Lara

By byy11_

1.6K 192 4

"Saat pertama kali melihat langkahmu mundur terseret luka, tatapanku mulai terkunci pada bibir yang masih mem... More

Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Bagian 25
Bagian 26
Bagian 27

Bagian 16

44 7 0
By byy11_

"Bahkan yang sedekat nadi dengan Tuhannya masih mengalami depresi, bagaimana yang jauh?"
🍃🍃🍃

Sana duduk di atas dinding pembatas dengan bertumpu pada dua telapak tangannya. Tatapannya mengunci langit. Aku menemukan dua wanita malang malam ini yang sama-sama menatap langit untuk menyembuhkan kesedihannya.

Kenapa orang-orang sering sekali melihat ke langit saat sedang sedih? Apakah mereka benar-benar sembuh setelah menatap megahnya?

Duduk di dekatnya seperti ini sama saja sedang melakukan uji nyali. Tanpa mengatakan apa-apa, dia bangkit setelah menyadari keberadaanku. Tentu ini sedikit membuatku melongo.

"Boleh aku bertanya?"

Langkah wanita itu terhenti. Aku menganggapnya sebagai tanda setuju. "Kenapa kamu sok kuat? Kamu masih manusia. Kalau jatuh, ya ngaku sakit. Kamu boleh nangis di mana pun, bahkan sekalipun itu di tempat yang ramai. Aku tahu kamu kuat, but you're only human."

Tidak lama kemudian, tubuhnya itu berbalik menghadapku. Senyum hampanya terbentuk di wajah cantiknya.

"Dokter benar. Saya memang kuat, tapi saya cuma manusia biasa. Mungkin Anda belum tahu kalau tidak semua orang akan baik-baik saja saat orang lain tahu kalau dia sedang terluka. Ada sebagian orang yang malu ketika ketahuan sedang tidak baik-baik saja."

"Apa sekarang kamu sedang malu?"

Mendengar balasanku, tatapannya melongos disertai smirk-nya. Sedikit terkejut dengan responnya itu, tapi seperti yang aku katakan, dia masih manusia.

"Bagaimana dengan Anda? Bukankah hidup anda jauh lebih rumit?" katanya, berhasil membuatku bungkam.

Dia menghilang di tengah kebungkamanku. Yang dikatakannya itu benar, selama ini aku terlalu memaksa untuk baik-baik saja sampai terbiasa dan tidak sadar bahwa aku terluka. Akan tetapi, bukankah itu artinya aku berhasil?

Aku tidak beranjak. Hanya ingin mencoba bercengkrama dengan sunyi. Melihat seberapa istimewanya langit bagi mereka yang sedang terluka.

Benar, ketika memandangi langit, dadaku mencuat dan air mata jatuh tanpa sadar. Aku melihat bayang-bayang mama di atas sana. Senyumnya yang tidak pernah pudar sekalipun hatinya sedang memar.

Adakah wanita yang bahagia saat suaminya menikah lagi?

Tentu ada. Siapa lagi kalau bukan sosok yang melahirkanku. Tiga belas tahun lalu, saat aku baru lulus Sekolah Menengah Atas, mama sibuk mengurus sebuah pernikahan. Aku pikir itu untuk temannya, tapi ternyata acara tersebut untuk suami dan cinta pertamanya.

Katanya, ia melakukan ini agar suaminya itu bahagia. Karena tidak ada cinta pertama yang hilang sepenuhnya dari hati seseorang. Ia abadi di tempat yang memang khusus untuknya. Bullshit! Aku sama sekali tidak pernah merasakan itu semua.

Yang selesai, ya cukup hilang saja. Sama sekali tidak ada yang perlu dikenang atau bahkan diberikan tempat khusus karena begitu istimewa. Adakah kegagalan yang mendapatkan sebuah penghargaan?

