He's My Enemy

By Lin_Woovin03

98.3K 10K 698

Dua berandalan sekolah Waiji yang bernotabe musuh bebuyutan, terpaksa menerima perjodohan atas ancaman dari k... More

1.......
2.......
4.......
5.......
6.......
7.......
8.......
9.......
10.......
11.......
12.......
13.......
14.......
15.......
16.......
17.......
18.......
19.......

3.......

5.4K 658 75
By Lin_Woovin03

Gaes, kalian yang belum follow akun Alin gak ada niatan buat mengikuti gitu? Ayo dong jadi pengikut akun Alin, biar Alin semangat pake banget buat up.


🐺🦋

||Jeongharu Area||
~~~~~~~~~~~~~~



























Terserang kebingungan, Haruto tengah menimang nimang beberapa hal untuk mengambil keputusan yang tepat. Pulang sekolah tidak langsung ke apart Jeongwoo, ia malah melipir ke kedai ice cream dan setelah sekitar empatpuluh menit lamanya ia baru saja sampai di apart Jeongwoo. Tentu ia diberi tau alamatnya oleh si pemilik tempat.

"Datang juga lo" Sambut Jeongwoo mempersilahkan Haruto masuk ke dalam apartnya.

Tanpa mengenal sopan Haruto melenggang masuk dan segera mengistirahatkan tubuhnya di sofa. Ia merasa lelah, lebih tepatnya capek hati. Seringkali Haruto menghembuskan napasnya dengan kasar, tidak menyadari hal tersebut tidak luput dari pandangan Jeongwoo yang entah sibuk apa, menata barangnya mungkin?

Apa?! Me.na.ta.ba.rang.nya!

Begitu konek diotak, ia segera menghampiri Jeongwoo "Lo ngapain ngerapihin barang barang gue?" Tanyanya menghentikan aktifitas Jeongwoo yang sedang mengeluarkan pakaiannya dari dalam koper.

Tanpa menoleh, Jeongwoo menjawab "Gue lagi ngecek kali aja kan, ortu lo masukin bom nuklir ke dalam sini" Alibi Jeongwoo yang diakhiri tawa padahal tidak ada yang lucu sama sekali.

"Ngeraguin keluarga gue lo?" Agaknya Haruto merasa tersinggung atas tuduhan tidak bermutu tersebut, tanpa memperdulikan lagi ia memasukkan kembali pakaian dirinya secara asal.

"Kok dimasukin lagi sih, Ru?" Tanya Jeongwoo tanpa berniat menghentikan kegiatan Haruto.

"Ck! Nyusahin lo" Keluh Haruto kesal, ia merasa direpotkan karena kerandoman seorang Park Jeongwoo.

"Eh, gue cuman bantuin buat nata barang lo, kok lo bilang gitu sih?" Protes Jeongwoo tidak terima niat baiknya tidak dihargai.

"Apaan nata nata barang gue di sini, lo pikun apa kalo gue gak bakal tinggal di apart lo!" Sewot Haruto, hati masih bad parah terlebih ini satu curut ngeselin. Kan, jadi double penderitaan Haruto ketika saat berurusan dengan Jeongwoo.

Jeongwoo berdecih "Lo pikir bakal dapat tempat tinggal dimana, gue tanya?" Tidak kalah sewot, ia heran dengan sifat Haruto yang begitu keras kepala.

"Lo gak perlu tau itu urusan gue ye bangsat" Bales Haruto, ia sedang tidak bertenaga untuk memulai keributan.

"Serah lo, lah" Setelahnya, Jeongwoo kembali ke kamarnya meninggalkan Haruto yang tidak mengacuhkannya.

Setelah selesai berbenah, Haruto menarik kopernya sedangkan tangan yang lainnya menjinjing totebag besar yang berisi sepatu sepatu yang dikoleksinya sewaktu di rumahnya. Ah, maksudnya rumah orang tuanya, karena selama ini ia tidak mempunyai rumah sendiri. Sekarang pun Haruto tidak tau ia harus pergi kemana, eh atau justru pulang?

Merasa miris pada perjalanan hidupnya, ia tidak punya tujuan. Untuk meredakan emosi ia menghela napas, lalu mencoba tersenyum "Harus semangat demi hidup!" Menyemangati dirinya sendiri, lantas ia segera pergi dari apart tanpa pamit terlebih dulu pada si Tuan rumah.

