RUANG LIMINAL

By nuralifah_28

225 34 0

Katanya kita harus terus tumbuh walau nyatanya kita sedang runtuh. Althea Jingga Drinata, tak pernah membangg... More

Sua
1 - Setumpuk Lara
2 - Romansa Smedasundet
Derana
1 - Lancang
2 - Uluran
3 - Berlinang
4 - Ikrar
5 -Merona
6 - Tawa
7 - Nestapa
8 - Mula
9 - Asa
10 -Narda
11- Pekarangan
12 - Dekap
13 - Singgah
14 - Runtuh
Gandrung
1 - Kabung
2 - Petuah
3 - Bekas
4 - Terungkap
5 - Sesal
6 - Moving
7 - Guilty
Reda
1 - Resolve
2 - Telisik
3 - Jenga
Ultima

3 - Keranjang Kudapan

11 2 0
By nuralifah_28

Langit nampak lebih muram daripada hari yang lalu, Thea segera bergegas mengambil keranjang kudapan di warung-warung sebelum badai menggagalkan kepulangannya. Beserta langkah yang berantakan dan terburu-buru, Thea lewat jalan pintas sebelah lapangan yang tembus ke kampung lain dan jaraknya cukup dekat dengan rumah.

Seperti biasa, selalu ada snack yang masih tersisa, beberapa kudapan manis seperti donat meses dan odading belum habis. Ketimbang kudapan itu tidak termakan bila dibawa pulang, Thea selalu memberikan kudapan tersebut pada beberapa orang yang ia temui di jalan. Tak lupa, bila Thea melewati jalan pintas, ia menyempatkan untuk memberikan donat pada beberapa anak yang berlarian dan lansia yang sering duduk di depan rumah saat sore hari.

Rupanya langit tak memihak Thea, baru beberapa menit berjalan, hujan begitu saja mengguyur jalanan dengan suara petir yang saling bertaut. Karena tidak mungkin Thea menebas hujan yang cukup lebat, ia memutuskan untuk berteduh di tukang tambal ban samping lapangan. Satu jam berlalu, nampaknya guyuran air hujan sudah menjadi rintik yang takkan membuat dirinya basah kuyup.

Sore itu Thea tak menemukan anak-anak berlarian maupun lansia yang biasa bersantai di depan rumah. Kampung yang ia lewati nampak sepi, dari kejauhan Thea sempat melihat rumah minimalis warna putih yang gordennya sengaja disingkap dan memerlihatkan kegiatan orang-orang di rumah tersebut. Ada sepasang suami istri yang sedang menyaksikan televisi dengan 2 anak yang duduk disamping mereka, yang satu sedang asyik membaca dan satunya lagi ikut menonton televisi sambil berlarian kesana kemari.

Tak terasa air matanya menetes tanpa permisi, rasanya cukup pedih bila membayangkan bagaimana kondisi keluarganya saat ini, terlalu banyak carut marut dan menyebabkan momen berkumpul, mengobrol, bahkan menonton televisi bersama adalah kemustahilan. Thea merindukan segala macam hal tentang keharmonisan, kehangatan, dan kebersamaan bersama keluarganya.

Sejak krisis 1998, saat usianya masih 5 tahun dan adiknya baru saja lahir, keluarganya mulai mendapati banyak permasalahan baik finansial, kebohongan, ataupun ketiakpantasan yang tak perlu dilakukan. Cukup lama Thea terdiam di depan rumah tersebut, sekitar 10 menit dan hanya memandangi keharmonisan yang semu baginya. Seorang lansia dari seberang jalan memanggilnya "Hei nak, penjual kudapan, kemarilah, aku ingin donat meses yang biasa kau tinggalkan di atas kursiku, kemarilah nak," ucap Oma Hulda yang melambai pada Thea.

Thea bergegas mengusap pipinya yang basah dan menghampiri lansia tersebut. "Hai nek, maaf ya, saya sering meinggalkan kudapan saya begitu saja di atas kursi nenek, kadang saya lihat nenek duduk disitu, namun selalu saja setiap saya akan menghampiri nenek sudah masuk, mungkin karena langit akan segera gelap," Lansia itu hanya memberikan senyuman manis, sungguh elok parasnya hingga Thea tiada henti menatap setiap garis wajahnya yang tegas dan bulu matanya yang lentik. "Ini kubeli semua ya, berapa total semua kudapan ini?"

"tidak usah nek, ini hanya kudapan sisa, bunda selalu berkata bila yang dijual tidak terjual, kita harus membaginya pada orang lain karena sudah takdirnya kudapan ini tak terjual nek," sahut Thea. "Baiklah, berikan aku kudapan yang biasa kau letakkan di kursiku, yang lainnya bisa kau berikan pada orang lain," ucap Oma. "Iya nek, maaf saya tidak bermaksud menolak rezeki," jawab Thea dengan mengulurkan kudapan tersebut, menutup keranjang, dan segera berpamitan pada Oma.

