-WARNA-
Hembusan angin ditemani kelap-kelip gemerlap perkotaan, gedung-gedung tinggi menjulang, suara mesin kendaraan berderu bersautan-langit gelap, tak ada bintang namun bulan selalu ada disana, menampakkan sedikit kilaunya.
"Mau?"
Jav menyerahkan sebungkus roti pada seseorang yang pernah menjadi tetangga masa kecilnya, Lyla melirik lalu menggeleng tak minat.
"Lo belum makan, kan? Nanti masuk angin loh."
Lyla tetap mengacuhkan ucapan Jav, diam memandangi jalanan.
"Bukan salah gue ya kalau lo masuk angin, gue nggak ada rekomendasi tukang kerok loh," ucap Jav lagi, "Eh ada tapi...gue nggak tau si mbok bisa apa engga-"
"Bacot banget, diem lo." Potong Lyla sembari mendelik. Jav diam namun beberapa saat kembali bersuara tapi kali ini dengan suara separuh berbisik.
"Mau nggak? Masuk ang-"
Srak.
"Diem lo, udah gue ambil nih roti."
Javier terlonjak lalu kembali bersuara, "Jangan di ambil aja tapi di makan juga kalau di amb-"
"Jav."
Gerutu Lyla.
Javier mendadak terkekeh, "Okey." Katanya.
Dengan meratapi wajah Lyla dari samping yang tersiram cahaya bulan. Rambut pirang luntur itu acak-acakan terhembus oleh angin yang silih berganti datang.
Lyla memejamkan matanya merasakan hembusan angin malam. Gadis itu memilih duduk di tepi atas gedung-Javier membawanya ke sebuah rooftop gedung terbengkalai di kawasan perkantoran. Entah Javier bisa dapat akses dari mana, yang Lyla tau bahwa Si Mulut Cerewet itu mengatakan kalau ia telah mengantongi kunci gedung terbengkalai ini sejak SMP.
Javier mulai meniru apa yang Lyla lakukan, seperti mengamati jalanan padat oleh kendaraan, dan melihat lampu-lampu sorot seperti kilauan harta karun milik perompak. Tak tau harus berbicara apa. Lyla membuka bungkus roti yang diberikan Javier tadi, perutnya lapar belum sempat terisi usai perseteruan dengan Papa.
"Ini cokelat?" tanya Lyla sembari menatap kearah Jav dengan mulut yang terisi penuh oleh roti. Jav mengangguk, "Cokelat."
"Lo... suka, kan?" tanya Jav pelan dengan wajah ragu.
Lyla diam memilih mengunyah rotinya membuat Javier semakin kebingungan karena seingatnya dulu Lyla adalah bocah cilik dengan gigi ompong yang maniak cokelat. "Nggak, ya? Lo dulu bukannya suka banget sama cok-."
"Suka."
Potong Lyla cepat sebelum Javier mulai berbicara ngelantur kemana-mana.
Javier mendadak mengembangkan senyumnya perlahan, ada rasa bangga karena masih mengingat jelas apa yang Lyla suka dan untungnya selera gadis itu tidak cepat berubah. Huft.
"Suka gue? Suka sama yang ngasih?" Goda Jav membuat Lyla memutar matanya kesal, mulai lagi.
"Suka rotinya bukan elo, kepedean banget sih."
Jav tertawa sambil mengusak poni Si Rambut Pirang Luntur yang saat ini wajahnya kembali berubah masam. "Yaudah deh, asal princess bahagia."
"Gue bukan princess!" Delik Lyla dengan alis tertaut sebal.
"Terus apa? Troll? Atau kurcaci?"
"Jav!"
OOO
"Bisa kamu jelasin?"
Abby dan Joan terdiam satu sama lain, duduk di meja makan berhadapan dengan Bunda. Tak ada yang berani bersuara. Usai kedua kakak adik itu menapak kaki di halaman rumah, Bunda sudah disana menunggu dengan tatapan dingin yang tak bersahabat bersender pada badan mobil.
