Pov Mew.
Sesungguhnya bukan tempat ini yang ingin aku datangi, sebenarnya bukan tempat ini yang ingin aku pijaki. Namun seperti biasa, kakiku malah melangkah di tempat ini. Di tempat yang sudah aku yakini pasti akan ada luka yang nantinya bakal di torehkan kembali. Dan entah kenapa di saat aku muak dengan rasa luka dan sakit itu—aku malah dengan suka rela mempersilahkan siapa saja untuk lebih menyakitinya lagi. Walaupun bisik-bisik sialan itu terus memonopoliku, menyetir semua alam bawah sadarku dengan semena-mena—tanpa tau rasanya untuk menahan diri dari semua bisik-bisik mengerikan itu.
Sampai di titik ini pun aku masih tak mengerti—siapa aku sebenarnya, kenapa aku merubah diri menjadi semengerikan ini. Menjadi pribadi yang tak terjamah barang sedikit pun manusia yang ingin medikteku atau mendekatiku. Entah itu karena rasa penasaran mereka karena seringkali melihatku duduk di pojokan kantin, atau karena mereka heran kenapa ada manusia hidup sepertiku yang malah berkeliaran namun seperti orang mati.
Yah aku tau itu terdengar sangat membosankan, atau malah kalian bertanya-tanya tanpa sedikit pun ada orang yang menjawab, bahwa "kehidupan apa yang sebenarnya sedang kau jalani". Yah, tapi sekali lagi itu benar adanya—bahwa kehidupanku terlihat sungguh buram, hanya ada abu-abu di dalamnya, dan tak sedikit pun niat aku ingin merubahnya. Karena dengan aku seperti itu, aku merasa terbebas dari semua bayangan masalalu, walaupun bisik-bisik mengerikan itu seringkali membuatku tercekik, sampai rasanya aku ingin sekali menghunus jantungku sendiri—agar sesiapa pun itu tidak ada lagi yang menderita karena ulah biadabku.
Selama aku hidup di dunia ini, aku merasa tidak ada yang spesial di dalamnya, tidak ada pula yang membuatku menoleh dua kali ketika melihat sesuatu yang langsung memikatku. Sering kali aku malah merasakan perasaan emosi dan lelah, lalu ketika perasaan itu menyetirku—yang ada di dalam otakku malah pertanyaan "bagaimana aku bisa membinasakannya".
Dan ketika saat ini, tepatnya beberapa jam yang lalu—entah dia terpaksa atau malah justru menyukainya, aku berhasil menggagahinya. Dalam hidupku tidak ada niatan sedikitpun untuk berurusan dengan orang lain, apa lagi orang ini termasuk orang yang lugu—malah lebih buruknya orang ini mendekati kata bodoh.
Aku benci sikapnya yang bodoh, tapi di waktu yang bersamaan pula aku tertarik dengan kelakuan dungunya. Matanya yang bulat yang menggambarkan kepolosan tetapi belaga sok berani, bibirnya yang entah mengapa bisa tercipta semenarik itu, lalu kenapa...oh damn kenapa malah aku semakin terikat di dalam pesonanya. Aku tak memiliki perasaan apa pun pada pria itu, namun kenapa rasanya aku ingin sekali setiap hari bertemu dengannya. Lalu menjailinya, mengurungnya dengan lenganku yang kekar, dan dengan begitu aku juga bisa melihat matanya yang mengerling jengah ketika aku tengah mengatakan sebuah omong kosong.
Yah seperti tadi, seperti ketika aku mengatakan dengan kepercayaan diri yang entah dari mana datangnya aku bisa mengatakan itu—bahwasannya Kana menyukaiku. Oh Tuhan, memang itu sangat terdengar omong kosong. Bagaimana bisa aku mengatakan hal sekonyol itu?
Tidak, tidak. Aku mengacak rambutku frustrasi, lalu mengambil duduk di salah satu undukan tangga yang ada di pelataran rumahku. Aku mendongakkan kepalaku, melihat hamparan langit yang menggelap, yang di penuhi dengan taburan bintang yang membuat mataku enggan sedikit pun berkedip.