Sebelum Thea meninggalkan lansia tersebut, pundaknya sempat ditepuk-tepuk oleh si lansia sembari membisikkan "Nak, dirimu hebat, tetaplah jadi anak baik, apapun hal yang menekanmu, percayalah semua proses yang kau jalani akan berlalu pada suatu saat nanti, yang kau butuhkan hanya tetap tangguh, lekas bangkit bila terjatuh, dan belajar lagi bila gagal. Selalu ada jalan indah di masa yang entah kapan, jangan memutuskan untuk hanya menunggu, cobalah tetap jalan walau rasanya kau ingin berhenti dan tak melanjutkan lagi," Thea pun mengucapkan terima kasih, memeluk Oma yang bahkan tak sempat ia jabat tangannya untuk berkenalan. Thea segera berlalu dan melambai pada Oma karena langit sudah mulai gelap.

.....

Sesampainya di rumah, Thea bergegas membersihkan diri, mencuci pakaian kotor, dan membantu bundanya membuat adonan kudapan yang akan dititipkan esok nanti. Berhubung esok adalah minggu, Thea dapat sepenuhnya membantu bunda tanpa halangan untuk mengerjakan tugas ataupun tidur. Kebetulan tanggungannya untuk menjual koran di hari minggu tak sepagi hari-hari biasanya, tepat pukul 7 Thea mengambil koran dari agen kemudian menjualnya hingga siang hari atau bahkan sore hari jika korannya belum habis.

Thea juga tak mengambil kudapan yang dititipkan bundanya karena bunda sendiri yang akan mengambilnya. Siapapun yang menemui Thea di jalan saat menjual koran, baik teman, guru, tetangga, atau siapapun takkan pernah mengenali Thea. Hanya Tessa yang dapat mengenalinya karena beberapa kali sering membantu Thea berjualan. Thea selalu menggunakan setelah kaos oblong, celana jeans ¾, rambut ditekuk dan dimaukkan dalam topi abu-abunya, dan tak lupa masker kain batik yang menyelimuti hidung hingga lehernya. Berbagai macam orang beserta karakter yang berbeda-beda sering ia temukan saat menjual koran.

Pertama, yang terburu-buru ke kantor dan tak sempat membaca koran di rumah. Cukup banyak orang berdasi, dengan jas yang licin, sepatu kinclong, dan mobil mulus menghentikan Thea dan membeli koran miliknya. Jika diperhatikan, sebagian akan membacanya sedikit ketika terjebak lampu merah, sebagian lagi akan melipat dan meletakkan di depan kemudi hingga terlihat dari luar kaca depan mobilnya yang entah nantinya akan terbaca atau hanya tertinggal disana.

Kedua, yang disuruh anaknya membeli koran karena iba semata, beberapa anak kecil pun tampak berkaca-kaca melihat gadis yang masih tergolong anak usia sekolah menjual koran di dekat lampu merah, dengan pakaian yang kusam, dan sandal yang setipis keripik tempe di warung soto. Thea menyebut anak-anak itu sebagai si bocah yang kurang beruntung, memiliki orangtua lengkap yang terlihat harmonis namun membeli koran masih berdasar iba pada penampilan dan ketdakpunyaan kesempatan yang sama enaknya seperti mereka. Bukannya mengajarkan untuk memahami pentingnya koran dieli untuk dibaca, tapi jelas malah memuji tindakan baik hati sang anak kepada manusia yang mereka anggap fakir.

Ketiga, golongan anak muda dengan totebag dan kemeja lengkap dengan celana kain. Mereka yang membaca setiap detail koran khususnya pada bagian lowongan pekerjaan, berbekal pulpen dan note kecil di totebagya, segera mereka lingkari beberapa lowongan yang akan mereka lamar dan mereka silang lowongan yang tidak sesuai dengan kemampuan dan bidang mereka.

Keempat, ini adalah golongan yang sering membeli koran, hampir tiap hari, yakni supir angkot yang lalu lalang di sepanjang jalan raya. Beberapa membaca untuk melihat berita-berita update yang tak mereka dapatkan di televisi. Namun, kebanyakan akan melipatnya dan dijadikan kipas untuk sedikit mengurangi kegerahannya menyetir mobil tua dan menunggu penumpang. Bila Thea sedang ngaso sebentar di dekat pangkalan mereka, beberapa mengajaknya berbincang tentang uang setoran yang belum cukup, rawannya copet di dalam angkot, atau penumpang yang memberikan upah sedikit dengan melemparkan uang yang telah diremas kemudian begitu saja berlalu padahal sudahlah jauh sang supir mengantarkannya.

