Naruto meremukkan gelas berisi whiskey berukuran sedikit itu. Di apartemen mewah miliknya, ia meluapkan emosinya seorang diri. Mata birunya menatap tajam ke seluruh pemandangan kota Seoul dari balkonnya. Ia benar-benar marah.
Bisa-bisanya dua orang laknat itu memakai pasangannya sebagai alat transaksi dan pemuas nafsu. Kekasihnya adalah orang yang baik dan berbudi luhur yang tertata. Ia begitu tahu kalau Uchiha takkan pernah melepaskan tata krama pada setiap kegiatannya.
Papanya adalah purnawirawan tentara yang begitu tegas dan bijaksana. Mamanya adalah seorang pengajar kelas tata krama, takkan mungkin mereka mengajarkan hal-hal yang jahat pada putra manisnya sendiri.
"Keterlaluan kalian bedebah! Ku hancurkan kalian dengan tanganku sendiri."
Mata birunya beralih pada ponsel dan sebuah bingkai foto dengan potret seroang wanita cantik berwajah Arabian dengan hijab dan niqab syar'i yang terletak di meja dekat balkon. Tepat saat ia menyalakan layar kunci ponselnya, ia melihat sosok kekasihnya. Pasangan hidupnya. Ia menitikkan air mata sejenak, bagaimana bisa kekasihnya mirip sekali dengan cinta pertamanya yang tewas di tangan orang jahat itu?
Ya, orang sipil yang terbunuh sewaktu di daratan Jazirah Arab itu adalah kekasih lamanya. Cinta pertama terindah yang tewas karena tembakan peluru asal dari salah satu barak militer.
Namanya Nameera Azizah binti Abdul Razzaq
Rakyat sipil yang sukses membuat Naruto merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya saat ia melatih tentara muda di sana. Pertemuan pertama saat ia membantu gadis itu kesulitan mengangkat kambing ternaknya yang tersangkut bebatuan di bukit.
Seringnya mereka bertemu 'diam-diam' membuat dua insan ini jatuh cinta meski ia sadar bahwa gadis itu berbeda keyakinan dengannya. Naruto yang berusaha meyakinkan bahwa ia akan merubah keyakinan demi sang gadis pujaannya, di sanalah mereka bertemu ayah kandung gadis itu dan ayahnya berterus terang bahwa ia tak mengizinkan putrinya bersanding dengan dirinya. Ia khawatir bahwa putrinya akan dicap sebagai teroris, padahal mereka hanyalah rakyat kecil yang butuh keadilan.
Naruto bisa apa, ia hanyalah orang asing di Jazirah Arab itu. Ia tetap jujur dengan perasaannya dan rela melepaskan cintanya meski rasa itu masih ada.
Di hari tewasnya Nameera, Naruto melihat semuanya. Di malam gelap gulita, ia memang bersembunyi dan memantau keselamatan gadisnya yang mengambil air mendadak pada malam hari. Bunyi tembakan itu begitu terngiang di otak dan telinganya. Setelah orang itu pergi, ia langsung memeluk tubuh mungil tak berdaya itu. Telapak tangannya merasakan lembab dan bau anyir di punggung jasad Nameera, ia berteriak keras dan merutuki dirinya yang tak bisa menjaga gadis pujaannya.
Dua warga sipil datang setelah mendengar teriakannya. Dengan tegar, ia berbicara dengan warga sipil itu tentang apa yang terjadi
*huruf Bold menandalan mereka berbicara dalam bahasa Arab*
"Dia tertembak...ku dengar dari arah barak itu." Naruto mengelus kepala berlapis hijab hitam dan tak sengaja tangannya menepis niqab gadis itu. Parasnya yang cantik dan ayu telah terganti dengan wajah putih pucat karena kehabisan darah.
"Benarkah itu, ya Habibi? Ya Allah...gadis yang malang. Aku padahal berniat membantunya membawa air, tapi dia menolak." Seseorang itu berbicara dengan menahan tangisnya, sepertinya ia adalah kerabat dekat Nameera
"Innalilahi wa inna ilaihi raji'un...semoga wafatnya gadis baik hati ini menjadi kematian jihad di jalan Allah..."
"Aamiin ya rabbal'alaamin"
"Aamiin..."
Dan di hari itulah untuk terakhir kalinya ia melihat sang cinta pertamanya. Tak ada lagi mata hitam bulat yang berbinar saat mendengar pria pirang itu bercerita, tak ada lagi suara merdu dari tawanya ataupun lantunan ayat suci kitab sang gadis. Semuanya hilang terkubur dalam tanah, membawa rasa sakit dan rindu jauh terpendam.
