Memang Kamu Orangnya

By nisnami

6.8K 628 137

Pasutri gemas yang nggak pernah nyangka bakal sampai di fase jadi pasutri. Mita & Arkan memang dekat. Sejak k... More

Mita & Arkan
001. From This
002. Arkan Nakal
003. Mita Ribut
004. Arkan Sakit
005. Mita Diajak Nikah
006. Arkan Serius
007. Mita Galau
008. Arkan Ngeselin
009. Mita Takut
010. Arkan Selingkuh
011. Mita, You're Enough
012. Arkan Mabuk
013. Mita Hilang
014. Sah!
016. Mita Geregetan
017. Arkan With Cimol
018. Mita Siap
019. Arkan Marah
020. Mita Si Gampang Emosi
021. Arkan Si Tabah

015. Arkan Sabar

372 36 4
By nisnami

Genggaman hangat yang diberikan Arkan pada tangan Mita membuat gadis itu menoleh dan menatap Arkan dengan mata ngantuknya.

"Aku minta maaf."

Mita menghela napas. "Buat apa lagi?" ucapnya pelan, sedikit tidak enak hati menanyakannya.

"Aku tau, sakit hati kamu karena aku kemarin belum sepenuhnya sembuh. Dan sekarang, kamu nikah sama aku, juga karena kesalahanku. Aku tau juga, kamu belum siap untuk nikah. Beban kamu jadi bertambah. Lagi-lagi karena aku. Maaf, Mita."

Melihat Arkan menunduk dalam dengan nada bicara terdengar bergetar, Mita mengerjap lalu menarik tangannya dari genggaman Arkan.

Mita menyentuh dagu Arkan, membawanya untuk memandang Mita. Dia melihat kedua mata Arkan yang jelas berkaca-kaca.

Ah, Mita sungguh tidak tega kalau seperti ini.

"Iya, dimaafin," kata Mita sambil mengusap cairan bening di sudut mata Arkan dengan ibu jarinya. Arkan tampak sedikit rapuh.

Mendengar kalimat Mita sontak membuat Arkan langsung menarik gadisnya itu dalam pelukan. Hingga kemudian Mita sadar kalau kali ini Arkan benar-benar menumpahkan tangisnya.

Mita mengusap kepala Arkan menenangkan.

Mita memutuskan untuk memaafkan Arkan, menghapus kekecewaannya, menyikapi sakit hatinya dengan sabar.

Karena pada kenyataannya, Mita tak bisa lepas dari Arkan.

Bukan menjadi bodoh hanya karena cinta. Tapi karena setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua.

Beberapa menit setelahnya Arkan masih betah memeluk Mita, sekalian modus sepertinya. Sampai tangisnya berhasil usai, Arkan tetap pada posisinya sambil diam. Dengan Mita yang juga diam. Arkan baru sadar juga kalau dirinya bisa menjadi lelaki cengeng hanya karena Mita, bahkan ia tak malu memperlihatkan bagaimana ia terlihat sedih dan lemah.

"Udah, ya, Ar. Gue ngantuk banget, serius. Mata gue lengket banget ini, udah susah dibuka," kata Mita, agak mendorong tubuh Arkan untuk menjauh.

Ternyata benar, Arkan bisa melihat mata Mita yang menyipit, beberapa kali mengerjap untuk mempertahankan kesadaran. Ah, gemas sekali.

Mita bersiap untuk membaringkan tubuh. "Nggak usah malam pertama, ya. Gue belum siap," katanya terlampau jujur.

Arkan terkekeh lalu berkata, "Aku juga nggak mau minta sekarang." Ia ikut membaringkan tubuh di sebelah Mita.

"Kenapa?" Masih sempatnya Mita bertanya dengan nada yang sudah parau.

"Tunggu kamu siap lah," jawab Arkan enteng, mendadak menarik tubuh Mita lalu dipeluk erat.

Mita sudah masa bodoh mau dipeluk, ditarik, dilempar juga sepertinya. Kantuk menguasainya. "Gue siapnya tahun depan," sahut Mita tak sungguhan.

Arkan hanya tertawa kecil.

"Rambut kamu belum semua kering."

"Biarin. Besok juga kering sendiri." Mita masih berbaik hati membalas ucapan Arkan meski mata sudah tertutup.

