BEHIND THE MASK (ON GOING)

By Titimois

24.3K 2.1K 615

MATURE CONTENT ⚠️ Mengandung kekerasan dan adegan intim. Harap bijak membaca *** Elaine mengalami dilema dan... More

1. Mimpi
2. Kebodohan Elaine
3. Dibalik Topeng
4. Dekrit
6. Prasangka Baik
7. Sentuhan Vernon
8. Terluka
9. Ratapan
10. Racauan
11. Nyaman
12. Tidak Disangka
13. Hukuman
14. Kekejaman Yang Dirahasiakan
15. Serangkaian Kejutan
16. Dingin
17. Masa Lalu

5. Sarapan

1.2K 123 29
By Titimois

"Putri, kami akan memindahkan beberapa barang pribadi mu ke kamar Yang Mulia." Ucap Medive dengan berat hati, ia cemas akan keadaan Elaine yang harus tinggal bersama Vernon.

Hal yang cukup lumrah dan wajar jika suami-istri tinggal bersama. Tapi yang menjadi masalah disini yaitu suaminya seorang Vernon. Siapa yang tidak ngeri harus berada dekat pria itu? Medive saja yang tiap harinya cuma berpapasan dengan Vernon, bisa sampai gemetar dan merinding. Apalagi Elaine yang sekarang ditugaskan melayani sang Raja?

Elaine mengangguk lemah.

"Sebentar lagi adalah jam mandi Yang Mulia, kau harus segera tiba disana, Putri." Kali ini Yara yang mengangkat suara. Walau ragu, ia tetap harus memperingatkan Elaine agar gadis itu terhindar dari amukan Vernon.

Elaine mengangguk.

Detik kemudian, mereka bergegas dan berjalan ke istana barat.

Butuh beberapa waktu dalam perjalanan ke ruang Giosis- tempat tinggal Vernon. Posisi tempat tinggal Vernon bersebrangan dengan tempat tinggal Elaine. Vernon di barat, sedangkat Elaine ada di timur. Namun, tampaknya waktu panjang yang dihabiskan untuk kesini tidak terasa sama sekali. Malahan Elaine merasa kenapa waktunya begitu cepat dan hanya sebentar untuk ke ruangan ini?

Menelan ludah, Elaine mengumpulkan semua kekuatan dalam dirinya agar lebih bersiap serta menguatkan hati, karena ia tidak tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh Vernon.

Saat daun pintu terbuka, disitulah Elaine mempersiapkan kehidupan nerakanya.

"Salute, Putri." Pamit Yara dan Medive bersamaan saat Elaine memasuki ruang Giosis. Keduanya hanya bisa mengantar sampai dipelataran pintu, tidak bisa ikut masuk.

Pintu tertutup. Elaine menengok ke belakang sekilas sebelum akhirnya ia kembali menghadap depan. Matanya berkeliaran mengintai semua interior gelap diruangan. Elaine sangat-sangat tidak menyukai nuansa tempat tinggal Vernon.

Menakutkan.

Kaki itu berjalan ke ruang lain, yaitu kamar Vernon. Elaine menyibak pelan tirai yang menjadi pembatas kamar tidur Vernon dengan ruang utama tadi. Gadis itu melakukannya dengan perlahan karena takut membangunkan si pria.

Setelah berhasil masuk. Nafas Elaine langsung tercekat karena mendapati sosok Vernon yang terbaring lurus dan kaku dengan topeng yang masih tersemat diwajah dinginnya. Sungguh, Elaine serasa melihat mayat.

Elaine mengayunkan kaki dengan langkah kecil, ia menaruh pelan barang bawaannya. Detik kemudian, ia berjalan lagi pelan-pelan untuk masuk ke ruang pemandian yang ada disebelah kamar tidur.

"Hahhhh...." Helaan napas panjang terdengar. Elaine menghirup udara sebanyak-banyaknya dan mengeluarkannya lagi. Akhirnya bisa bernapas lega.

