“Maafkan aku, Mbak Sarah. Tapi kalau nggak gitu, mana mau orang kantor ngasih alamat Mbak ke aku.” Sarah menundukkan kepala dalam-dalam.
Kamala mengembuskan napas panjang. Dia tidak tega memarahi perempuan yang memberikan tatapan serupa mata anak kucing itu. Memelas.
Hati Kamala masih lembut. Meski sempat kesal dengan kelancangan Sarah, wanita itu akhirnya merengkuh si perempuan muda dalam pelukannya.
“Mbak nggak marah lagi?”
Kamala menggelengkan kepala. “Gimana aku bisa marah? Wong kamu sudah ada di sini. Mau gimana lagi?”
Sarah nyengir lebar. “Mas Dion juga sudah ada di sini.”
“Memang kenapa sama Mas-mu?” Kamala menaikkan alis tinggi-tinggi.
“Ish, Mbak Kama gitu, deh. Pura-pura nggak tahu.” Sarah mengerucutkan bibir.
“Lah, memang aku nggak tahu, Sarah.” Kamala berkata dengan lembut. “Memangnya ada apa dengan Mas Dion-mu itu? Maafin aku karena dia nggak bisa masuk.”
Sarah mengangguk mengerti. “Paham kok, Mbak. Alhamdulillah Mbak Kama sudah paham dengan ilmu taaruf.”
Kamala mengerjap-ngerjapkan mata. Dia gatal ingin menggaruk kepala yang tidak gatal. Bicara dengan Sarah sepertinya butuh tingkat kecerdasan ekstra tinggi karena topik pembicaraan perempuan itu terus meloncat-loncat tidak karuan.
“Taaruf apaan sih, Sar? Aku malah nggak paham sama sekali.” Kamala menghela napas dalam-dalam.
“Loh, yang Mbak tadi bilang ....” Sarah membulatkan bola mata. Detik berikutnya dia mengibaskan tangan. “Ah, sudahlah. Sepertinya salah persepsi kita ini.”
“Sepertinya begitu.”
“Mbak Kama nggak mau tawarin aku minuman gitu?”
Wajah Kamala memerah. Buru-buru dia meloncat dari sofa mungilnya.
“Aku es jeruk aja, Mbak. Kalau Mas Dion favoritnya itu ada es teh sama kopi manis.”
Merah di wajah Kamala semakin bertambah. Mau mendongkol, tetapi dua orang itu adalah tamunya. Alhasil Kamala membuat minuman dengan gerakan terburu-buru karena menahan kekesalan.
Sarah tidak menjelaskan maksud kedatangannya ke kontrakan Kamala. Bahkan perempuan itu tidak lagi menyinggung soal Dion sama sekali.
Sarah malah membahas tentang novel baru di penerbitan Kamala. Dia mengaku sempat membaca satu buku yang sudah dicetak. Baru opening saja sudah membuat Sarah langsung jatuh cinta pada tulisan Syaron.
“Pasti bakal booming itu novelnya. Best seller sudah.” Sarah mencomot sekeping biskuit kelapa.
Kamala tersedak minumannya. Dia batuk-batuk hebat. Sarah yang duduk di sampingnya langsung bereaksi dengan kecemasan tingkat tinggi.
“Duh, Mbak Kama. Hati-hati dong, kalau minum. Baca bismillah dulu gitu, jangan asal tenggak aja. Lah, ini kenapa batuknya belum berhenti? Aduh. Mas Dion, tolong! Mbak Kama ini, Mas!”
Kamala menahan lengan Sarah, berusaha menahan perempuan itu agar tidak memanggil sang kakak. Namun, terlambat. Dion sudah masuk dan segera menepuk-nepuk punggung Kamala.
“Sudah mendingan?” tanya Dion lembut.
Kamala mengangguk. Wanita itu merutuk dalam hati sebab seharian ini jadi gampang tersipu malu.
“Heh, Mas Dion. Jangan lama-lama pegang Mbak Kama. Bukan mahram.” Sarah menepis tangan kakaknya yang masih bertengger di punggung Kamala.
Dion menepi. Dia duduk merapat ke dinding. Tidak ada tanda-tanda lelaki itu akan keluar.
“Kamu udah bilang ke Kama, Sar?” tanya Dion.
Sarah menepuk dahi. “Astaghfirullah, aku lupa! Tapi Mas Dion udah di sini. Mas Dion sendiri aja gih, yang ngomong.”
Dion melempar lirikan tajam ke arah adiknya. Sarah tertawa kecil. Perempuan itu beringsut lebih mendekat ke arah Kamala.
“Kamu ... ke Malang untuk pulang selamanya, Kam?” Dion bertanya hati-hati.
Kamala mengangkat bahu. “Belum tahu. Sementara ini aku masih ingin tinggal di sini.”
“Nggak nyari kerjaan baru?” tanya Dion lagi.
Kamala menggeleng. “Masih pengen off dulu aku. Mungkin nanti aku bakal ambil kerjaan editor freelance.”
Dion manggut-manggut. Kamala memandang lekat-lekat pada lelaki yang berjarak kurang dari dua meter darinya itu.
"Kenapa tanya-tanya macam orang sedang interogasi?” Kening Kamala berkerut. “Punya niat jahat, ya?”
“Ya Allah, Kam. Prasangka buruk terus sama aku. Kalau ada niat jahat juga nggak bakalan aku kasih tahu ke kamu.” Dion geleng-geleng kepala.
Kamala manyun. Dion menghela napas panjang.
“Aku ....” Lelaki itu menelan ludah. Lidahnya terasa sangat berat untuk berucap. Sementara ekor matanya menangkap Sarah mendelik tidak sabar padanya.
“Ya, Dion?”
