My Five Brother's

By Cornflower_01

56.5K 4.2K 4.1K

[Slow Update] Bunga Centaurea Cyanus atau umumnya disebut Cornflower. Menurut Wikipedia, Cornflower adalah ta... More

Cast
1. Prolog
2. Cerita Para Pangeran
3. Cerita Para Pangeran 2
4. Mereka Juga Punya Perasaan
5. Kekuatan Yang Baru
6. Prasangka di Dalam Misi
7. Plan C Para Pangeran
8. Cornflower Dirgantari
9. Merebut Kepercayaan Flo
10. Drama di Pagi Hari
11. Blacklist
12. Gadis Berhati Luas
13. Bunda, Flo pamit
14. Comeback To Istana
15. Kesepakatan Direktur
16. Go A Head
17. Persyaratan Bersama
18. Di Sebuah Kerajaan Kecil
19. Bertemu Juna Lagi
20. Peraturan Menyebalkan
21. Benang Merah
22. Paling Sempurna
23. Rumit
24. Introgasi?
25. Si Kelas Sepuluh
26. Drama Para Abang
27. Kakek Itu Ayah Bunda
28. Problematika
29. Masa Lalu Yang Kembali
30. Rahasia Flo
31. Putih Biru 1 (Flashback)
32. Putih Biru 2 (Flashback)
33. Aldan Mahendra (Side Story) 1
35. A Justice
36. Terpantau
37. Behind Of Cover
38. Musuh Dalam Selimut
39. Informasi
40. Operasi Penangkapan (success!)
41. Kesepakatan yang Terkuak
42. Menutupi Identitas Pelapor
43. Dimulai satu per satu
44. Kita Juga Sepupu Flo
45. Lembaran Baru
46. Sagara dan Nara
47. Dalam Pengawasan
48. Rahasia Masa Lalu
49. Flo hilang?
50. Hukuman Yang Pantas
51. Pengasingan

34. Ketua OSIS (Side Story) 2

572 47 71
By Cornflower_01

"Tadi pagi pas lewat lapangan, gue lihat siswi baru kelas sepuluh. Cantik banget, ngalahin kecantikannya Nona Emezzz gue."

Pergerakan tangan Rafandra terhenti di papan tulis. Mendengar ucapan Fauzan mengalihkan perhatiannya. Dari sibuk menghapus papan tulis untuk pelajaran selanjutnya.

"Nona Emezz sape lagi, Zan? Lo mah ada-ada aja. Nama orang lu ganti-ganti," sahut temannya bernama Raka.

"Itu, loh. Selena Gomez, calon istri gue. Ha ha ha." Fauzan, cowok narsis penggemar Selena Gomez. Tertawa terbahak sedang bahu lebarnya berguncang. Cowok berbadan besar itu sampai memegang perut.

"Untung temen gue, lo. Sarap banget. Perasaan nggak ada yang lucu. Sampe-sampe tawa bapak-bapak lo ngalahin suara toa sekolah." Haikal mendelik, ingin sekali menyumpal mulut Fauzan yang lebar saat tertawa itu.

"Siapa tuh cewek baru kelas sepuluh yang kalian maksud. Gue belum pernah liat."  Juniara tiba-tiba datang, merusuh pada beberapa cowok di barisan meja tengah.

"Eh, Bu Megawati baru dateng." Ilham yang juga teman sekelas Rafandra berceletuk menyambut kedatangan wakil ketua OSIS itu.

"Ih ngeyel!"

Juniara kesal, ia menarik rambut Ilham sampai cowok itu mengaduh.

"Sakit Juniii, jahat banget, sih." Ilham merengek, membuat teman-temannya langsung bergidik.

"Jijik bang*ad!"

"Eh, gue mau cerita." Juniara kembali mengalihkan perhatian beberapa cowok di kumpulan meja itu. Sebenarnya Juniara mempunyai maksud terselubung, supaya rencananya berhasil jika melibatkan teman sekelasnya.

