Hari demi hari telah berlalu, tak terasa hari ini adalah hari terakhir di tahun 1999. Semua orang sibuk meramaikan tahun baru dengan orang terkasih, sama halnya dengan Mentari.
Malam ini Mentari, Gina, Mahen, Naren dan Haikal sedang sibuk menyiapkan acara untuk malam tahun baruan kali ini. Sedangkan yang lainnya? Sudah pasti mereka semua sengaja datang terlambat. Rencananya, acara akan dimulai pukul 9 malam.
Kini semuanya sudah lengkap, Cakra datang dengan ikan di tangannya, Raja terlihat bangga dengan banyaknya jagung yang ia bawa dan Aji si anak bawang yang datang dengan santainya tanpa membawa makanan apapun. Tapi tunggu dulu, kemana Bumi?
Mentari melihat sekitar, ia juga mengirim pesan pada Bumi, tetapi sayangnya pesannya belum dibalas. Lamunannya tersaadar saat Gina menepuk bahunya pelan.
"Tar, Bumi mana? Udah mau mulai nih!"
"Mmm..." Mentari menggeleng, ia sendiri juga tidak tahu dimana Bumi. Perasaannya berubah menjadi tidak enak.
Plak!
Aji menaruh kedua tangannya di pundak Gina dan Mentari. "Lagi pada apa sih? Bantuin tuh lagi nyusun kayu buat api unggun."
Gina mendorong kepala Aji pelan. "Enak aja main rangkul orang sembarangan! Kamu tuh sana bantuin, jangan cuma uncang-uncang kaki aja!"
"Hehehe iya iya maaf, ini baru mau bantuin." Aji nyengir.
"Ah, ngomong-ngomong sayang banget ya Bumi gak bisa ikut tahun baruan bareng kita."
Mendengar ucapan selewat dari Aji tersebut, membuat Mentari menaikkan salah satu alisnya heran. Apa maksud Aji berkata seperti itu? Bukankah saat di rumah sakit Bumi sudah berjanji padanya akan merayakan acara tahun baruan bersama?
"Maksudnya?" tanya Mentari refleks.
"Ya... emang kalian gak tau? Hari ini Bumi juga ada acara malem tahun baruan sama Bulan dan keluarganya."
Mentari terdiam, ia mati kutu. Dirinya sudah tak merasakan rasa sakit lagi, ini bukan pertama kalinya ia dikecewakan oleh sang sahabat yang dicintainya itu. Namun, entah mengapa kali ini rasanya berbeda.
Selama waktu berjalan, memang benar Bumi menjadi lebih dekat dengan pujaan hatinya, Bulan. Benar pula jika selama itu dirinya lebih memprioritaskan si gadis dengan senyuman manis itu dibandingkan sang sahabat, Mentari.
"Udah ah, aku mau bantu-bantu dulu."
Aji berjalan untuk menghampiri teman-temannya yang sedang sibuk memilih kayu bakar. Sedangkan Mentari, ia masih mematung. Ingin rasanya Gina memukul kepala Aji dengan keras, mentang-mentang menjadi bayi Pemimpi, Aji jadi seenaknya berbicara tanpa berpikir dulu.
"Tar, kamu gak apa-apa?" tanya Gina memastikan.
"Hm?" Mentari tersadar dari lamunannya untuk yang kedua kalinya. Air mata kecewa di bola mata cantiknya hampir saja terjatuh. Gina menggigit bibir bawahnya pelan, ia tak tahu harus berbicara apa, ia selalu menjadi saksi patah hatinya Mentari yang disebabkan oleh Bumi.
Mentari tersenyum paksa. "Yuk bantuin yang lain!" ajaknya. Gina menahan pergelangan tangan sahabatnya, ia tahu Mentari sedang tidak baik-baik saja.
"Aku gak apa-apa kali Gi, emangnya aku kenapa?" ia malah bertanya balik, Gina tahu sahabatnya berbohong.
"Lagian Bulan kan juga sahabat kita, gak ada salahnya juga. Aku duluan ya."
Gina diam mematung sambil melihat pundak sang sahabat yang perlahan mulai menjauh. Ia bingung sekali mengapa sahabatnya selalu menjadikan senyum sebagai sebuah senjata. Dirinya terduduk di kursi halaman yang agak jauh dari tempat pembuatan api unggun, ia memejamkan mata perlahan. Hingga akhirnya ia tersadar bahwa ada seseorang yang telah terduduk di sampingnya, perlahan ia membuka pejaman matanya dan menoleh.
"Haikal?"