"Miss Jung bilang kamu tidak kursus hari ini, Joan." Bunda menatap Joan, walaupun sedari tadi putra bungsunya hanya menunduk diam. Lalu pandangan wanita itu teralih pada putri keduanya.
"Kamu!" Sergak bunda sambil menunjuk pada Abby dengan tatapan tajam. "Pasti kamu yang mempengaruhi Joan buat bohong sama bunda dan mulai tidak bertanggung jawab, iya kan?!"
Abby mendongak lalu menggeleng cepat, "Bukan Abby bunda, tadi Joan dan Abb-"
"Pembelaan kamu nggak berguna buat bunda, alasan terus yang kamu ucapkan," suara bunda terdengar mengintimidasi. "Nggak bisa dipercaya."
"Ayo Joan sudah waktunya tidur dan bunda akan siapkan susu hangat," ucap Bunda nadanya terdengar lebih ramah memanggil Joan meskipun tak berlangsung ramah karena wajahnya kembali dengan ekspresi dingin menatap Abby yang masih duduk disana, "Jangan coba-coba lagi untuk mempengaruhi adikmu dengan kelakuan anehmu."
Abby diam memandangi anak tangga usai bunda dan Joan pergi, mengusap pipinya lalu memngambil tas ranselnya menuju ke kamar. Langkah gontai menghampiri kasur, Abby menatap langit-langit kamarnya berpikir apakah ia bisa mendapatkan sedikit saja perhatian dari bunda?
Menjadi berbeda memang bukan kesalahan Abby, ia diluar dari ekspektasi keluarga kepadanya. Ia melenguh. Walaupun sudah biasa tapi mengapa sakitnya masih terasa. Gadis itu menatap kosong wajahnya pada pantulan jendela, mengambil beberapa kain kasa dan obat merah lalu mengganti perban goresan-goresan di sepanjang tangan kirinya. Abby meringis karena rasa perih menjalar, lukanya masih basah tapi ia tak ingat kapan melakukannya.
Abby tau ini salah, tapi tak ada yang bisa ia lakukan dan tak bisa ia hentikan. Si Pirang itu sudah melakukannya sejak ia masuk ke sekolah menengah pertama, tak tau hanya saat itu yang Abby rasakan seperti puas saja. Setelah mengganti perban, ia kembali menutup tangannya menggunakan cardigan yang selalu ia pakai kemana-mana lalu berniat untuk turun kebawah mengambil minum.
Langkahnya terhenti beberapa saat kala melihat presensi kakak tertua mereka ada disana sedang membuat sesuatu, sepertinya kopi. Abby berjalan memgambil gelas lalu membuka kulkas.
"Jangan kebiasaan minum air dingin malam-malam."
Tangannya terhenti.
"Kamu bisa sakit nanti," lanjut Vivian tak menatap, ia sibuk mengaduk bubuk kopi digelasnya dengan wajah datar tak berekspresi. "Minum air biasa sana atau air hangat, ini masih ada sisa di kettle." Katanya sambil menunjuk kesebuah kettle elektrik pemanas air.
Abby diam lalu mengangguk patuh, ia mengembalikan botol air dingin tadi kedalam kulkas dan mengisi gelasnya dengan air biasa.
"Kamu baik-baik aja?" Pertanyaan Vivian membuat Abby melotot kaget lalu tersedak air. Ia menoleh dengan wajah kaget pada kakaknya. Vivian berdecak menggeleng lalu membawa gelas kopinya melewati Abby begitu saja seolah tak pernah mengatakan apapun.
OOO
"Mau kemana bawa bekal?"
Lyla iseng bertanya dengan menaikan alisnya menunggu jawaban dari Si Anak Konglomerat itu. Janine tersenyum lebar, "Aku mau makan di luar."
