Di dalam ruangan yang di dominasi warna hitam dan putih, anggota Deredolent tengah berkumpul. Jika sebelumnya tak ada yang tahu siapa saja dalam kelompok itu, maka jawabannya ini; Leon adalah ketua dengan Dilan dan Haikal sebagai anggota tetap.
Leon, menetapkan jemari untuk bermain komputer sejak piyik, jika untuk manusia normal atau sepengetahuan menurut akal, hal seperti ini tampak mustahil, bayangkan saja, mana bisa dipercaya jika bocah berusia sembilan tahun itu sangat ahli dalam bidang ini, hackers kelas atas.
Leon melirik Haikal yang tersumpal headphone hitam sembari tangan pria muda itu mengutak-atik komputer di depannya. Meski Haikal sudah memutuskan berhenti menjadi hacker sesaat sebelum pulang ke Indonesia, namun keputusan bulat itu ia lempar jauh-jauh, karena ia merasa inilah hidupnya.
Pandangan Leon beralih kepada Dilan yang duduk di sofa dengan tangan yang men-scroll MacBook silver di pangkuan. Perangai Dilan lebih dingin dibandingkan Haikal yang terbiasa berlaku konyol, namun disaat serius, keduanya tak bisa diremehkan. Sama-sama menjadi black hacker handal semenjak menjadi anak buah Dera, kemampuan itu juga di dapat dari Leon juga, ketiganya belajar bersama-sama.
Dan sorot mata Leon berakhir pada satu manusia yang nyaris selalu menghabiskan waktu untuk menutup mata di setiap kesempatan-Yogi.
Berbalut hoodie hitam beserta celana jeans rebel, Leon menatap intens bagaimana para anggota sekaligus om-nya yang saat ini mencuri oksigen dalam ruangan yang dibangun di rooftop rumah besar Dera untuk menyusun sebuah rencana pertarungan.
"Le, ngomong, melotot mulu, nggak capek itu mata?" Haikal bersuara, terus terang saja, Leon yang bersendekap dada dengan bokong duduk di kursi putar beserta memandang tanpa mengedipkan mata adalah sebuah tanda tanya.
"Apa yang kau pikirkan? Rencana brilliant?" Giliran Yogi berbicara, tanpa membuka mata dan masih berbaring di sofa, Yogi di tempat ini hanya untuk menyerahkn sebuah barang yang sudah ia cari dengan susah payah, ah, tidak juga, sebenarnya cukup mudah.
Leon terpengarah saat Haikal berujar, maka ia memberi isyarat untuk Haikal dan Dilan sedikit mendekat.
"Sebelum kita memulai, bisakah om Yogi bangun, atau rencana akan aku buat berantakan."
"Right." Yogi seketika duduk, bukan takut, memang sudah waktunya untuk serius.
Yogi bukan orang pemalas, sekali lagi, pria itu seorang pekerja keras, pernah dijelaskan juga jika jam terbang untuk membuka mata dan menyingkirkan jam istirahat sangat tinggi, makanya, jika sedikit saja ada kesempatan untuk membuat mata terpejam, maka Yogi dengan senang hati mengambilnya.
"Jadi, berita apa yang bisa Leon dengar dari om Yogi. Daddy bilang, apapun yang om Yogi dapat, Leon harus tahu."
Yang tidak diketahui Leon adalah fakta bahwa tidak semua harus bocah itu tahu, Yogi sudah di beri intruksi oleh Vee agar hati-hati jika harus berbicara dengan putranya, takut terpancing jebakan bocah licik itu.
Bukan maksud Vee jahat, justru Vee tidak mau Leon berbuat lebih atau hal terburuknya adalah bocah itu menyusul di tempat perkara yang sesungguhnya jika saja semua informasi dibeberkan jelas di depannya.
"Tidak ada yang khusus untuk kaumu ketahui, Le. Kamu hanya harus mengurus satu hal." ucapan Yogi terjeda, Leon sangat antusias mendengarnya. "Buat keributan di kota, ungkap para koruptor yang bekerja sama dengan Folltress di semua videotron, untuk hal-hal lainnya bukan wewenang kita, kita hanya menjadi jembatan saja, mungkin lebih tepatnya kita tengah membantu memberantas kejahatan yang bukan tugas kita."