Haikal tersenyum tulus. "Ngapain di sini? Kok sendirian aja?" tanyanya lembut.
"Huft... bingung aja."
"Karena?"
Gina menghembuskan napasnya pelan. "Kenapa orang mudah banget untuk percaya sama seseorang? Contohnya, kenapa orang bisa nganggep sahabat dengan mudah?"
Haikal bersandar pada sandaran kursi berbentuk lonjong itu. "Biasanya sih dari sikapnya, Gi. Lagipula nentuin nyaman sama seseorang juga kadang gak terlalu butuh waktu yang lama kok."
Merasa tertarik dengan ucapan lelaki berambut hitam kecoklatan itu, membuat Gina fokus pada wajah Haikal.
"Contohnya, ada yang pacaran selama enam tahun lamanya, tapi malah nikah sama yang baru kenal enam bulan."
Gina memahami maksud lelaki yang berada tepat di sampingnya itu, ia mengangguk pelan. "Oh... gitu ya."
"Cemburu, ya?"
"Hah?" Gina bingung.
"Cemburu sama Bulan, karena Mentari anggap dia sahabatnya juga, kan?" tebak Haikal.
Gina memalingkan pandangannya. "Enggak, aku cuma sebel aja dia lebih mentingin orang lain daripada dirinya sendiri."
Haikal mengangguk mengerti. "Kukira kamu cemburu."
"Emang kamu pernah cemburu, Kal?" pertanyaan itu tiba-tiba saja keluar dari mulut Gina.
"Hm... pernah gak ya..." Haikal menggantungkan pertanyaan Gina, hingga yang bertanya jadi kesal sendiri.
"Cepetan jawab atau aku pukul?!" ancam Gina.
"Hahaha! Iya iya, pernah lah. Apalagi pas kamu pulang bareng Mahen."
Gina menaikkan salah satu alisnya heran. "Kok aku?"
"Ya karena aku suka sama kamu."
Tunggu sebentar, bukankah barusan Haikal baru saja mengutarakan perasaannya pada Gina secara langsung? Gina terkejut dengan ucapan Haikal barusan. Tiba-tiba saja susasana menjadi canggung.
Prang!
Botol kaleng berwarna merah itu sukses membuat kepala Haikal benjol, siapa lagi pelakunya jika bukan Mahen.
"Woi, sini! Malah berduaan!" teriaknya kencang.
Gina tertawa saat melihat ekspresi Haikal yang kesakitan. "Astaga Kal, kamu gak apa-apa?" ia menahan tawanya. Sedangkan Haikal, ia bertingkah sok kuat di depan sang pujaan hati.
"Gak apa-apa sayang, yuk!" ajak Haikal sambil merangkul Gina. Namun, jelas saja Gina menghindar, ia lebih memilih untuk berjalan mendahului Haikal.
Haikal mengelus dadanya pelan. "Untung sayang."
***
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam, sejak tadi mereka semua asik berbincang sambil memakan beberapa makanan hasil bakaran mereka, seperti ikan bakar, jagung bakar dan lain-lain.
"Parah nih Bumi, sekarang dia udah jadi budak cinta," celetuk Cakra.
"Hahaha!" semua menertawai Bumi, meskipun Bumi tidak ada di sekitar mereka, tetapi tetap saja Bumi akan selalu hadir dalam kebersamaan mereka.
"Udah-udah, orangnya gak ada malah dibercandain. Nanti kalo dia keselek di depan calon mertuanya kan malu-malu in, hahaha!" lawak Raja.
Mereka semua tertawa lagi saat membayangkan Bumi yang sedang tersedak akibat ulah mereka.
Mentari tertawa, tapi seketika tawanya pudar, ia masih berharap ada Bumi di sini, bukan hanya sebagai bahan pembicaraan saja. Lagipula bukankah Bumi sudah berjanji padanya? Dan saat mereka pergi malam itu, bukankan Bumi yang bertanya apakah mereka masih bisa bersama bahkan sampai tahun depan? Namun, kenyataannya mengapa Bumi yang menghilang?
Mentari benar-benar merindukan sosok Bumi yang dulu, dirinya rindu sosok sahabat yang selalu ada untuknya, bukan yang selalu menghianati janjinya.
Tanpa sadar, bibirnya melengkung menandakan bahwa ia sedih, wajahnya menjadi murung. Tiba-tiba saja sepasang telapak tangan menutupi kedua mata Mentari hingga sang pemilik mata tak bisa melihat apapun.
"Tebak."
Suara itu membuat senyuman Mentari merekah, Bumi datang. Dengan cepat ia melepas kedua telapak tangan itu dari matanya. Dilihatnya sosok yang selalu ia tunggu.
