🔉Now Playing
Treasure — it's okay
.
.
.
Apa yang paling mungkin dari sebuah ketidakmungkinan?
[.]
Yunara mungkin tidak terlalu suka memperhitungkan sebuah kemungkinan dalam hidup. Baginya, kemungkinan hanyalah seonggok keraguan yang belum pasti atau mungkin tidak akan pernah terjadi. Karena tanpa adanya kemungkinan pun, dunia pasti akan tetap terus berjalan. Lalu, mengapa kita selalu saja menduga-duga akan sebuah kemungkinan?
Yunara ingat saat ia masih kecil. Kembarannya selalu saja menghayalkan beribu kemungkinan yang mungkin terjadi ketika mereka dewasa. Seperti, kemungkinan mereka akan hidup lebih lama bersama dengan orang tua mereka. Atau, kemungkinan mereka akan menjadi seorang yang berhasil dalam mimpi dan selalu berbahagia. Atau mungkin lagi, kemungkinan Arjuna akan menjadi bintang paling terang di antara seribu bintang di langit seperti yang ia dambakan sejak lama.
Mungkin, itu hanyalah sebuah pemikiran naif dari seorang anak kecil yang tidak begitu paham dengan cara kerja dunia. Karena nyatanya, cara semesta berkerja tidak sebaik hati itu. Semua kemungkinan-kemungkinan yang mereka bayangkan di masa kecil, hanyalah sebuah ketidakmungkinan yang terjadi di masa dewasa. Lantas, kemungkinan apa lagi yang paling mungkin terjadi dari sebuah ketidakmungkinan yang ada?
"Kak, tiap kali gue merasa sakit, apa kemungkinan lo juga bakalan merasa sakit? Kalau iya, udah berapa banyak rasa sakit yang gue bagi ke lo tanpa kira-kira?"
Yunara tercenung. Tidak tau lagi harus berapa banyak air mata yang membendung agar kembaran lelakinya ini terbangun. Tidak henti-hentinya ia menggenggam lembut tangan pucat yang kini tak bergerak di atas ranjang. Memandangi pilu bagian tubuh saudaranya yang penuh balutan perban. Merasa ngilu membayangkan betapa sakit retakan-retakan itu. Namun tidak peduli mau seberapa banyak rasa sakit yang ia rasakan juga karena Arjuna, ia tetap terus memohon agar sang empunya tubuh segera membuka kedua kelopak matanya. Lalu berkata padanya,
"Gue di sini kok, kak. Ayo makan ayam bareng! Gue yang traktir. Lo mau kan?"
Atau setidaknya, kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa Yuna semogakan untuk mendengar tawa renyah kembarannya lagi. Ia hanyalah seorang yatim piatu yang bahkan tidak punya siapa-siapa lagi selain kembarannya sendiri. Mungkinkah semesta ingin merenggut separuh jiwanya lagi dan lagi?
"Mau sampai kapan lo tidur, Jun? Gue tau lo suka bangun kesiangan. Tapi bukan berarti lo nggak bangun-bangun kayak gini..." Yunara mengendus hidungnya yang berair, merasakan bibirnya yang bergetar sembari mengangkat tangan pucat itu ke pipinya. "Setega itu lo biarin gue sengsara seorang diri di sini, Jun?"
"Bangun... bangun, Juna, bangun..."
Yuna mengepalkan tangannya, memejamkan mata hingga air matanya mengalir membasahi pipi. Yuna ingat apa yang dikatakan polisi kepadanya tempo hari.
Mereka bilang, Arjuna menjatuhkan diri dari atap gedung sekolah lamanya sekitar pukul delapan malam. Seorang pemuda menemukan tubuhnya sekitar setengah jam lebih lambat. Yunara bersyukur Arjuna masih dapat tertolong dan berakhir mengalami koma. Tidak tau lagi jika Arjuna memilih menyerah saat itu, dunia Yunara mungkin tidak akan pernah kokoh lagi.