"Cerita apaan?" Fauzan langsung merangsek berdiri di antara Juniara dan Ilham. "Lo pasti mau manas-manasin gue lagi soal kebucinan Naina sama pacarnya, ngaku, lo!" tuduh Fauzan, sudah cukup patah hati karena ditolak adik kelas anggota paskib itu. Sedangkan Juniara selalu saja mengangkat kebucinan mereka menjadi tranding topic di antara Fauzan dkk. Sampai Fauzan merasa kepanasan seperti berdiri di gurun pasir.

"Udah putus mereka Zan, lo kemana aja kudet banget," gelak Haikal, dibalas mendapat pukulan berkali-kali dari Juniara sambil tertawa di punggung.

"Serius lo? Kapan?" Wajah Fauzan langsung berbinar.

"Iya, satu minggu lalu. Masih anget, sih, putusnya."

"Gila, cewek kalau udah jomlo cantiknya nambah bray," lanjut Wawan yang baru datang, menarik kursi lalu duduk di sebelah Haikal.

"Siapa bilang dia jomlo?"

Kali ini ucapan Juniara kembali mematahkan hati Fauzan. Potek sudah, hancur lebur menjadi bubur.

"Dia udah jadian lagi, tuh, sama anak kepala sekolah."

"Ha ha ha, sabar bro Zan. Makanya lupain, cari yang baru Jang, noh, Mbak Megawati aja masih jomlo," ledek Wawan, kemudian bertos ria dengan Haikal dan Ilham.

"Wawan gue bilang jangan panggil gue Megawati!!"

Meskipun kelas XII IPA 1 adalah kelas dengan kumpulan siswa paling rajin, bahkan ketika jam kosong mereka akan mendatangi ruang guru untuk mendapat tugas.

Namun, adakalanya mereka juga tetap murid biasa yang bisa berisik sebelum guru datang. Dari sibuk bermain game di pojokan, tidur di hamparan kardus yang sengaja mereka bawa dan terletak di belakang dekat loker. Sampai bergosip sambil terbahak-bahak.

"Cewek mulu yang lu pada omongin, noh, tugas masih numpuk!" Rafandra ikut nimbrung, cowok itu menarik ke atas kerah belakang seragam Wawan supaya Wawan menyingkir dari kursinya.

"Anjir, lo kek lagi nyomot kantung item di pinggir sungai, Fan, sialan."

Kamudian duduk sambil terkekeh tanpa menghiraukan protes Wawan.

Fauzan menelengkan kepala. "Isi di kepala lo kayaknya pelajaran mulu, ya, Fan. Ikut pening kepala gue jadinya."

"Fan, katanya yang bakal gantiin lo jadi ketos kelas sepuluh, ya?" tanya Juniara, beralih posisi duduknya di kursi depan. Berhadapan tepat dengan Rafandra. Saat ini, ia harus melancarkan rencananya. Demi terbebas hutang.

"Katanya, Bu Niken yang rekomendasiin." Rafandra mengangkat kepala, melihat satu per satu teman kelasnya.

Meski Rafandra terkadang cuek, ramahnya kadang irit, bahkan bisa hilang baiknya kalau lagi emosian. Bisa juga paling banyak tegasnya. Rafandra tetap punya banyak teman. Didukung semua orang atas jabatannya.

Selain karena visual serta kepintarannya, Rafandra juga sebenernya asyik saat diajak mengobrol. Mempunyai pikiran terbuka dengan mau menerima masukan ataupun kritik dari anggota OSIS itu sendiri, teman-teman, maupun siswa lain.

Seperti saat ini misalnya, ia lepas pulpen di tangan, menutup buku serta ponsel kemudian fokus pada Juniara.

"Kenapa? Ada yang protes?"