Usai mengatur pernapasan, Elaine baru menjalankan tugas pertamanya disini. Mula-mula ia menuangkan cairan beraroma pinus, lalu meneteskan cairan lain dengan wangi musk. Beberapa menit setelahnya, Elaine baru menaburkan violet leaf.

Elaine mempelajari tata cara persiapan mandi Vernon semalaman. Tak hanya itu, ia juga diharuskan mengetahui apa yang disukai dan tidak sukai Vernon, baik makanan, kebiasaan dan lainnya. Elaine juga harus tahu kapan Vernon bangun, mandi, makan, serta yang lain-lain. Seperti sekarang, ini adalah waktunya Vernon bangun dan menuju ke pemandian.

Jantung Elaine berdegup kencang. Ia menundukkan kepala dan berdiri dekat pintu- menunggu Vernon masuk untuk memberi hormat.

Bulu kuduknya merinding saat merasakan aura gelap menghampiri. Derap langkah kaki Vernon terdengar nyaring ditelinga Elaine. Pendengarannya menjadi lebih sensitif dan peka saat berada ditempat tinggal ini.

"Salute, Yang Mulia." Sapa Elaine dengan suara ketakutan.

Vernon tidak beranjak dari tempat dimana ia berdiri. Pria itu menelisik ekspresi gelisah dari gadis didepannya.

Leher Elaine pegal. Ia sedari tadi menunduk dan tidak bergerak karena Vernon hanya berdiam diri tepat didepannya.

"Y-Yang Mulia, ini waktunya anda mandi."

Tidak ada sahutan.

Otak Elaine makin kalut. Apa ia melakukan kesalahan lagi?

Hampir setengah jam Vernon enggan berpindah. Sedari tadi hanya menatap Elaine. Sedangkan orang yang dia tatap- gugup tak karuan.

"Y-Yang Mulia, aku akan membantu melepas pakaianmu." Elaine berupaya mengalihkan pembicaraan, tapi lagi-lagi Vernon tidak merespon apapun.

Elaine semakin takut.

Jemari kekar itu mengangkat dagu Elaine untuk melihat padanya. Cengkraman kuat langsung dilayangkan Vernon saat tahu Elaine tidak menatapnya, melainkan memandang ke arah lain.

"Y-Yang Mulia." Lirih Elaine kesakitan karena dagu dan area pipinya ditekan Vernon begitu kuat.

"Yang Mulia."

Vernon tak peduli, ia semakin memperdalam tindakannya karena Elaine masih tak melihat padanya. Muka gadis itu sampai kemerahan ditambah cairan bening mulai menumpuk dimata- siap tumpah kapan saja.

"Y-Yang Mulia." Elaine mengerang kesakitan.

Vernon mendelik tajam, sudah disiksa berat pun, gadis ini masih melihat ke sembarang arah dan bukan padanya?

Tangan Elaine bergerak untuk melepaskan cengkraman didagunya, tapi ia kalah telak dengan kekuatan Vernon. Air matanya seketika berjatuhan karena sudah tidak bisa menahan bendungan perih yang di berikan.

"Yang Mulia."

Vernon makin bengis karena Elaine tak kunjung menatapnya balik.

Apa ia congkel saja kedua mata gadis ini?

"Y-Yang Mulia." Mata Elaine menyipit, ia terus berusaha menyingkirkan tangan Vernon yang tampaknya tidak ingin lepas dari sana.

Apakah hari ini akan menjadi hari terakhirnya?

Lelehan bening menetes dan membasahi jari jemari Vernon. Pria tersebut makin berang lantaran mata Elaine tertutup.

Kenapa Elaine tak ingin melihatnya?

Kenapa semua orang selalu menganggapnya seperti sampah yang tak pantas dipandang?

"Y-Yang.. Muh-li-yah." Suara Elaine terpatah-patah, mulai kehabisan napas dan detik itu juga ia memberanikan diri untuk membalas tatapan Vernon.