Jalanan membuatnya belajar,

Tentang si jas yang sedikit angkuh, Si balita tukang iba,

supir yang penuh peluh, dan para pejuang pecari kerja,

Semuanya tetap manusia biasa,

Hidup dan berpijak di tanah yang sama,

Tanah yang menyatukan berbagai macam rupa manusia

Ada banyak hal yang Thea dapatkan selama ia menjual koran, beberapa membuatnya tersenyum, jengkel, juga berpikir tentang berbagai macam peristiwa sekaligus karakter manusia yang berbeda-beda. Sulit untuk Thea begitu saja percaya dengan orang yang baru dikenalnya ataupun orang asing. Melihat fakta lapangan yang selama ini ia hadapi, juga permasalahan keluarga yang tiada henti membuat Thea semakin mengacuhkan orang-orang dan menganggap setiap perlakuan orang hanya kepalsuan.

Satu-satunya tempat bergantung adalah dirinya sendiri, dan orang yang paling ia percaya hanya bunda dan Tuhan yang selalu menyertainya. Bergantung pada orang lain seperti menabung kekecewaan yang sewaktu-waktu bisa meledak, bahkan saat kita benar-benar menaruh sejuta rasa percaya pada orang tersebut. Kelak, yang dapat menyelamatkan kita dari segala macam permasalahan adalah diri kita sendiri, solusinya ada pada diri kita, bagaimana kita menyikapi, dan bagaimana kita yakin untuk melewati.

.....

Hari minggu termasuk hari yang membuat Thea cukup lega karena ia hanya perlu menjual koran kemudian pulang. Walaupun seringkali Thea tetap pulang sore karena mengambil jatah koran lebih banyak dan mendengarkan supir angkot yang biasa membagikan cerita hidup yang mereka katakan sebagai pas-pasan. Minggu terakhir di januari tetap dihiasi cuaca yang cukup nyaman, dengan rintik hujan yang tak henti menetes, dan suasana kota yang tergolong sepi karena beberapa orang memilih untuk tidak keluar rumah dan menunda kepergiannya agar tidak terjebak hujan. Cukup sulit menjual koran dikala musim semacam ini, bahan dasarnya yang berupa kertas tipis jelas membuatnya sangat rapuh walau hanya tertimpa setetes air.

Thea menyiasatinya dengan memberikan penutup dari plastik maupun kresek untuk koran-korannya. Kekuatan payung tak cukup melindungi koran-koran karena terlalu tipis kertas yang digunakan. Bila hujan cukup lebat, Thea memilih untuk berteduh di seberang jalan, entah di dekat warung ataupun di depan toko. Terkadang, beberapa orang yang berteduh menghampirinya untuk membeli beberapa koran, jelas bukan untuk dibaca melainkan sebagai pengganti tisu untuk mengelap lantai pinggir toko yang basah karena mereka akan mendudukinya kemudian.

Memasuki bulan februari, bulan yang teramat dibenci Thea, 13 Februari 2004 lalu, Thea memergoki ayahnya bersama wanita yang entah darimana asalnya. Mereka menebar romansa yang lebih merujuk pada pemuasan birahi semata. Saat Thea bermaksud mengantarkan bekal untuk Ayahnya, tepat di pojokan rumah usang dekat pasar kota, Thea menyaksikan Ayahnya bercumbu cukup ganas dengan si wanita jalang.

Saat itu, Thea tak cukup paham kenapa mereka berdekatan, hingga kulitnya menyatu sambil melakukan gerakan aneh. Dihempaskan begitu saja bekal yang ia bawa, kemudian berjalan cepat menuju rumah untuk segera memberitahukan apa yang dilihatnya pada Bunda. Saat itu, jelas sekali bila Bunda kaget dan seketika naik pitam, rona wajahnya mulai memerah, tangannya mengepal seperti hendak memukul dengan emosi yang amat besar, dan tubuhnya mulai berkeringat entah karena kepanasan di siang hari atau panas mendengar cerita romansa busuk Ayah bersama si wanita jalang.

Thea yang masih cukup polos dan diliputi rasa penasaran segera bertanya pada Bundanya "Memangnya Ayah kenal dengan wnanita itu bunda?, kenapa mereka begitu dekat, seperti berpelukan tapi sambil melakukan tarian yang cukup aneh, bunda bunda (sambil menarik narik rok Bunda yang masih terpaku)," Saat itu Nara sedang tidur, Bunda segera menempelkan tangannya pada pundakku dan menyuruh untuk tetap di rumah, menjaga adik, dan jangan keluar hingga Bunda kembali. "Jaga Adikmu, Bunda akan keluar sebentar untuk menyelesaikan beberapa hal, jangan tinggalkan Adikmu hingga Bunda kembali, Bunda takkan lama," sambil mengelus rambutku yang masih basah karena peluh bekas lari tadi.

