Cinta di atas luka(Seri Ketig...

By RefiaAndriana

2.2K 111 13

'Tak mudah bagiku memberi cinta di saat hidupku diguyur kebencian. Bagaimana bisa aku mencintainya sedang aku... More

sebuah tanya
Bayi
Egois
Tak perduli
Tak mau kehilangan
Frustasi
Tak sengaja
Ego dan cinta
Demi cinta
Luka yang kembali terbuka
Lebih baik dia mati
Cinta di atas luka (1)
Cinta di atas luka (2)
tak berarti
maaf
Luka bernanah
Ayah, aku menyayangimu
Melepas Masa Lalu
kenangan yang mencekik kewarasan
pelukan pertama
tamparan
salah paham
anti depresan
Penyesalan
Terima kasih, cinta
ekstra part

kebersamaan

96 3 0
By RefiaAndriana

Setelah kejadian yang menimpa Rey, Ray dan Eza meyakini adiknya sudah berhasil berdamai dengan semua luka. Meninggalkan apa yang harusnya tak digenggam. Ia telah berkawan dengan rasa sakit dan memeluk dirinya sendiri dengan cinta. Tentu saja sang putra yang telah membuatnya menyadari segala hal dalam hidupnya kali ini.

Hari demi hari, perkembangan Rey mulai membaik. Ia juga sudah dipindahkan ke ruang inap. Tak ada yang ditanyakan setiap hari olehnya, kecuali Arkha. Ia tahu rumah sakit bukan tempat untuk anak kecil, hanya saja kerinduan sudah tak bisa ditahannya.

“Ya ... yah!” seru Arkha kala hari itu datang berkunjung untuk pertama kali. Bocah kecil itu langsung menghambur dalam pelukan Rey begitu sampai di rumah sakit.

Melihat kedatangan sang putra, Rey yang juga begitu merindukan dan mengkhawatirkannya langsung memberikan sebuah pelukan dan kecupan juga dekapan.

Mei dan Eza saling berpandangan ketika menatap adegan yang membuat hati keduanya amat tersentuh. Tidak pernah mereka sangka bahwa Rey, yang dulunya bersikeras tidak menginginkan Arkha, bisa berdamai dengan segala rasa sakit yang telah mendera sepanjang hidup. Kemudian, memutuskan rantai pola pengasuhan sang ayah yang amat beracun.

“Ya ... yah, akit?” tanya Arkha, begitu melepaskan pelukan dan melihat selang infus menempel di punggung tangan ayahnya.

“Arkha sudah di sini, jadi Ayah sudah tidak sakit lagi.” Rey tersenyum sembari membelai kepala putranya dengan penuh kasih sayang.

Mei berusaha mengambil alih Arkha dari Rey, tetapi mendapat penolakan. Wajah bocah kecil itu sudah cemberut dan bersiap melancarkan aksi menangis, jika Rey tidak meminta sang istri membiarkan Arkha untuk tetap di sisinya. Mau tak mau, Mei menurut dan menyingkir, duduk bersama kakak iparnya di sofa yang berada tak jauh dari ranjang.

Suasana begitu riuh ketika Arkha dengan polosnya menceritakan segala sesuatu dengan bahasanya yang cadel, membuat sang ayah berulang kali menarik simpul di bibir. Mei dan Eza sedari tadi tak bisa menyembunyikan kebahagiaan. Pemandangan yang ada di hadapan mereka begitu indah, sebuah ikatan yang begitu mereka harapkan akhirnya terjalin juga.

“Terima kasih karena sudah memahami Rey,” kata Eza pada Mei.

Mei sedikit kikuk mendapat ucapan terima kasih dari sang kakak ipar. Ia tak tahu bagaimana harus menjawabnya. Hanya saja, wanita itu merasa apa yang dilakukannya adalah sebuah tanggung jawab bersama dalam menjaga pernikahan. Mereka harus saling memahami dan menguatkan. Meskipun terbersit prasangka buruk pada sang suami, saat Arkha menelan obat depresan. Namun, tak ada niat sedikit pun dalam hati Mei meninggalkan lelaki tercintanya itu.