Sesaat Haruto melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah sekitar tiga jam ia berjalan tanpa tujuan yang pasti. Ia tidak cukup bernyali untuk datang ke rumah teman temannya, takut orang tua mereka mengadu ke orang tuanya. Secara orang tua mereka semua saling mengenal, sesama kolega bisnis.

Karena sangat lelah Haruto berhenti di halte yang begitu sepi, kakinya mati rasa bersamaan dengan perutnya yang keroncongan. Mungkin, karena terkena angin malam tubuhnya jadi sedikit bergemetar sebab cuaca malam ini diperkirakan akan turun hujan petir.

Haruto memeluk kakinya yang ditekuk di kursi halte tersebut, ia tenggelamkan wajahnya agar dingin tidak begitu menusuk kulitnya. Ia sedikit terbatuk karena tubuhnya merasa sangat kedinginan, bahkan hidungnya sudah merasakan gejala pilek dengan kening yang terasa pening.

Tidak begitu terasa waktu sudah menunjukkan angka sembilan lebih duapuluh menit, pantas saja sangat sepi hingga tidak ada satupun bus yang lewat karena bus terakhir hanya sampai jam sembilan malam pas. Sempat Haruto ke Emart  untuk mengecek black card-nya tapi ternyata tidak bisa dipakai, kasir memberi tau bahwa kartu tersebut sudah tidak aktif.

Sisa uang cash Haruto di dompetnya hanya tinggal tiga ratus ribu rupiah saja, tidak akan cukup jika pun ia mengontrak di petak kosan yang kecil. Nasibnya sudah seperti tunawisma, luntang lantung sembarang arah tanpa bisa meminta tolong kepada siapapun. Haruto pasrah, ia tidak bisa sekedar menelpon temannya karena handphonenya lowbat.

Menyedihkan. Keknya, dewi fortuna pengen dirinya lebih menderita deh:(  Monolognya dalam hati.

Tidak ada harapan, tidak ada tujuan. Ia bahkan tidak berharap keajaiban datang pada dirinya, harapannya sudah pupus. Tidak ada satupun seonggok manusia ataupun kendaraan yang melewati tikungan jalan ini sedari tadi, ia sampai merasa seperti hidup seorang diri di dunia ini.

"Uh dingin" Sejujurnya Haruto ingin menangis, pilu tapi air matanya tidak mau keluar, kenapa sih hidupnya musti semiris ini? Padahal jauh di lubuk hatinya ia sudah menjerit jerit tapi, kenapa ia tidak bisa mengekspresikan kemarahannya secara langsung saat ini?  Ia sangat ingin berteriak agar setidaknya, hatinya merasa sedikit lega.

Larut meratapi penderitaannya Haruto sampai tidak sadar bahwa seseorang dengan tubuhnya yang tinggi suda berdiri tepat di depannya "Ngapain lo di sini?" Sontak Haruto tersentak dengan suara yang sangat ia kenal, kemudian, perlahan ia mengangkat kepalanya.

"Kakak!" Pekiknya berseru senang seraya menubruk tubuh sang kakak dengan pelukan erat.

Yoshi, pemuda sebagai Kakaknya Haruto itu mendorong tubuh sang adik agar pelukannya terlepas "Pulang sana ke apart tunangan lo, jangan manja!" Ujarnya tanpa bersimpati pada Sang Adik yang begitu terlihat mengkhawatirkan.

"Kakakkk~" Rengek Haruto menatap Sang Kakak dengan air mata yang mulai berderai "Haru boleh gak ikut ke apart kak Ochi aja? Haru gak mau sama Jeongwoo"

Mengabaikan rengekan Sang Adik, Yoshi malah melemparkan beberapa lembar uang berwarna merah ke Haruto sembari melayangkan tatapan tajamnya "Balik lo sono jangan nyusahin orang!" Lalu segera pergi tanpa memperdulikan Haruto yang menatapnya penuh kecewa.