"Nameera-ku, kini kau bisa istirahat tenang di surga Tuhan-mu. Aku akan mengakhiri orang yang telah memisahkan kita. Kau tahu? Aku telah mendapatkan pasanganku dan ternyata dia persis sekali sepertimu. Senyumnya, tawanya, dan wajahnya begitu menyerupai mu. Apa mungkin Tuhan mendengar doaku? Nameera, kau selalu ada dalam memori ku. Terimakasih sudah pernah ada di hatiku. Aku akan menjaga roh-mu dalam wujud Sasuke-ku." Ia memeluk ponsel dan bingkai foto itu di dadanya, biarkan malam ini ia melepas rindu dengan dua orang yang bersemayam di hatinya.
.
.
.
.
Sasuke yang tertidur pulas tiba-tiba terbangun karena ketukan kecil di jendela atas itu. Butuh sekitar tiga puluh detik hingga ia bisa melihat sepenuhnya bahwa ada siluet orang di atas jendela itu.
"K-kau siapa?"
"Sstt...jangan berisik...cepat kemari, waktuku tak banyak." Dengan cepat, ia bangkit dari tempat tidurnya. Ia terus mencari barang yang bisa membuatnya bisa naik ke jendela itu. Syukurlah ada kursi, meja serta tangga kecil tua di sana.
"Hati-hati..." Sasuke mendengar itu dan berusaha naik dengan perlahan agar dirinya tak jatuh.
"Aku 'dokter' yang menerima suratmu tadi, aku adalah utusan dari pasukan Kolonel Naruto, dia dan pasukannya sudah ada di sini. Bersabarlah, ia akan menyelamatkan kalian." Matanya berbinar, ternyata dokter yang memeriksanya adalah utusan kekasihnya. Naruto-nya ada di Korea, ia datang menyelamatkan dirinya dan buah hatinya.
"Tunggu sebentar, Kolonel Naruto? Naruto-ku seorang dokter di Konoha..."
"Ceritanya panjang, aku hanya punya waktu dua menit untuk keluar dari sini. Sasuke, bersikap lah selayaknya kita tak bertemu...kalau butuh apa-apa, tulis surat seperti tadi."
"Baik... terimakasih."
"Aku pergi."
"Hati-hati, tapi...siapa namamu?"
"Aku Tenten..." Dengan cepat gadis itu pergi dan berlari cepat. Gerakannya benar-benar seperti tentara terlatih, ringan dan cepat.
Sasuke kembali turun dengan perlahan dan merapikan barang itu seperti semula agar kelak mereka tak curiga. Benar saja, baru saja ia akan kembali dengan posisi tertidur, orang itu datang lagi. Hizashi datang sendiri, lengkap dengan alat suntik menjengkelkan itu.
"Si cantikku sudah bangun. Kau lebih cepat pulih dari yang ku kira. Apa kau sudah makan?" Hizashi melihat nampan makanan Sasuke yang sudah bersih, ia tersenyum 'bahagia'
"Anak pintar..." Baru saja tangannya akan mengelus kepalanya, Sasuke bergerak menjauhi sentuhannya. Dengan cepat ia menjambak rambut Sasuke dan membelai perut Sasuke.
"Kau itu tak usah bertingkah macam-macam. Kau itu uang kami, jadi jangan banyak ulah. Tetaplah seperti ini." Dengan sedikit kasar, Hizashi menancapkan jarum suntik dan menyuntikkan isinya itu ke perut Sasuke. Sasuke meringis akibat perlakuan kasar pria itu.
"Istirahatlah lagi." Hizashi pergi, dengan cepat ia menutup pintunya tepat sebelum Sasuke mengejar dan menggedor pintu itu.
"Buka pintunya! Aku mau keluar! Hikss...buka pintunya! Sialan, bajingan!"
.
.
.
.
Siang berganti malam. Setelah ia menyantap makanan hambar itu, ia ingat tentara penjaga pintunya lupa mengunci pintu. Dengan mengambil beberapa alat kecil dan suntikan ramuan untuk jaga-jaga, ia keluar dari pintu itu dengan perlahan.
Berbagai lika-liku koridor ia lalui dengan penuh ketegangan. Di setiap simpang koridor pasti ada orang yang berjaga dan ia harus bergerak dengan hati-hati. Terkadang ia harus bersembunyi di balik himpitan loker untuk bersembunyi, sesekali ia mengelus perutnya karena merasakan gerakan janin.
"Sayang...tunggu sebentar ya, kita akan keluar dari sini." Namun bayinya seperti tidak mau berkompromi. Semakin sering ia berlari maka gerakan janinnya semakin terasa.
Oh tidak, ia melihat dua orang paling menyebalkan dalam hidupnya. Dengan cepat ia bersembunyi di balik loker tinggi yang muat menutupi badannya, sialnya pintu itu sedikit terbuka karena perutnya yang besar.