Bersamaan dengan itu, Vernon langsung melepaskan tangan secara kasar.

Elaine terengah-engah akibat perbuatan Vernon barusan. Ia menyentuh dagunya yang kemerahan dan perih.

Vernon melenggang begitu saja menuju kolam pemandian, menghiraukan Elaine yang masih terguncang, menurut Vernon gadis itu memang pantas menerimanya. Coba saja dari awal Elaine menatap balik padanya, ia pasti tidak akan berbuat kejam.

Menyadari pergerakan Vernon, Elaine bergegas untuk melayani pria itu. Ia tidak mau di siksa lebih parah.

Elaine takut.

Walau keadaannya belum stabil, Elaine tetap melakukan tugasnya. Pertama, ia membuka pakaian Vernon hingga berjatuhan ke bawah. Manik coklat itu berpendar lebar melihat puluhan bekas luka dipunggung Vernon. Ini yang kedua kalinya.

Mengesampingkan keterkejutannya, Elaine memungut pakaian Vernon dan menggantung semua itu dekat salah satu tempat penyimpanan wewangian air. Setelah itu, ia kembali ke Vernon yang sudah masuk dan duduk didalam kolam.

Elaine sudah tidak menangis, tapi mata sembabnya sangat jelas terlihat. Belum lagi dagunya yang masih terasa perih.

Badan Vernon mulai diguyur pelan dengan siraman air dari Elaine. Jari panjang dan lentik itu menuangkan cairan bening kecoklatan ke tubuh Vernon. Elaine mengusapnya pelan, ia tersentak saat menyentuh kulit Vernon yang sangat dingin seperti es. Usapannya mengeluarkan busa kecil, Elaine mengguyur air lagi. Hal itu dilakukan berulang kali.

Selesai, Elaine mengambil satu wadah berukuran kecil dan kain tebal berukuran sedang. Wadah berisikan air bersih diserahkan kepada Vernon, Elaine menunduk karena ini adalah ritual Vernon mencuci mukanya. Ia tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama seperti kemarin. Ia tidak ingin lagi menyaksikan seekor harimau memakan manusia hidup-hidup didepannya.

Wadah di ambil Elaine saat Vernon menyudahi pembersihan. Dilanjut sodoran kain untuk menghapus jejak air dimuka pria tersebut. Elaine sangat berhati-hati ketika memberi benda itu agar tidak melihat wajah Vernon.

Beres. Elaine menaruh wadah dan kain bekas Vernon ke atas meja. Ia kembali menunduk- menunggu Vernon memasang topengnya.

Usai memasang topeng, Vernon berdiri. Elaine buru-buru mengambil kain dan mengelap semua permukaan tubuh pria tersebut temasuk bagian vitalnya. Elaine menelan saliva, mukanya merah menahan malu. Detik kemudian, jubah mandi mulai disampirkan ke seluruh tubuh Vernon.

Pemandian Vernon selesai.

Saatnya pemakaian baju.

Vernon berdiri diruang kamar, membiarkan Elaine mengerjakan semuanya. Jubah mandinya ditanggalkan, Elaine membalutnya dengan lilitan tipis berwarna putih, lalu baru ditimpa pakaian hijau tua. Saat Elaine mengikat tali yang tersemat diluar, Vernon kembali menelisik paras gadis itu.

Cantik.

Kecantikannya bisa menandingi gadis yang pernah membuat Vernon bersikap gila sampai sekarang.

Dan... Vernon tidak suka jika ada yang menyaingi kecantikan gadis pujaannya. Ia muak dan mendecak tak senang.

Selesai.

Saat hendak mundur- manik coklat Elaine terbelalak akibat delikan tajam Vernon yang tertuju padanya.

Apalagi kesalahannya kali ini?

"Y-Yang Mulia." Ucap Elaine terbata-bata, ia menundukkan pandangan. "Sudah selesai. Waktunya untuk sarapan."