"Kenapa lo lakuin itu, Jun? Kenapa lo bunuh diri? Lo nggak lupa kan? Itu hari ulang tahun kita..."
Yunara tidak pernah tau alasan apa yang paling masuk akal hingga Arjuna nekat ingin meninggalkannya. Apa yang membuat Arjuna nekat menghabisi nyawanya. Yunara tidak bisa memikirkan apa pun. Ketika kepalanya justru terus menolak untuk percaya pada apa yang sudah terjadi.
Bagaimana mungkin, seseorang yang bahkan tidak pernah membenci dunia seperti Arjuna, nekat menghabisi nyawanya sendiri di hari ulang tahunnya?
[.]
"Jadi, kalian yatim piatu dan sedang dalam kondisi finansial yang sulit?"
Yuna mendeham ragu ketika polisi terus saja mengulik kehidupan privasinya sebagai embel-embel untuk menyelesaikan kasus Arjuna. Namun, melihat bagaimana reaksi mereka yang begitu menyepelekan, bagaimana bisa Yuna menahan diri untuk tidak merasa dongkol?
"Korban juga mengidap penyakit arteri kronis kan? Kalau begitu, kemungkinan alasan korban melakukan bunuh diri adalah alasan-alasan itu."
Yuna menggelengkan kepala tidak terima. Suasana lorong rumah sakit yang sepi menuntut amarahnya semakin menggebu. "Alasan-alasan itu nggak masuk akal!"
"Mengapa tidak masuk akal? Korban mungkin tidak ingin membebani anda lagi mengingat kondisi kalian yang terbilang tidak baik-baik saja."
"Juna nggak mungkin ngelakuin hal kayak gitu! Juna bukan tipikal orang yang akan nyerah sama hidup gitu aja! Dia bahkan nggak pernah ngeluh ke saya kalau dia pernah mengalami masa-masa sulit sekali pun! Bagaimana bisa Bapak bilang, alasan dia bunuh diri adalah saya sendiri? Karena dia nggak tahan lagi dengan kesulitan yang kami hadapi? Arjuna bukan orang yang seperti itu!"
"Mungkin Anda perlu kembali mengintropeksi diri. Tidak masuk akal jika seseorang tidak pernah mengalami kesulitan apa pun. Anda hanya tidak bertanya dan mencari tahu. Bukan berarti tidak pernah ada sama sekali."
Yuna tercenung. Ia tidak bisa menyalahkan polisi sepenuhnya. Mereka benar. Yuna yang tidak tahu apa-apa. Sekali pun Arjuna kembarannya, Yuna bukan Arjuna yang akan merasakan semua hal yang ia alami. Arjuna mungkin tidak pernah bercerita. Namun bukan berarti, Arjuna tidak pernah mengalami kesulitan apa-apa.
Seketika, Yuna menjadi saudara yang paling bersalah karena tidak pernah tau apa-apa.
"Jadi apa, Pak? Apa alasan paling mungkin Arjuna bunuh diri? Saudara saya nggak mungkin bunuh diri. Saudara saya nggak mungkin merasa mengakhiri hidupnya seperti itu. Kami tahu kami nggak seberuntung anak-anak yang lain di luar sana. Tapi bukan berarti kami layak menghabisi diri kami begitu saja."
Yuna terus menggeleng dengan air mata yang mengalir. Tidak tau sudah ke berapa kalinya ia menangis hari ini. Yang jelas yang ia tau, air mata sama sekali tidak membantunya apa-apa.
"Arjuna mungkin punya alasan yang paling masuk akal kan Pak? Mungkin... mungkin dia dibully atau apalah. Dia bunuh diri di sekolah, sudah pasti ada alasan untuk itu kan? Tolong bantu saya, Pak. Saya perlu tahu apa alasan Arjuna bunuh diri. Saya perlu tahu apa kesulitan dia, Pak. Saya mohon bantu saya."