Huh. Kenapa semuanya menjadi tak terkendali? Biasanya aku bisa menahan diri jika mengenai perasaan, namun kenapa ini agaknya berbeda. Oh Tuhan, benar-benar otakku tengah bermasalah.
Aku menangkup wajahku lelah, memijit pangkal hidungku pelan. Sejenak aku terdiam seraya kembali melihat hamparan langit, namun bersamaan dengan itu—silau lampu tembak yang berasal dari mobil yang kini terhenti di pelataran rumah membuatku melirik.
Menunggu siapa gerangan yang turun di dalamnya. Namun agaknya aku tahu siapa orang itu, yah tepat sekali—itu papaku.
Aku menghela napas. Kenapa rasanya aku selalu malas jika bersinggungan dengannya.
"Kenapa duduk di luar." Katanya. Walaupun ucapannya terdengar dingin, tapi aku yakin di dalamnya kalimatnya terdapat ke khawatiran lebih untukku.
Aku menatapnya, terlihat gurat lelah di wajahnya. Dan dari jarak yang lumayan jauh ini, samar-samar aku bisa melihat ada garis kerutan di dahinya.
"Menikmati udara malam." Balasku seadanya.
Dia berdehem. Aku tahu acara basa-basi ini terasa canggung. Karena bagaimana pun aku dengan papa tidak pernah saling bertegur sapa, apalagi berbincang panjang layaknya anak dan ayah. Paling-paling bogeman telak yang biasa menyambutku, alasannya karena lagi-lagi dekan memanggilnya karena ulahku.
"Ku dengar acara camping kemaren tidak berjalan baik. Ada dua mayat temuan yang tergeletak di hutan dengan tubuh yang mengenaskan."
Aku serentak menoleh. Terdengar aneh ketika papa berbicara sepanjang ini, sekaligus gugup juga papa menyinggung masalah mayat itu.
"Dari mana kau tau." Tanyaku, menyipitkan mata.
"Dosen pembimbing yang ikut serta di acara camping itu memberitahuku."
Aku mengerutkan keningku, tidak biasanya juga papa ingin ikut campur tentang kabar-kabar di kampusku. Ada pun itu, kembali lagi jika ia di panggil dekan karena aku yang kembali terlibat perkelahian dengan begajulan-begajulan sialan itu.
"Memberitahumu? Kau menelponnya? Ada urusan apa. Seingatku, aku tidak membuat ulah lagi di kampus." Cecarku.
Lagi-lagi papa berdehem, mengusap tengkuknya salah tingkah.
"Kau menanyai kabarku, benar?" Simpulku, baru mengerti. Bahwa sebenarnya papa memang diam-diam memperhatikan kehidupanku, hanya saja semua itu tertutup karena rasa amarah papa kepada mama yang enggan sedikit pun padam. Lalu melampiaskannya kepadaku.
Papa menatapku tajam, namun entah kenapa melihatnya seperti itu—bibirku lantas berkedut ingin tersenyum. Aku yakin, walaupun hubungan papa dan mama sudah sejauh layaknya bumi dan langit—namun aku sebagai anaknya, darah dagingnya—masih tetaplah kebanggaannya. Walaupun pada akhirnya mama lah yang mengkhianati papa terlebih dahulu. Aku tau betul, rasa sakit itu masih jelas membekas di hatinya.
Aku menggelengkan kepalaku, masih melihat papa yang masih bersikeras sok dingin di depanku.
Hening. Tidak ada lagi pembicaraan, sesaat aku menatap ke arah lain. Sebelum suara papa membuatku melirik kembali.
"Laksmi ada di bangkok." Ujarnya. Entah memberitahuku dengan pernyataan atau justru malah bertanya kepadaku.
"Yah. Mama di bangkok." Balasku tak berminat, masih mengingat kejadian pagi tadi.
"Bersama keluarga barunya." Yah lagi-lagi pernyataan.
"Yah. Bersama Jonathan dan anak laki-lakinya." Kataku malas. Karena jujur saja membahas hal ini membuat hatiku kembali panas.
