________
"Lo jalan kayak lagi dikejar anjing, El!"
"Gue udah jalan biasa aja, Da. Lo-nya aja yang lemot."
"ARGGHH..!!" Dosa apa gue Tuhannn? Kenapa juga punya temen se-enggak peka, Elletra.
Meda berjalan tertatih karena lututnya yang luka masih terasa perih. Tapi, Elletra dengan tidak pekanya malah berjalan cepat tanpa menunggunya. Sudah berkali-kali ia menegur El, tapi hasilnya sama saja. Benar-benar. Cukup sudah, bisa gila dia menghadapi gadis itu.
"Lo duluan sana. Gak usah nungguin gue, dasar gak peka!!" Rutuknya.
"Yaudah."
Dan, lihatlah Elletra!! Kenapa dia beneran ninggal?? Huhuuuu.. mau marah tapi sama siapa? Mau ngeluh tapi temennya kok bloon.
Dengan perasaan dongkol, Meda membuka ponselnya dan mencari kontak seseorang.
"Bantuin gue cepet!!"
"Dimana?"
"Koridor kelas 10."
"Tunggu."
"Hmm"
Karena saat ini Meda dan kawan-kawan sudah naik kelas 12 maka kelas mereka pun pindah. Awalnya ada di lantai 2 sekarang mereka harus berada dilantai 3. Dengan kondisi lutut yang seperti itu, tentu saja ia akan kesulitan berjalan menuju kelasnya berada.
"Ishh, kenapa kemaren harus jatoh sih"
Gadis itu bersandar pada dinding menunggu bantuan datang. Yakali dia harus memaksa naik keatas. Mager.
Tak berselang lama, Andra turun dari tangga menuju dirinya.
"Lo kenapa?"
Meda menunjuk kearah lututnya.
"Gak bisa naik, Ndra. Perih banget." Rengeknya. Sumpah, ia merasa jadi balita sekarang. Sikapnya yang menye-menye membuatnya geli sendiri.
Andra melirik lutut gadis itu dan berjongkok untuk memeriksa seberapa parah luka yang tertutup perban itu.
"Heh, mau ngapain lo!!"
Gadis itu menutup rok bagian depannya, memastikannya agar tidak tersingkap.
"Ckk, gue cuma mau liat."
"Bantuin gue naik."
Andra menghela nafas dalam.
"Gak usah susah payah jalan, gue males nungguin lo yang lelet."
Meda melotot dibuatnya. Tapi, tiba-tiba tubuhnya terangkat melayang diatas tanah.
"Eh.. eh"
"Andraaa!!"
Meda segera mengalungkan tangannya ke leher cowok itu. Karena Andra mengangkatnya ala bridal style.
"Diemm.. pilih diem atau gue tinggalin?"
"Iya, gue diem."
Bisik-bisik penghuni lorong berdengung seperti lebah. Mereka yang menanyakan Meda kenapa, dan mereka yang mencibir Meda semuanya bercampur jadi satu. Tapi tentu saja diabaikan olehnya. Bodo amat, yang penting sampai dikelas dengan selamat.
Jika kalian bertanya-tanya kenapa Meda belum memulai balas dendamnya dan membuat perhitungan pada Rian dan Arsita serta bala-balanya. Maka jawabannya adalah karena ia ingin menyembuhkan traumanya terlebih dahulu. Lihat saja nanti saat mentalnya sudah aman, siapapun akan ia beri ganjaran bahkan jika ada satu kata cibiran untuknya saja takkan ia biarkan orang itu untuk lepas.
Coba kalian pikir, disaat ia yang sedang melakukan misi tiba-tiba Haphephobianya kambuh, atau mungkin traumatiknya. Kan lucu, bukan dia yang seram malah dia yang dijadikan bahan guyonan.
Maka dari itu ia bertekad untuk sembuh barulah memulai rencana yang sudah ia susun rapi. Beberapa rencana memang sudah ia lakukan, tentu saja rencana jangka panjang. Rencana yang akan memudahkannya dimasa depan.
Lihatlah hasilnya sekarang.
Disentuh Andra, bahkan dipegang saja ia sudah tidak bereaksi. Itu tandanya, terapi yang ia lakukan bersama Gerald selama ini berhasil.
Ya, setiap akhir pekan ia dan Gerald selama ini selalu bertemu. Melakukan terapi, dan konsultasi. Berkat itu pula, akhirnya ia bisa merasa hidupnya lebih tenang. Tidak lagi dibayang-bayangi kejadian itu.
"Lo berat banget, Da. Makan apa sih?" Andra mulai mengeluh. Tentu saja mengeluh, mereka sudah menaiki tangga menuju lantai 3. Menaiki satu tangga dengan beban berat saja sudah sanggup membuat lutut tremor, apalagi cowok itu harus menaiki 2 tangga.
"Gue? Berat? Lo aja kali yang lemah." Ucap Meda tenang sambil meniup permen karetnya hingga meletus, lalu ia ulangi seperti itu terus.