"Data?" Leon bertanya.
Dilan berdiri, senyum miring terpatri jelas dibibirnya, tangan dengan dokumen tebal itu membuat Leon mengangkat alis kemudian dalam sejenak matanya berbinar, jelas sekali jika pekerjaan ini sangat menyenangkan.
"Semua sudah lengkap ada disini."
"Waw. Bagaimana kak Dilan bisa mendapatkannya?"
Dilan mengerutkan alis, "Menurutmu ini pekerjaanku?" tanyanya setelah itu melirik ke arah Yogi. "Tuan Yogi yang melakukannya."
Leon mengangkat bahu. "Tidak jadi terkesima." ungkapnya datar. "Tunggu!!!" Leon tiba-tiba memikirkan sesuatu, sangat mengganggu dan itu perlu ditanyakan kepada Yogi.
"Om. Dengan data ini." Leon menggantungkan kalimatnya, bibir bawah ia kulum, sedikit ragu namun ia harus tetap menyampaikan maksudnya. "Kenapa daddy harus turun tangan, maksudnya harus terlibat, bahkan data ini lengkap om. Sudah cukup untuk menangkap Folltress."
Benar dugaan Yogi. Leon tidak akan paham dengan dunia yang kejam ini. Yang Leon tahu hanya tentang bagaimana caranya memberantas tanpa tahu proses mana yang benar untuk melalui itu semua.
"Inilah kenapa aku dan daddy mu tidak ingin kamu terlibat. See, kamu belum cukup tahu dunia orang dewasa, Le."
"Tapi aku hebat. Om Yogi lupa bagaimana caranya aku menyelamatkan bisnis daddy. Vanteo Company tidak akan bisa bertahan jika aku tidak turun tangan."
Yogi tahu, pun sadar jika untuk melawan para hacker jahat adalah keahlian Leon. Tapi yang dibicarakan sekarang adalah kriminal, orang yang bukan dalam bayangan saja, wujudnya bahkan nyata di depan mata, bukan hanya terhubung lewat dunia maya.
Jika Leon tahu, data sebanyak itu tidak mungkin Yogi akses dengan cara benar. Faktanya, Yogi menggunakan kecurangan total dan itu adalah pelanggaran. Negara punya hukum, untuk menangkap seorang pencuri saja sebenarnya polisi butuh surat perintah, apalagi Yogi. Pria itu bukan salah satu keamanan Negara, ia curang untuk mendapatkan itu semua.
Namun Yogi tidak perduli, nanti, setelah semua terbongkar, polisi tidak akan pernah mempertanyakan darimana data itu berasal, mereka hanya akan fokus kepada tersangka yang terbongkar kelicikannya, ya, begitula cara kerjanya.
"Iya hebat. Hebat sampai kau hampir terbunuh. Itu maksudmu?" Yogi tak bisa tidak mengingatkan hal itu kepada Leon.
Leon seketika menunduk. Alenso Bieber. Bayangan bocah itu muncul di benak, Alenso yang menjadi korban akibat kecerobohan Leon, tubuhnya tak tersisa dan lenyap bersama api.
"Sorry."
Sialan. Yogi ingin sekali membunuh dirinya sendiri. Kenapa ia ceroboh berkata sedemikian rupa. Membuka luka lama yang bahkan Leon saja tidak akan pernah lupa.
Yogi beranjak dari duduk, menghampiri Leon yang masih menunduk, membelai suari hitam bocah itu dengan lembut. "It's oke, om minta maaf, om tidak bermaksud. Om mau kamu paham jika ini berbahaya, makanya daddy-mu meminta kamu menangani hal ini saja. Mengerti!"
Leon mengangguk. Hanya kepada Yogi bocah itu menurut. Karena tidak bisa berkata-kata lagi, kepalanya diangkat, senyum tipis itu terlihat, membuat Yogi semakin merasa bersalah. Yogi yakin Leon memaksakan senyum agar terlihat baik-baik saja, padahal Yogi tahu hati bocah itu tersayat penuh penyesalan.
"Ini saya ambil. Biar saya yang membuat display-nya, akan saya buat semenarik mungkin agar semua mata penjuru negeri melirik untuk melihat dan mendengarkan." Haikal turun tangan.