"Mereka tinggal di—"
"Pa cukup. Berhenti menanyai mama, jangan belaga sok kuat ketika menanyai perihal mama. Aku tau sakitnya masih jelas membekas. Jadi cukup untuk bertanya apapun tentang mama!" Sarkasku, membuatnya bungkam. "Kau masih mencintainya. Jadi cukup untuk melukai dirimu sendiri." Lirihku membuat papa mendongak ke atas. Aku tau sakit itu masih terus basah sampai saat ini.
Karena sampai saat ini pun, perpisahan antara mama dan papa, masih menjadi luka lama yang masih terbingkai rapih di memori ingatku dan di hati papa.
Aku menunduk. Mengacak rambutku kembali. Lalu menutup wajahku dengan tanganku yang terhias luka pagi tadi. Sial! Ini jelas akan sulit, benar-benar terus akan sulit.
"Kenapa dengan tanganmu." Pertanyaan papa langsung membuatku melirik luka di tanganku.
Aku terdiam sejenak, mencari alasan yang logis untuk luka di tanganku ini. "Mengejar pencopet yang menjambret tas nenek-nenek di supermarket siang tadi. Ingin memukul wajahnya, malah meleset meninju kaca." Jelasku.
Papa menggelengkan kepalanya, menghela napas. Dan aku pun hanya membalasnya dengan gedikkan bahu.
"Mamamu meminta ijin kepada papa. Bisakah dia mengajakmu makan malam besok nanti di restoran tempatnya menginap." Kata papa memberitahu.
"Lalu?" Ucapku, ingin tahu kelanjutannya.
"Papa mengatakannya untuk mama mu bertanya langsung kepadamu."
Aku mengusap daguku. Lalu mengangguk setelah itu.
Papa terlihat sudah berniat akan melangkah masuk ke dalam rumah, namun niatnya ia urungkan. "Temui mama mu. Dia akan senang jika kau datang." Katanya sebelumnya benar-benar masuk ke dalam.
Sayup-sayup aku mendengar ucapan lain dari bibir papa, yang membuatku langsung tersenyum dan lantas mengingat pria lugu itu kembali.
"Obati lukamu. Jika tidak langsung di obati akan infeksi nantinya." Ujarnya.
Sial! Aku mengurut rambutku ke belakang. Benar-benar sudah di luar kendali.
Pov Mew end.
Gulf berdiri terdiam di tengah hilir mudik anak-anak kampus yang tengah memadati kantin. Matanya tak lepas dari Gawin dan Mild yang sedang duduk tak jauh dari tempat Gulf berdiri. Sedang tertawa lepas tanpa adanya Gulf.
"Kemarilah bergabung dengan kami. Jangan hiraukan Mild, kau cukup meminta maaf saja kepadanya."
Pesan yang di kirim Gawin beberapa menit yang lalu tak lepas dari pandangan Gulf. Ada rasa bersalah dan keharuan juga ketika Gawin melakukan ini, dan ada rasa penyesalan juga kenapa Gulf seegois itu kepada keduanya. Mereka khawatir dengan keadaan Gulf karena mereka menganggap Gulf lebih dari teman. Namun Gulf? Huh sial. Jika di ingat-ingat lagi, Gulf memang sungguh keterlaluan.
Oh iya, sebelum Gulf datang kemari—Gulf lebih dulu melakukan investigasi lanjutan mengenai dua mayat mahasiswa itu. Dan sialnya semua yang pihak berwajib tanyakan kepada Gulf, Gulf selalu menjawab tidak tahu lalu menggelengkan kepala. Walaupun di dalam hatinya, Gulf merasa sedang di ambang ketakutan. Karena benar-benar Gulf sedang membantu iblis untuk tetap bersembunyi. Bedanya kini iblis itu bersembunyi di belakang badannya, karena jika Gulf sedikit saja membocorkan siapa pelaku itu—bukan hanya Mew yang berakhir, namun dirinya juga.