“Kamu ....” Dion sedikit kewalahan. Rasanya lebih mudah menangani seratus pasien sehari dibanding bicara lagi dengan Kamala.
“Tumben jadi gagu.” Kamala menaikkan alis tinggi-tinggi.
“Enak aja. Mas Dion nggak gagu, Mbak.” Sarah memprotes. “Mas Dion itu hanya gugup.”
“Gugup kenapa?”
“Ya, karena Mas Dion mau ngelamar Mbak Kama lagi.”
Plong.
Dion tidak menyangka jika sikap blak-blakan adiknya ternyata mampu memberi kemudahan pada lelaki itu. Biasanya Dion selalu mendapat kesulitan karena kebiasaan bicara adiknya yang sangat terbuka dan cenderung kurang memikirkan perasaan orang lain.
Dion mengamati Kamala. Wajah wanita itu memucat. Mata indah yang sudah mencuri perhatiannya sejak pertama kali bertemu terlihat mengerjap-ngerjap cepat.
Hati Dion tidak tega melihat Kamala yang terlihat ketakutan alih-alih merasa senang. Dia tahu jika tindakannya ini tergolong gegabah. Lamaran ulangnya kali ini tergolong sangat cepat sejak terakhir kali Kamala menolaknya.
Namun, Dion tidak ingin menunggu terlalu lama. Dia sudah melakukan istikharah. Dia juga sudah mempertimbangkan banyak hal. Lebih dari itu, hati Dion juga sudah dilanda cemburu melihat kedekatan Kamala dengan teman kantornya.
Kecemburuan yang membuat Dion berkali-kali mengucap istighfar. Setiap malam dia bersujud memohon ampunan pada Allah. Hatinya ternyata belum sepenuhnya tertuju pada Sang Khalik.
Jadi, Dion memutuskan untuk melamar Kamala sekali lagi. Doa lelaki itu tulus sepenuh hati agar Allah memudahkan jalannya memperistri Kamala.
“Aku tidak bisa, Dion.” Suara Kamala bergetar.
Dion menganggukkan kepala. “Jangan buru-buru dijawab. Pikirkan sekali lagi, Kama.”
“Aku—”
“Pikirkan sekali lagi,” potong Dion cepat.
Lelaki itu berdiri tanpa menunggu respons Kamala. Dia bergegas pergi keluar setelah mengucap salam, meninggalkan Kamala hanya berdua dengan Sarah.
Wanita itu menunduk canggung. Dia tidak mengerti bagaimana situasi jadi berubah secara drastis seperti sekarang ini.
“Kalau boleh tahu, kenapa Mbak Kama kekeh tak mau menerima Mas Dion?” tanya Sarah hati-hati.
Kamala tersenyum kecut. Dia menundukkan pandangan. Tangannya saling meremas di pangkuan.
“Banyak hal, Sarah,” jawab Kamala lirih. “Aku nggak bisa cerita sama kamu.”
Sarah terdiam. Dia sudah dibekali pengetahuan psikologi dasar oleh sang kakak. Salah satu pelajaran penting yang selalu diterapkannya dalam kehidupan sehari-hari adalah mencoba berempati dan bersimpati.
Dirinya dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang harmonis. Sarah maupun Dion terbiasa bersikap saling terbuka satu sama lain. Setiap ada masalah selalu ada keluarga yang mendukung.
Dan Kamala adalah anomali. Bagi Sarah, wanita yang masih menunduk itu adalah subyek pengamatan yang sangat menarik. Kamala sering menutup diri, tetapi beberapa kali dia terlihat agak terbuka pada dirinya.
Lamaran dari Dion adalah hal yang banyak dinanti kaum hawa yang mengenal lelaki itu. Sudah tidak terhitung berapa banyak wanita yang mencoba meluluhkan hati kakaknya. Namun, Dion selalu bergeming.
Sampai kakaknya bertemu Kamala. Sering menolak banyak wanita, keluarga Dion sontak dibuat kaget saat lelaki itu mengatakan akan melamar seorang wanita.
“Apa ini masalah cinta?” Sarah masih belum menyerah. “Mbak Kama belum mencintai Mas Dion?”
Kamala tertegun. Dia bahkan sama sekali tidak memikirkan tentang cinta.
Pengalaman terakhirnya bersama Nando memberi trauma besar pada Kamala. Dia tidak ingin mencintai lagi, tetapi masih sanggup untuk menjalani satu hubungan atas dasar saling menghormati dan menghargai.
Kasus Dion berbeda. Level hubungan dengan Dion, jika Kamala memang setuju untuk menikah dengan lelaki itu, bukan lagi soal saling mencintai atau tidak. Melainkan persoalan utamanya adalah apakah dirinya sudah cukup pantas bersanding dengan lelaki itu atau belum.
“Mama sama Papa sering kasih wejangan sama kami, Mbak.” Sarah tidak mengindahkan keterdiaman Kamala.
“Cinta yang nggak didasari dengan iman hanya akan menjelma jadi hawa nafsu. Tapi menjalani cinta yang didasarkan pada iman juga sangat sulit.”
Sarah melirik wanita di sebelahnya yang masih saja terus membisu.
“Kalau kata Papa dan Mama sih, gampang banget cara meraih cinta dalam iman ini. Tinggal pilih saja orang yang mencintai Allah. That’s a big problem solve.”
Kamala tertegun.
“Sebenarnya sih, Mas Dion itu sudah paket komplet. Rugi juga kalau disia-siakan gitu aja. Tapi kita nggak bisa memaksakan jodoh, kan, Mbak?” Sarah tersenyum manis.
Kamala mendongakkan pandangan. Sarah tengah menatapnya dengan intens.
“Jadi, Mbak Kama mau nikah berdasar apa, nih? Cinta apa iman?”