BERTEDUH

By amellidong

62.3K 10.5K 1K

Perahu penuh lubang itu pada akhirnya berhasil bersauh. Sepasang jiwa yang penuh dengan luka itu pada akhirny... More

Berteduh
1. CUKUP SEPERTI INI
2. JANGAN TERULANG LAGI
3. HANYA AKU
4. APA LAGI INI?
5. AKU AKAN TETAP DI SINI
6. GEMURUH YANG DATANG
7. AKU DIAM TAK BICARA
8. SESUATU YANG KAU SEMBUNYIKAN
9. MERASA BERSALAH
10. KAU YANG KUBUTUHKAN
11. KITA PERNAH DI SINI SEBELUMNYA
12. PANTASKAH KITA?
13. KHAYALAN SAJA?
14. KITA TAK KEMANA-MANA
16. MASA DEPAN YANG FANA
17. BADAI YANG MENERJANG
18. DI SAMPINGKU, SELAMANYA
19. MENGUATKAN GENGGAMAN
20. UNTUK BISA BERSAMA
21. BERTEDUH

15. KEPUTUSASAAN YANG NYATA

2.1K 433 54
By amellidong

All I know,
Loving u is a losing game ...

.

.

.

Untuk beberapa hari sebelumnya yang terlalui dengan perasaan bersalah, khawatir, dan juga rindu, Tombak begitu mensyukuri kesempatan yang ia dapatkan sekarang. Memandang wajah Aira saat tidur dari dekat, dan meletakkan tangan di punggung perempuan itu sepanjang malam, sedikit banyak telah mengobati gundah yang akhir-akhir ini di bersemayam.

Akhirnya .... setelah beberapa hari Aira tak mengijinkannya tidur bersama, semalam perempuan itu meminta ditemani karena merasa tak sehat sejak berbelanja.

Tombak memindahkan tangannya untuk mengusap perlahan pipi Aira. Ia sengaja tak melanjutkan tidur di pagi hari yang dingin ini hanya karena ingin berlama-lama menatap wajah damai istrinya.

"Cepat sembuh, ya," bisik Tombak nyaris tak bersuara.

Dengan sangat perlahan Tombak beringsut dari ranjang. Di sisa waktu sebelum Aira bangun, ia ingin menyiapkan sarapan yang nanti bisa dimakan perempuan itu. Sosok perempuan paruh baya pun terlintas di pikiran Tombak.

"Bu Giman," gumamnya saat membuka pintu kamar.

Jarum jam masih menunjukkan pukul setengah enam saat Tombak selesai mencuci wajah. Setelah meraih jaket tebalnya di atas sofa ruang tengah, ia berjalan menuju pintu dan membukanya.

"Boy!"

Tombak yang sedang menutup pintu, seketika membalik badan dan menatap Gembul yang tengah berdiri di samping mobil seraya melambaikan tangan. Gembul lalu berjalan mendekat. Tombak segera menengok ke dalam rumah, memastikan istrinya tak terlihat di sana.

"Gue tungguin lo dar-"

"Pergi, Mbul!"

"Ha?" Gembul menatap heran Tombak yang berjalan cepat ke arahnya.

"Lo pergi." Tombak mendorong Gembul untuk masuk ke dalam mobil. "Temui gue jam sembilan di tribun kolam renang yang pernah kita datangi."

"Gue dari jam tiga di sini, Boy. Ngantuk banget nungguin lo bangun. Gue mau numpang tidur ben-" Perkataan Gembul terhenti saat Tombak mencengkeram kerah jaketnya.

"Jam sembilan. Tribun kolam renang. Ngerti?"

Gembul tak menyahut lagi. Melihat ekspresi dan tatapan mata Tombak, tak ada lagi yang harus ia lakukan selain mengangguk dan menuruti perkataan rekannya itu.

***

Tepat jam sembilan pagi.

Tak butuh waktu lama bagi Tombak untuk menemukan Gembul yang tengah berbaring di jajaran kursi tribun. Tanpa memanggilnya, Tombak lebih memilih membangunkan temannya itu dengan melempar tas kresek tepat ke arah perutnya.

"Apa nih, bangsat?" umpat Gembul saat beranjak duduk. "Astaga, Boy. Gue kirain siapa."

Tombak duduk di samping Gembul. "Ada nasi pecel di dalamnya. Lo belum sarapan, kan?"