Dan kabar baiknya juga...ah sial, apakah kini dari semua masalah yang ada—kali ini masih disebut kabar baik? Tapi serius, ini kabar baik untuk Gulf. Yah setidaknya kabar baik ini mampu membuat Gulf sedikit terbebas dari semua serentetan masalah yang datang silih berganti. Karena kabar baiknya yaitu, judul skripsi yang beberapa kali Gulf revisi membuahkan hasil. Akhirnya judul itu mendapatkan persetujuan dari sang dosen, yah walaupun perjalanan skripsi Gulf masih panjang prosesnya. Namun setidaknya skripsi yang ia buat sudah ada kemajuan.
Oke berhenti membahas tentang skripsi. Karena kini Gulf sekarang tengah memikirkan cara bagaimana bisa berbasa-basi memulai pembicaraan dengan Gawin dan Mild. Ya Tuhan, Gulf sungguh di selimuti rasa bersalah.
"Akhirnya kau menyesal juga, Gulf." Batin Gulf menggerutu.
Menarik napas dalam-dalam, sembari memikirkan cara—agaknya Gulf sudah tau akan apa yang jadi awal perbincangan ini.
Dengan kegugupan yang ada, Gulf berjalan. Lalu menaruh ponselnya di atas meja kantin sedikit keras—seraya memasang wajah bossy-nya untuk menutupi kegugupannya. Membuat Gawin dan Mild yang tengah menyendok makan siangnya, sejenak menoleh.
"Kenapa?" Tanya Gawin tak mengerti.
Gulf melirik Mild dan Gawin bergantian, tepatnya melirik Mild yang masih berusaha acuh. Membuat Gulf bingung harus melakukan apa setelah ini. Sebelum menjawab, Gulf membasahi lebih dulu tenggorokannya. Rasanya juga tenggorokannya kering.
"Ekhem. Emm," Gulf melirik kembali keduanya. "Emm aku sudah mendapatkan nomor ponselnya." Ucap Gulf, sambil menunjuk layar ponselnya yang masih menyala.
Gawin yang nampaknya mengerti langsung membulatkan matanya, menatap tak percaya ke arah ponsel Gulf yang memang menunjukan serentetan nomor Mew yang menjadi bahan taruhan yang akhirnya Gulf dapatkan.
"Shia! Kau mendapatkannya meung."
Gawin terpekik, yang lantas membuat Mild menyikut lengan Gawin dengan keras. Gulf yang melihat itu hanya mampu tersenyum canggung, yang di balas gelengan acuh tak acuh kembali dari Mild.
"Hei! Bagaimana bisa kau mendapatkannya. Kami pikir kau tak akan bisa melakukannya Gulf." Ujar Gawin kembali, yang mendapatkan lagi sikutan tak suka dari Mild.
"Jangan belaga sok dingin Mild. Tadi kita membahasnya bukan." Seloroh Gawin, yang membuat Mild melototkan matanya. "Huh terserah kau saja lah." Pasrah Gawin. Yang justru membuat Gulf terkekeh. Pada akhirnya memang Mild tak akan bisa marah sungguhan kepada Gulf. Dan Gulf tau waktu itu Mild hanya kecewa saja.
"Oh tidak Gulf. Kau harus menjelaskan ini kepada kami." Ucap Gawin bersemangat, memang nampaknya Gawin lah yang terlihat antusias di taruhan ini. Mungkin pikirnya seorang Mew itu benar-benar manusia yang sulit untuk di telisiki. Namun akhirnya? Yah kali ini Gulf merasa bangga pada diri sendiri.
Gawin menarik kursi di salah satu meja lain, lalu mempersilahkan Gulf untuk duduk. Gulf tersenyum geli, namun tak urung untuk Gulf langsung duduk di kursi itu.
"Jadi bagaimana?"
Gulf kembali melirik Mild, ingin melihat sejauh mana Mild akan acuh kepada dirinya. "Hmm tidak ada sesuatu yang istimewa. Dia tiba-tiba saja mengirimiku pesan dan...yah sebatas itu saja." Jelas Gulf. Yang kembali mendapat respon tak biasa dari Gawin.