Seketika Haruto memegang pelipisnya yang terasa pening, pandangannya perlahan memburam dengan punggung Sang Kakak yang mulai menghilang dari pandangannya "Bukan ini yang Haru butuhin kak hiks......." Lirihnya dengan isakan tertahan, matanya melirik uang yang berserakan di bawah kakinya dengan kepala yang semakin terasa berat.

Tidak lama dari itu, pandangannya pun menghitam dengan tubuhnya yang akan limbung jika tidak ditahan oleh seseorang yang tiba tiba datang. Haruto merasa bersyukur, mengira Kakaknya tidak akan setega itu meninggalkan dirinya. Karena tidak sanggup membuka matanya, ia hanya menyunggingkan senyum yang teramat tipis.

"Ck! Yang katanya gue nyusahin" Suara orang yang menolong dirinya itu, membuat senyumannya pudar seiring dengan kesadarannya yang hilang.

🐺🦋


Matanya mengerjap perlahan saat silauan cahaya masuk ke dalam retinanya, berusaha memenuhi kesadarannya. Ringisan pelan terdengar saat ketika kepalanya terasa berdenyut sakit, lalu mengedarkan pandangannya ke segala arah.

Tidak asing, kamar yang Haruto tempati ini pernah ia singgahi. Otaknya tidak bisa diajak kompromi untuk berpikir, kelopak matanya pun belum terbuka sepenuhnya karena rasa sakit yang hinggap di kepalanya makin menjadi.

Walau pandangannya buram, Haruto menangkap siluet seseorang yang datang menghampirinya lalu merasa surainya di usap usap lembut sampai dirinya kembali menutup mata karena rasa nyaman. Sebelum terlelap lagi, ia juga merasakan tangan dingin orang itu mengelap keringat dipelipisnya.

Beberapa jam kemudian Haruto terbangun lagi karena pendengarannya terusik oleh suara seperti benda kaca yang dilempar. Sedikit berjengkit kaget hingga reflek bangkit terduduk, walau kepalanya masih terasa berat. Bahkan tangannya meremat surainya dirasa denyutan dikepala semakin terasa ngilu.

"Argh! Sialan, sakit! " Ringis Haruto bertepatan dengan pintu kamar yang terbuka dengan pelan, ia menoleh dan mendapati musuhnya yang menghampiri dirinya sembari membawa semangkok bubur dan juga gelas berisi air putih.

"Bangun juga lo" Lantas, Jeongwoo mendudukan diri di pinggir ranjang tepat menghadap Haruto dengan tangan yang sekilas mengecek suhu tubuh Haruto.

"Lo? Kenapa gue di sini?" Tidak bisa menguras tenaga, Haruto bertanya pelan dengan tangan yang menahan kepalanya.

"Kemaren malem lo pingsan, lo sakit" Balas Jeongwoo, tangannya sibuk menyendokan bubur untuk disuapkan pada mulut Haruto.

Belum sempat masuk ke dalam mulut, ia kembali meringis "Ahk! " Kali ini Haruto meremat surainya kuat disertai rintihan, dengan badannya yang ambruk pada ranjang.

"Eh, Ru kenapa?" Panik Jeongwoo menyimpan mangkok tadi ke atas nakas, lalu segera mendekat pada Haruto yang tidak bisa diam. Bergerak acak.

"Shh sakit hiks sakit! " Keluh Haruto dengan isakan yang mulai keluar.

Jeongwoo menarik Haruto agar bersandar di dadanya "Ru, lo kenapa?" Tanyanya begitu khawatir tanpa bisa melakukan apapun, selain menenangkan pasangannya ini.

"Hiks sakit kak Ochi jahat! hiks ninggalin Haru Shh sakit hiks berat kepala Haru sakit gak kuat hiks" Racau Haruto tidak jelas.

"Haruto sadar!" Tangan Jeongwoo menepuk nepuk pipi Haruto "Hey, Ru sadar!" Dapat seruan seperti itu perlahan Haruto mulai tenang, bergantian kini tangannya meremat tangan besar Jeongwoo.

"Sakit hiks" Haruto tetap terisak dengan derai air mata yang tidak kunjung mengurang, membuat Jeongwoo semakin khawatir pada kondisinya.