Arkan berkata lagi, "Kita beneran baikan kan ini?"

"Hm...." Mita hanya bergumam.

"Kamu udah nggak marah sama aku?"

Mita mengangguk pelan.

"Jangan diemin aku lagi lho."

"Ya."

"Besok kamu—"

"Diem, Arkan! Mau tidur," sentak Mita dengan kesal, lalu mengubah posisi jadi memunggungi sang suami.

Oke, Arkan diam. Bibirnya melengkungkan senyum. Ah, senangnya ketika bisa berbaikan dengan si pujaan hati. Tak akan ada lagi silent treatment menjengkelkan.

"Arkan, jangan mabuk-mabukan lagi."

Samar Arkan dengarkan. Suara Mita tak begitu terdengar jelas, namun Arkan masih bisa menangkap kata-katanya.

"Siap, Istri!" balas Arkan, mengecup kening Mita lalu menyusul tidur.

Mita yang baru saja membuka mata, menguap sembari meregangkan otot-ototnya. Menyadari hari sudah bukan pagi lagi, karena pantulan sinar matahari dari jendela yang sengaja dibuka. Mita melihat jam dinding di kamar itu.

"Gue kira udah sore. Masih jam satu ternyata," gumam Mita kemudian berniat untuk tidur lagi.

Hingga tiba-tiba dia membelalakkan mata. "Jam satu?! Satu siang?! Gila, gue tidur berapa jam?" ucap Mita langsung bangkit grasak-grusuk untuk duduk.

Dia menggaruk-garuk kepalanya, melihat sekitar ruangan dan mengerutkan kening.

"Emang gue semalem nginep di rumah Arkan? Kok gue bangun di kamar dia?"

Kerutan di keningnya semakin dalam, sembari mengingat-ingat kejadian kemarin. Dengan tanpa sadar tangannya memutar-mutar cincin pada jari manis di tangan satunya.

"Hah? Cincin?" Mita melongo sambil memandangi cincin itu. "Lah, kan gue kemarin nikah sama Arkan! Ih, pikun banget," katanya lalu turun dari tempat tidur.

"Makanya kok gue ngerasa heran, masa orang rumah nggak ada yang bangunin gue. Kak Zoya nggak gedor-gedor pintu kamar gue, Papah nggak setel musik keras-keras, Mamah nggak lempar-lempar wajan panci supaya gue bangun. Ternyata emang gue udah pindah padepokan."

Dia terus mengoceh sendiri, sementara tangannya menyisir rambut, mengambil ikat rambut lalu mengikat asal rambutnya. Kemudian Mita segera bergegas membenahi tempat tidur.

Meski dia bukan gadis yang seratus persen mandiri, apa-apa dilakukan sendiri, namun kalau hanya membereskan tempat tidur dan kamar sudah menjadi kebiasaannya setiap hari.

"Tapi kok Arkan nggak bangunin gue sih? Ke mana juga tuh orang? Masa belum genep dua hari nikah gue udah ditinggalin. Jahat banget." Mulut Mita memang hobi mengoceh kalau mood-nya sedang bagus.

Setelah beres, Mita memutuskan untuk keluar kamar. Netranya langsung menangkap keberadaan Arkan yang tengah duduk menonton televisi.

Mita berjalan pelan-pelan, berusaha tak menciptakan suara. Setelah tiba di belakang Arkan, dengan sengaja Mita menjatuhkan telapak tangannya pada pundak sang suami.

"Dor!!"

"Waaa ... njir!!

Seketika Mita tergelak. Arkan menoleh dengan napas memburu gara-gara kaget. Pemuda itu menyentil kening Mita dan menarik Mita untuk duduk di sebelahnya.

"Bener-bener lu!" kata Arkan, "kalo saya jantungan terus meninggal, Kakaknya mau jadi janda muda?"

"Ih, masa baru nikah udah nyumpahin gitu sih?!" sahut Mita, berkacak pinggang dan menampilkan raut marah yang lucu.

Arkan bergerak mengelus pundak Mita. "Bercanda. Aku nggak akan meninggal dalam waktu dekat ini. Biar kamu aja yang meninggal duluan," katanya berani.