“Tentu saja, Kak. Bagaimanapun Rey adalah suamiku,” jawab Mei pada akhirnya.

Eza tersenyum mendengar jawaban itu. Ia paham bagaimana sulitnya berada di posisi Mei. Pilihan yang tak mudah bagi sang adik ipar untuk bisa membagi cinta dan menyalurkan kekuatan pada Rey. Ia begitu bersyukur Rey mendapatkan istri yang begitu memahaminya, walaupun perbedaan umur mereka begitu jauh.

Hampir satu jam, Eza bercengkerama dengan Mei. Suasana yang tadi riuh oleh celotehan Arkha mendadak hening. Ray membuka pintu bersama Nia dan melihat pemandangan yang mencengangkan. Rey tertidur pulas dengan Arkha yang memeluknya. Eza berjalan ke arah Ray yang tersenyum. Ia penasaran apa yang terjadi karena sebelumnya ruangan begitu penuh oleh suara Arkha.

“Kupikir, aku tidak akan pernah melihat pemandangan seperti ini.” Eza tak bisa menyembunyikan bahagianya.

Ray menghela napas. “Yah, tak kusangka akan secepat ini Rey berubah.”

“Sudah kukatakan, bukan? Kalau Rey akan segera melaluinya. Yah, meskipun dengan merangkak, akhirnya ia keluar dari kegelapan.”

Mei memperhatikan keluarganya dan tersenyum. Semua kejadian penuh air mata ini telah menyatukan hati yang terpisah.

***

“Istirahatlah, Rey,” pinta Eza pada adiknya yang baru saja tiba di rumah setelah menjalani perawatan pemulihan.

Sembilan hari Rey tertahan di rumah sakit akibat kecelakaan dan semua pemeriksaan sudah dijalaninya. Tinggal pemulihan karena beberapa syarafnya juga terkena dampak sehingga ia tak bisa berjalan dengan benar.

“Arkha di mana, Kak?” tanya Rey yang celingukan mencari putranya.

Sejak tiba di rumah, ia berharap sang putra datang dengan senyuman dan menyambutnya. Akan tetapi, hanya keheningan dan kesunyian yang memeluknya begitu menjejak ruang depan.

“Arkha baru di rumah Ray. Sebentar juga pulang. Istirahatlah dulu.” Eza membantu Rey untuk duduk di ranjang.

Rey menghela napas kecewa, tetapi berusaha menyunggingkan senyum tipis. Namun, Eza paham apa yang sedang dirasakan oleh adiknya: rasa rindu pada sang buah hati.

“Minum obatmu dulu, Rey.” Eza mengeluarkan beberapa obat dan menyerahkan pada adiknya sebelum keluar mengambil air putih.
Setelah memastikan sang adik meminum obatnya, Eza mengelus rambut hitam Rey yang mulai memanjang, menyuruhnya untuk tidur, lantas keluar dari kamar.

Eza duduk di ruang tamu sembari melihat layar ponsel, mengetahui perkembangan perusahaan yang ditinggalkan hampir dua minggu. Saat itulah deru mobil Ray mengalihkan perhatiannya. Kini pandangan lelaki berkulit agak gelap itu tertuju pada sang keponakan yang baru saja keluar mobil.

“Ayah!” Berusaha menaiki tangga teras, Arkha tak memedulikan keberadaan Eza dan berlari menuju kamar. Di belakang, Mei mengekori dan langkahnya tertahan begitu sang putra membuka pintu kamar.

“Arkha, Ayah baru tidur siang,” jelas Mei begitu melihat sang suami tertidur.

Arkha mengangguk tanda paham bahwa ia tak boleh mengganggu. Melihat ayahnya tidur tanpa selimut, ia menarik selimut kecilnya untuk menutupi sebagian tubuh Rey yang sudah terlelap. Bocah kecil itu mendekat ke arah sang ayah dan ikut tidur di sampingnya. Tak lupa sebuah pelukan ia berikan.

“Mau bobo baleng Ayah,” kata Arkha dengan bahasanya yang masih cadel, sambil mengucek-ucek matanya.

Arkha memang sudah menguap sejak di rumah Ray, tetapi bocah itu bersikeras untuk tidur di rumah bersama ayahnya. Terang saja, belum ada lima menit ia sudah tertidur pulas di samping Rey.