Harusnya polisi menolong mereka yang malang. Harusnya polisi tidak menghentikan kasus begitu saja dan mengklaim alasan Arjuna bunuh diri adalah pengaruh kondisi finansial dan penyakitnya sendiri. Seharusnya mereka lebih mencari tahu lebih dalam lagi.
Namun, seperti stigma yang mengatakan bahwa keadilan akan sia-sia tanpa adanya uang dan kekuasaan yang mendukung, maka Yuna tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Selain menerima kenyataan bahwa kemungkinan paling dekat penyebab adik kembarnya bunuh diri adalah dirinya sendiri.
Yunara tidak punya alasan lagi untuk tidak membenci dirinya sendiri.
[.]
"Setengah hari aja, Bi. Setengah hari. Yuna perlu kerja, tapi Juna juga perlu dijaga di rumah sakit."
Mungkin Yuna pernah bercerita bahwa ia tidak punya lagi siapa-siapa. Sebenarnya tidak juga. Ia masih punya saudara dari pihak ayah yang juga tinggal di kota yang sama. Tapi, mereka jarang berkomunikasi setelah Yunara dan Arjuna memutuskan tidak tinggal lagi di rumah bibinya. Ini adalah kunjungan pertama setelah tiga tahun lamanya.
Sondang— adik ayahnya— melipat tangan di dada. Memandang rendah gadis itu. "Masih nggak tahu diri, ya, kamu. Berani datang ke rumah saya lagi."
Yuna memejamkan matanya. Ia tahu ke arah mana pembicaraan Bibinya. Sangat tahu bahkan. Maka dari itu Yuna lantas menggelengkan kepala.
"Yuna sama sekali nggak pernah ngelakuin kesalahan sama Bibi. Dan lagi, Yuna dan Arjuna itu masih keponakan kandungnya Bibi. Nggak seharusnya Bibi memperlakukan kami kayak gini. Yuna juga cuma minta tolong bibi jagain Juna setengah hari—"
"Memperlakukan seperti apa?" Sondang menoyor kepalanya. "Jalang yang udah menggoda suami saya pantas diperlakukan dengan baik?"
"Bi!" Yuna membentak tidak terima. Tangannya terkepal di bawah sana. Berusaha sebisa mungkin untuk tetap menahan diri, tidak meluapkan amarahnya.
"Sekarang kamu berani bentak saya?"
"M-maaf, Yuna nggak maksud—"
Sondang manggut-manggut, memandang Yunara dengan tatapan hina.
"Asal kamu tahu, eksistensi kamu di dunia ini terlampau salah. Anak kembar itu salah satunya pasti rusak. Dan saya yakin, kamu yang rusaknya! Sadar kan, abang saya dan istrinya mati gara-gara siapa? Gara-gara kamu! Sekarang kembaran kamu hampir mati juga, siapa yang mau disalahkan? Saya? suami saya? yang paling dekat dengan dia kamu kan? Kamu yang paling masuk akal jadi alasan kembaran kamu itu mau mati! Kamu itu bawa sial buat semua orang!"
"Bi!"
Yunara menahan air matanya untuk tidak tumpah. Ia tidak mau terlihat lemah di mata orang yang memandang rendah dirinya. Maka dari itu Yuna memilih pergi dari sana dengan segera, mengabaikan panggilan suami Bibinya itu agar masuk dulu.
Yuna tidak mau lagi berhubungan dengan siapa-siapa. Ia tidak punya keluarga. Hanya Arjuna. Arjuna satu-satunya. Tapi, apakah Arjuna akan meninggalkannya juga?
Hujan terlalu tidak diundang untuk jatuh di saat seperti ini ketika Yunara memilih mengunjungi rumah Ayah dan Ibunya— makam mereka. Membiarkan pakaiannya lantas kotor karena bersimpuh di tanah yang basah. Yunara kemudian meratapi nisan itu dengan sesak di dada.
"Bun, Yah... Yuna kangen..." Yunara tersenyum pilu kala hujan membasahi pipinya. "Kangeeen banget. Sekarang Yuma cuma datang jenguk Ayah dan Bunda sendiri. Yuna cuma sendiri..."