"Nggak ada sih, cuma terlalu dini aja kalau ambilnya anak baru. Ini banyak gosip yang gue denger terutama di kelas sebelas. Katanya masih ada kok kelas sebelas yang bisa dipercaya buat jadi ketua OSIS." Juniara menurunkan kelopak matanya. Menilin jemari ragu-ragu. Pasalnya ia takut usulnya tidak dihiraukan Rafandra. Meskipun yang ia ucapkan ada benarnya. Karena memang Juniara sudah sering mendengar celetukan-celetukan itu yang sengaja ditujukan untuknya. Di antara siswi kelas sebelas. Seolah suara mereka tidak didengar oleh pihak sekolah. Akhirnya mereka jadi sibuk menyindirnya.

"Misalnya?"

Sampai ketika Rafandra merespons santai. Juniara tersenyum lebar.

"Aldan? Dia juga punya prestasi di bidang kelas IPA, juara 2 seangkatan kelas sebelas setelah Birru. Apalagi dia seumuran sama kita, 'kan? Kalau bukan karena sakit mah dia pasti udah kelas tiga sekarang. Di usianya juga pasti, lah, dia bener.

Apalagi kalau dua adek lo gak mau, kenapa gak Aldan aja? Toh dia gak ada bedanya sama lo soal kepemimpinan. Dia juga mudah bergaul dengan siapapun."

Saat menyadari dua alis Rafandra bertaut seakan meminta penjelasan lebih, Juniara kembali melanjutkan, "Gue kenal karena dulu dia sempat ikut ekskul seni. Makanya gue sedikit tahu soal dia," jawab Juniara cepat. Takut kalau-kalau niatnya dicurgai.

Rafandra mengangguk. "Oke, nanti gue bicarain sama Bu Niken."

"Lagian kenapa gak adain pemilihan ketua OSIS aja, sih, kek sekolah lain? Kenapa juga harus ikut rekomendasi dari Bu Niken? Mentang karena dia pembinanya?" tanya Ilham.

"Aturan pihak sekolah dari dulu, 'kan? Selama ada murid yang bisa dipercaya pegang OSIS. Dan niatnya bergabung untuk kemajuan sekolah. Bahkan bisa bertanggung jawab. Kenapa nggak?" jawab Rafandra.

"Dia harus pegang tanggung jawab atas kepemimpinannya. Menjalankan visi misinya dengan baik tanpa umbar janji. Disiplin dan bisa kasih solusi buat kemajuan sekolah. Jadi, otomatis sekolah gak mungkin asal merekrut ketua OSIS.

Karena kepengurusan yang baik, dipimpin oleh ketua OSIS yang baik."

Tiba-tiba kelas XII IPA 1 menjadi hening, mendengarkan penjabaran Rafandra perihal OSIS.

"Satu lagi, kepala sekolah pilih siswa berprestasi karena dia pikir, potensi mereka buat dapet nilai plus gak bakalan sia-sia nantinya, se-enggaknya masa depan mereka udah tertata. Eits, bentar-" Rafandra mengangkat kedua tangan.

Waspada kalau-kalau para temannya akan ngamuk sebab hal tersebut sudah termasuk dalam diskriminasi siswa. "Gue gak ada maksud bedain siapapun, karena buat gue sendiri setiap siswa punya kesempatan. Tapi ini penilaian kepala sekolah sendiri dan dia udah yakin kalau setiap keputusannya bener. Jadinya, dia gak ambil sembarang siswa buat pegang OSIS sama MPK. Karena ini juga demi kebaikan sekolah."

Rafandra menghela. "Karena Birru sama Arun gak mau, maka Bu Niken rekomendasiin siswa baru yang udah kelihatan potensinya dari sekarang. Sama, prosedurnya kaya gue dulu."

Oh, iya. Mereka baru ingat. Rafandra pun direkrut menjadi ketua OSIS sejak duduk dibangku kelas X. Dan itu pun atas keputusan langsung kepala sekolah. Meski saat itu, Rafandra juga ikut mengajukan dirinya sendiri.

Sedangkan Rafandra menyayangkan sekali, ternyata Birru hanya main-main saja waktu berkata ingin menjadi ketua OSIS. Dia hanya pura-pura menantang si kelas sepuluh itu.