"Kita ke rumah sakit, ya?" Usul Jeongwoo yang baru saja akan mengangkat tubuh Haruto tapi tidak jadi, setelah Haruto menggeleng tanda menolak.

Dengan setia Jeongwoo mengelus seraya memijat kepala Haruto dengan lembut serta menenangkannya sampai terlelap tidur kembali, mungkin kecapekan menangis dengan kepalanya yang pusing jadi mudah kelelahan.

Jeongwoo membenarkan posisi Haruto dengan benar, lalu ia menarik selimut untuk menutupi sebagian tubuh Haruto. Sebelumnya Jeongwoo sudah mengganti pakaian baru ke tubuh Haruto, ia hanya mengganti seragamnya saja, tidak berbuat lebih apalagi yang tidak senonoh.

Dari pada membujuk atau menarik paksa Haruto ke rumah sakit, akan lebih baik jika Jeongwoo memanggil Dokter saja untuk datang ke apartnya. Maka dari itu, sekarang Jeongwoo tengah menunggu Dokter Pribadinya yang sedang memeriksa Haruto.

"Bagaimana, Dokter keadaannya?" Tanya Jeongwoo setelah Sang Dokter keluar dari kamarnya.

"Keadaannya saat ini mungkin lebih buruk tapi, jika rutin meminum obat pasti akan cepat pulih. Jeongwoo, obatnya saya simpan di pinggir nakas ya" Jelas dokter tersebut sekalian pamit setelah Jeongwoo mengucapkan terimakasih.

Dengan begitu Jeongwoo segera masuk ke kamar, mendekat ke arah Haruto yang entah sejak kapan sudah bangun kembali. Punggung tangan Haruto tertancap jarum selang infus yang pastinya dipasang oleh Dokter. Sepertinya, Haruto belum menyadari kehadiran Jeongwoo.

"Mama....." Lirihnya menjeda "Haru cuman pengen kasih sayang Mama, Papa sama Kakak, emang gak boleh yah?" Gumamnya sangat pelan, tersirat penuh kepiluan yang terselip banyak harapan di setiap kata yang terlontar.

Jeongwoo yang mendengarnya sampai tercengang, tidak ia sangka ternyata serapuh ini seorang Watanabe Haruto yang ia kenal dengan segudang keangkuhannya. Tapi, dengan cepat Jeongwoo menyangkalnya, ia tidak mau mengakuinya karena pasti dirinya akan mengiba pada musuhnya itu.

Namun, di kondisi Haruto yang seperti itu ia masih memikirkan gengsi untuk sekedar mengasihani? Sungguh, saling mementingkan egois satu sama lain ternyata dua oknum ini. Sebagai dominan, tentu saja banyak tuntutan yang mengharusnya dirinya tidak sebegitu egois dan lebih baik mengalah saja setiap apa yang terjadi diantara keduanya. Bukan'kah itu membuktikan harga diri seorang dominan?

Ya, kali ini Jeongwoo sepertinya harus berlaku seperti itu. Bukan iba, lebih tepatnya ia merasakan sakit juga dari apa yang pasangannya itu rasakan. Tidak salah bukan, jika dirinya mengkhawatirkan pasangan sendiri yang selama ini selalu meributkan hal yang tidak jelas ketika keduanya berinteraksi.

"Ru?" Ia yang harus bertindak lebih dulu.

"Mama..." Sahut Haruto malah memanggil Sang Ibunda sembari mempotkan bibirnya, membuat Jeongwoo tercengang seketika.

Semenggemaskan ini ternyata musuhnya, pikir Jeongwoo. Merasa tidak aman bagi jantungnya karena mentalnya jelly ketik saat dipertemukan dengan yang gemas gemas nan lucu seperti ini. Seketika, lamunannya buyar mendengar rengekan Haruto.

"Mau mamaaa gak mau Jeongwoo mau mamaaa! " Rengek Haruto sembari mencebik.

Parahnya, hingga membuat Jeongwoo lupa kalau dirinya perlu meraup oksigen, gawat sekali untuk jantungnya yang hampir lari keluar sampai kakinya akan mleyot. Hilih, lebay memang.

"Be-bentar ya, R-Ru" Gugup Jeongwoo segera berlari ke luar kamar, menetralkan dahulu detak jantungnya lalu mendial nomor seseorang yang saat ini sangat diperlukan oleh Haruto.