Dengan segera Gembul membuka tas kresek pemberian Tombak. "Ini pasti idenya Aira, kan? Nggak mungkin lo," ucapnya penuh keyakinan.

"Apa yang mau lo omongin?" Tombak memilih fokus pada tujuannya ke sini.

Gembul diam sejenak, sebelum meletakkan tas kresek di sampingnya. "Organisasi sekarang dipimpin Arthur."

"Hm. Bagus, dong?"

"Bagus pala lo! Posisinya yang sekarang bisa hasut semua tetua, dan kasih perintah semua anggota buat nangkep lo!"

Tombak menghela napas berat. "Jadi gue sekarang buronan organisasi?"

"Lo harus bersyukur atas reputasi lo, Boy. Anak-anak nggak semudah itu percaya hasutan Arthur yang bilang, kalau lo udah jadi penghianat dan berniat ngebunuh Bram."

"Gimana tangan Bram?"

"Belum sembuh, sih. Tapi udah membaik. Tembakan lo tepat sasaran, cuma kena bagian kulitnya aja."

"Dia aman, kan?"

"Aman. Akting dia oke juga."

"Lo sendiri aman?"

Gembul tersenyum miring. "Semoga."

Tatapan mata Tombak berubah tajam.

"Itu nggak penting, Boy. Yang lebih penting sekarang adalah lo." Gembul menarik napas sebelum melanjutkan perkataan. "Anak-anak dapat kabar kalau Arthur kirim orang lain buat nangkep lo."

"Cok," gumam Tombak pelan, namun penuh penekanan.

"Bram dan anak-anak lain cuma bisa mengulur waktu, Boy. Kasih Arthur laporan palsu yang pastinya nggak bisa dilakuin terus-terusan." Gembul menepuk bahu Tombak. "Lo harus sembunyi. Paling nggak sampai semuanya terkendali."

"Gue nggak bisa bohongin Aira lagi, Mbul."

"Hah?"

Tombak menjambak bagian belakang rambutnya sendiri dengan frustasi.

"Bentar, deh! Alasan lo bertingkah aneh tadi pagi, karena ada hubungannya sama Aira?"

"Hm."

"Lo ... ngapain dia, sih? Beneran bohongin dia?"

Anggukan kepala Tombak membuat Gembul naik pitam seketika.

"Boy!" Tanpa sadar Gembul berdiri. "Lo bohongin dia apa?"

"Bilang kalau urusan organisasi adalah urusan proyek perkebunan baru di Bandung."

"Wah ... nih anak, ya! Gue udah curiga, penyakit lo satu ini pasti kambuh lagi." Gembul membuang muka. "Anjing, gue kira selama ini Aira tahu keadaan lo gimana."

Tombak menghela napas dan mendongak menatap lawan bicaranya. "Biar gue hadepin Arthur untuk selesaiin ini."

"Lo kira Arthur bakal bisa diajak ngomong baik-baik? Dia udah terdesak dan kehilangan akal, Boy. Hidup dia bakal kelar kalau lo muncul sambil napas di depan dia."

"Gue nggak mau sembunyi dan ninggalin Aira, Mbul."

"Kalau gitu ajak Aira juga."

Kepala Tombak kini seolah terasa akan meledak. Alhasil pria itu hanya bisa menunduk menatap sepatu sandalnya.

"Gue nggak tahu apa yang udah terjadi. Tapi lihat lo seputus asa ini, pasti masalah lo sama Aira bukan sesuatu yang kecil."

"Gue janji ke dia bakal beresin semuanya. Gue nggak mau ngelibatin dia."

Gembul menghela napas dan kembali duduk. Pandangannya lurus ke depan melihat kolam renang yang ternyata sudah ramai dengan kehadiran anak-anak kecil. "Tapi ... mau nggak mau dia bakal terlibat, Boy," gumamnya pelan.

"Alex gimana?" Tombak kembali memfokuskan pembicaraan.

"Nggak tahu, ya." Gembul memicingkan mata. "Dia ... udah nggak kelihatan seambisius dulu buat jadi pemimpin."

Tombak turut memandang lurus ke depan. "Walaupun Alex emosional, dia lebih berpengalaman daripada Arthur soal lapangan. Dia pasti punya rencana. Jangan kendorin pengawasan ke dia, Mbul."

"Hm." Gembul kembali menepuk pundak Tombak. "Gue nemuin lo cuma mau ngomongin itu sama kasih peluru pesenan lo."