"Gila." Fauzan menggeleng. "Urusan OSIS kepala sekolah mendetail banget."

"Gimana nggak, kepsek punya andil cukup besar buat OSIS, belum lagi naungannya CEO Abraham Dirgantara, cuy," tambah Ilham. "Dia ketat banget merhatiin peraturan sekolah, bahkan dijadiin syarat biar kontribusi besar di perusahaannya tetep ngalir ke sekolah."

Kali ini Rafandra tertawa, sudah biasa mendengar pandangan teman-temannya perihal sang kakek. Sebab untuk apa kesal kalau memang benar adanya. Abraham memang mempunyai andil besar atas kemajuan sekolah Bina Bangsa.

"Bener," seru Juniara, sampai-sampai menunjuk Ilham.

"Gue bahkan pernah denger, dia gak mau kerjasama kembangin sekolah yang gak bisa menjamin kemajuan siswanya. Makanya kepsek gak main-main bikin peraturan sekolah."

"Tapi ada untungnya juga, sih," sambung Haikal.

"Beliau mau kasih bantuan kesempatan, buat siswa yang gak mampu biar dapet beasiswa. Itulah sebabnya, gue kagum sama kakeknya sohib kita ini, iya gak, Wan?" Ilham menoleh pada Wawan.

"Tull, gue salah satunya. Bahkan gue bisa dapet rekomendasi buat masuk universitas terdehebes!" sambung Wawan, merangkul bahu Rafandra.

Sementara Rafandra tertegun. Iya, Abraham Dirgantara memang dianggap paling baik. Tapi sayang, semua hanya diperlihatkan dari luar, sebab kenyataannya, Abraham tidak bisa sebaik itu sebagai pemimpin utama keluarga.

Karena bagaimana mungkin seorang ayah, tega membuang putri kandungnya sendiri. Bahkan tidak mengakui cucunya sendiri. Apakah pantas perilaku itu diberikan oleh seorang Abraham yang reputasinya sangat baik di kalangan masyarakat.

***

"Rafa." Juniara berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Rafandra. Cowok itu hendak pergi ke perpustakaan menemui seseorang. Langkahnya yang santai tidak lantas membuat Juniara kelelahan.

"Kenapa?" Tanpa menghentikan langkahnya Rafandra bertanya.

Juniara menggaruk kepala. Kontras sekali canggung serta kegugupannya. "Lo, beneran bakal bicara sama Bu Niken soal ... peraturan baru pemilihan ketua OSIS?"

Cowok berbadan tinggi dengan gaya rambut slanted sweep serta seragam sekolah yang selalu rapi itu menelengkan kepala. Tangannya tenggelam di saku celana. Rahangnya yang tajam terlihat begitu sangat menawan.

Juniara sampai meneguk ludah, sosok ini kalau dilihat sangat dekat ternyata mampu meletup-letupkan jantungnya tanpa sadar.

"Nggak ada peraturan baru. Gue cuma mau usul ke Bu Niken aja. Kalau bisa jabatan OSIS tahun ini bakal diambil sama kelas sebelas. Dan kalau prestasi Juna bertahan sampai dia kelas sebelas nanti. Dia yang bakal jabat ketua OSIS selanjutnya."

"Se-seriusan?" Ada harapan di mata Juniara. Ia sampai mengembuskan napas lega. "Syukurlah," serunya senang.

Sampai Rafandra terkekeh. "Lo se-seneng itu kenapa?" tanyanya.

"Ah, nggak, kok." Juniara mengibaskan satu tangannya. Gadis dengan bando putih di kepalanya itu melangkah sedikit jauh. "Soal Aldan, gue harap lo juga bisa kasih dia kesempatan. Thanks, ya." Setelah itu Juniara pergi.