Vernon tidak bergerak.

Sungguh, Elaine sangat frustasi menghadapi sikap Vernon. Jika ia berbuat salah, atau ada pelayanannya yang kurang memuaskan, apakah pria ini tidak bisa beritahu kepadanya? Alih-alih harus membuatnya gamang tak jelas, memikirkan kesalahan yang tak pernah ia tahu.

"Yang Mulia, aku ijin pamit untuk menyiapkan sarapan anda." Ujar Elaine beranjak pergi namun ia dicegat dengan sebuah pedang. Jantungnya berhenti berdetak- memandangi benda tajam itu menghalau lehernya dari belakang.

"Apa aku sudah mengijinkanmu?" Suara Vernon begitu datar dan menusuk.

Mata Elaine kembali memanas.

Ia tidak kuat dan sangat takut.

"M-Maaf Yang Mulia." Air mata Elaine bercucuran. Mukanya pucat pasi.

Tanpa melihat, Vernon tahu kalau Elaine tengah menangis karena bahu gadis itu berguncang.

Bibir Vernon melengkung iblis. Ia menurunkan pedang, lalu berkata. "Aku tidak ingin sarapan disini."

Tangan Elaine disambar cepat, Vernon menarik gadis itu keluar dari kamar disertai pedang ditangan satunya lagi yang masih bertelanjang bebas. Para penjaga pintu hanya menatap gusar atas kepergian Raja mereka.

Elaine tak tahu kemana Vernon menyeretnya pergi. Pegangan Vernon terlalu kencang serasa meremukkan.

Sakit.

Para pelayan serta penjaga langsung menunduk dari jarak 5 meter, mereka memberi salam dan menunggu Vernon menjauh. Setelahnya, mereka menatap satu sama lain. Menatap dalam kengerian.

Langkah kaki yang berbeda itu menuju ruang bawah tanah. Vernon berjalan dengan gesit sampai membuat Elaine kewalahan menyamakan langkah mereka. Kaki Elaine sempat terkilir dan ia menangis tersedu-sedu. Vernon sangat acuh atas penderitaan Elaine, pendengarannya tuli.

"Salute, Yang Mulia." Ucap para penjaga yang dilewati oleh Vernon.

Ruangan ini begitu pengap dan panas. Gelap hanya diterangi obor yang cahayanya temaram. Koridor demi koridor dilewati hingga mereka berbelok ke kanan dan jantung Elaine kembali berdenyut linu.

Bagaimana tidak?

Tempat yang dituju olehnya ternyata adalah ruang penjara.

Banyak tahanan yang kedua tangannya digantung diatas dinding sampai kaki mereka tak berpijak. Elaine membayangkan bagaimana sakitnya jeratan rantai itu disaat mereka harus menopang berat tubuh sendiri.

Belum lagi ada beberapa orang yang seperti kehilangan anggota tubuh mereka. Diantaranya hanya punya satu tangan, satu kaki, bahkan ada yang tidak punya kedua tangan sekaligus.

Apa yang terjadi?

"Salute, Yang Mulia."

Vernon mendudukkan Elaine dipangkuannya dengan kasar sembari menaruh pedang diatas meja. Satu tangan Vernon menahan tubuh Elaine agar tidak jatuh— seperti memeluk dari belakang.

Napas Elaine tercekat tatkala Vernon memperlakukannya seperti itu didepan para penjaga. Ia ingin menolak dan bilang kepada Vernon untuk berdiri saja. Tapi Elaine tidak punya kuasa. Ia hanya bisa menurut.

"Siapkan sarapanku." Titah Vernon.

"Baik, Yang Mulia." Kedua penjaga langsung keluar mendengar omongan Raja mereka.

Elaine sendiri bingung, kenapa harus sarapan di penjara? Bukankah ada tempat yang lebih layak?