Bunda keluar dengan tergesa-gesa, dengan tangan kosong dan amarah yang semakin meradang. Sekitar 3 jam Bunda keluar sampai Thea selesai memandikan dan menyuap Adiknya, Bunda pulang dengan peluh yang cukup deras bercucuran, juga rambut yang sudah entah bentuknya seperti tersengat listrik puluhan Watt.

Setelah hari itu, sekitar 1 minggu Ayah tak pulang ke rumah dan Bunda berkata bila Ayah sedang banyak urusan dengan wanita yang sempat Thea lihat tempo hari. Sejak Ayah kembali ke rumah, banyak hal yang berubah baik dalam hal percakapan Bunda dan Ayah yang semakin minim, Bunda yang memilih tidur di kamar Adiknya, Ayah yang sering tertidur di kursi, dan bekal yang tak pernah lagi dikirim untuk Ayah. Saat Thea bertanya tentang bekal, bunda menjawab bila Ayah tak membutuhkan bekal, Ayah sudah kenyang dengan sarapan yang diberikan si wanita jalang.

Sebulan berlalu, tampaknya Thea mulai menyadari segala macam keanehan yang menyelimuti keluarganya. Ia mulai paham bila perbuatan Ayahnya beberapa minggu lalu adalah kesalahan yang tak bisa Bunda maafkan. Ada banyak rasa kesal dan kecewa yang bunda pendam hingga terkadang adonan donat yang telah diberi pengembang pun gagal karena terbasahi oleh air mata Bunda yang tiada henti mengucur deras tiap malam.

Thea memilih untuk tak berusaha mengkonfirmasi atau menanyakan apapun perihal kesalahan Ayah, bukan kali pertama ayah membuat kesalahan dan membuat bunda menjadi manusia lusuh. Thea pernah melihat bundanya menangis di malam hari ketika ia masih duduk di kelas 3 sekolah dasar. Namun, baru kali ini bunda mengumbar sedih dan rapuh lebih dari satu bulan, menangis tiap malam, hingga sempat libur membuat kudapan.

Rumah Thea tak pernah lepas dari kata gaduh, orangtuanya sering adu mulut hingga terkadang salah satu ataupun keduanya melontarkan nada yang cukup tinggi dan membuat adiknya yang semula terlelap, turun dari tempat tidurnya. Thea teramat irit dalam berucap, ia memilih untuk diam dan membiarkan kegaduhan dihentikan oleh rusaknya berbagai macam perabotan.

.....

Sejak peristiwa 13 Februari 2004, rumahnya lebih pantas dianggap sebagai tempat berteduh saat hujan tanpa kehangatan yang hadir untuk meredam hawa dingin didalamnya. Ayahnya menjadi seseorang yang dianggap terlalu menyusahkan berada di rumah. Walau tiap hari berangkat kerja, tak sepeserpun rupiah diberikan untuk menghidupi keluarga termasuk kebutuhan akademik anak-anaknya. Bila penghasilannya dipertanyakan, Ayahnya selalu memberikan jawaban "Tak ada yang minat membeli mainan di lapaknya, anak-anak sudah tak menyukai mainan kuno dan memilih memilih menonton kartun di rumahnya masing-masing,"

Saat Thea mulai masuk SMA, ia mulai terbiasa menjalankan aktivitasnya menjual koran, mengambil kudapan, dan membantu membuat adonan kudapan. Sejak Thea memahami segala macam kesalahan yang dibuat oleh sang ayah pada bundanya, Thea tak pernah menghiraukan apapun tingkah ayahnya baik di rumah ataupun di luar. Ayahnya lebih mirip sebagai manusia yang menumpang singgah hingga entah kapan nalarnya cukup pintar untuk segera berpindah.

Kadang Thea heran dengan sikap bunda selama ini, bunda terlalu takut menjadi perempuan yang menghidupi anak tanpa pendamping, sesekali bunda tetap merawat ayah bila jatuh sakit, menyuap dan mengompresnya hingga pulih. Bunda tak pernah sadar bila 10 tahun belakangan hanya dirinya dan Thea yang menyokong segala macam kebutuhan rumah dan akademis putra putrinya. Ayah seakan tak pernah ada untuk barangkali mengulurkan bantuan dan menjalankan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga. Semua hal termasuk urusan sekolah, lingkungan sekitar rumah, dan mencari nafkah dijalankan oleh bunda.