Mei tersenyum dan menutup pintu kamar, membiarkan sang anak dengan ayahnya tidur bersama. Ia beranjak ke depan, membuatkan kopi hitam untuk Eza dan Ray yang baru saja bercengkerama.

“Mana Arkha?” tanya Ray, mengambil cangkir kopi yang baru saja disuguhkan dan menyesapnya perlahan.

“Tidur siang dengan ayahnya,” jawab Mei yang ikut duduk bersama.

“Aku sedikit heran dengan Arkha. Biasanya anak yang sedari lahir tidak pernah mendapat pengasuhan dari ayahnya tidak mungkin bisa sedekat itu saat besar. Justru biasanya, dia tidak akan mau dekat dengan ayahnya. Dan kasus Arkha bagiku sebuah keanehan.” Eza buka suara.
“Kamu terlalu logis. Bukankah cinta itu selalu bekerja di luar nalar? Apa kamu lupa bahwa Rey juga tidak pernah diasuh oleh ayahmu, tetapi apa? Dia mencintainya bahkan rela terus menerus disakiti.” Ray ikut menimpali pembicaraan.

Eza menyandarkan tubuh ke kursi setelah mengambil kopi yang menguarkan uap panas, mulai mencerna ucapan Ray yang ada benarnya. Perkara cinta memang kompleks dan sekian tahun bersama dengan Rey, ia masih tidak bisa memahami definisi cinta.

Apakah menahan sakit demi melihat sebuah wajah yang akan terus menyakitinya bukan sebuah tindakan konyol? Apa yang adiknya harapkan selama ini? Apa yang membuat Rey terus bertahan di atas luka?

Pengakuan, cinta, ikatan, atau penerimaan. Eza berpikir Rey menginginkan semua itu.

Menghela napas, Eza menyesap kopi yang membuat syaraf-syarafnya lebih rileks, lantas memandang Ray dan Mei bercengkerama. Akhirnya, ia menyadari satu hal yang menurutnya paling diinginkan oleh sang adik. Bukan semua yang dipikirkan, tetapi kebersamaan. Yah, Rey hanya menginginkan kebersamaan dalam keluarga, yang begitu diinginkan sejak lahir ke dunia.

Eza teringat bahwa Rey rela menahan sakitnya semua luka yang ditorehkan oleh sang ayah, asalkan dirinya tetap ada di samping adiknya, menggandeng bersama. Akan tetapi, waktu baru mengajarkannya sekarang. Di saat penyesalan menjadi santapan utama.

Menikmati waktu dengan keluarga, Eza ikut menimpali percakapan. Gelak tawa lebih mendominasi suasana siang itu. Kini, ia menyadari lagi hal sederhana seperti ini, akan lebih berarti meski seberat apa pun ujian yang menimpa mereka. Keluarga ada untuk saling menguatkan dan memahami.

Bangkit dari duduk, Eza berjalan menuju kamar Rey dan membuka pintu. Ia tersenyum melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Rey dan Arkha sedang bermain bersama dan pandangan mereka kini tertuju padanya. Di belakang, Mei dan Ray mengikuti langkah Eza. Mereka saling beradu pandang sebelum melemparkan senyum bahagia dan masuk ke kamar. Ikut menyemarakkan ruangan berukuran 6 x 5 meter itu.

“Apa ada yang kangen sama Paman?” tanya Eza, sembari memeluk Arkha dan menggelitikinya.

Continue Reading

You'll Also Like

578 82 17
"Selamat datang di Toko Roti Alegia. Ada yang bisa saya bantu?"
11.4K 588 16
It's just a oneshoot of sick male lead. Don't forget to vote and comment
2.7K 136 35
~TAMAT~ Lukas tumbuh menjadi seorang pemuda kasar yang masih memendam kebencian terhadap kakaknya, entah penyebab apa yang membuat hati pemuda itu te...
3.3K 1.1K 40
Berkisah tentang seorang gadis remaja bernama Amora Agatha atau biasa dipanggil Rara. Rara dibesarkan oleh keluarga kaya raya. Rara selama ini menyem...