"Lo bawa aja dulu. Keadaan rumah gue belum kondusif."

"Aira baik-baik aja kan, Boy?"

Lama Tombak terdiam. "Gue selalu berharap begitu."

"Gue nggak tahu ini saat yang tepat buat ceramah atau nggak, tapi ... berhenti punya pikiran 'ngebohongin orang yang berarti buat lo adalah jalan terbaik', Boy."

Tombak menoleh Gembul. Mencernah perkataan pria itu baik-baik.

"Mereka berarti buat lo, dan juga sebaliknya. Jangan buat mereka kecewa karena nggak merasa lo percayain nerima lo apa adanya."

Keheningan menyelimuti kedua sahabat itu untuk waktu yang lama. Keduanya seperti tenggelam dalam pemikiran masing-masing. Saling diam, namun saling mengkhawatirkan. Untuk yang kedua kalinya, tribun kolam renang itu menjadi saksi perdebatan sekaligus perenungan mereka berdua.

.

.

"Mendung, Boy."

"Hm. Gue balik."

"Hati-hati."

***

Gembul menyetir mobil dengan sisa energi yang tak seberapa. Bukan, bukan karena semalam ia telah menyetir berjam-jam ke kota ini. Bukan juga karena tak mendapatkan kesempatan tidur dengan nyenyak sama sekali. Gembul lelah, karena pikirannya tak mau berhenti memikirkan nasib sahabatnya sendiri.

"Kenapa jadi gini, sih?" gumamnya berkali-kali.

Mobil Gembul berhenti di depan rumah Andrea. Waktu belum menujukkan tengah hari. Ia butuh mandi dan beristirahat sejenak untuk menambah energi. Saat Gembul membuka gerbang rumah Andrea, ia melihat perempuan itu tengah mengunci pintu rumah.

"Bang Gembul?" panggil Andrea saat melihat siapa yang berdiri di depan teras rumahnya.

Gembul tersenyum. Merasa begitu senang dan lega melihat Andrea. "Latih kepekaan lo dikit kek, Ndre. Bisa-bisanya nggak sadar ada orang mendekat," omelnya dengan senyuman yang masih bertahan di bibirnya.

"Ngapain ke sini?"

"Nemuin lo."

"Buat apa?"

Gembul mendekat dan menyingkirkan serpihan kapas di rambut Andrea. "Numpang mandi sama tidur."

Andrea terdiam, memperhatikan raut wajah Gembul yang nampak berseri.

"Boleh, nggak?"

Tanpa menjawab, Andrea meraih tangan Gembul dan menyerahkan kunci rumahnya.

"Lo mau pergi?" tanya Gembul saat Andrea berjalan melewatinya.

"Taruh kuncinya di atas pintu kalau lo pergi."

"Lo mau ke mana, sih?" Gembul meninggikan suara saat Andrea membuka gerbang rumah.

"Bukan urusan lo!"

Gembul mengikuti ke mana arah punggung Andrea menghilang dari pandangannya. Dengan celana jeans hitam yang dipadu kaos oblong berwarna senada, Andrea pasti tak berniat pergi jauh dari rumah. Apalagi perempuan itu tak telihat membawa tas di bahunya.

"Lagi dapet apa gimana, sih? Judes amat," gumam Gembul sebelum membuka pintu.

***

Sejujurnya, walau masih diselimuti rasa kecewa, lubuk hati Aira tak menginginkan pemandangan yang kini tergambar di hadapan matanya. Ia bisa merasakannya. Saat ini, Tombak sedang tidak baik-baik saja.

Lewat jendela dapur, Aira memperhatikan punggung lebar Tombak yang nampak murung. Pria itu tengah berdiri menghadap gunung yang diselimuti kabut dan mendung. Namun pria itu memilih menunduk, menatap entah apa saja yang berada di bawah sana. Cukup lama Aira memperhatikannya, hingga rintik hujan kecil terlihat mulai berjatuhan di atas tanah.

Tombak berbalik dan berjalan menuju pintu. Kedua matanya menangkap sosok sang istri yang menatapnya dari dalam rumah.

"Baru selesai mandi?" tanya Tombak menutup pintu penghubung dapur dan halaman.

Aira mengangguk, memilih berdusta dengan gerakan kepalanya.

"Mau kubuatkan minuman hangat?"