Ada kebencian yang menyelimuti Thea, apapun yang ayahnya katakan ataupun perintah tak pernah sedikitpun Thea hiraukan. Thea memilih disebut sebagai anak durhaka daripada menuruti ayah yang tak pantas disebut ayah lagi. Kebanyakan anak-anak selalu membanggakan ayahnya, menyematkan label pahlawan, bahkan menganggap mereka sebagai cinta pertama.

Thea selalu muak mendengar kata cinta dan semacamnya, apalagi perlakuan bunda pada ayahnya yang menggambarkan anggapan bila cinta itu buta. Berulang kali Thea ungkpakan bila tak ada yang perlu dipertahankan, berpisah dengan ayah bukan akhir dari segalanya, karena nyatanya selama ini bunda dapat menjalankan semuanya tanpa ayah di sisi bunda. Jawaban sang Bunda tetaplah sama, "Ayahmu itu tak bisa apa-apa, bila bunda memutuskan untuk meninggalkannya, kelak dia entah menjadi orang gila atau semacamnya. Lagipula, kau masih membutuhkan Ayahmu sebagai wali di pernikahanmu kelak"

Sejatinya, kehilangan tetap menjadi ketakutan terbesar,

Entah hilang untuk sekejap atau selamanya,

Tak ada yang salah dengan memberikan cinta,

Tak ada yang melarang bertahan untuk cinta,

Namun, terlampau bodoh bila meladeni cinta yang buta,

Padahal, jelas terlihat setiap detail tingkah bangsatnya!

Namun apa daya, bila memaknai cinta tanpa nalar dan logika,

Bahkan tai kucing saja tetap dikata wangi aromanya.

Dialek Thea dan Bunda yang semacam ini selalu menjadi awal dari pertikaian tanpa ujung. Thea lekas menjawab bila dirinya masih memiliki adik laki-laki untuk menggantikan ayahnya di pelaminan, itu pun jika Thea ada niatan untuk membangun rumah tangga. Melihat semua hal yang ia saksikan selama ini, konsep keluarga menjadi hal yang paling dibenci, rumah tangga adalah hal terkotor, dan cinta adalah ungkapan konyol untuk orang-orang bodoh yang ingin dikecewakan nantinya.

Mereka akan menutup dialek dengan suasana hening karena terdiam satu sama lain, kemudian melanjutkan aktivitasnya masing-masing. Terkadang, Thea ingin menjalani hidup dengan rasa lega, tanpa sedikitpun hal yang membebani pikiran maupun kalbunya, tapi jelaslah hanya impian belaka. Setiap ia melihat kehadiran ayahnya, memori kelam tentang perbuatan Ayahnya dan si wanita jalang di rumah tua selalu terulang kembali di benaknya.

Beberapa orangtua semacam Bunda, yang entah mendapatkan kalbu darimana karena sedemikian bersih dan tak pernah berburuk sangka, selalu memberikan petuah serta tuntunan yang berbau-bau positif. Hal ini menyiratkan bila sesuatu yang negatif pasti buruk dan tak pantas dilakukan. Walaupun bundanya memiliki peran penting dalam hidup Thea, namun konsep pengenalan hal yang mentok pada hal-hal berbau positif membuat Thea muak.

Ada berbagai macam emosi dan ekspresi yang bebas diungkapkan seseorang, terlebih anak-anak. Emosi semacam rasa benci, amarah, berteriak, dan menangis seolah menjadi hal yang membuat sang anak mendapat stigma sebagai anak tak punya tata krama dan cengeng. Thea selalu mengatakan hal yang sama ketika bunda dipanggil ke sekolah mulai dari Thea SMP hingga SMA, sudah lebih dari 20 kali bunda diberi surat peringatan, bukan karena kepentingan akademik melainkan perilaku Thea sebagai pembuat onar di sekolah.

"Mengapa Bunda tak pernah bertanya untuk apa Thea melakukan perbuatan itu? apakah Bunda teramat yakin bila perbuatan Thea tak memiliki dasar apapun? Pernahkah selama ini Bunda mendengarkan Thea? Atau selalu saja si bajingan itu yang menaungi pikiran Bunda hingga tak mampu menggunakan nalar dengan lancar?" Sambil meludah Thea meneruskan perkataanya "Memang Bunda dibutakan cinta yang tak jelas arahnya, mungkin bila cinta membawa Bunda ke neraka, Bunda akan berlalu begitu saja, yang terpeting bersama yang dicinta kan?" Kejadian setelahnya pun puluhan kali terulang, tangan kanan Bunda melesat dengan cukup kasar ke pipi kanan Thea.

"Ini akibatnya bila pelampiasan amarah adalah perusakan perabotan, bahkan pipi ini saja dianggap sebagai panci dan wajan yang berserakan," Bunda memang orang yang baik, ia menjalankan hidup dengan prasangka yang selalu positif, bahkan ketika caruk dengan Ayah, Bunda kemudian akan meminta maaf dan segala macam amarahnya yang mencuat adalah hal buruk yang tak pantas ditiru. Namun, Bunda seakan menanamkan toxic positivity pada kedua anaknya, semua hal teramat disikapi secara positif dan segala macam emosi yang Bunda anggap negatif ujung-ujungnya terpendam begitu saja.