Aku tidak bisa memberontak karena mereka menganggapku masih remaja yang tidak mengerti apa-apa. Dan sekarang? Haruskah aku diam saja?

Orang-orang melihatku hidup dengan baik karena mendapatkan kasih sayang yang cukup. Mereka tidak tahu, di balik seorang aku ada keluarga yang berantakan, hati yang tidak pernah sejalan, juga iman yang bertolak belakang.

Orang-orang memang akan menilai apa yang mereka lihat. Ketika mereka bilang hidupku berjalan tanpa beban, di situ aku bertanya dalam diam, aku yang terlalu pintar menyembunyikan luka atau mereka yang tidak ahli menilai palsu tidaknya sebuah tawa?

Hanya saja, dunia memang diciptakan sebagai kepalsuan. Bahagia yang kita lihat hanya tentang seberapa banyak mereka berusaha keras dalam berpura-pura tidak terluka.

-----

Seterpuruk apa pun kamu, waktu hanya tahu berjalan maju tanpa berlakunya sebuah rambu-rambu. Dunia terus melangkah dan kamu pun begitu. Bukan mengikutinya dari belakang, melainkan langkahmu yang harus tetap berjalan.

Sebelum melanjutkan tugas, aku pergi ke kamar Omar untuk mengetahui keadaannya. Tatkala berbelok ke lorong kamar Omar dirawat, aku dikejutkan oleh Sana dan ibunya yang sedang berdiri berhadapan di ujung lorong. Aku mendengar percakapan mereka secara tidak sengaja.

"Jangan diam aja. Marahi ibu sekarang. Ayo."

"Buat apa aku marah?"

"Ibu salah. Omar seperti ini karena ibu. Jadi sekarang, tolong marahi ibu."

"Itu sudah berlalu."

"Apa kamu tidak mengerti apa yang ibu katakan? Ibu lebih suka kamu marah-marah, ngomong kasar, bentak ibu. Ibu lebih menyukai itu daripada sikapmu yang seperti ini," suara ibunya meninggi hingga tangan Sana mengepal. Mungkin dia tidak menyadari itu.

"Kenapa kamu hidup seperti ini, Ra?" sambung ibunya dengan suara yang bergetar.

"Kenapa dengan sikapku? Ada apa dengan hidupku? Aku hidup dengan sangat baik," balas Sana datar.

"Sejak kapan hidup tanpa ekspresi itu baik?"

Sanggahan dari ibunya membuat Sana terdiam sejenak. Ia tampak kebingungan menjawab perkataan ibunya.

"Ibu nggak mau kamu hidup seperti ini."

"Aku akan kembali bekerja," alih Sana membuat ibunya mendengus kasar.

Perempuan itu meninggalkan ibunya yang sedang menghela napasnya berulang. Sedangkan kepalan di tangannya itu belum juga dilepas. Dia berjalan dengan mulut yang sedikit terbuka. Barangkali dadanya juga sesak sama seperti yang dialami ibunya.

Aku mengikutinya dari belakang karena cemas yang yang tidak bisa ditahan.

Sana berbohong. Dia tidak pergi ke tempatnya bekerja, melainkan taman belakang rumah sakit.

Aku memang tidak tahu luka apa yang sedang dia pendam, tapi aku mengerti kalau dia sedang kacau. Andai ada satu keinginan yang dikabulkan langsung sekarang, aku akan meminta untuk dikembalikan ke masa lalu dan mengenalnya di hari itu, hari di mana pertama kali dia terluka hingga aku bisa membantunya untuk sembuh saat itu juga. Dengan begitu, dia tidak perlu melewati hidup serumit ini.

"Kopi?" sapaku membuatnya mendongak. Lalu menolak segelas kopi yang aku tawarkan.

"Boleh aku duduk?"

"Silakan. Ini bukan bangku saya," katanya setelah memeriksa sekeliling dan banyak orang yang berlalu lalang.