Sedari menyimak perdebatan Leon dan Yogi membuat telinga Haikal panas, namun lebih dari itu, Haikal merasa kasihan kepada Leon dan ingin segera menyudahi kesedihan bos kecilnya.
"Waw. Foltrees ketua pemegang tander pembangungan sekaligus pemasok barang dagang kualitas rendah yang disamarkan. Sangat licik."
Yogi mengangguk, membenarkan Dilan yang baru saja melihat dokumen dengan sekilas, selanjutnya kertas-kertas itu diserahkan kepada Haikal lagi, diringkas sebaik mungkin untuk ditampilkan di malam kehancuran Folltress.
"Kenapa harus di Bandara Samanta? Menurut data, mereka selalu bertransaksi di dermaga ujung kota." Haikal dibalik komputer mengerutkan kening membaca hal ganjal.
Menurut pemikiran Haikal, jika di Dermaga aman-aman saja kenapa Tuan Vee memilih Bandara Samanta. Lagipula banyak petugas negara dalam tanda kutip sebagai 'pembelot' sudah pasti dengan senang mengamankan area.
"Itu sudah menjadi keputusan bersama. Lagipula Bandara Samanta rumah sendiri, jauh lebih aman." Yogi memberi dalih sedemikian rupa untuk memuaskan Haikal.
Yogi tahu betul alasan Vee, namun cukup bagi Yogi untuk mengungkap sebagian saja.
Pintu menyibak menampikan sosok gadis kecil dengan boneka tata di dekapan, piyama corak polkadot berwarna merah membalut tubuhnya, Lily, mengagetkan semua orang yang ada dalam ruangan.
"Surat terbuka. Daddy mengutusku untuk ikut bersama kak Leon." Ucapan Lily begitu yakin, tak lupa ransel waran hitam berisikan ipad dan jam tangan canggih ia bawa dalam gendongan.
"You're joking!!!!" Leon bersuara duluan.
"Tidak. Aku serius. Sebentar." Lily menelfon ayahnya. "Dad, coba bilang kak Leon." setelah mengatakan itu, Lily mengaktifkan mode loudspeakers.
📞(Son, bisa daddy titip Lily untuk ikut denganmu, hanya itu satu-satunya cara agar adikmu tidak marah)
Mendengar itu, Leon seketika menghirup udara sebanyak-banyaknya dan sangat berat untuk menghembuskan keluar. "Oke." jawabnya.
Penggilan berakhir dan Lily bahagia luar biasa. "Tugasku apa kak?"
"Duduk dulu." Leon berujar lemas.
"Siap."
Yogi bertambah pening.
Oh astaga.
Keluarga macam apa ini. Sering sekali Yogi berpikir keras, bagaimana bisa keponakan-keponakannya yang lucu-lucu itu menyeramkan dan selalu ikut campur urusan orang dewasa.
Hell.
Situasi di kemudian hari bisa membahayakan.
Vee keparat.
"Lily, kesini." Yogi memerintah sembari melambaikan tangan.
"Om, Lily bisa, jangan meragukan Lily." Firasat Lily tidak enak, tatapan Yogi seperti tidak mempercayainya.
"Om Yogi percaya, sini dulu, om pengen peluk Lily."
Yang dikatakan Yogi memang benar. Tidak ada sedikitpun dalam benak untuk tidak memeprcayai Lily. Anak-anak Vee memang luar biasa, Yogi kagum sekaligus takut.
Takut jika kepintaran bisa membahayakan, keingin tahuan yang begitu besar bisa membawa mereka masuk kedalam masalah-masalah di masa depan.
"Om. Lindungi daddy." Lily berujar saat Yogi memeluk tubuh kecilnya.
Leon, Dilan, Haikal tak terkecuali Yogi sontak menegang, permintaan itu terdengar begitu tulus dan menyimpan kesedihan mendalam.
"Lily, daddy-mu akan baik-baik saja."
"Tapi perasaan Lily tidak baik-baik saja."
Seketika itu, dada yang memiliki ritme normal mendadak berdetak begitu cepat, mata Leon bergetar, semenjak awal, semenjak Leon mendengar rencana ayahnya, perasaannya tidak tenang, setiap malam tak bisa dikatakan jika ia baik-baik saja.
Sign,
Pee🍂