Ada suatu waktu Thea akan meluapkan emosi itu, entah dengan berlaku kasar di sekolah, membuat onar, ataupun melanggar beberapa aturan seperti membawa rokok, tidak memakai atribut sekolah, ataupun meninggalkan jam pelajaran dengan dalih ke toilet tapi nyatanya sebat di ujung kantin. Bila Thea diperkenankan untuk memilih antara Bunda atau Ayahnya, Thea takkan memilih keduanya.

Bagi Thea, mereka sama-sama membuat hidupnya semakin chaos, bila Ayah berlaku bangsat, masih ada ribuan maaf yang Bunda simpan untuknya. Memori tentang Februari menyisakan luka yang masih menganga, namun proses membuat Thea mengacuhkannya. Sekelumit usaha yang dijalankan untuk mengais recehan membuat energinya cukup terkuras, hal ini dijadikan alasan untuk menganggap rumahnya sebagai tempat ngaso sejenak.

.....

Thea bertemu kembali dengan hari senin, kali ini hujan, ia mengambil koran di agen cukup siang, tepat pukul setengah enam pagi baru diambil. Jelas ia akan bekerja lembur karena waktunya menjual koran pagi hanya setengah jam sebelum ia berangkat ke sekolah. Korannya masih setumpuk, biasanya akan ia titipkan pada pedagang asongan dekat pemberhentian angkot, bila beberapa terjual, Thea akan membeli kudapan atau minuman dari pedagang tersebut nantinya.

Sungguh sial, hujan masih mengguyur sepulang sekolah dan korannya belum juga habis hingga sore. Thea mengambil keranjang kudapan dengan setumpuk koran yang menyertainya, saat ia akan kembali ke jalan raya untuk menjual sisa koran, keranjang kudapannya tersenggol beberapa anak kecil yang berlarian menuju rumahnya. Karena tak sempat membereskan dengan rapih, Thea memutuskan untuk meninggalkan kerenjangnya sementara di balik semak-semak dekat rumah minimalis yang ia lihat tempo hari, cukup aman bila sementara waktu keranjangnya diletakkan disana. Selepas ia menghabiskan koran-korannya, ia akan mampir mengambil keranjang dan membawanya pulang.

Bangsat, keranjang yang Thea letakkan di dekat semak-semak raib entah kemana, padahal ia sudah cukup rapih menutupinya dengan beberapa daun yang lain. Ternyata masih saja manusia rakus mengambilnya, ya mungkin diambil oleh si raja tikus dan dibagikan pada kerabatnya. Thea pulang dengan tangan kosong, bahkan ia belum sempat membagikan kudapannya pada anak-anak dan lansia karena hujan, tadinya akan ia berikan pada pemuda gereja yang masih berlatih ataupun pengajian di masjid dekat rumahnya.

Sesampainya di rumah, seperti biasa bunda takkan marah dan mengatakan bila ia masih memiliki keranjang lain sembari mengingatkan bila jangan lagi sembarangan meletakkan keranjang. Di hari berikutnya, langit cukup cerah dan Thea dapat mengambil keranjang kudapan di sore hari, ia mampir sejenak ke semak-semak untuk menelusuri barangkali keranjangnya dikembalikan. Karena, keranjang tersebut lebih nyaman dan ringan untuk dibawa daripada keranjang anyaman yang diberikan bunda, cukup berat untuk dibawa bersama tas sekolahnya.

Jelas tak ada keranjang itu, Thea melanjutkan perjalanan pulangnya hingga sampai di perempatan kampung, ada lelaki yang menghampirinya dengan terengah-engah karena mengayuh sepeda cukup kencang. Lelaki itu membawa keranjang kudapan yang sebelumnya raib, "Bangsat, ternyata kau yang mengambil, cepat berikan padaku." "Kau teramat bodoh, meninggalkan keranjang sedang langit masih hujan cukup deras, jelaslah bila tak kuambil kudapannya akan larut dengan air" jawab lelaki tersebut dengan sedikit nyengir dan mengejek. Thea kemudian berlalu tanpa menjawab ocehan lelaki itu. Sepanjang perjalanan pulang, entah berapa banyak sumpah serapah yang Thea lontarkan untuk lelaki yang mengembalikan keranjang kudapan ke hadapannya.