"Bumi!"
Si pemilik nama tersenyum manis, baru saja ia ingin memeluk Mentari, tetapi sayangnya niat itu harus ia urungkan karena sekarang perut atletisnya sedang menjadi sasaran kesal sang sahabat.
"Dasar!"
Mentari tak habis-habisnya mencubit dan memukul Bumi, sedangkan si pemilik badan hanya bisa mengadu kesakitan pada teman-temannya.
"Iya ampun-ampun!" ujar Bumi sambil berlindung di belakang tubuh Mahen.
Mahen menyentil kepala Bumi pelan. "Lagian berulah, bisa-bisanya hampir batal ikut."
Bumi tersenyum kikuk, lalu ia duduk tepat di sebelah Mentari yang masih belum puas menerkamnya itu. "Yang penting kan aku udah di sini sebelum jam dua belas."
Semua mengangguk dan melanjutkan obrolan, sebelum akhirnya Haikal memotong pembicaraan. "Eh satu menit lagi tahun dua ribu!" ujarnya heboh.
Suasana menjadi heboh, kemudian sunyi karena semua sibuk memanjatkan keinginannya masing-masing.
Aji melihat jam tangannya kemudian bersorak riang. "Selamat tahun dua ribu!"
"Woo!" semuanya bersorak ramai.
"Asik! Cepetan, koreknya mana?"
Raja menyalakan korek di atas sumbu petasan yang akan mereka nyalakan.
Duar! Ctas!
Suara meriah dari petasan itu membuat malam ini menjadi lebih berarti. Malam tahun baru kali ini sangat menyenangkan.
Mereka semua tergeletak di atas rumput hijau sambil tersenyum, waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi, setelah lelah dua jam mereka bermain petasan, akhirnya mereka beristirahat juga.
"Ngomong-ngomong, tadi kamu minta apa, Hen?" tanya Naren penasaran pada permintaan sang pemimpin.
Mahen melirik ke arah Gina. "Jadian sama Gina."
Mendengar itu Haikal bangun dan mendorong tubuh Mahen kesal. "Kok sama permintaanmu sama permintaanku!"
"Ya mana aku tau, kamu kali yang ngikutin!"
Sudah biasa bagi mereka berdua untuk merebutkan Gina, sedangkan yang lain hanya mampu tertawa saja.
"Udah udah, aku mau anter Mentari pulang dulu. Kalian berdua berantem aja sampe pagi, hahaha!"
Bumi memakai jaketnya, diikuti oleh Mentari yang berdiri dari duduknya.
"Makasih ya semua, aku duluan!" kata Mentari pamit.
"Jagain Mentari yang bener, Bum."
Bumi mengangguk sambil menyalakan motornya, ia menyuruh Mentari naik di jok belakang motornya, ia punya rencana untuk berbincang berdua pada malam yang istimewa ini dengan seseorang yang istimewa pastinya.
Selama perjalanan mengelilingi kota Jakarta, Bumi menceritakan hal yang ingin ia ceritakan, Mentari pun mendengarkannya dengan baik. Ini adalah topik yang selalu Mentari dengan akhir-akhir ini, yaitu tentang Bulan.
Sakit memang rasanya, tetapi perasaan itu terkubur bila ia melihat senyuman lepas dari Bumi. Ia yakin, orang yang ia sukai itu pasti sudah jatuh cinta terlalu dalam pada orang lain.
Cinta bertepuk sebelah tangan memang sakit, Mentari sudah mulai terbiasa akan hal itu. Namun, sayangnya sang hati kecil masih membutuhkan waktunya sendiri.
Tanpa terasa, kini mereka berdua sudah sampai di depan rumah Mentari. Mentari turun dengan senyuman yang manis. Diikuti juga dengan Bumi yang tersenyum senang karena melihat sahabatnya itu tersenyum.
"Hati-hati di jalan ya, Bum."
Bumi mengangguk pelan. Mentari telah memikirkan hal yang akan ia katakan pada sang sahabat, mungkin ini memang sudah saatnya, demi kebaikan bersama.
"Satu lagi," Mentari menggantungkan ucapannya. Bumi menaikkan alisnya heran, tak biasanya Mentari bertingkah laku seperti ingin berbicara serius padanya.
"Jauhin aku ya, Bum."
***
Hi! Thanks for reading!
Mentari kenapa nyuruh Bumi ngejauh ya? :(
Btw, don't forget to votemment please, enjoy the next chapter! Stay safe and have a nice day! <3