Seperti biasa. Setiap pagi Eleanor harus bangun pagi-pagi untuk bersiap.
Ia masih tidak terbiasa memiliki seorang pelayan yang selalu setia mendampinginya. Saphira terbiasa sendiri untuk melakukan apapun.
Sebelumnya, ia pikir hanya dia dan Elis saja yang tinggal di paviliun ini. Tapi ternyata tidak, ada banyak sekali prajurit mengelilingi kawasannya.
"Nona, biar saya saja yang membereskan tempat tidur anda."
"Tidak, biar aku saja. Kau bereskan yang lainnya!" Perintah Eleanor.
"Tapi-"
"Tidak apa-apa, Elis," katanya sambil tersenyum.
Di dalam novel, beberapa orang mungkin menilai dirinya sebagai gadis yang selalu tersenyum.
Tapi tidak untuk sekarang, ia hanya tersenyum seperlunya saja. Atau, ia akan tersenyum kepada orang yang dikenalinya.
Setelah semua pekerjaan yang dilakukannya dengan Elis selesai. Eleanor menyuruh pelayan tersebut untuk membuatkannya teh, satu untuk dirinya dan satu lagi untuk Elis.
Elis tidak setuju. Tapi Eleanor bersikeras, yang akhirnya pelayan tersebut menyerah, takutnya akan terjadi perdebatan diantara mereka berdua.
Selagi Elis menyiapkan teh. Eleanor memilih untuk menuju balkon di dalam kamarnya. Sesampainya di sana, tangannya menarik sebuah kursi untuk ia duduki.
Angin di sini terasa kencang, sehingga membuat rambutnya yang menjuntai bergerak kesana-kemari.
Manik matanya melihat semua orang yang berlalu-lalang dari atas sana. Ia juga tidak sengaja melihat Catherine yang tengah tersenyum ke arah semua orang.
"Perempuan licik," bibirnya tersungging.
Di dalam novel, Catherine sering meremehkannya didepan kaisar dan keluarganya. Sehingga, hal itu membuat Eleanor berkecil hati dan merasa tidak dihargai.
Kita lihat saja nanti, siapa yang akan menang.
Eleanor menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan siapa pelakunya, sebenarnya ia sudah tahu semuanya, namun dirinya memilih untuk diam.
Jangan terlalu meremehkan orang, siapa sangka nantinya kau akan diremehkan kembali.
Elisa datang dengan membawa dua cangkir teh. Pelayan itu kemudian meletakkan teh milik Eleanor di meja tepat di samping sang putri.
"Terima kasih," ia kemudian mengambil secangkir teh tersebut dengan pandang yang masih tertuju kepada Catherine, kemudian, ia menyesap teh tersebut.
Begitupun dengan Elis. Pelayan itu mengambil tempat miliknya di sisi yang lain. Kemudian ia menikmatinya.
Entah mengapa tiba-tiba Eleanor merasakan pusing. Awalnya, tidak terasa, tetapi saat ia mendiamkannya, rasa pusing itu menjadi-jadi.
Ia memejamkan matanya. Tangannya yang sedang memegang sebuah cangkir bergetar dengan hebat, rasa sakit di kepalanya tak tertahankan, semua yang dilihatnya mulai mengabur.
Sekilas, ia melihat Catherine menatap ke arahnya.
Prang.
"Aduh kepalaku," ucapnya.
Eleanor memegangi kepalanya yang terasa sakit. Elis mulai bangkit dan menghampiri sang putri
Pelayan itu kebingungan. Ia tidak tahu harus berbuat apa.
"Nona, kau baik-baik saja?" tanyanya dengan perasaan yang tidak karuan.
Eleanor masih memegangi kepalanya.
Ini ingatan dia.
Ingatan milik Eleanor hadir di dalam kepalanya. Gadis itu memberikan potongan-potongan memori kepada dirinya. Dan itu lah yang membuat dirinya merasakan sakit di kepalanya saat ini.
Saphira berpikir bahwa Eleanor masih berada di dalam dirinya saat ini. Tapi nyawanya sedikit lemah dan yang mendominasi tubuhnya adalah Saphira.
Apakah tubuhku yang satunya baik-baik saja saat ini?
Ia merasa khawatir dengan tubuh aslinya yang berada di dunia lain.
"Ada apa dengan anda, nona?" wajah Elis masih tetap khawatir.
Eleanor menggelengkan kepalanya.
"Aku sudah baik-baik saja. Kau tidak perlu mengkhawatirkanku."
Rasa sakit di kepalanya berangsur-angsur mulai menghilang.
Sebenarnya. Saat Elis ingin membawa nampan yang berisi teh, seorang pelayan menghampirinya dan memberikan sebuah surat untuk diberikan pada Putri Eleanor.