"Arkan!" Mita melotot kesal sambil menarik kaos Arkan kuat-kuat, tidak ketinggalan satu tepukan manis di mulut Arkan.

Lelakinya tertawa, Mita semakin kesal. Tak tahan melihat raut pada wajah sang istri, Arkan berusaha menghentikan tawa sambil mendekap tubuh gadis itu.

"Lo bangun jam berapa deh? Kok nggak bangunin gue? Tega banget biarin gue tidur sampe siang," ucap Mita masih dengan wajah kesal nan mencebikkan bibir.

"Mana ada tega!" sahut Arkan membela diri. "Aku tau badan kamu cape banget abis nikahan kemarin. Aku sengaja nggak bangunin kamu, biar istirahatnya cukup," lanjutnya tanpa menatap Mita.

Ketika Arkan menunduk, ia mendapati Mita tengah menatapnya dengan mata mengerling. Refleks Arkan memalingkan muka, dia salah tingkah sendiri.

"Iya deh. Makasih, Arkan," ucap Mita dengan nada manis sambil mencolek dagu Arkan.

Arkan berdecak pelan dan melepaskan Mita dari dekapannya. "Nggak usah colak-colek, nggak usah goda aku. Nanti kalo aku kegoda, aku colek balik, aku minta tanggung jawab, kamunya kabur," katanya, menyeringai kecil.

Mita yang tadinya sudah menempel pada tubuh Arkan seketika bergeser dan menjauh. "Apa sih? Colek doang, masa kegoda. Orang gue nggak niat godain lo. Lemah!"

Arkan tidak akan pernah bosan menatap bibir itu mengoceh, mengeluarkan berbagai kata tanpa lelah. Arkan beralih menatap tepat netra istrinya tanpa kedip.

"A-ar ... gue bukan nggak mau. Gue cuma belum siap," ucap Mita tiba-tiba merasa was was melihat tatapan Arkan.

Lelaki itu tertawa renyah, mengusap kepala Mita dan berkata, "Tau, Mita. Aku juga nggak akan buru-buru maksa kamu kok. Aku sama kamu bukan cuma sebulan, dua bulan, ya. Selama itupun aku bisa tahan."

Walau Arkan pun tidak yakin pada diri sendiri. Pasalnya kan kalau sekarang dia dan Mita serumah, satu ranjang, setiap hari.

"Lo beneran bisa tahan atau emang nggak nafsu sama gue, ya, Ar?"

Mata Arkan melebar, bisa-bisanya Mita berkata seperti itu. "Yeuuu, kocak lu!" celetuknya sembari mencubit hidung Mita.

"Perlu bukti? Ayo, sekarang! Aku tunjukin nafsuku ke kamu."

Tawa Mita menyembur meski sambil berdiri pelan-pelan dan mundur menjauh. "Lu yang kocak! Nggak usah macem-macem." Raut wajahnya berubah datar dan tawanya berhenti.

"Lah, macem-macem juga kenapa? Nggak bakal dimarahin Pak RT, njir. Aku suami kamu."

"Arkan, ah. Males!"

Menyambung pada Arkan yang kini tertawa puas menyaksikan itu. Kemudian dia menarik lembut lengan Mita agar mau duduk kembali.

"Makan belum?" tanya Mita.

"Udah, makan roti," balas Arkan, menunjuk bungkus roti di meja depannya.

"Kasian, ya, lo. Punya istri tapi bangun tidur sendiri, makan cuma roti," kata Mita, rautnya tampak mengasihani. Tapi Arkan menangkap itu sebagai ejekan.

Arkan pun memasang raut semenyedihkan mungkin.

"Jelek lo!"

"Suami kamu ganteng, Mita! Aku cium, ya, kamu sampe nggak bisa napas," balas Arkan menyorot tajam.

"Sialan!" umpat Mita pelan, ia langsung berdiri.

"Cium tuh remot TV! Gue mau mandi. Run, Mitaaaaa!" Mita cepat-cepat pergi dari sana sambil berlari panik sendiri.

Sementara Arkan tertawa dengan perasaan ringan, gemas melihat si istri.

'Mitanya sudah kembali'.

