Semester baru akhirnya dimulai. Hari-hari sebagai siswa kelas 12 pun juga dimulai. Hari pertama antusias para siswa terlihat masih begitu tinggi. Mereka memasuki kelas baru dan melepas rindu pada teman-temannya.
"Lo peringkat 1 lagi?"
Itu suara Naresh. Ia bertanya pada Rengga yang berjalan di sampingnya.
Tak lama, mereka tiba di kelas baru, yaitu kelas 12 IPA 1.
"Iya. Emang ada yang bisa ngalahin gue?" Rengga berucap dengan sombong.
Sembari memperhatikan beberapa bangku yang masih kosong, Naresh pun menyahut, "Sombong banget lo."
Rengga terkekeh pelan, lalu beranjak menuju bangku kosong yang posisinya cukup strategis. Naresh pun mengikuti dari belakang.
"Gue dengar lo masih ikut turnamen bulan depan," ucap Rengga.
"Iya. Turnamen terakhir," jawab Naresh dengan nada yang terdengar tak seantusias tadi.
Netra Naresh kini menatap bangku kosong di depannya. Bangku yang tanpa aba-aba membuatnya teringat akan satu orang yang kini tak akan pernah bisa ia temui lagi.
Sadar akan perubahan suasana hati Naresh, Rengga langsung menepuk bahu sahabat karibnya itu.
"Kita harus terbiasa tanpa dia, Resh," ungkap Rengga.
"Ya, gue tau."
***
"Nareshta! Nareshta! Nareshta!"
Semester baru telah dimulai. Itu berarti rutinitas cewek-cewek SMA Ganesha pun ikut kembali dimulai. Mereka kini tengah meneriakkan nama Naresh dengan heboh. Berharap cowok yang sedang mendribble bola itu akan melihat ke arah mereka sekali saja.
"Naresh makin ganteng aja!"
"Gila! Gue makin klepek-klepek lihat Naresh."
Berbagai pujian terus terlontar untuk Naresh. Lantas, saat Naresh telah selesai bermain basket cewek-cewek itu berbondong-bondong menghampiri Naresh. Mereka mengerubungi Naresh layaknya semut yang menemukan gula.
"Naresh, kamu haus, kan? Nih, minum dari aku."
"Resh, ini handuk buat kamu."
"Nggak! Ambil punya aku aja, Resh."
Astaga. Jadi, orang ganteng ternyata nggak enak. Keluh Naresh.
Cuaca siang hari sedang sangat panas. Saking panasnya kepala Naresh sampai terasa pening. Kini kepalanya jadi makin pening karena cewek-cewek itu.
"Minggir, ya! Gue mau ke kelas," kata Naresh.
Namun, mereka tidak menggubris permintaan Naresh.
"Kak Naresh!"
Satu teriakan terdengar cukup nyaring dan berhasil membuat kerumunan cewek-cewek tadi sedikit melonggar. Atensi mereka pun tertuju pada cewek berwajah imut yang tengah tersenyum ke arah Naresh.
Cewek itu menghampiri Naresh sambil memegang minuman dingin di tangan kanannya.
"Buat Kak Naresh," ujarnya masih sambil tersenyum manis.
"Nggak usah, Ngel. Gue ud--"
"Nggak apa-apa. Terima aja. Kak Naresh haus, kan?" paksa Angel.
Siapapun tolong bawa Naresh pergi sekarang juga. Naresh benar-benar hanya ingin kembali ke kelas dan terhindar dari cewek-cewek kurang belaian itu.
Asyik melamun tiba-tiba Naresh merasakan usapan lembut di pipinya. Ternyata Angel sedang mengelap keringat di wajahnya menggunakan handuk yang dibawa cewek itu.
"Apaan, sih?" tegur Naresh.
Naresh menepis tangan Angel. "Siapa yang ngizinin lo nyentuh gue?"
"Ta-tapi Kak Naresh keringetan. Aku cu--"
"Nggak usah lancang," tekan Naresh.
Sembari menghela napasnya, Naresh mengalihkan pandangan. Kebetulan sekali ia melihat Kara yang tengah melewati tepi lapangan.
"Ayaaaang!" panggil Naresh.
Cowok itu berlari menghampiri Kara yang kaget sampai terdiam di tempat. Wajah cewek itu memerah karena malu.
"Ayang!" sapa Naresh.
"Apaan, sih? Malu dilihat yang lain," ucap Kara, kesal.
Tak menggubris ucapan Kara, Naresh justru menunjuk wajahnya yang berkeringat.
"Panas, yang," adu Naresh.
"Terus?"
Cowok berjersey merah itu tersenyum penuh arti. Lantas, tanpa aba-aba ia menarik ujung almamater Kara untuk mengusap keringat di wajahnya.
"Naresh!" seru Kara, semakin kesal.
"Gerah, yang," dalih Naresh.
"Ini, tuh, baru dicuci," sungut Naresh.
Sebelah tangan Naresh merangkul bahu Kara. Ia membawa cewek itu beranjak dari sana tanpa mempedulikan cewek-cewek yang kini sedang patah hati karena melihat interaksinya dengan Kara.