Lyla menatap Janine dari atas kebawah, ia tak yakin kalau gadis ini akan melakukan apa yang ia katakan. Janine tak pernah membawa bekal semenjak putus dari Dito, itu yang menjadi pandangan seorang Lyla bahwa Janine memang bukan tipikal siswi yang suka membawa bekal. Lagi pula untuk apa anak kaya raya seperti Janine memilh untuk repot-repot membawa makanan dari rumah daripada menghabiskan uang jajan dengan jumlah 'luar biasa' itu.
Janine tersenyum kikuk di hadapan Lyla yang masih menghalangi pintu keluar kelas dengan tatapan menyelidiknya. Tak biasanya Lyla Gema Dharma mau repot-repot ikut campur dalam urusan orang lain.
"Kenapa nih pagi-pagi?"
Tepukan di bahu kiri Lyla disertai suara tanya dari belakang tubuhnya, presensi gadis lain yang ikut heran menaikan alisnya.
Lyla menoleh sebentar, ternyata Jade. Lyla menatap Janine sebentar lalu beranjak berlalu dari sana. Jade tak mengerti sementara Janine meneguk ludahnya takut mencoba biasa-biasa saja di hadapan orang lain.
"Je? Kenapa dia? Ada apa?" Jade bertanya beruntun.
Janine menaikkan bahunya, "Gue ada urusan bentar." Lalu pergi dari sana meninggalkan tatapan heran Jade.
Abby menghela napasnya menatap poster digital di ponselnya, bagaimana ini? Apa yang harus ia katakan pada Bu Mesa nanti? Lima hari bukan waktu yang cukup untuk mempertimbangkan ini semua, setidaknya bagi Abby. Tangannya mencengkram gagang pintu ruangan vokal Smanbaya, biasanya selalu menyenangkan untuk datang kesini tapi kali ini terasa sangat berat. Abby menghela napasnya lagi lalu memutuskan untuk masuk dan berbicara dengan Bu Mesa. Mungkin menolak tawarannya? Ia juga pesimis sekali kalau menerima. Jangankan berpikir akan lolos atau tidak, mungkin bunda akan mengamuk pada sekolah jika tau Abby mengikuti audisi tersebut.
Rumit. Tapi di satu sisi ini impiannya, ini yang Abby mau. Ini momentumnya.
"Dari mana saja?"
Abby menunduk dihadapan guru vokalnya, "Maaf kalau bikin Ibu nunggu lama."
"Tidak kok. Saya cuma agak khawatir saja dengan kamu, Abby."
Abby mendongak mengerjapkan matanya, "Ibu khawatir sama saya? Saya nggak apa-apa kok, bu."
"Syukurlah kalau kamu nggak kenapa-napa."
Bu Mesa memasang senyum tipis padanya lalu melanjutkan kalimatnya, "Jadi bagaimana? Kamu mau, kan?"
Ekspresi gadis yang sebentar lagii berusia 17 tahun itu perlahan berubah sedikit muram, Abby mencengram roknya erat. Sejujurnya, ini sakit sekali dan agak kurang ajar. Di saat tuhan memberikan kesempatan untuknya tapi ia malah menolak kesempatan itu, padahal tidak semua orang bisa memiliki kesempatan yang sama.
"Abby? Semua baik-baik saja kan, nak?"
Bu Mesa menatap Abby sedikit khawatir. Selain bakat, sedari dulu memang gadis itu seperti banyak menyimpan sesuatu di dirinya.
Abby menggeleng pelan. Lagi pula ia tak mau membuat bunda dan ayah kecewa lagi, kan? Maka mungkin dengan mengorbankan kesempatan ini bisa membuat bunda dan ayah tidak semakin membencinya atau mungkin rasa sayang bunda dan ayah yang tak pernah ia rasakan bisa ada untuknya.
Tidak apa kan? Bukankah kata seseorang, berkorban jika ingin mendapatkan hal yang kamu ingin kan.
"Maksud gelengan kamu? Kamu nggak baik-baik saja?" Tanya Bu Mesa.