Mita menghampiri Arkan lagi, tentunya kini sudah mandi. Dan ternyata Arkan masih pada posisinya sejak tadi. Televisi yang menampilkan tayangan dari stasiun TV Indosiaran mengalihkan perhatian Mita sejenak, namun setelahnya Mita tahu kalau Arkan lebih fokus pada ponselnya dan membiarkan televisi yang menonton dia.

"TV-nya dimatiin kalo nggak ditonton!" oceh Mita sembari mengambil remot lalu mematikan televisi, "lo nggak tau listrik mahal, hah?"

"Bukan aku ini yang bayar," celetuk Arkan enteng, yang kemudian harus ikhlas menerima cubitan di perutnya dari Mita.

"Bikin iki ini ying biyir," ujar Mita menyinyir.

Arkan segera meletakkan ponsel dan menghela napas. Lebih baik bersabar daripada semakin dihajar oleh Mita.

Sejenak kemudian, bel depan rumah berbunyi.

"Buka, Yang!" titah Arkan tanpa segan. Ia mengeluarkan selembar uang merah dan selembar uang biru dari saku celana lalu diberikannya pada Mita.

Meski bingung, Mita menerima uang itu. "Apaan sih? Emang siapa yang dateng? Kok gue dikasih uang segala," ucapnya agak ngegas.

"Orang," kata Arkan sekenanya.

Mita hampir terpancing. Arkan yang menyebalkan sudah kembali.

"Minta tolong, ya, Sayang," ucap Arkan lebih lembut sembari mendorong pelan tubuh Mita.

Mau tak mau Mita bangkit dari duduknya dan berjalan sedikit malas menuju ke depan.

Beberapa menit kemudian, Mita kembali dengan langkah serta raut wajah yang berbeda dari sebelumnya. Ia tampak ceria, sambil menenteng kantong plastik berisi makanan dan minuman.

Arkan tersenyum geli melihat itu.

"Seneng amat, Buk," celetuk Arkan meledek.

"Seneng dong!" sahut Mita, meletakkan bawaannya ke meja. "Gue laper soalnya, hehe...."

Mita langsung duduk di bawah, Arkan juga yang tadinya duduk di sofa ikut turun.

Sembari tergesa-gesa membuka bungkusan makanan, Mita bersenandung kecil sangking bahagianya.

Arkan tak lagi hanya tersenyum, pemuda itu sudah tertawa gemas. Mengangkat tangan untuk menyentuh puncak kepala Mita lalu diusapnya, tatapan Arkan jelas menunjukkan kasih sayang.

"Pelan-pelan," katanya.

Sontak gerakan Mita berubah pelan, bahkan sangat pelan seperti slow motion.

Lagi, Arkan tertawa. Istrinya lawak sekali.

"Ah, nggak sabar," kata Mita, kembali buru-buru. "Wuihh, ayam bakar," lanjutnya dengan mata berbinar.

Terburu dia ke belakang untuk mengambil air dan membawanya dengan mangkuk sebagai kobokan. Tanpa menunda lagi, Mita berdoa sejenak kemudian makan setelah itu.

"Makasih, ya, Arkan."

"Sama-sama, Mita." Arkan mengambil satu bungkus lainnya dan membuka dengan tenang. Menatapi Mita yang makan cepat seperti tiga hari tak makan.

"Pelan, Mita. Nanti bisa keselek. Aku nggak minta kok. Udah kayak orang seminggu libur makan," ucap Arkan.

Setelah menelan makanan dalam mulutnya, Mita berkata, "Gue belum makan berat dari kemarin."

Berhasil mengejutkan Arkan, sampai tidak jadi menyuapkan nasi pada mulutnya. Arkan teringat kemarin memang Mita lebih banyak diam, suasana hatinya tampak buruk, namun ia tak menyangka Mita sampai tidak makan makanan berat.

"Lah, bukannya kamu kemarin makan, pas siang, bareng aku," kata Arkan, mengerutkan kening.

"Oh, iya. Tapi abis itu gue muntah," balas Mita santai.

"Hah? Kok aku nggak tau?"

"Karena gue nggak kasih tau. Mamah aja nggak tau, gue nggak bilang siapa-siapa." Nadanya masih terdengar tenang sambil meneruskan makan.

Tidak ada sahutan setelah itu. Membuat Mita perlahan menoleh, membalas tatapan Arkan yang tampak sedikit tajam.