Tak ada tanggapan dari Aira. Ia memilih berjalan mendekati Tombak yang tengah mengisi air ke dalam teko.

"Kamu lapar?" Tombak menghadap Aira yang berdiri di sampingnya. "Mau kupanaskan rawon yang kubeli tadi siang?"

"Ada apa?"

"Hm?"

"Kamu." Aira mengusap lembut bakal jambang suaminya. "Ada sesuatu?"

Tombak terdiam, tak cukup siap menerima sikap dan pertanyaan itu. Di sisi lain, Aira semakin mendekat. Menatap lurus ke dalam mata Tombak, untuk mencari tahu emosi yang tersirat.

"Makan dulu, ya? Kamu belum makan siang," ucap Tombak pada akhirnya.

Aira menurunkan tangan. "Jadi benar ada sesuatu?"

Tak ada tanggapan langsung dari Tombak. Ia meletakkan teko, dan mendekap Aira dengan lembut.

"Kenapa diam, Tombak? Kamu masih nggak mau menceritakan semuanya ke aku?"

"Bukan, Aira." Pelukan Tombak mengerat. "Aku hanya takut semua berakhir buruk."

Keheningan dapur itu dihiasi rintik hujan yang menderas. Tombak masih memeluk Aira, menghirup dalam-dalam aroma tubuh perempuan itu dengan putus asa. Ia tak tahu, harus memulai percakapan dari mana.

Aira mengangkat tangan, mengusap punggung Tombak dengan perlahan. "Kamu nggak akan ninggalin aku, kan?" tanyanya kemudian.

Tombak menggeleng seraya meraih wajah Aira. "Kamu satu-satunya yang aku miliki, Ra."

"Ceritakan semua pelan-pelan."

"Setelah kamu makan."

Kening Aira mengerut tak terima.

"Kamu boleh marah sama aku. Tapi jangan menyakiti diri kamu sendiri." Tombak mengecup kening Aira. "Tunggu di meja makan."

Alhasil, Aira pun menurut tanpa ada perlawanan.

***

Gembul terbangun karena suara ketukan air hujan di jendela. Ia masih mengantuk, namun karena tak melihat adanya tanda kehidupan lain selain dirinya sendiri, ia pun memaksa tubuhnya untuk bangun dari sofa ruang tamu.

"Pergi ke mana tuh anak sampai sore gini?" gumamnya saat menatap jam dinding.

Kaki Gembul melangkah ke luar rumah. Ia menatap kosong pelataran kecil rumah Andrea yang disiriami hujan. Pikirannya memperkirakan ke mana Andrea pergi dengan pakaian seperti tadi.

"Ke mini market nggak mungkin selama ini. Apa dia cari makan, ya?" Gembul menggeleng. "Nggak, deh. Nggak mungkin sampai sesore ini."

Gembul kembali melamun selama beberapa saat.

"Apa main bareng temennya? Emang dia udah punya temen di sini?"

Pandangan Gembul mendadak fokus saat ia mengingat momen di mana Andrea berinteraksi dengan Delvi di minimarket.

"Masa, sih?" gumam Gembul seraya menggaruk pelipisnya.

Tak ingin merasa ragu dan resah tanpa sebab, Gembul pun meraih jaket dan payung sebelum melangkah pergi dari rumah Andrea.

.

.

Tak butuh waktu lama bagi Gembul untuk menemukan restoran bernuansa bangunan Jawa di hadapannya. Saat mencari rumah untuk Andrea, Tombak pernah mengatakan jika restoran sepupunya berada tak jauh dari sana. Tanpa ragu, Gembul pun melangkahkan kakinya masuk ke dalam.

Nuansa Jawa begitu terasa saat Gembul menyapukan pandangan ke seluruh penjuru. Restoran ini cukup ramai di tengah hujan. Manusia dari semua lapisan usia nampak memenuhi meja-meja yang ada di sana.

"Ada yang bisa dibantu, Pak?"

Gembul sedikit terkejut atas kehadiran pelayan di sampingnya. "Masih ada meja kosong nggak, ya?"

"Untuk berapa orang?"

Belum sempat Gembul menjawab, pintu restoran terbuka dan memunculkan dua orang yang sedang bergelak tawa.

"Baju kamu nggak basah kan, Ndre?"

"Nggak kok. Punggung Mas Delvi malah yang basah."