Di ingat-ingat lagi sebenarnya bukan itu cerita sungguhannya. Karena semenjak Gulf tahu siapa Mew, Mew seolah menjadi peneror bagi Gulf. Dan yah, lagi pula Gulf tak mungkin menceritakan kejadian itu bukan?
"Mai dai! Bagaimana bisa. Aku sebelumnya sudah mencari tahu perihal tentang Mew. Dan tidak semudah itu dia mengirimi pesan ke sembarang orang." Ucap Gawin membantah.
"Sepertinya kau memang cocok menjadi penguntit, Win." Sela Mild. Yang kemudian membuat Gulf tersenyum.
"Gulf?" Panggil Gawin. Gulf mengedikkan bahu.
"Lagi pula Mew hanya terlihat orang yang suka menyendiri, Win. Dia bukan intel yang harus kita memutar otak bagaimana caranya mendapatkan profilnya." Ujar Gulf menjelaskan.
"Iya aku tau, tapi ini—"
"Ya ya ya. Aku tahu kau kebingungan, tapi sungguh. Dia yang mengirim pesan kepadaku lebih dulu. Dan kini aku mendapatkan nomor ponselnya." Kata Gulf. Menunjuk ponselnya.
Gawin menghela napas, mengangguk mengerti. "Oke aku paham. Sepertinya 200 rb bath memang milikmu, Gulf." Ujar Gawin membuat Gulf tertawa.
"Aku akan mengirim mu 100 rb bath." Kata Gawin, mengotak-atik ponselnya untuk men-transfer uang ke rekening Gulf namun terhenti ketika melihat Mild tidak melakukan hal yang sama seperti Gawin.
"Hei Mild. Kau juga kirim uangnya. Gulf sudah mendapatkan nomor Mew." Perintah Gawin.
"Emm biarkanlah, Win. Mungkin Mild masih marah kepada—"
"Aku akan mengirimnya." Potong Mild, mengeluarkan ponselnya juga.
"Nggg tidak usah Mild, aku tau kau masih marah padaku. Aku tau kemarin aku sungguh keterlaluan padamu. Aku ingin meminta maaf, aku merasa—"
"Sudah." Ujar Mild, membuat Gulf menaikkan alisnya.
"Yah aku sudah mengirim uangnya." Jelas Mild. "Dan untuk masalah kemarin. Aku sudah memaafkannya, aku pikir aku juga terlalu mendesakmu. Aku sadar tidak semua masalah yang sedang kau hadapi harus di ceritakan kepadaku, ada saatnya kau juga harus menyimpannya untuk dirimu sendiri. Jadi aku juga meminta maaf untuk masalah kemarin." Lanjut Mild.
Gulf menatap Mild tanpa berkedip, rasanya jika dirinya tak memikirkan tentang image-nya di kampus, mungkin dirinya sudah menangis bersimbah air mata kini. Namun niat itu Gulf urungkan. Gulf tersenyum bahagia mendengar itu.
"Mild aku tau kau selalu akan memaafkanku, aku tau kau tak akan pernah bisa melihatku menangis. Aku kemarin terlalu emosi dan tak bisa mengontrol diri, maka dari itu aku tak sadar jika sudah menyakiti dirimu."
Mild tersenyum, menatap teduh mata Gulf. "Tak apa-apa Gulf. Aku paham masalah yang sedang kau alami membuatmu terguncang, walaupun aku tak tau pasti apa masalahmu. Jadi lupakan itu, yang terpenting jika kau merasa sudah lelah menahan semua itu sendirian, aku dan Gawin masih ada di sisimu. Kau bisa berbagi masalah kapan pun kau mau." Jelas Mild, membuat Gulf mengangguk paham.
"Ahh kenapa tidak dari kemarin sih." Ucap Gawin, menghancurkan suasana serius di dalamnya. Lalu tak lama dari itu ketiganya tertawa. Tak mengerti juga apa yang mereka tawakan, hanya mereka yang mengerti.