Aku tidak duduk di kursi yang sama dengannya, tapi masih bersebelahan. Dia menoleh dengan wajah yang bingung. Mungkin ia menyangka aku akan duduk persis di dekatnya dalam satu kursi.

Setelah beberapa menit hening, aku membuka sebuah obrolan, "Maaf soal tadi malam."

"Tidak masalah," balasnya singkat.

"Kita berteman sekarang?"

"Laki-laki dan perempuan tidak bisa berteman."

"Oke."

Cepat sekali untuk canggung hadir di antara kita. Begini, ya.. mengobrol dengan lawan jenis yang taat beragama. Singkat, padat, dan jelas.

"Menurutmu, arti orang tua itu apa?"tanyaku tanpa melihat ke arahnya.

"Hm... aku tidak tahu."

"Oke."

Tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Ini sangat tidak mengenakkan. Anehnya Kahfa, bisa-bisanya kamu menyukai wanita sedingin dia.

Berbicara dari prespektif pria, memang kebanyakan dari kita lebih memilih pasangan yang terkesan cuek dan sedikit bicara seperti Sana. Ada fase di mana mereka akan berubah dan menunjukkan sikap yang orang lain tidak tahu. Dan di sini, para pria merasa diistemewakan. Bukankah begitu, Bro?

"Bagaimana menurut dokter?" ujarnya setelah sedikit memberi jeda.

"Seharusnya aku nggak perlu mengatakan ini, tapi... seperti yang kamu lihat. Mereka alasan aku lahir sekaligus luka pertama yang nggak pernah disangka."

Dia tertawa kecil hingga aku terheran. "Mereka cuma manusia biasa," katanya sambil mengayunkan kakinya pelan.

"Mereka sama seperti kita, hanya manusia biasa. Mungkin kita terluka karena harapan yang kita buat sendiri yang tidak bisa diwujudkan oleh mereka. Bukannya mereka tidak mau, tapi semuanya di luar kendali. Karena mereka masih manusia biasa yang tidak punya kekuatan apa-apa," sambungnya dengan wajah yang datar, tapi tatapannya penuh makna.

"Tadi aku nggak sengaja mendengar percakapanmu sama ibumu..." ucapanku mendadak berhenti tatkala Sana menusuk bola mataku dengan tatapannya itu. Bahkan aku kesulitan menelan saliva sendiri.

"Maaf," sesalku.

Dia tersenyum tipis, lalu berkata, "Terlalu banyak yang dokter tahu."

Aku terpojokkan. Ya bagaimana? Sejak mellihatnya tersenyum saat luka menyerbunya, aku makin penasaran dan akhirnya jatuh dalam perasaan. Ini bukan kemauanku. Ah... Memang terlalu penasaran hanya berujung bahaya.

Seperti terjebak dalam labirin, aku tidak menemukan jalan keluar dari rasa ini. Begitu pun takdir yang seolah mendukungku. Ia selalu menunjukkan jalan untuk lebih mengenal Sana tanpa aku memintanya. Selalu ada ketidaksengajaan yang akhirnya membuat kita bertemu dan membuat perasaan ini semakin tumbuh dalam harapan.

Aku paham, berharap kepada yang sebatas hamba hanya berujung terluka. Anehnya, aku bahagia dengan harapan yang sudah pasti berakhir kecewa ini.

Bahkan hanya dengan berdiam diri seperti ini, aku merasakan hangat dan nyaman di dekatnya. Ingin sekali bernegosiasi dengan waktu agar berhenti sedikit lebih lama agar dia tetap ada di sampingku.

"San... capek ya sama dunia?"celetukku di tengah-tengah sunyi. Dia menoleh dan langsung berpaling saat sadar kalau aku sedang menatapnya. Ternyata dia juga bisa salah tingkah.

"Tiba-tiba nanya seperti itu?"

"Aku bisa lihat..."

