Yuhi duduk dengan tegang di kursi ruang tamunya sepeninggal Chenle dari sana. Kris masih menatap menyelidik padanya sementara Yuta juga masih enggan pergi karena dia takut Kris akan menyakiti Yuhi lagi.
Lelaki berumur yang masih tampak awet muda itu menghisap cerutu di tangannya dalam gerak lambat. Membiarkan kepulan asap pekat itu berputar-putar di ruang tamu dengan bau asap menyengat.
Sesekali Kris melirik putri bungsunya dan dia menyeringai.
"Kau menggodanya?" Tanya pria itu.
Yuhi buru-buru menggeleng.
"T-tidak.."
"Kau tidak berencana menipuku kan..??"
"Tidak pih ... "
Kris tergelak sesaat.
"Kalaupun iya juga tidak masalah. Yang penting aku dapat salah satu aset keluarga Zhong."
"Papi setuju Yuhi menikahi putra keluarga Zhong?" Kali ini Yuta membuka suara. Sebenarnya Yuta sedikit tidak rela adiknya itu akan dinikahi oleh seseorang. Yuta terlalu khawatir pada Yuhi dan dia juga takut kalau keluarga Chenle tidak memperlakukan Yuhi dengan baik. Tapi dia pun tidak bisa terus melindungi Yuhi di bawah kungkungan Kris, karena urusan bisnis seringkali mendesak Yuta untuk meninggalkan Yuhi selama beberapa hari.
"Kenapa tidak? Keluarga Zhong masuk dalam peringkat 10 keluarga terkaya di cina. "Kris kembali menatap Yuhi.
"Istirahatlah. Kau pasti lelah setelah menggoda putra tunggal keluarga Zhong."
Demi Tuhan, kata-kata bermakna pelecehan itu adalah kata-kata paling manis yang pernah Kris ucapkan untuk Yuhi. Gadis itu menunduk hormat dan berjalan ke kamarnya.
"Yuhi..." Itu suara Yuta.
Yuhi menoleh ketika dia baru setengah jalan menuju kamarnya.
"Hmm?"
"Apa kau yakin akan menikah dengan Zhong Chenle?" Entah kenapa Yuta merasa kalau dia perlu mengkonfirmasi perasaan Yuhi sekali lagi.
"Iya. Hanya dia satu-satunya jalan keluar."
"Kau menyukainya?"
Yuhi tersenyum. Dia mendekat ke arah Yuta dan memeluknya. Yuhi tau kakaknya itu pasti sangat khawatir.
"Bukan soal perasaan yang terpenting disini. Aku butuh Zhong Chenle untuk lepas dari sini."
"Bagaimana dengan dia? Pasti ada alasan lain kenapa dia mau menikahimu."
Yuta bisa mendengar Yuhi menghela nafas meskipun samar.
"Entahlah. Aku tidak peduli apa alasannya asal aku bisa hidup tenang tanpa siksaan itu sudah cukup untukku."
Yuta membalas pelukan Yuhi sangat erat. Bahu kokohnya bergetar dan Yuhi bisa merasakan pundaknya yang basah. Yuta menangis?
" Kakak..."
"Maafkan kakak Yuhi. Kakak tidak becus menjagamu. Harusnya kakak membawamu pergi saja setelah kematian mami."
"Kak.. Yuhi tau kakak selalu berkorban untuk Yuhi. Bahkan kakak merelakan mimpi kakak dan mengikuti kemauan papi demi memohon kebebasan untukku. Mungkin ini memang cara Tuhan menolong kita."
"Berjanjilah untuk memberitauku kalau Zhong bodoh itu membuatmu menangis."
"Iya kak Yuta.."
"Kenapa kau bilang? Kau pantas mendapatkannya. Bagaimana bisa kau melahirkan anak perempuan."
"Anak perempuan itu juga anakmu. Dia anakku yang berharga." Wanita itu menangis. Bersimpuh di bawah kaki Kris.
"Halah.. berharga apanya. Wanita itu tidak lebih seperti alat pemuas nafsu saja. Bahkan tubuhmu pun akan aku buang jika aku bosan. " Kris menatap nyalang tubuh wanita itu, dengan wajah marah ia kembali menumpat.