Pandangan Gembul terpaku di sana. Melihat bagaimana luwesnya Andrea mengusap punggung dan lengan Delvi yang basah.

"Pak?"

Baik Andrea dan Delvi mengangkat kepala menatap Gembul yang berdiri di hadapannya. Andrea terperangah, sedangkan Delvi mencoba mengingat siapa pria yang berdiri bersebelahan dengan pegawainya.

"Gembul alias Hendra," ucap Delvi. "Temennya Tombak, kan?"

Gembul mengalihkan perhatian ke Delvi yang berjalan mendekatinya.

"Apa kabar? Kok bisa sampai ke sini?" tanya Delvi seraya menjabat tangan Gembul.

"Baik." Senyum ringan Gembul terbit dengan mudah. "Tadi niatnya emang mau cari makan, sih. Nggak tahunya malah ke datang ke restoran lo."

"Sendiri aja?"

"Yoi."

"Dari mana?"

"Dari rumah Andrea."

Senyum Delvi berubah kaku. "Oh, kenal Andrea juga?"

"Dari dia SMP malah." Gembul tertawa kecil. "Gue kenal semua keluarganya. Gue tahu dia waktu kecil sakit apa. Gue tahu gimana kebiasan mabok-"

"Bang!" sela Andrea tegas.

Delvi menoleh Andrea sesaat. "Kita duduk bareng dulu, yuk? Ngeteh atau makan sesuatu gitu."

"Aku pulang dulu, Mas."

"Loh, Ndre?"

Tanpa suara, Gembul mengikuti Andrea yang berjalan keluar. "Ndre!" panggilnya seraya membuka payung.

Andrea tak menghiraukan Gembul sama sekali. Udara dingin pun tak membuatnya ragu untuk berbasah kuyup berjalan cepat tanpa payung.

"Lo kok malah hujan-hujanan, sih? Ditawarin Delvi makan, noh!"

Masih tak ada jawaban dari Andrea yang semakin mempercepat langkah.

"Lo gampang sakit kalau kehujanan, Ndre!"

Andrea menyeberang jalan besar di hadapannya tanpa menghiraukan klakson dari kendaraan-kendaraan yang melintas.

"Wah, nih anak." Kesabaran Gembul mulai terkikis. "Andrea!"

Tubuh Andrea berbalik saat Gembul menarik lengannya.

"Apaan sih, lo?" sergah Andrea.

"Lo kenapa, sih?"

"Gue? ELO YANG KENAPA?!" Andrea kembali berjalan cepat setelah berteriak.

Gembul mematung. Memikirkan perilaku Andrea sebelum menyerah, dan kembali mengikuti perempuan itu.

Setelah membuka gerbang, Andrea yang sepenuhnya basah kuyup segera berjinjit mencari sesuatu di atas kusen pintu rumahnya.

"Kuncinya masih di gue," ucap Gembul seraya membuka kunci. Sempat ia melirik, tubuh Andrea sedikit gemetar menahan dingin.

Andrea segera masuk begitu pintu terbuka. Namun langkahnya berhenti tak jauh setelahnya. "Lo bisa nggak sih, nggak berantakin hidup gue?" tanyanya seraya berbalik.

"Ha?" Gembul tentu terkejut dengan pernyataan Andrea.

"Lo tahu gue nggak punya siapa-siapa. Tapi yang lo lakuin justru selalu bikin gue berakhir sendirian."

Gembul tak menyahut, mencerna kalimat Andrea yang membingungkannya.

"Gue mau hidup normal, Bang. Ngerti, lo?"

"Dan ... yang lo maksud hidup normal ini ... " Gembul menarik napas terlebih dahulu "Ada hubungannya sama Delvi?"

Andrea menghela napas dan kembali berjalan. Ia menuju kamarnya, membuka lemari pakaian dengan kasar.

"Lo beneran ada hubungan sama Delvi?" Gembul mengikuti Andrea ke dalam kamar perempuan itu. "Lo pacaran sama dia?"

"Bukan urusan lo!"

"Jelas jadi urusan gue, Ndre!"

Pakaian bersih di tangan Andrea mendarat keras ke tubuh Gembul. "Berhenti sok ngejagain gue karena janji lo sama Papa ataupun Abang gue! Muak gue lihatnya!"

"Muak lo bilang?" Gembul mendekat dan mencengkeram kedua lengan Andrea. "Heh! Gue nggak akan segininya mikirin orang cuman karena janji tahu, nggak?"