Ia bermaksud akan memberikan surat tersebut setelah memberikan teh pada Putri Eleanor. Tapi sebelum itu, putri tersebut menyuruhnya untuk menikmati sebuah teh bersama dengannya.
Awalnya, ditengah ia menikmati sebuah teh. Ia berniat untuk memberikan surat tersebut. Namun naas, sang putri terlanjur sakit kepala dan itu membuatnya lupa segalanya.
"Sebelum itu, ada yang mau saya sampaikan nona," ucap Elis setelah melihat Eleanor menjadi lebih baik.
"Apa?"
Ia kemudian merogoh saku yang berada di baju pelayan tersebut.
Elis kemudian menyodorkan sebuah surat kepada sang putri. "Ada surat untuk anda, nona."
Kemudian Eleanor menerima surat tersebut. Ia langsung membuka dan membacanya dengan cepat.
Pria tua itu menyuruhku untuk menemuinya lagi.
"Ayah menyuruhku untuk menghadiri perundingan," ucapnya dengan suara lemas.
"Ya?"
"Apa Yang Mulia Kaisar tidak salah memberi perintah?" tanya Elis dengan kebingungan.
Elis merasa terheran-heran atas surat yang berikan oleh Kaisar Fredrik. Pasalnya, kaisar tidak pernah memberikan perintah tersebut kepada Eleanor Frost.
"Apa kita akan menghadirinya?" tanya Elis dengan penasaran.
Eleanor berdiri dari tempatnya.
"Tentu saja. Ini sangat menarik!"
~•~
Untuk menceritakan bagaimana perasaannya saat ini, ia akan menjawabnya bahwa ia tidak memiliki rasa ketakutan sama sekali. Kepercayaan dirinya malah lebih meningkat dibandingkan sebelumnya.
Gadis itu kemudian membuka pintu yang sangat besar. Matanya melihat lurus ke arah sana, ia melihat bahwa semua keluarganya telah berkumpul.
Semua mata tertuju ke arahnya.
Gadis itu berjalan sangat anggun. Kakinya berhenti dihadapan kaisar dan permaisuri.
"Salam kepada Yang Mulia Kasair dan Yang Mulia Permaisuri." Ia membungkukkan tubuhnya tanda memberi hormat kepada mereka berdua.
"Duduklah!" perintah Kaisar.
Elis berada di luar. Gadis itu kemudian mendudukkan tubuhnya, bersampingan dengan Kenzo.
Kaisar dan Permaisuri duduk saling berhadapan. Di samping mereka berdua, terdapat Catherine, Selir Gistara, Selir Diandra, dan Kenzo, yang mana saat ini, ia berhadapan dengan kakaknya, yaitu Chaterine.
"Untuk pertama kalinya kau hadir di sini. Sangat senang, bukan?" Catherine bertanya dengan wajahnya yang mengejek Eleanor.
"Sepertinya, kau bisa membaca wajahku," Senyumnya.
"Baiklah. Akan aku tunggu isi pikiranmu," ucapnya sambil berbicara dengan sinis.
"Kakak tunggu saja."
"Ekhem... utusan ayah telah memeriksa kawasan itu, banyak sekali emas di dalamnya, bukankah kekaisaran kita akan mendapatkan royalti besar jika mendapatkannya?" tanya Kaisar.
Perundingan ini dilakukan dengan tujuan agar anak-anaknya bisa memecahkan sebuah masalah tanpa melibatkan orang tuanya.
Sebenarnya, niat milik kaisar sangat baik. Akan tetapi, jika nanti perundingannya selesai dan ada salah satu yang tidak menerimanya, maka itu akan menjadi sebuah masalah untuk berikutnya.
Eleanor sudah tau apa yang terjadi di dalamnya dan baru kali ini ia memasukinya. Di usianya yang sekarang.
Entahlah, apa yang sebenarnya direncanakan oleh kaisar. Bahkan, Kenzo, yang diumurnya berada dibawah Eleanor masih bisa mengikutinya.
Didalam novel dijelaskan. Saat perundingan sebelumnya, Perkataan milik Eleanor tidak meyakinkan dan itu membuat semua orang yang berada di sana menertawakannya dan meremehkannya.
Putri itu tidak ada apa-apanya. Pantas, ia dengan mudah disingkirkan.
"Tentu ayah. Dengan begitu, kekaisaran kita akan terkenal, "sahut Catherine.
"Yah, tentu saja memang benar. Tapi siapa yang akan kita pekerjakan?" tanya Kenzo.
"Apa lagi daerah itu sangat terpencil dan jauh dengan pemukiman," kata Kenzo sambil melihat ayahnya.