Tiga hari setelahnya, Thea tidak lagi pulang lewat jalan pintas dan memutuskan untuk lewat jalan utama dan membuatnya menempuh perjalanan yang cukup jauh. Hari keempat di februari, nampaknya langit masih enggan menampilkan semburat merah dikala petang, yang ada hanya langi abu-abu dan beberapa rintik hujan. Thea kembali lewat jalan pintas sebelum hujan semakin lebat. Nyatanya, rintik hujan belum jatuh ke perkampungan dekat jalan pintas, tempat dimana Thea biasa membagikan sisa kudapan pada anak-anak dan lansia.

Kali ini, kudapan hanya tersisa sedikit dan ia berikan pada segerombolan anak-anak yang sedang bermain gundu. Thea menyempatkan menghampiri beberapa lansia termasuk lansia menawan yang amat ia kagumi parasnya nan elok. Thea mengatakan bila kali ini Oma tak mendapatkan bagian kudapan karena rezeki hari ini kebanyakan dari orang-orang yang membeli.

Oma tak banyak berkata, hanya mengelus pundak dan merapikan rambut Thea yang cukup berantakan karena angin dan polusi yang bertebar di jalan tempat ia menjual koran-korannya. "It's okay, bukan suatu kewajiban memberikanku kudapan sementara banyak anak lain yang lebih suka taburan meses manis itu. Bukankah bagimu, aku sudah cukup terlihat manis tanpa memakan meses itu?" ucap Oma dengan sedikit tersenyum. "Jelas nek, parasmu sungguh menawan, kau pasti menyadari bagaimana ekspresiku tiap kali memandangimu, hampir terlihat seperti mengintimidasimu. Namun, aku memanglah mengagumimu nek," ucap Thea.

"Panggil aku Oma saja ya," Oma segera menyuruhku pulang supaya langit abu-abu tak sempat menghadangku. Belum genap sepuluh langkah dari nenek, lelaki pencuri keranjang tepat berada di depan Thea. "Hey, perempuan angkuh, kau masih berhutang maaf padaku, belum sempat menyapa sudah berlalu begitu saja, terima kasih pun sampai lupa terucap sepertinya."

"Untuk apa mengucap maaf dan terima kasih pada pencuri keranjang sepertimu, minggir!, kau sungguh membuang waktuku," Jawab Thea dengan sedikit kesal. Oma menghampiri dan menyodorkan selembar koran yang terjatuh dari tas sekolahku, nampaknya resleting tas itu sudah cukup usang karena seringkali rusak hingga sulit dibenahi. "Sudah, biarkan gadis ini pulang, waktu mulai larut, ia harus segera membersihkan badan dan menyetor hasil kudapannya," ucap Oma. Nampaknya Oma cukup dekat dengan lelaki tengil itu, entah bagaimana Oma tahan dengan mulut cerewetnya. Thea berlalu sambil menepis pundak si lelaki dengan pundaknya yang cukup keras dan memiliki otot lengan yang kokoh.

Sesampainya di rumah, Thea segera membersihkan badan dan menuju kamar untuk mengerjakan beberapa tugas sekolah dan membenahi resleting yang pasti akan rusak lagi sebagaimana sebelumnya. Saat hendak mengambil buku yang ada di dalam tasnya, ia menemukan selembar kertas yang berisi tulisan cukup panjang. Dibacanya pelan – pelan,

Hai,

Aku sering melihatmu membagikan kudapan pada anak-anak yang bermain gundu dan layang-layang di sore hari, juga pada beberapa lansia yang sedang bersantai. Mengapa rautmu begitu murung? juga tindakanmu seperti teramat buru-buru. Mengapa pulang sekolah tanpa seragam? Hanya mengenakan setelan lusuh dengan rambut acak acakan. Terkadang, aku melihatmu meninggalkan sebuah kudapan di kursi lansia yang mencuri perhatianmu karena sungguh menawan. Aku pun sempat melihat dirimu terpaku cukup lama di depan rumahku, dan bila tak salah, kau sempat menangis. Rupanya, perempuan angkuh sepertimu rapuh juga, kenapa kau tak mencoba mengetuk dan bertanya tentang hal yang mengganjal di benakmu? Mengapa hanya terdiam dan terpaku?. Banyak hal yang ingin kutanyakan denganmu, namun dirimu lekas berlalu begitu saja bersama sikap angkuh dan sok kuat itu. Tenang saja, kudapan yang ada di dalam keranjangmu tempo hari sudah kubagikan pada tetanggaku, juga anak-anak yang sempat lalu lalang di sekitar rumahku. Aku mengerjakan sesuai tugasmu kan? Maka aku menunggu ucapan maaf dan terima kasihmu.