Meski dalam hati paling dalam, Juniara merasa sangat bersalah. Egois karena mementingkan dirinya sendiri. Bukan hanya itu, Aldan bahkan tidak pantas dijadikan pemimpin di sekolah ini. Jika saja Juniara tidak datang ke perjudian demi meraup uang banyak, maka ia tidak mungkin bertemu Aldan lalu berhutang padanya.

Apalagi sampai merekomendasikan manusia palsu seperti Aldan Mahendra. Uh, ingin sekali Juniara membongkar kedoknya di depan semua orang.

***

Seperti yang Rafandra niatkan setelah urusannya selesai dengan sang adik perempuannya. Ia akan menemui Bu Niken. Membicarakan perihal ketua OSIS yang akan menjabat selanjutnya. Sebenarnya Rafandra tidak memusingkan siapa yang akan menggantikannya nanti. Karena dia kira siapapun berhak mempunyai kesempatan. Selama mereka mau memegang tanggung jawab dengan baik untuk kemajuan sekolah.

Langkahnya yang terbatas di sekolah ini, nyatanya tidak bisa menyuarakan keingiannya untuk membuat keadilan yang sama rata seperti sekolah pada umumnya. Bahwa setiap siswa mempunyai keunggulan tersendiri dalam memimpin. Entah yang menjabat sebagai apapun di sekolah ini atau yang tidak sama sekali. Entah yang mau berpartisipasi atau tidak. Semua sama, untuk belajar dan meraih cita-cita di masa depan. 

"Assalamualaikum, Bu." Rafandra memasuki ruang guru. Tubuhnya yang tinggi, sedikit merunduk sopan saat melewati beberapa guru. Lalu berdiri tepat di depan Bu Niken yang hanya terhalang meja saja.

"Waalaikumsalam, Rafa. Ada apa, Nak?" Dan Bu Niken selalu menyambutnya dengan cara paling ramah.

"Ada yang ingin saya bicarakan soal OSIS. Ini tentang, calon ketua OSIS selanjutnya."

"Oh, ya?" Bu Niken membenarkan posisi duduknya. Lalu mempersilakan Rafandra untuk duduk. "Bicaralah, biar Ibu dengar."

Setelah mengutarakan usul sama yang ia bicarakan dengan Juniara tadi. Sekaligus laporan Juniara perihal adanya yang protes akan kepemilihan yang diambil dari kelas sepuluh itu.

Dan bagaimana Rafandra berpikir, setidaknya anya sedikit kesempatan ini yang bisa Rafandra perjuangkan. Ia sudah kelas dua belas, dan Rafandra akan lebih serius mementingkan kelangsungan ujian nanti. Belum lagi, Rafandra sudah bertemu Flo. Rafandra ingin menghabiskan banyak waktu dengannya, sebelum Rafandra melanjutkan pendidikannya di luar negeri nanti.

Bahkan tidak disangka, saat Rafandra mengajukan beberapa nama siswa yang sudah ia lihat dari kedisiplinan, prestasi serta cara mereka berkomunikasi pada penduduk sekolah. Bu Niken langsung menyebut Aldan sebagai siswa paling cocok untuk menggantikan dirinya.

"Kalau Albirru keukeuh gak mau. Maka baiklah, Aldan yang akan menjabat sebagai ketua OSIS selajutnya."

Rafandra mengangguk. Apapun yang juga menjadi keputusan sang guru dan untuk kebaikan sekolah. Dan penilaian Rafandra terhadap Aldan pun cukup baik. Maka Rafandra pun setuju.

"Biar nanti ibu sampaikan usul kamu ke kepala sekolah."

"Kalau begitu, biar saya bicara dengan Juna. Karena bagaimana pun dulu saya juga ikut merekomendasikan Juna." Rafandra hendak berdiri, tetapi urung saat Bu Niken kembali angkat suara.

Terlepas dari bagaimana pandangan Rafandra terhadap Juna karena alasan Flo. Dan bagaimana Rafandra bersikap padanya ketika bertemu. Nyatanya Rafandra akan berusaha tetap profesional.