"Lihat apa?" Sana memotong ucapanku hingga senyum tipis terbentuk sendiri di wajahku.

"Kalau kamu butuh tidur."

Dia tertawa dan aku hanyut dalam wajahnya yang semakin berkharisma.

Untuk pertama kalinya, aku tersipu melihat orang lain tertawa. Ini membuatku hilang akal, dan dia pelakunya.

Senyumku memudar seketika tatkala melihat wajahnya yang berubah datar dalam sedetik setelah tertawa. Maksudku, kenapa begitu cepat merubah ekspresi?

"San... di sini memang bukan tempat buat bahagia, kok. Di dunia, kita diminta buat ibadah dan mengakui dosa-dosa. Keduanya butuh lelah dan air mata bukan tawa. Lucunya, orang-orang malah saling memperjuangkan bahagia di tempat yang dijadikan sebagai balasan kesalahan Nabi Adam," aku mencoba menghiburnya dan mengalihkan keadaan.

"Dokter benar. Manusia seharusnya tidak mati-matian cari bahagia di sini. Tapi, dokter tidak ingin bahagia?"

Sana ini tipe orang yang senang saat berbincang-bincang hal yang berisi. Buktinya, dia langsung antusias membalas ucapanku.

"Justru aku lebih takut kalau bahagia," jawabku membuatnya bingung.

"Kenapa?"

"Takut nggak bisa menerima luka-luka setelahnya."

"Ah ya. Sesering apa manusia bahagia, sebanyak itu juga mereka akan terluka. Tapi anehnya, kenapa di bumi lebih banyak keluhan terluka daripada bahagia? Katanya sebanding, kan?"

"Bukannya nggak bahagia, memang sifat manusianya saja yang selalu merasa kurang."

"Benar," dia menjeda ucapannya. "Bisa saya simpulkan, kalau mau bahagia bukan dunia tempatnya. Adakah bahagia di tempat yang diciptakan sebagai penipu?" sambungnya.

Sana menganggukkan kepalanya berulang menyetujui asumsiku. Baru pertama kali dia sepakat dengan apa yang aku sampaikan. Bahkan hal sepele seperti ini membuat euforiakku meningkat.

Orang yang sedang jatuh cinta memang sedikit tidak waras. Tingkahnya tidak bisa diterima oleh logika.

Perasaanku kepadanya bertambah banyak hari ini.

"Tunggu sebentar," ucapnya setelah merogoh ponsel dari kantong seragamnya.

Dia mengangkat panggilan itu dengan wajah yang cemas dan kebingungan. Hal ini membuatku sedikit khawatir.

"Bicara pelan-pelan. Kenapa kamu sambil menangis?" katanya.

"Syifa? Di mana?"

Seperti mendapat berlian, wanita itu berlari tanpa berpamitan. Seolah aku mendadak gaib. Dia berlari begitu cepat dengan memegang ponsel di telinganya. Aku tidak tahu panggilan itu dari siapa, tapi aku ingin tahu apa yang sedang terjadi.

-----
Banyak rahasia dalam diri Sana, ya?

Thank you and sorry🖤🖤🖤

Continue Reading

You'll Also Like

7.1M 344K 60
Serina, seorang gadis cantik yang sangat suka dengan pakaian seksi baru lulus sekolah dan akan menjadi aktris terkenal harus pupus karena meninggal o...
319K 19.8K 28
Akankah kisah tragis terulang kembali? °°° 'Hikayat cinta Sang Iblis', lanjutan dari cerita 'Di bawah naungan Sang Iblis' Cover by Pinterest and Me
291K 675 21
DEWASA ONLY!! "Om...ayo tidurin aku, izinkan aku menikmati sisi liarmu..."
637K 9.5K 28
"Oh wow roti sobek!" Queen berbinar, bibir gadis itu terbuka, matanya menyayup mengagumi keindahan otot tubuh Kai. "Cewek nakal," umpat Kai, sebelum...