"Saya...memilih untuk tidak ikut audisi," ucap Abby menkonfirmasi. Bu Mesa terdiam di tempatnya tak berkutik.
"Maksud kamu?"
"Saya nggak bisa ikut audisi itu, bu. Maafkan saya."
Bu Mesa menatap Abby tak percaya. Wajahnya tak mengeluarkan ekspresi apa-apa, "Kamu serius mau menolak kesempatan ini? Lolos nggak lolos itu urusan nanti, Abby. Kita bisa coba dan kamu nggak perlu khawatir dengan apapun, semuanya akan di handle sekolah dan kamu di dukung penuh oleh sekolah."
Abby meremat jari-jarinya. Kepalanya pusing sekali karena memikirkan banyak hal. Rasanya ingin menangis saja. Ia juga tak rela sejujurnya karena menolak. Tapi buat apa kalau semakin membuat ayah dan bunda semakin membencinya.
Bu Mesa memijit keningnya, "Oh astaga, kamu pikirkan dulu. Ibu rasa kamu masih perlu waktu untuk mempertimbangkannya."
Wanita itu beranjak pergi dari ruang vokal dan meninggalkan Abby yang masih termenung.
Jade berhasil melakukan shoot sempurna sebanyak tiga kali. Gadis dengan garis wajah lembut itu mengusap keringatnya menggunakan handuk lalu kembali memasuki arena lagi. Kalau kamu melihatnya mungkin akan geleng-geleng, Jade memang tipikal orang yang apa yang ia inginkan harus ia dapatkan dan semua sifat kerasnya sangat sesuai dengan motto hidupnya itu. Dan kali ini yang ingin ia dapatkan adalah kepercayaan orang lain terhadapnya termasuk kedua orang tuanya dan mungkin sekali dengan mengikuti pertandingan basket ini bisa menjadi jembatan dalam meraih tujuannya.
Suara decitan nyaring menggema hanya berasal dari kedua sepatu gadis itu, sudah selama dua jam berlangsung ia sibuk latihan basket sendirian di lapangan basket indoor karena tau kelasnya sedang jam kosong maka Jade cepat-cepat mengganti seragam sekolahnya dengan baju team basket miliknya.
"Wah wah wah, ternyata usulan dari Lyla memang bukan kaleng-kaleng ya?"
Pujian diselingi tawa kecil itu menyita perhatian Jade meskipun tidak membuatnya berhenti untuk mendribble bola, walau sejenak.
"Gue sering liat lo latian terus disini dan itu cukup bikin gue terpukau sama latihan keras lo," ucap Sona dengan tatapan sama menjengkelkannya dengan Lyla, maklum sama-sama ratu berandalan sekolah. Mungkin seluruh berandalan memang punya tabiat yang sama, kali ya?
"Tapi asal lo tau, istirahat yang cukup juga jadi salah satu faktor yang paling utama sebagai peserta lomba."
Sona melempar botol minuman yang langsung ditangkap oleh Jade, "Gue cuma menasehati sebagai senior yang baik."
"Thank's Kak Sona."
Sona tersenyum lebar mendengarnya, "Oh my god, lo rupanya lebih tau sopan santun dari pada Lyla dengan manggil gue kakak. Thank youu bikin gue seneng haha."
Jade tersenyum tipis lalu meneguk air mineralnya. Sona duduk lesehan di tengah lapangan dengan kedua tangan bertumpu, gadis dengan bandana neon merah itu menepuk sisi sebelahnya memberi tau Jade untuk duduk disebelahnya.
"Istirahat, Jade. Gue emang suka becanda tapi kalau ini gue serius."
Sona berbicara dengan penekanan. Membuat Jade mau tak mau menuruti perintahnya, selama semenit hanya diam-diaman saja karena tidak ada yang membuka pembicaraan. Jade yang menghembus napasnya bosan sementara Sona yang memejamkan matanya.
Tunggu?!