Ia berdoa dalam hati agar mereka pergi dengan cepat. Ia terasa pengap karena menahan nafas beberapa detik agar tak menimbulkan curiga. Dewi Fortuna berpihak padanya, dua orang itu pergi menjauh dan ia bisa kembali berlari tak peduli bayinya terus berontak di rahimnya.
CTAK
Tak sengaja kakinya menginjak pena bekas, suara yang nyaring membuat satu tentara penjaga mulai mengalihkan perhatiannya. Tentu saja ia melihat Sasuke yang sedikit terdiam sebelum memutuskan lari kembali
"Sasuke kabur!"
Sial, si manis harus bisa berlari lebih cepat hingga ia berpapasan dengan satu tentara penjaga yang bertugas di pintu keluar, memandangnya remeh karena sedang mengandung.
"Hey omega, kau itu sedang hamil. Tak baik terus berlarian. Menurutlah pada Hizashi."
"Aku tidak mau! Kau siapa mengaturku?"
"Aku bisa bantu kau keluar, tapi bermainlah dulu denganku..." Ujar tentara itu dengan senyuman liciknya
"Dalam mimpimu!" Ia menendang 'pusaka' pria itu dan menancapkan pisau kecil berkarat di dada orang itu serta mencabutnya kembali. Dengan cepat ia mengambil jaket tentaranya dan mencari senjata dan barang lain untuk bertahan hidup.
Ia akhirnya bisa keluar dari bangunan sialan itu. Ternyata sedang musim salju untung bukan badai salju, ia masih bisa berjalan dengan berbekal lampu jalan yang menerangi.
Kaki mungil berbalut kaus kaki hitam tebal itu melangkah asal. Ia benar-benar tidak tahu berada di distrik mana dan harus kemana. Dengan penampilannya saat ini (dress polos berwarna biru gelap dan jaket tentara berukuran besar serta tanpa menggunakan alas kaki) benar-benar membuatnya seperti gelandangan atau baru saja diputuskan kekasih.
Perutnya diusap dengan lembut, ia tahu bahwa dirinya dan si buah hati kelaparan karena kehabisan energi untuk keluar dari bangunan itu. Matanya menatap minimarket 24 jam, melihat deretan mi instan dalam cup, tteoppeokki instan dan kimbab yang dihangatkan di warmer. Dirinya hanya bisa terduduk di halte gelap dekat minimarket itu.
"Kau lapar? Sama, mommy juga lapar. Tapi mommy tak punya uang." Ia meraba jaket tebal nan besar itu. Ia menemukan beberapa lembar uang dan empat bungkus roti di saku jaket itu. Ia semakin bersyukur kepada Tuhan karena masih dapat bertahan hidup untuk beberapa hari ke depan. ia mengambil satu roti dan melahapnya hingga tandas. Ia harus membeli air minum, kakinya melangkah pelan melawan dingin jalan akibat musim dingin.
Minimarket itu terasa hangat, ia melihat berbagai barang dan makanan instan yang membuat perutnya semakin lapar. Sasuke tahu, satu bungkus roti bulat itu takkan cukup mengisi energi untuk dirinya dan si jabang bayi. Tapi apadaya, finansialnya saat ini sangat tak memadai. Dengan sedikit gemetar ia mengambil sebotol ukuran besar air mineral dan sepasang sepatu dengan harga yang miring.
*Tulisan italic menandakan percakapan dalam bahasa Korea*
"Apa kau ingin beli saja?" Sasuke yang tak mengerti hanya mengangguk kepalanya. Matanya menatap display harga, untung saja tidak memangkas harga terlalu dalam. Setidaknya kaki dan kerongkongannya sehat.
"Terimakasih, nona. Cuaca sedang tidak baik untuk bepergian, kau bisa menetap di sini untuk sementara waktu." Ucap seorang gadis yang bekerja sebagai pramuniaga itu. Sasuke hanya menggelengkan kepalanya dan pergi menuju kursi untuk memasang sepatunya.
Pramuniaga itu melangkah keluar dan menolong Sasuke yang nampak kesulitan memasang sepatu barunya itu.
"Nona, biar ku bantu." Dengan sedikit ketakutan, ia menyodorkan kaki berlapis kaos kaki hitam tebal itu. Sang pramuniaga memakaikan sepatu pada pelanggannya dengan hati-hati sembari memperbaiki kaos kaki yang sedikit turun untuk menjaga agar orang itu tetap hangat.
"T-terimakasih..." Ucap Sasuke terbata-bata. Setidaknya ia tahu kata itu dari drama Korea yang ia tonton selama di negeri kelahirannya.
"Tidak masalah, kau sedang kesulitan. Aku harus membantu orang kesulitan bukan?"
.
.
.
.