"Resh, jauh-jauh, deh! Kamu bau keringat," usir Kara.
Naresh menggeleng cepat. "Nggak mau! Maunya deket-deket ayang."
"Apaan, sih? Kok kamu jadi aneh gini." Kara berucap sambil menahan kesal."
"Bodo amat."
Naresh terus merangkul bahu Kara. Sesekali ia menjahili Kara dengan meniup wajah atau poni yang menutupi kening cewek itu.
Beberapa kali Naresh pun harus kena pukul Kara. Sebab, stok kesabaran Kara yang kian hari kian tipis saat harus menghadapi Naresh yang pecicilan dan sangat jahil.
Namun, disatu sisi Kara juga bersyukur karena Naresh tidak berlarut-larut dalam kesedihannya. Cowok itu akhirnya mampu bangkit dan memulai hari-harinya setelah kepergian Yere. Meskipun terkadang Kara juga merasa bahwa tingkah laku Naresh sedikit banyak memiliki kemiripan dengan tingkah laku Yere.
***
Malam pukul 8 Kara sedang goleran di atas kasur. Ia juga sedang sibuk bertukar pesan singkat dengan Naresh. Sesekali bibirnya tersenyum geli hanya karena membaca pesan Naresh.
Naresh:
Ayang!
Apaan?
Naresh:
Kalo misalnya aku sama Rengga tenggelam siapa yang bakal kamu tolongin duluan?
Nggak ada.
Naresh:
Kok gitu, sih?
Ya, kan, kalian berdua bisa renang. Sementara aku nggak bisa renang.
Naresh:
Oh, iya. Lupa.
Kenapa bisa lupa? Sibuk mikirin cewek-cewek tadi, ya?
Naresh:
Nggak, yang. Aku lupa karena terlalu sibuk mikirin kebahagiaan ayang.
Senyum Kara kembali terukir. Diikuti tubuh kecilnya yang berguling-guling karena terlalu salah tingkah sekaligus gemas.
Kara menghentikan kegiatannya karena mendengar pintu kamar yang diketuk dari luar.
Jangan-jangan Naresh? Kara membatin antusias.
"Kara?"
Namun, ia tertegun saat mendengar suara lembut itu.
Tak ingin terus menebak-nebak akhirnya Kara bergegas membuka pintu. Ia semakin tertegun saat sudah berhasil melihat dua sosok yang berdiri di depannya.
"Papa? Mama?" gumam Kara.
"Ka-kalian ... ngapain di sini?" Kara bertanya lirih.
"O-oh, kalian pasti mau ambil barang-barang ya--"
"Sayang ... kita bisa mulai dari awal lagi, kan?"
Hilda bertanya dengan suara serak.
Dipenuhi kebingungan, Kara menatap Papa dan Mamanya secara bergantian. Ia benar-benar tidak mengerti dengan maksud kedua orang itu.
Lalu, Hilda memegang bahu sempit Kara.
"Kasih kita kesempatan kedua, sayang," mohon Hilda.
"Maksud Mama apa?" tanya Kara.
"Kami memutuskan untuk tetap bersama, Kara," ujar Bambang.
Kara menatap tak percaya pada mereka berdua.
"Papa serius?" tanya Kara.
Keduanya mengangguk yakin.
"Harusnya kami lebih cepat menyadarinya, sayang. Maafkan kami, ya," ungkap Hilda.
Tidak ada jawaban dari Kara. Hingga tiba-tiba cewek dengan piyama bergambar Winnie the Pooh itu berlari menuruni tangga.
"Kara?" panggil Hilda seraya menyusul Kara bersama sang suami.
Kara berdiri di tengah-tengah ruang tamu. Netranya kini menatap dua koper besar yang teronggok di dekat sofa tunggal.
Tubuh Kara berbalik. Iris mata yang berkaca-kaca tengah menatap Hilda dan Bambang.
"Ini ... beneran? Papa sama Mama pulang?" Kara bertanya lirih.
Bambang mengangguk, lalu berkata, "Papa dan Mama pulang untuk Kara."
Lelehan air mata semakin jelas menghias wajah Kara. Mewakili perasaan harunya.
Sadar bahwa apa yang terjadi bukanlah mimpi, Kara pun berhambur memeluk Papa dan Mamanya.
"Kara kangen sama papa sama mama," isak Kara.
"Kami juga kangen sama Kara," balas Bambang.
Pria itu mengecupi puncak kepala istri dan anaknya.
"Janji, ya. Jangan tinggalin Kara lagi," pinta Kara.
Hilda mengangguk lemah. "Iya, sayang."
"Oh, iya!" cetus Hilda.
Pelukan mereka terurai. Kara menatap Hilda penuh tanya.
"Besok undang Naresh dan papanya untuk makan malam di sini, ya," pinta Hilda.
"Tumben, Ma?" Kara bertanya sambil menggamit lengan sang Papa.
Hilda mengelus rambut Kara dengan lembut. "Mama mau mengucapkan terima kasih sama Naresh."
"Terima kasih? Terima kasih buat apa, Ma?"
***
Selamat malam minggu, guys!
😚😚😚
Jangan lupa juga mampir ke cerita baru aku. Ramaikan yuks!!