Tuttt

Telepon tersambung

"Hallo?"

"Ha-hallo tante maaf ganggu" Jeongwoo bertambah gugup, terlebih saat ini ia menelepon mertuanya.

"Oh tidak, Nak Jeongwoo ada keperluan apa?"

"Gini Tan-"

Jenni, disebrang sana mengintrupsi "Panggil saya Mama saja yah, Nak?"

"Ah, i-iya Mama"  Setelahnya mencoba, ia merasakan kecanggungan sendiri.

"Jadi ada apa, Nak Jeongwoo?"  Tanyanya menyadarkan Jeongwoo yang sempat berpikir keras, karena bingung cara menyampaikan penjelasannya.

" Gini Tan- eh, gini Ma, Haruto sakit, panasnya tinggi dan Harutonya manggil Mama terus katanya pengen ketemu sama Mama"

"Apakah tidak dibawa ke rumah sakit?"  Heran, Jeongwoo tidak mendengar sedikitpun nada kekhawatiran.

"Harutonya gak mau tapi udah Jeongwoo panggil Dokter kok buat diperiksa" Jawab Jeongwoo menjelaskan.

"Bagus kalo gitu Nak, terimakasih"

"Jadi, apakah Tan-eh Mama bisa menemui Haruto?"

"Aduh gimana ya, Nak Jeongwoo saya sebentar lagi ada rapat dengan kolega penting saya dan setelah itu saya harus segera menyusul Papa Haruto ke London"

Mendengar alasan Jenni, membuat Jeongwoo merasakan sesak"Ta-tapi bagaimana dengan Haruto, Ma? Dia butuh Mama loh"

"Tenang saja ya Nak Jeongwoo jangan khawatir, Haruto kalau lagi sakit memang manja jadi maaf kalau merepotkan. Sudah biasa kok, jika Haruto merengek minta bertemu Mama setiap sakit" Balasnya kelewat santai.

"Terus bagaimana, Ma?"

"Biarkan saja yah Nak, nanti juga Haruto berhenti ngerengek lagi, sudah biasa seperti itu"

"Tap-"

"Nak Jeongwoo, saya harus memulai rapat sekarang, maaf yah saya tutup teleponnya dan terimakasih sudah mengabari saya tentang keadaan Haruto"

Bip

Belum sempat Jeongwoo menjawab telepon langsung diputuskan oleh Mama Jenni.

Argh andai boleh ngumpatin tuh tua bangka, seenaknya aja nelantarin Anaknya sendiri mana ke gue lagi? Batin Jeongwoo menggerutu

Sekarang, Jeongwoo sendiri yang bingung harus bagaimana menenangkan Haruto, kenapa harus dirinya yang nanggung semua ini? Padahal, mereka tunangan pun belum resmi tapi mengapa kesannya Haruto sudah seperti istri yang menjadi tanggung jawab Jeongwoo sepenuhnya. Masa, Jeongwoo harus mengatakan suatu hal yang menyakitkan lagi teruntuk Haruto?

Gini ya, walaupun mereka saling membenci Jeongwoo juga masih punya hati nurani. Dari kemarin, sebenarnya ia merasa sangat bersalah pada Haruto karena telah menyampaikan ucapan yang begitu sarkas dari orang tua Haruto sendiri dan rasa bersalahnya semakin membesar saat ketika Haruto sakit. Tapi ia tidak tau harus bagaimana menebus rasa bersalah tersebut, bukan hanya itu untuk merawat Haruto saja awalnya ia merasa enggan.












°•••••°

130123

Continue Reading

You'll Also Like

18.6K 1.8K 27
dua anak remaja berusia 15 tahun yang masih duduk di bangku kelas 1SMA, selalu saja terikat satu sama lain, namun bukan dalam keadaan yang baik, mere...
251K 11K 117
In the vast and perilous world of One Piece, where the seas are teeming with pirates, marines, and untold mysteries, a young man is given a second ch...
477K 16.2K 167
Sevyn and Von hung around the same people but did not like each other. But they were just cordial. Until Von's birthday came up and Sevyn was the onl...
409K 35.1K 97
Sequel to my MHA fanfiction: •.°NORMAL°.• (So go read that one first)