Kaisar Fredrick memikirkan pertanyaan yang disampaikan oleh Kenzo. Memang benar, di sana banyak sekali emas, akan tetapi tempat itu sangat jauh dari dari rumah penduduk dan istana.
"Apakah ada saran dari yang lain?"
Kaisar Fredrick sering mengadakan perundingan ini. Bukan hanya untuk dirinya saja, tapi untuk semuanya.
Sebagai kaisar di sini. Ia harus menerima saran dari semuanya, jika hanya pendapatnya saja, rasanya kurang tepat.
Pro dan kontra akan terjadi jika mementingkan dirinya saja. Seharusnya, jika menjadi pemimpin, bukankah harus mendengarkan pendapat orang lain?
"Bagaimana dengan para pekerja dari penduduk lain? Mereka akan mendapat royalti besar jika menemukannya." Catherine memberi saran.
"Maksud kakak dengan menahan upah mereka, lalu setelah menemukannya, para penduduk akan menerima lebih dari itu?" tanya Kenzo.
"Seperti yang kau pikirkan."
"Tapi bukankah itu namanya penyiksaan?" Eleanor bertanya.
Semua orang langsung tertuju kepada dirinya.
"Kenapa?" Gadis itu terkejut.
"Apa ada yang ingin kau sampaikan Eleanor?" tanya Anna.
"Iya. Menurutku itu termasuk ke dalam penyiksaan. Tidak memberi upah sama sekali, bukankah termasuk kejam? Dan jika mereka menemukannya, mereka akan mendapat upah setelahnya?"
"Ini benar-benar gila," sambung Eleanor.
"Lalu apa yang akan kau lakukan?" tanya Catherine yang terus menatap Eleanor dengan tidak suka.
"Berikan mereka upah!"
"Alasannya?" Kali ini kaisar yang bertanya.
"Seperti yang sudah aku jelaskan sebelumnya. Jika masih tetap seperti itu, reputasi ayah akan rusak," Eleanor berbicara dengan sangat tegas.
"Kau gila?!" Teriak Selir Gistara dan Putri Catherine.
Eleanor tersenyum dengan sinis. Matanya ia tajamkan, putri itu sangat senang ketika mereka berdua masuk ke dalam area milik Eleanor.
"Tenang saja. Kenapa kalian seperti orang yang sedang kepanasan? Aku hanya memberi saran," senyumnya.
"Kau bilang aku gila? Tidak, kalian lebih gila. Saran kalian sangat menjijikkan!"
"Pikirkan lebih jauh. Di sana memang terdapat emas, tapi apakah itu akan menjamin kalau kita mendapatkannya dengan sangat banyak? Bagaimana kalau itu hanya setengahnya saja?"
"Dan jika memang benar kita mendapatkan setengah dari emas yang digali, apa yang akan kita berikan kepada para penduduk yang sudah berpartisipasi?"
Eleanor memberi pertanyaan bertubi-tubi. Sehingga, membuat semua orang yang berada di sana terdiam untuk sesaat.
"Jika ayah mau menerima saranku, silahkan. Jika tidak, mau bagaimana lagi, itu keputusan ayah."
Kaisar Fredrick terdiam sambil menatap anaknya. Satu hal yang ia sadari, bahwa wajah Eleanor terlihat sangat mirip dengan Selir miliknya yang sudah tiada.
Gadis itu, kini sudah dewasa.
"Akan ayah pikirkan."
"Satu lagi. Aku mendengar bahwa seorang pria telah bunuh diri, tapi ada yang bilang bahwa pria tersebut telah dibunuh, kira-kira siapa pembunuhnya? Itu menjadi topik hangat yang banyak diperbincangkan."
"Bagaimana kau mengetahuinya?" Selir Diandra berbicara.
Selir itu terkejut karena bagaimana bisa seorang putri yang tidak mengetahui apa-apa bisa mengetahui hal tersebut.
"Topik itu sudah tersebar sangat luas, sampai-sampai menjadi sebuah gosip dikalangan pekerja istana." Eleanor menatap Catherine. Ia melihat wajah kakaknya yang tampak pucat.
"Memang benar hal itu sangat menggemparkan, perlu adanya penyelidikan lebih dalam lagi," ucap Kaisar Fredrick.
Dan perundingan akhirnya selesai. Di dalam sana sangat panas menurut Eleanor.
"Panas sekali." Ia kedua tangannya di depan wajahnya.
Setelah keluar dari sana, ia menghirup udara sebanyak-banyaknya.
~•~
Terimakasih untuk yang sudah membaca.
Jika ada yang penulisannya tidak mengenakan, aku mohon maaf.
Sebelumnya, aku masih membenarkan penulisanku di chapter sebelumnya.
Mohon maaf atas ketidak nyamanannya.
Semoga hari kalian selalu diberikan kebahagiaan!