Andra mendelik.
Apa-apaan sepupunya ini. Dikasih hati kok minta jantung.
"Lo, ishh.."
"Cepetan, Ndra. Bentar lagi bell."
Tuhkan, Meda memang tidak tau diri. Udah dibantu juga, masih buat jengkel.
_______
"Baiklah anak-anak karena sudah tidak ada lagi pertanyaan saya kira cukup sampai disini materi kita hari ini, Selamat siang."
Kelas selesai begitu saja. Diluar hujan cukup lebat membasahi bumi, tapi tetap saja banyak dari siswa-siswi yang memaksa untuk pulang.
Meda mencebik kesal.
Huh, pengen ujan-ujanan tapi banyak singa posesif.
Diva datang kekelasnya, dan menuntunnya untuk pulang.
"Lo mau mampir kerumah apa langsung pulang?"
Meda mendongak lesu.
Air hujan yang turun dari awan biru sangat menggoda untuk ditemui. Hari ini cuaca sangat cerah, tapi entah mengapa bisa turun hujan, langit pun berwarna biru bukan kelabu.
"Pengen ujan-ujanan, Va."
Diva mendelik.
Ctakk..
Meda mencerucutkan bibirnya. Jidat cantiknya disentil, lihat saja sebentar lagi pasti ada bekas merah disana.
"Tapi hujannya menggoda iman, Va."
"Yaudah pulang sendiri sono."
Semua orang sudah pulang, karena Diva menawarkan diri untuk pulang bersama Meda. Jadi, jelas tidak ada siapapun yang akan membawa Meda pulang jika Diva merajuk.
"Ish.. lo mah ngambekan."
"Lo-nya juga gak sadar diri."
Meda meringis. Kenapa lukanya ada dilutut? Spot yang sangat lama sembuhnya. Meskipun kering pun, pasti ada beberapa bagian yang belum mengering karena letaknya dipersendian.
Meda berjalan sendiri memburu Diva yang berlari menuju mobil.
"Ckk, mereka sama aja."
Kesal.
Pada akhirnya ia ditinggal.
Ternyata dugaannya salah, Diva berlari ke mobil lebih dulu bertujuan untuk mengambil payung. Betapa so sweetnya gadis itu. Uhh, jadi baper. Eh..
"Ayok!!"
Diva menarik pergelangan tangannya, membawanya ke mobil. Diva itu bukan orang yang suka memanjakan, dengan gadis itu ia malah dibuat seenaknya.
Dengan Diva, jiwa Meda dewasa sering muncul. Meda sebelum kehidupannya direnggut.
Seperti tadi, Meda sama sekali tidak diperbolehkan mengeluh. Sama sekali. Ia juga harus berjalan sendiri, gak boleh manja.
Benar, seharusnya ia harus lebih dewasa. Bukan malah jadi remaja menye-menye lagi. Ia pikir malah dirinya yang dulu lebih dewasa daripada ia yang sekarang. Banyaknya perhatian membuatnya lupa diri, astaga.. ia melupakan itu. Tidak sepatutnya ia bersikap childish, justru ia harus bersyukur di kehidupannya yang sekarang ia bisa mendapatkan banyak perhatian.
"Pulang aja, Va. Pengen cepet-cepet rebahan."
Diva mengangguk.
Gadis itu menjalankan mobilnya menjauhi gedung sekolah mereka yang sudah sepi.
_______
Meda duduk di gazebo dekat kolam ikan belakang rumahnya. Ia juga ditemani Leo si kucing besar nan gemoy yang sibuk mendengkur karena usapan yang gadis itu berikan.
Mereka biasa melakukan itu setiap sore, jika Meda tidak ada kegiatan. Singa jantan itu tidak kehilangan naluri berburunya, karena Meda ataupun Effendi selalu memberikan hewan fresh yang biasanya disembunyikan ditempat-tempat tersembunyi untuk menjaga naluri kucing itu. Biar penciumannya tetap tajam, dan juga naluri berburunya tetap terjaga.
Seperti kucing pada umumnya, Singa tidak akan menggigit beneran kalau bersama dengan orang yang menolongnya atau orang yang ia anggap dekat. Tapi tetap saja, gigitannya yang main-main sanggup membuat tangan bolong.
"Le, hidup lo enak ya. Tinggal makan, tidur, makan lagi, trus rebahan. Gue jadi pengen."
Singa itu hanya mendongak menatap Meda, lalu kembali meletakkan kepalanya.
"Kalo nanti musuh Debrowska udah dapet ganjarannya, gue bakalan buatin lo party. So, tungguin aja."
Leo mendusel-duselkan dirinya pada Meda.
"Geli tau, Le."
Gadis itu tertawa lalu menggelitiki perut bawah singa itu.
"Nih rasain."
_____
Yuhuuu..
Sengaja update sore hari, biar bisa nemenin ngabuburit kalian.
Siapkan jari kalian.. Yuk spam rame-rame!!
Jangan lupa tinggalkan jejak!! 😘