"Y-Yang Mulia aku mohon lepaskan!" Teriak seorang pria dengan tangan dirantai— yang diseret oleh kedua penjaga tadi.

"Sarapan mu sudah siap, Yang Mulia."

Elaine membisu. Otaknya mencerna jelas terkait 'sarapan' yang dimaksud oleh Vernon. Pelipisnya langsung keringatan.

Maksudnya tahanan ini adalah sarapan Vernon?

"Bawakan padaku."

Tahanan tadi ditarik dan ditempatkan tepat dihadapan Vernon dan Elaine.

"Y-Yang Mulia, ampuni kesalahanku. Aku mohon padamu! Aku akan melakukan apapun untuk menebus kesalahanku. Kumohon lepaskan aku Yang Mulia!" Tahanan tersebut berteriak putus asa meminta Vernon untuk mengampuninya.

Hati Vernon tidak tergerak sama sekali atas lolongan tersebut. Malah, ia menatap semua inci tubuh si tahanan dari atas sampai bawah— seperti menimang-nimang sesuatu.

"Aku ingin tangan kanannya."

"Baik, Yang Mulia." Segera saja tahanan tadi didorong dan tangannya ditekan diatas meja.

Raut muka Elaine lebih pucat dibanding tadi, bibirnya kelu tak bisa mengeluarkan satu patah katapun.

Vernon mulai mengambil pedang. Ia menunduk dan mendekat ke telinga Elaine, seraya berbisik pelan. "Mari kita sarapan."

Srattt

Mata Elaine berkedut.

Darah menyembur deras sampai mengenai mukanya. Hati Elaine mencelos. Manik coklat tersebut bergulir pelan ke bawah. Detik itu juga, Elaine melotot pucat. Sebuah lengan bersimbah cairan merah terpampang nyata didepannya.

Tahanan yang merintih kesakitan tadi dikeluarkan dari ruangan. Menyisakan anggota tubuhnya yang terlepas.

Jadi... itu alasan kenapa para tahanan disini banyak yang cacat?

Sratt

Bulu kuduk Elaine meremang. Badannya kaku tak merespon apa-apa.

Barusan, Vernon memenggal kelima jari yang tersemat pada tangan tak bergerak diatas meja. Salah satu jari bagian kelingking jatuh ke lantai.

Lelehan bening luruh membasahi pipi Elaine. Ia menangis terdiam tanpa mengeluarkan isakan.

Jari telunjuk diambil Vernon, ia memakan dengan lahap. Mulutnya bahkan berlepotan dengan warna merah.

Menyisakan tulang, Vernon membuangnya. Ia mengambil jari tengah dan lagi-lagi menggigit dan mengoyak serta menelannya.

Vernon kembali mendekat dan menaruh kepala dipundak Elaine. "Hukuman paling ringan, yaitu menjadi makanan Nazzar. Sedangkan diatasnya... ada aku yang memakan mereka."

***

Ada yang pernah makan daging manusia?

Mau nyoba gak?

Nanti ditemenin sama bang Vernon.

Continue Reading

You'll Also Like

Princess Castle By Juni

Historical Fiction

1.2M 162K 58
[SUDAH TERBIT. BEBERAPA PART TELAH DIHAPUS] Putri kastil. Itulah julukan yang diberikan padanya. Seorang putri kerajaan yang keberadaannya tidak dipe...
2.1M 308K 77
The Another World Series (1) - Anstia Cerita berdiri sendiri. Dia terbangun dengan tangan mungil dan badan yang tidak dapat di gerakkan seperti bia...
9.9M 639K 30
"Jadi gini rasanya di posesifin sama ketua genk?" -Naya Arlan dirgantara, ketua genk Pachinko yang suatu malam pernah menolong seorang gadis, sampai...
19.7M 1.4M 58
Young adult romance (sudah terbit bisa beli bukunya di shopee : De gibadesta) #1 fiksi || "Mereka aneh, mereka memaksa, dan mereka menginginkanku. T...