Andrea tercengang menatap Gembul yang menatapnya dengan penuh emosi. Nafas pria itu yang sedikit tersengal seolah menampakkan sisi lain dirinya yang tak pernah Andrea lihat.

"Lo pacaran sama Delvi?" tanya Gembul lagi.

"Emang lo anggep gue apa?" Andrea melepaskan cengkeraman Gembul. "Setelah lo cium gue malam itu, lo anggep gue apa?"

Gembul tercekat di tempatnya.

"Gue sama aja kaya' cewek-cewek yang lo datengin kalau lagi butuh doang, kan? Jadi nggak usah mikirin gue sampai segitunya. Ngerti?"

Saat Andrea berjalan melewatinya, Gembul menarik lengan perempuan itu hingga berbalik dan menabrak dadanya. "Gue sakit dengernya, Ndre," lirih Gembul di depan wajah Andrea.

"Lo kira gue enggak? Bisa-bisanya gue sempat berharap sama lo yang nggak ada bedanya sama Bokap gue?" Kedua mata Andrea bergetar menerima sorot mata Gembul yang tajam menatapnya. "Gue nggak mau berakhir seperti Nyokap gue, Bang. Gue benci kalian semua."

"Tapi gue cinta lo, Ndre."

Tarikan napas Andrea memberat seketika. Kedua matanya nanar menatap Gembul yang nampak kesakitan menatapnya. Saat merasa Gembul melonggarkan pegangan, Andrea memilih mempersempit jarak dengan memagut bibir pria itu kuat-kuat.

Gembul menyambutnya. Menarik kepala Andrea mendekat agar lebih leluasa menyampaikan gejolak perasaan lewat sentuhan bibirnya. Ciuman kedua anak manusia itu tak mengandung kelembutan seperti yang pernah mereka lakukan sebelumnya. Ada amarah, ketakutan, serta cinta yang menggebu di sana. Keduanya seolah merasa butuh untuk menjamah setiap sisi kulit satu sama lainnya, karena merasa mungkin hanya inilah kesempatan yang mereka punya.

Tangan Andrea melepas jaket dan kaos Gembul dengan tergesa. Tubuhnya yang tengah kedinginan, membutuhkan tubuh Gembul agar dapat membagi kehangatan dengan segera. Dan napasnya semakin tersengal, kala mendapat sentuhan bibir pria itu yang seduktif memanjakan garis leher hingga dadanya.

"Ah..." desahan pertama Andrea lolos begitu saja dari bibirnya.

Gembul menggeram di sela pagutannya. Ia melepaskan diri, lalu mengangkat begitu saja tubuh Andrea menuju ranjang di samping mereka. Kedua tangannya melepas kaos dan bra Andrea dengan mudah. Pria itu segera menempelkan tubuhnya, begitu bagian tubuh atas Andrea terpampang dengan polos di kedua matanya.

"Bang- ah..."

"Gue cinta lo, Ndre," bisik Gembul di setiap kecupan yang ia hantarkan di tubuh Andrea. "Gue cinta lo."

.

.

.

.

.

.

Hujan di sore hari itu, menjadi saksi keputusasaan di antara persatuan dua anak manusia yang saling mempertanyakan takdir satu sama lainnya.

.

.

.

BERSAMBUNG

.

.

.

Yang sebelumnya suujon sama Andrea, yok ditarik lagi suujonnya 😂

Bagi yang protes 'Kok chapter ini Gembul mulu, sih?', yaaah... memang sudah tiba saatnya Gembul pamer pesona. Hahahaha.

.

.

.

All hail Lord Gembul dengan segala set set wet wetnya 👐

Continue Reading

You'll Also Like

201K 24.3K 61
kim jennie yang di kenal punya banyak hubungan. yang kini jatuh cinta pada pandangan pertama kepada lalisa seorang pemilik bengkel yang punya banyak...
2.1M 185K 50
"Aku benar-benar akan membunuhmu jika kau berani mengajukan perceraian lagi. Kita akan mati bersama dan akan kekal di neraka bersama," bisik Lucifer...
299K 20.9K 27
WARNING ⚠ (21+) 🔞 Tidak ada deskripsi langsung baca saja. apabila tidak sesuai bisa langsung di skip. jangan meninggalkan komentar jahat kecuali ko...
654K 31K 37
#Dewasa