"Oke begini saja. Untuk merayakan kesalahan pahaman yang terjadi, bagaimana jika nanti malam kita pergi ke bar." Usul Gawin, yang di angguki setuju oleh Mild, namun tidak dengan Gulf.
"Bagaimana denganmu, Gulf?" Tanya Mild.
Gulf terdiam sejenak, berpikir sesaat. Masalahnya jika Gulf ikut ke bar malam ini, pastinya Gulf akan ikut minum dan mabuk. Sedangkan kedua orang tua Gulf masih ada di Bangkok, bagaimana jika Gulf pulang dengan keadaan mabuk? Ah sudah pasti malapetaka yang akan Gulf tanggung. Mungkin jika besok lusa, Gulf bisa ikut karena besok lusa juga kedua orang tua Gulf akan kembali ke kampung. Tapi agaknya Gawin dan Mild tak akan mungkin menerima penolakan.
"Ngg aku sepertinya—" Sebelum Gulf menyelesaikan kalimatnya, suara Cissa lebih dulu menyaut.
"Bar? Kalian akan pergi ke bar." Katanya, terlihat wajahnya yang berseri-seri. Apalagi ketika menatap Gulf.
Terlihat Gawin dan Mild memutar bola matanya jangah. Yah mungkin mereka sudah mulai terganggu dengan kedatangan Cissa yang benar-benar tak di inginkan kedatangannya. Memang terlihat sekali jika Cissa tertarik kepada Gulf.
"Bolehkah aku ikut?" Entah bertanya kepada siapa. Yang jelas Mild mau pun Gawin sengaja tak menghiraukannya.
"Kenapa diam? Gulf bolehkan aku ikut?" Bujuk Cissa, seraya bergelayut manja di tangan Gulf. Membuat Mild dan Gawin melirik sinis.
"Cissa jangan seperti ini. Ini kampus." Ungkap Gulf merasa tak nyaman.
Cissa merengut tak suka. Bukannya menjauh karena sudah mendapat penolakan, wanita itu lebih lagi menyurukkan kepalanya di leher Gulf. Demi apa pun Gulf merasa tak nyaman, dan sialnya pasang mata yang berada di kantin tengah melihatnya dengan tatapan terganggu juga, karena rengekan Cissa terdengar memang sangat memekakkan telinga.
"Gulf aku boleh ikut yah..." Rengeknya kembali.
Gulf menghela napas lelah. Belum sempat Gulf angkat suara, dering ponsel Gulf yang ada di atas meja mengalihkan atensi semuanya. Semua serentak melirik layar ponsel Gulf yang menyala, lalu sesaat semua yang ada di meja saling melempar pandangan dengan wajah terkejut.
"Aku melihat mu dan perempuan dari fakultas kedokteran itu. Temui aku di belakang gedung lama, dan jangan membuatku menunggu, Kana."
Gulf menelan ludahnya sedikit kesulitan ketika melihat tatapan ingin tahu lebih lanjut dari Mild dan Gawin, lalu tanpa mau merasakan kecanggungan ini lebih lama lagi. Gulf buru-buru berdiri, membuat Cissa meringis karena wajahnya tersikut dengan lengan Gulf. Dan sekali lagi Gulf tak menghiraukannya sedikit pun.
"Ngg aku permisi dulu." Ujar Gulf dengan suara gugup, lalu langsung menyambar ponselnya dan berlari meninggalkan wajah-wajah tanda tanya dari Gawin dan Mild.
Sebelum Gulf berlari menuju gedung lama. Gulf lebih dulu melihat wajah Mew yang tengah tersenyum tipis di salah satu meja kantin. Membuat Gulf menggeleng dan berjalan lebih cepat, "Sialan! Dia memang melihatku." Serapahnya kelewat kesal.
Yuhuu!!!! Akhirnya update setelah bulan purnama lamanya wkwk, dan ini part terpanjang dengan 2794 kata loh. Bruhh gila sih, otak makin panas.
Dan ga tau deh ini...ini part masih bagus apa ngga, pokonya komen aja kalo ceritanya mulai ga puguh...
Ketemu lg yah di update-an selanjutnya....
Tandai jika ada typo (T_T)