Naruto melangkah sembarang, mengelilingi kota Seoul yang sudah lama tak ia kunjungi selama ia melaksanakan misi di Konoha. Jaket hitam tebal, masker hitam dan hoodie ia kenakan untuk menutupi identitasnya. Mata birunya menatap jalanan ibukota Korea Selatan yang tak terlalu ramai.
Tak jarang ia meminta maaf pada orang lain karena tak sengaja ia tabrak bahunya. Pikirannya melayang, ia merindukan Sasuke-nya. Ia kesal, kekasihnya ada negeri ini tapi ia belum bisa menemukannya. Ia berhenti di tepi trotoar untuk menyebrang, tepat di seberang ia melihat orang aneh dengan pakaian yang urakan.
Rambut hitam panjang seleher bahkan menutupi separuh wajahnya, dress warna biru tua polos panjang , kaos kaki hitam dengan sneaker dan tak lupa jaket tentara yang kumal dengan tudung yang menutupi kepalanya
'Orang aneh'
Lampu pejalan kaki sudah menyala. Naruto menyeberang dengan santai. Mereka pun berpapasan dengan saling menunduk dan bergerak ke arah berlawanan hingga mereka sampai di jalan tujuan masing-masing.
Namun hati siapa yang tahu, detak jantung Naruto begitu cepat saat itu. Perasaan ini begitu tak jelas, ia merasakan adanya sang kekasih di dekatnya. Instingnya berkata begitu, tapi dimana dia? Dimana wujudnya? Ia ingin menemui dirinya. Matanya memandang orang itu pergi, melangkah dengan asal sesekali terdiam untuk mengelus perutnya.
Hey, di dunia ini ada banyak orang yang sedang mengandung kan?
Ia melihat itu kembali sebelum ditegur orang lain karena menghalangi jalannya dan bergerak ke tepi trotoar untuk melihat kemana perginya orang aneh itu. Ternyata cepat sekali ia menghilang.
Ini bukan kesempatannya.
'Sasuke, my baby...kau dimana? Aku merindukanmu.'
.
.
.
.
Ia terus berjalan tanpa arah, tangannya terus menggenggam botol air mineral kemanapun ia pergi. Sesekali ia terduduk di kursi taman untuk mengistirahatkan kakinya. Ia mengelus perutnya yang kembali berkontraksi. Ia keluarkan salah satu dari empat jarum suntik yang ada di saku jaketnya, membuka sedikit bajunya dan menyuntikkan sedikit cairan itu di perutnya dan menutupnya kembali.
Inilah satu-satunya yang bisa ia lakukan, ia harus menunda kelahiran buah hatinya. Pilihan ini yang harus ia tempuh untuk saat ini. Tak ada uang, tak ada tempat tinggal dan tak ada pasangannya yang mendampingi. Ia tak mungkin melahirkan dan membesarkan buah hatinya di saat krisis seperti ini.
"Sepertinya aku sudah terbiasa dengan alat ini. Maaf mommy menunda kelahiranmu, bersabarlah sebentar lagi ya...mommy janji, selepas ini, kau boleh lahir ke dunia."
Matanya menatap sekitar taman bermain itu. Banyak anak berkeliaran dan ibu yang mengawasi buah hatinya. Salah seorang ibu duduk bersama anaknya yang terduduk di pangkuan ibunya.
"Nona, aku baru melihatmu di sini. Apa kau orang baru?" Sasuke benar-benar tak mengerti, setidaknya yang ia tangkap sedikit bahwa ibu di sampingnya tahu kalau ia memang bukan orang Korea. Ia hanya menganggukkan kepalanya.
"Whoa, kau sedang mengandung. Bayimu sepertinya sehat sekali. Perutmu begitu besar, apa sudah mendekati waktu melahirkan?" Sasuke sedikit menggelengkan kepalanya, ia tahu ibu ini bertanya waktu kelahiran.
"Sepertinya bayimu kembar, tapi ku doakan semoga bayi kalian sehat? Oh iya, dimana suamimu?" Sasuke menggeleng pelan. Ibu ini terdiam dan memeluk tubuhnya.
"Aku tahu ini berat untukmu, kehilangan suami saat mengandung adalah hal yang berat. Semua harus kau tanggung sendiri. Tapi aku yakin, kau akan mendapatkan kehidupan lebih baik. Aku pulang dulu, anak sulung ku sepertinya akan pulang sekolah. Sampai jumpa." Wanita itu pergi dan tersenyum ramah. Kalimat wanita itu terbayang di kepalanya.
Kehilangan suami
Ya, dia kehilangan Naruto saat ini. Semua ia rasakan sendiri. Penyiksaan, pelecehan hingga pemerkosaan. Semua rasa sakit, malu dan hina ia rasakan sendiri tanpa ada Naruto di sampingnya.
Ia mulai meragukan identitas mereka sebagai 'mate'
To be continued