Tertera di ujung bawah surat tersebut, "si pencuri keranjang". Thea cukup dibuat heran perihal kapan kiranya lelaki itu sempat meletakkan surat ke dalam tasnya. "Dasar lelaki aneh, sok tahu," Thea mulai berpikir untuk menuruti permintaan lelaki tersebut atau sebaiknya enyah dari kampung itu dan tak pernah lewat jalan pintas itu. Namun, beberapa anak dan lansia yang biasa ia bagi kudapannya bisa saja menanti hadirnya, apalagi nenek yang menawan parasnya, Thea masih penasaran dan ingin berkenalan secepatnya. Dengan segenap rasa malu karena tertangkap basah memandangi rumah lelaki tengil itu, Thea menuruti permintaannya dan bergegas menuju rumahnya saat menjelang petang.

Dua sampai tiga kali ia memanggil dan menekan bell nya, tak ada satupun jawaban hingga Thea memutuskan untuk pulang karena langit akan segera gelap. Saat Thea berbalik badan dan mengangkat keranjang kudapan, ada langkah kaki dan suara pintu yang terbuka, "Hei, tak bisa bersabar dan menunggu sebentar?" Sial ternyata si lelaki tengil tepat berada di depan pintu sambil nyengar nyengir tak jelas,

"aku hanya ingin menuruti permintaanmu, maaf sudah menuduhmu sebagai pencuri dan terima kasih sudah mengembalikan keranjangku juga menjalankan amanah bundaku untuk membagikan kudapanku." Thea segera meminta izin untuk pulang sebelum langit gelap menyelimuti seluruh jalan. Si lelaki itu menarik pergelangan Thea sembari berbisik "lain kali, ucaplah maaf dan terima kasih dengan kesungguhan bukan paksaan."

Thea tak menggubris bisikan lelaki itu, ia tetap mengambil keranjangnya dan segera meninggalkan lelaki itu. Saat langkahnya mencapai jalan dekat semak, lelaki itu berteriak "jangan sungkan untuk mampir." Ketika sampai rumah dan hendak merebus air hangat untuk mandi, bunda memberikan selembar kertas yang terlipat, "sepertinya ini milikmu, tertinggal di dalam keranjang yang sempat hilang dan kau dapatkan kembali." Saat Thea membuka kertas itu, dugaannya sungguh tepat, kertas itu adalah pesan yang sengaja ditinggalkan lelaki pencuri keranjang. Nampaknya, matanya juga keranjang, sama seperti benda yang ia ambil dari Thea.

Hey,

Ini aku lagi, sepertinya kau tak suka menulis surat. Tak apa, biarlah aku yang menuliskannya padamu. Aku yakin kau akan lekas menemuiku setelah membaca suratku sebelumnya, kau pasti berpikir bila kau cukup lancang tiba-tiba memberikan sekumpulan tanya padamu. Aku benar-benar mengharapkan permintaan maaf yang tulus dari dirimu, bukan sekadar menjalankan tuntutan suratku. Aku pun ingin mengucap maaf atas beberapa perkataan yang mungkin menyinggungmu, karena setiap kita bertemu kau tak pernah tunjukkan raut ceriamu. Seperti raut wajah yang kau umbar saat membagikan kudapan pada bocah-bocah dekat rumahku. Maaf, aku tak bermaksud mengganggu, aku Altair, kau bisa memanggilku Ata. Kuharap kau bersedia tuk bersua denganku lagi, aku benar-benar minta maaf.

Salah bila Thea menganggap dunia hanya ingin melihatnya sendiri, menjalani masa-masa yang cukup melelahkan dalam hidupnya. Thea berteu gadis kepo dan pria rapih di bangku sekolahnya, Thea pun bertemu Oma yang selalu dikagumi parasnya yang menawan, juga pria kutu buku yang lancang memperlihatkan rasa. Sejatinya, Thea tak pernah sendiri, mungkin rumah bukan tempatnya menetap dan singgah. Namun, jalanan membuatnya belajar, bangku kantin membuatnya luluh, dan pria lancang membuatnya puas melepas murka.

Continue Reading

You'll Also Like

6.8M 499K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...
14M 1.1M 81
β™  𝘼 π™ˆπ˜Όπ™π™„π˜Ό π™π™Šπ™ˆπ˜Όπ™‰π˜Ύπ™€ β™  "You have two options. 'Be mine', or 'I'll be yours'." Ace Javarius Dieter, bos mafia yang abusive, manipulative, ps...
5.6M 163K 81
WARNING ⚠ (21+) πŸ”ž Seorang adik yg ingin menyelamatkan kakaknya dari kematian akibat ulah Antagonis Area Dewasa πŸ”ž (21+) Bijak Dalam Membaca
9.8M 887K 51
#1 In Horor #1 In Teenlit (20.05.20) Tahap Revisi! Vasilla Agatha yang dijauhi orang tuanya dan tak memiliki teman satupun. Dia menjalani setiap har...