"Tidak usah, biar Ibu saja yang bicara dengannya. Lebih baik kamu segera adakan rapat, karena sebentar lagi sekolah kita akan mengadakan study tour."

***

Tiga hari berlalu, keputusan sekolah perihal OSIS pun diterima. Aldan sudah diberitahu akan menjadi ketua OSIS selanjutnya. Dan bagaimana sebagian siswa pun kebanyakan setuju. Disamping itu, Juniara paling murung. Karena dirinya, bencana untuk sekolah ini sedang menunggu di depan mata. Tinggal menunggu saja, kapan tsunami itu akan datang.

Aldan yang sudah diberitahu pun merayakannya. Mentraktir beberapa teman sekelasnya di sebuah kafe yang tidak jauh dari sekolah. Setelah nanti, ia yakin. Sang papa akan semakin bangga padanya. Dan Aldan bisa membuktikan bahwa dia bisa berguna sebegai penerus kelangsungan perusahaan Mahendra Group kelak.

Juna sendiri tidak memusingkan. Baginya tidak masalah jabatan OSIS nya tahun ini hanya sebagai anggota. Toh, nantinya di tahun depan ia yang diberi kesempatan menjabat. Dan Bu Niken bilang, bahwa Juna tidak sepenuhnya diblacklist dari calon ketua OSIS. Hanya ditunda sampai Juna naik kelas nanti.

Di ujung lorong Juna berpapasan dengan Rafandra. Jika diingat, ketua OSIS yang Juna segani itu sama sekali tidak menjelaskan atau bicara apa-apa padanya. Atau mungkin memang, cukup Bu Niken saja yang memberinya penjelasan? Lalu apa yang ia harapkan dari sosok yang selalu menjaga gerak-geriknya ketika Juna bersama Flo.

Sampai ketika teman-temannya dari ekskul futsal datang ke kelas. Lalu memberitahu siapa yang akan dijadikan rekomendai OSIS selanjutnya. Juna seperti dijatuhi batu yang sangat basar. Sinyal antisipasinya langsung berpijar di kepala. Saat Aldan Mahendra yang akan menjadi ketua OSIS disebutkan.

"Putri, kalau gitu gimana sama Putri?"

Juna berlari keluar kelas. Tidak tahu harus pergi ke mana. Namun, intuisinya memerintahkan untuk bertemu Rafandra. Dan membongkar seperti apa kedok seorang Aldan sebenarnya. Biang onar, yang sudah diketahui oleh sebagain teman-teman Juna. Makanya mereka bilang Aldan si muka dua.

Namun, sebelum niatnya terpenuhi. Juna berdiri kaku. Dari ujung lapangan itu. Juna melihat Flo diikuti oleh seseorang, yang sudah Juna anggap sebagai musuhnya.

"Aldan, dia ngapain ikutin Flo? Bahaya."

.
.
.
.
To be continued ....

Okke, side storynya sudah selesai. Mari kita lanjutkan dari part 'Rahasia Flo' di bab 30 nanti.

See you. 👋
Jangan lupa tinggalkan vote dan komen. 🌴

Continue Reading

You'll Also Like

960K 29.3K 43
Ivander Argantara Alaska, lelaki yang terkenal dingin tak tersentuh, memiliki wajah begitu rupawan namun tanpa ekspresi, berbicara seperlunya saja, k...
180K 16K 47
Jika dirinya Bintang, Dia adalah Bulan. Jika dirinya Kakak, Dia adalah Adik. Lantas, kenapa sosok adiknya sangat berkuasa? ** Tara, begitulah orang m...
1.5M 44.8K 60
Zanna tidak pernah percaya dengan namanya cinta. Dia hanya menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang merepotkan dan tidak nyata. Trust issue nya so...
383K 36.5K 38
Bukan BL Arkanna dan Arkansa itu kembar. Tapi mereka sudah terpisah semenjak masih bayi. Dulu, orangtua mereka menyerahkan Arkanna kepada saudara yan...