" Berani sekali dia menolak melayani tuan Park. Lihat saja aku tidak akan mengampuninya. "
Wanita itu menangis meraung-raung dan menahan kaki Kris. Dia berteriak, memohon pengampunan padanya meskipun dia tidak bersalah.
"Demi Tuhan Kris. Yuhi juga masih anak-anak. Bagaimana bisa kau menyuruh anak-anak melayani seorang pria. DIA BUKAN PELACUR !!" Ini adalah perlawanan terakhirnya, dengan mencengkeram kuat pergelangan kaki Kris meskipun dia tau tenaganya tidak akan bisa menahan pria itu.
"KEPARAT ! BERANINYA KAU MENERIAKIKU !!!" Kris menginjak tangan wanita itu hingga terdengar bunyi retakan dari tangannya. Tidak sampai disitu saja, lelaki itu juga menginjak-injak wajahnya hingga wanita itu sekarat.
"Bakar wanita ini dan siapkan cambuk untukku. Anak sialan itu harus menerima hukumannya."
Yuhi terkesiap. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Gadis itu bangkit dari posisi tidurnya. Terduduk dengan wajah ketakutan dan napas memburu.
Mimpi itu terasa begitu nyata. Ah. Tidak ! Itu bukanlah mimpi. Itu hanya serpihan kecil ingatannya yang coba ia hapus namun gagal. Hari dimana tubuh ibunya dibakar dengan sadis hingga wanita malang itu menemui ajalnya. Yuhi tak ingin mengingat itu tapi mimpi buruk yang sama akan terus berulang mendatangi tidurnya.
Yuhi duduk memeluk tubuhnya sendiri. Bekas luka di punggungnya bahkan terasa nyeri sekarang. Gadis itu meringis ketika ngilunya semakin menjalar ke seluruh tubuhnya. Peluhnya meluncur turun begitu saja karena ketegangan tidak mau enyah dari pikirannya.
Di tengah usahanya untuk menenangkan dirinya sendiri, tiba-tiba sebuah nomor tak dikenal meneleponnya dan membuat Yuhi sempat terlonjak.
"Ha-halo.. siapa ini?" Yuhi berusaha agar suaranya tidak terdengar gemetar.
"Ini Zhong Chenle. Simpan nomorku." Kata seseorang di seberang sana.
Suara Chenle tidak begitu jelas. Dia terdengar seperti bergumam. Yuhi menghela napas. Tubuhnya melemah dengan sendirinya ketika ia mendengar suara Chenle.
"Tuan Zhong kau tau jam berapa ini? Kenapa menelepon tengah malam?"
"Ng... jam 2 siang."
'Oh God.. apa dia mabuk?' Pikir Yuhi.
"Ini jam 2 pagi Chenle."
Chenle terkekeh pelan, Yuhi bisa mendengar itu. Entah kenapa dia juga ikut tersenyum. Dan tanpa Yuhi sadari ketegangan dalam dirinya perlahan menguap.
"Aigoo benarkah? Ah.. kurasa aku terlalu mabuk tadi."
"Sekarang pun kau masih mabuk." Balas Yuhi. Gadis itu meringkuk dengan telepon yang masih menempel di telinganya.
"Hgg.... kau sedang apa ? " tanya Chenle membuat Yuhi tersenyum semakin lebar. Pertanyaan sederhana Chenle membuat Yuhi merasa sedang di perhatikan. Dan itu membuat hatinya menghangat.
"Tidur. "
"Aahh kebetulan sekali.." katanya.
"Apa?"
"Aku juga ingin menidurimu."
"Hey !! Dasar mesum." Yuhi menggerutu. Tapi senyumannya sama sekali tidak luntur.
"Aku merindukanmu..." gumam Chenle lagi. Nada suaranya terdengar manja dan membuat Yuhi tersipu.
"Jangan bicara ngelantur. Cepat tutup teleponnya."
Sementara Chenle tidak lagi menjawab setelah dia tertawa. Yuhi malah mendengar dengkuran halus dari balik telepon yang menandakan kalau lelaki itu tertidur.
Yuhi juga tidak mau ambil pusing. Gadis itu kembali memejamkan matanya dan berusaha untuk tidur lagi.