Eric sudah memberikan satu pukulan di pipi. Tidak terlalu keras, tapi sudah jelas kalau pukulan tersebut mengandung sarat penuh peringatan.
"Jaga ucapan lo." Suara laki-laki itu terdengar begitu dingin. Sangat tidak terima kalau Keira dideskripsikan dengan cara seperti itu.
Eric masih terus menatap Marcell dengan brgitu emosi. Kedua matanya mulai memicing tajam saat Marcell malah bersiul santai seolah-olah tidak ada yang terjadi. "Panjang umur...." Eric menaikkan alisnya, mengikuti arah pandang Marcell yang tiba-tiba berubah tertarik.
Lantas, kedua mata Eric langsung mendelik lebar saat mendapati Keira sedang berjalan dalam penuh kedamaian di ujung koridor sekolah. Eric menoleh ke Marcell, kemudian menarik paksa batang rokok di mulut laki-laki itu dan membuangnya sembarangan. Tubuhnya berbalik, mengambil mineralnya. "Cepet kumur sekarang. Cepetan!"
Marcell tertawa lagi. "Iya, iya."
Tak lama kemudian, Keira sudah sampai di depan mereka. Wajah gadis itu terlihat lelah. Dan Eric langsung bertanya retoris. "Sudah selesai, Kei?"
Pelan, Keira menganggukkan kepalanya satu kali. "Sorry, ya. Aku telat lima belas menit."
Eric refleks menganggukkan kepalanya. "Gak papa."
"Bestie goals."
Dua insan itu spontan menoleh ke samping, pada Marcell yang sedang cengar-cengir di jok motornya. Eric memberikan tatapan membunuh, sedangkan Keira terlihat diam.
"Hai, Keiii. Masih inget gue kan? Inget donggg, masa lupa, ya kan???"
Keira tertawa kecil ketika mendengar sapaan antusias Marcell. Ia menganggukkan kepala, kemudian balas melambaikan tangannya kecil pada Marcell. "Hai, Marcell..."
Spontan, Eric menoleh pada Keira. Matanya berubah menyipit saat seulas senyum terbentuk tipis di wajah lelah gadis itu. Kemudian ia melarikan tatapannya kembali pada Marcell ketika tawa renyah temannya terdengar di udara. "Gue boleh minta nomor lo gak?"
"Boleh...." Keira menganggukkan kepalanya lagi. Masih dengan senyuman yang belum menghilang di wajah.
"Kei, kamuㅡ"
"Itung-itung tambah temen kan, Kei? Siapa tau, gue juga bisa jadi bestie lo kayak Eric. Gue juga bisa kok nungguin elo kayak Eric gini. Berjam-jam mah gue betahhh."
Lagi-lagi, Keira tertawa kembali. Tapi dalam sekejap, tawanya tiba-tiba menghilang digantikan pekikan kecil saat mendapati dua tangan asing menutupi indra pendengarannya. "Jangan didengerin, Kei. Orang sinting. Jangan didengerin."
Keira mendongak, menatap wajah Eric yang sudah sangat masam. "Eh, Marcell kan cuma...." Ucapan Keira harus terputus saat pandangan matanya tiba-tiba berubah gelap.
Ternyata, dua tangan Eric sudah berpindah menutupi kedua matanya. "Liatnya ke aku aja...." Dalam kegelapan itu, Keira bisa mendengar suara Eric yang terdengar tertahan.
Diam-diam, Keira menelan ludahnya susah payah. Dirinya bisa merasakan kalau jarak di antara mereka sangatlah dekat. Aroma maskulin Eric menguar kuat di indra penciumannya, membuatnya menjadi kikuk seketika.
Lima detik, Eric akhirnya melepaskan tangannya dari indra penglihatannya, tapi jantung Keira malah semakin berdebar kencang saat mata mereka saling bertemu. "Pulang?"
Keira menganggukkan kepala satu kali.
"Mau makan dulu gak?"
"Terserah kamu...."
"Ya udah, makan duluㅡ"
"Gue mau ikuttt, donkkk."
Refleks, kedua mata Eric terpejam penuh kekesalan yang selanjutnya diikuti umpatan lirih ketika suara Marcell tiba-tiba menginterupsi. "Gak jadi, Kei. Aku baru ingat kalau Mama suruh kita cepet-cepet pulang hari ini."
Tidak menunggu waktu lagi, Eric langsung menaiki joknya, menyalakan motor, kemudian menoleh ke Keira cepat. Tangannya bergerak memasangkan helmet bewarna putih kepada Keira, lalu menatap manik gadis itu intens. "Kenapa cuma diem aja? Naikkk. Cepetannn, Keii...." perintahnya tidak sabar saat Keira hanya tetap terdiam.
Keira langsung mengangguk berkali-kali. Secepat kilat, gadis itu naik ke jok motor Eric lalu mencengkeram ujung seragam laki-laki itu agar tidak terjatuh.
Tapi, Keira tiba-tiba mendapati bahunya ditoel. Gadis itu spontan menoleh ke belakang. Ada Marcell yang sedang menatapnya dengan senyuman lebar. "Kalau gue mauㅡ"
"Ehhh....." Eric tiba-tiba menjalankan motor tanpa aba-aba dengan kecepatan di atas rata-rata, membuat Keira tidak bisa mendengarkan ucapan Marcell dengan lengkap. Spontan, tubuhnya terdorong ke depan memeluk laki-laki itu seerat mungkin. Tangannya yang berada di ujung seragam berpindah memeluk tubuh laki-laki itu begitu erat. Di detik yang sama, jantungnya lanvsung berdentuman kencang. Matanya bertabrakan dengan netra tajam Eric melalui spion motor. Dan Keira langsung memalingkan wajahnya begitu menyadari kalau kedua pipinya sudah semerah tomat. Tangannya yang memeluk tubuh Eric perlahan-lahan mengendor. Dengan jantung yang masih belum berhenti berdebar, Keira berusaha mengembalikan kedua tangannya ke ujung seragam kaki-laki itu.
Selama perjalanan menuju rumah, kepala Keira terus tertunduk dalam. Keramaian memenuhi sekitarnya, tapi hanya detak jantung tak karuannya yang bisa ia dengar. Perlahan-lahan, gadis itu melirik Eric lagi melalui spion motor. Dan jantungnya semakin menggila ketika mata mereka bertemu lagi meski hanya sekilas. Dengan cepat, Keira memalingkan wajah, berharap kalau mereka bisa sampai di rumah secepat mungkin. Berada sedekat ini dengan Eric, benar-benar bukanlah pilihan yang baik.
...