Dia ketiduran? Terus Jade ngapain cuma di suruh diam kayak gini doang?
"Kak? Kakak mau ngapain nyuruh gue duduk cuma diam disini?"
Protes. Jade memang tidak lepas dari yang namanya protes. Seperti tulang dan daging.
"Loh? Gue nggak nyuruh lo diem, kalau mau ngomong ya ngomong aja kali." Balas santai Sona.
Jade menggeram tipis. Ternyata Sona lebih menyebalkan dua kali lipat dibandingkan Lyla. Selama ini, yang ia bayangkan hanya kakak kelas baik hati (meskipun tampang berandalan) yang mungkin bisa lebih ramah dari pada Si Anak Walikota itu.
"Dari pindahan mana lo?"
Jade tersadar dari gerutuan sebalnya.
"Hah eh?"
"Lemot, sinyalnya gangguan ya? Hahaha." Tawa Sona menggelegar, humor sampah macam apa itu. Jade menatapnya aneh.
"Lo anak pindahan mana?" Ulang Sona sembari menghentikan tawanya.
"SMAN Artha Tirta kak."
"Loh? Masih satu kota dong? Kenapa pindah kesini? Disini kan bayar sekolahnya mahal, enakan disana nggak perlu bayar mahal-mahal karena negeri."
"Gue aja mau masuk sekolah negeri dari pada swasta. Eh, tapi sayangnya nggak keterima di negeri manapun karena data hitam gue," ucap Sona sambil tersenyum kecil, "Tapi masuk swasta juga nggak buruk-buruk amat."
Jade mengernyit, "Kenapa? Bukannya lebih baik masuk negeri, ya?"
"Nggak ada yang lebih better. Semuanya ada plus minusnya sendiri. Semuanya tergantung pribadi masing-masing. Yaaa, kalo lo sekolahnya cuma buat asal sekolah aja meskipun lo masuk negeri atau swasta juga sama aja, sama-sama nggak bakal berkembang."
Jade termangu mendengarkan Sona.
"Gue emang dulu mikir kalau masuk swasta cuma buat orang-orang terbuang aja, cuma buat orang-orang yang nggak keterima negeri dan akhirnya pilihan terakhir ya cuma swasta. Tapi ternyata gue salah, disini gue nemuin banyak tipe orang. Mulai dari yang jenius banget sampai yang bego banget. Dari yang alim sampai yang kayak preman, semuanya ada."
"Jadi nggak mengherankan, semuanya bisa kok jadi nomor satu dan semua itu juga pilihan setiap orang mau kemana, sukses itu bukan berasal dari lo sekolah dimana tapi dari lo sendiri, mau enggaknya berusaha."
Jade diam. Sona banyak berbicara tapi kali ini membuat gadis pindahan itu berpikir banyak hal. Sona melirik Jade lalu terkikik pelan melihat ekspresi dari wajah Jade.
"Gue terlalu banyak ngomong diluar hal dari topik utama kita tadi ya? Maaf ya, gue sekalinya dipancing emang langsung bawaannya pengen ngoceh terus."
Katanya diakhiri tawa. Membuat Jade ikut tertawa pelan, ternyata setiap orang memang tidak seburuk kesan pertama yang diperlihatkan mereka.
Jade cuma gadis pindahan yang belum banyak tau apa-apa tentang sekolah ini. Dari ia pindah sampai sekarang, yang di pikirannya hanya tentang pembuktian, pembelaan, dan pembalasan dengan sekolah lamanya, khususnya Si Ratu Drama--Sharon--mengingatnya saja sudah membuat Jade muak bukan main.
Huh.
Sona menghela membuat atensi Jade kembali padanya.
"Apapun tujuan lo, pastikan itu harus di pikirkan secara bijak."
OOO
Hey long time no see everyone!
Ini aku ngetiknya sambil sahur, kalian juga jangan lupa sahur yaa~
Selamat menjalankan puasa semuanya hehe!!
See u in next chap!
Adios~
See u