Yuna tak mampu lagi menahan air mata yang sudah sedari tadi ia tahan. Diusapnya tanah makam bunda dan ayahnya bergantian, membiarkan air matanya jatuh di atas sana. Bersamaan dengan air hujan yang jatuh dan terus membasahi makam itu.
"Yuna sadar Yuna terlalu banyak membenci dunia. Tapi kenapa dunia malah menghukum Juna?" Ia menggelengkan kepala dengan matanya yang berair. "Seharusnya Juna masih di sini, seharusnya Yuna yang sekarat dari lama, seharusnya Yuna yang mati, bukan Arjuna..."
"Yuna benci diri Yuna sendiri, Bun. Maaf. Maaf Yuna datang kesini cuma mengeluh. Yuna nggak bisa tahan lagi untuk nggak membenci diri Yuna sendiri. Yuna capek, Bun... Yuna capek, Yah... Yuna nggak mau hidup lagi..." Yunara terisak, ia menundukkan kepalanya.
"Yuna sadar Yuna seburuk itu. Yuna bahkan nggak pernah tahu apa yang Arjuna alami. Yuna nggak pernah tahu kesulitan apa yang Juna alami. Juna selalu bantu Yuna untuk tetap hidup. Tapi Yuna? Yuna nggak pernah sekali aja ngelakuin hal yang sama ke dia. Ini salah Yuna. Yuna bersalah. Tapi apa boleh Yuna egois untuk minta Juna bertahan lebih lama untuk Yuna? Bantu Yuna Bun, Yah. Yuna nggak mau ditinggalin siapa-siapa lagi. Yuna capek..."
Yunara merasakan air matanya melebur bersama hujan. Sesak di dadanya terada sama seperti bagaimana hujan menusuki kulitnya beribu kali dengan air-air itu.
Yuna hanya ingin menangis. Yuna hanya ingin mengadu kepada orang tuanya. Sekali pun tak akan pernah ada jawaban yang terdengar. Atau mungkin sekadar sebuah pelukan singkat yang terasa hangat dirasakan.
Yuna hanya bisa memeluk dirinya sendiri. Berharap semua penderitaannya akan segera berakhir entah hari ini, besok, atau lusa. Yuna hanya ingin baik-baik saja, itu saja.
Mengingat bagaimana semua orang mengabaikan Arjuna, bagaimana polisi menutup kasus saudaranya itu begitu saja, Yuna seketika mengepalkan tangannya.
"Nggak. Juna nggak mungkin bunuh diri. Juna nggak mungkin nyakitin dirinya sendiri. Juna janji mau makan ayam bareng Yuna, Bun, Yah. Rasanya nggak masuk akal Arjuna tiba-tiba bunuh diri kan, Bun? Tapi polisi nggak percaya Yuna. Polisi nggak mau bantu Yuna. Polisi nutup kasusnya gitu aja."
Yuna menggelengkan kepalanya berkali-kali, menolak fakta itu lagi dan lagi. Yuna masih tidak bisa mempercayainya. Batinnya mengatakan itu tidak benar. Dan Yuna yakin batinnya tidak mungkin salah.
Maka untuk meyakinkan tutur batinnya itu, Yunara tiba-tiba memikirkan sesuatu hal yang sedikit terdengar tidak masuk akal. Mungkin polisi benar, Yunara tidak akan pernah tahu apa yang Arjuna alami karena dia bukanlah Arjuna. Karena itu, jalan satu-satunya untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Arjuna adalah dengan menjadi kembarannya itu sendiri.
Persetan dengan polisi. Yunara akan menemukan jawabannya sendiri.
[.]
Gatau dehhh ceritanya bakal ada yang baca atau engga😭
Desperate bgt jujurly😭
Masih ada yang mau baca kelanjutannya nggak ya?
Tapi gapapa dehhh itung-itung latian nulis karena dah lama ga nulis cerita😄 Terima kasih buat yang udah bacaaa🥰 ily💗