"Eeee ... gue nggak pa-pa kok. Kemarin tuh cuma ... kecapean, mungkin. Tapi sekarang baik-baik aja, serius." Mita mengacungkan jari telunjuk dan tengah agar Arkan percaya.

Arkan menghela napas. "Lain kali kalo ada kesusahan, jangan dipendem sendiri. Kan ada aku, kamu bisa bagi sama aku. Biasanya juga kan dibagi sama aku," ujar Arkan sambil mengusap kepala Mita.

Mita mengangguk-angguk lalu lanjut makan. Dan Arkan pun akhirnya kembali menyentuh makanannya.

"Sebenernya Mami tadi telpon aku, katanya mau dateng bawain makanan ke sini. Aku bilang nggak usah. Kita bisa beli. Mami pasti kan cape, biar istirahat aja," ucap Arkan memberitahu.

Sang istri hanya bergumam menanggapi, terlalu menikmati makanannya.

"Tapi, Ar," kata Mita tiba-tiba. "Gue nggak pinter masak."

Langsung Arkan menoleh. Bukan kaget mendengar fakta tersebut, namun heran Mita mendadak berkata seperti itu.

"Aku tau. Kamu pikir kita baru kenal kemarin sore?" balas Arkan kelewat santai.

"Ish! Maksud gue, kan gue nggak pinter masak, masaknya itu-itu aja. Lo juga nggak bisa masak, masa kita tiap hari mau beli."

Arkan jadi diam.

Iya juga.

"Diem kan lo," cibir Mita. Dia ikut diam sesaat sembari memikirkan Arkan yang selama ini lebih sering mengonsumsi makanan instan, atau harus pulang ke rumah orang tua untuk makan, atau lebih parahnya malah tidak makan.

"Kamu nggak pinter masak tapi kan bukan berarti nggak bisa masak, Mita. Walau masaknya itu-itu aja, masakan kamu enak kok," ucap Arkan.

"Emang siapa yang bilang masakan gue nggak enak?" tanya Mita sinis.

Duh, Arkan memilih diam daripada salah ngomong lagi.

Kemudian Mita berkata, "Gue mau sering-sering belajar masak, ah. Seru kayaknya. Boleh kan?"

"Boleh lah," jawab Arkan, tersenyum lebar melihat semangat Mita.

"Nggak usah cape-cape. Kuliah dulu aja yang diutamain."

Malas adu argumentasi, alhasil Mita mengangguk saja sebagai jawaban.

"Oh iya, itu di depan banyak kado, punya siapa?" tanya Mita yang baru melihat banyak tumpukan kado di ruang tamu saat tadi membuka pintu untuk kurir makanan.

"Punya kita. Dari Mamat sama yang lain. Tadi pagi-pagi banget aku ditelpon Bima berkali-kali, suruh bukain pintu. Makanya aku bisa bangun pagi."

"Yang nganter ke sini siapa? Mereka semua dateng sendiri-sendiri?" Mita masih kaget dan bertanya-tanya.

Arkan menggeleng. "Bima sama Gilang doang yang nganter, yang lain titip."

Setelahnya Mita terdiam. Terharu untuk ke-ratusan kali atas perbuatan para teman dekatnya. Mereka pasti buru-buru banget cari kado dan hadiah. Mita jadi merasa bersalah karena tak memberitahu lebih awal mengenai pernikahannya.

"Ayo, dihabisin makannya. Abis itu kita telpon mereka," kata Arkan menginterupsi diamnya Mita.


Continue Reading

You'll Also Like

670K 5K 5
"Daripada kamu jauhin saya, mending kamu deketin saya aja. Kalau kamu jauhin juga, pasti saya yang bakal deketin kamu." Tingkah genit Devan-bos Wina...
122K 12.3K 52
Kamu calon atau dah jadi aktivis kampus? Kemarilah... Aku ajak kau berkelana dalam kenangan indahku. Menjadi bagian dari sisi terbaik perjuangan maha...
632K 31.3K 12
[KAMPUS SERIES | 2] Drama Korea kalah gurih sama Drama KKN yang bumbunya paket komplit. Yang bikin baper? Banyak! Dibikin baper temen sendiri sampai...
ALZELVIN By Diazepam

General Fiction

12.1M 605K 55
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...