"Ternyata... gini ya rasanya."
"Rasanya apa?"
"Rasanya punya Kakak," ucap Argio pelan.
Viola tertegun mendengarnya. Ini kali pertama ia jalan dengan Argio, jadi Viola sedikit merasa canggung.
"Kak?" panggilnya dengan hati-hati. "Kenapa ya kita nggak jadi kaya Kakak-Adik pada umumnya. Jadi Kakak-Adik yang... normal."
Viola terdiam.
"Tapi aku seneng."
"Seneng?" ujar Viola bingung. Argio senang kenapa? Senang menjadi adiknya?
Argio tersenyum tipis. "Ya, seneng aja," ujarnya. Argio tersenyum lagi, kali ini bukan senyum tipis. "Kakak banyak berubah. Tetep gini ya?"
Viola mengangkat alis. "Berubah gimana?"
"Ya, banyak berubah." Argio mengendikkan bahu. "Aku tau Kakak benci sama aku. Tapi akhir-akhir ini Kakak lebih bisa menghargai usaha aku. Jadi aku bilang, Kakak tetep gini ya? Kalaupun Kakak masih benci sama aku, aku bakal tetep seneng karena Kakak udah mulai bisa menghargai aku."
"Gue cuma nggak suka aja sama lo, bukan benci," jelasnya.
"Iya, apapun itu."
Viola menatap Argio lekat-lekat. Mungkin bertanya-tanya, sejak kapan Adiknya sudah setinggi ini. Ah, Adiknya sudah sebesar ini ternyata. Viola baru menyadarinya.
"Ar, gue... keterlaluan ya?" tanyanya pelan.
Argio menatap balik Kakaknya. "Nggak, kalau aku jadi Kakak mungkin aku juga bakal gitu."
"Tapi lo bukan gue! Lo bahkan bisa aja memaafkan apapun kesalahan orang, lo bahkan selalu treat gue dengan baik walaupun gue selalu treat lo kaya sampah. Jadi... mending lo nggak usah gangguin gue lagi. Gue cuma bisa buat lo sakit."
"Aku gitu cuma ke orang yang penting di hidup aku doang, Kak! Aku gitu cuma buat orang-orang yang berarti buat aku! Aku nggak gitu ke semua orang! Aku nggak sebaik itu," ujar Argio penuh penekanan. "Jadi tolong... jangan bilang ke aku buat jauhin Kakak. Karena aku disini lagi usaha biar Kakak bisa terima aku," ucapnya pelan. Nadanya terdengar sangat putus asa. Bahkan suaranya sedikit bergetar. Argio mati-matian menahan tangis di depan Kakaknya. Harus berapa kali lagi ia menjelaskan bahwa ia tidak mau menjauhi Kakaknya.
Argio sudah sangat senang karena Kakaknya sudah mulai menerima barang-barang pemberiannya, bukan di buang seperti yang dulu biasa Kakaknya lakukan. Makannya setiap pulang sekolah Argio selalu menyempatkan untuk membawakan cemilan ke rumah Kakaknya. Karena sekarang, bukan penolakan lagi yang ia terima. Ya, meski pun Kakaknya masih sering berkata sinis, Argio sangat menghargai itu. Untuk berubah memang butuh waktu kan? Apalagi disini yang salah bukan Kakaknya.
Viola lagi-lagi terdiam. Tidak tahu harus merespon apa. Ia sedikit merenungi ucapan Argio Aku gitu cuma ke orang yang penting di hidup aku doang, Kak! Aku gitu cuma buat orang-orang yang berarti buat aku! sialan, kata-kata itu terus terulang di otaknya. Viola menatap penuh Argio, jadi selama ini... Argio menganggap Viola penting? Argio menganggap Viola berarti?
Argio mengajak Viola duduk di depan warung. Membeli dua mineral. Membuka tutup botolnya, dan menyerahkan ke Viola.
"Di minum dulu."
Viola menurut.
"Ar, lo nggak capek harus ngertiin gue terus?"
Argio menggeleng sekilas. Mana bisa ia capek?
"Jangan ngomong aneh-aneh. Aku nggak capek karena aku tau, Kakak juga capek. Mungkin lebih capek dari aku. Nerima keadaan itu nggak mudah Kak. Itu sebabnya aku nggak pernah capek usaha buat di terima Kakak."
"Emangnya kalo kita baikan... kita mau ngapain?" Bukan kah sama saja? Tidak ada yang berubah kan?
Argio terkekeh pelan. "Ya nggak ngapa-ngapain juga si."
•••
Menyadari jarak Papanya sudah tidak jauh, senyum mereka merekah. "Itu Papa." Tunjuk Argio.
Viola berlari kecil ke arah Papanya. Merentangkan tangan, memeluk Papanya dari belakang. "Papa, kangen." Viola semakin mengeratkan pelukannya.
Pria dewasa di depannya itu terkekeh. Melepas pelukan Putrinya. Menerima uluran tangan dari Viola dan Argio. Beberapa detik setelahnya, Adiwira tertegun. Apa dirinya tidak salah lihat? Viola dan Argio? Yang benar saja. Sejauh ini bahkan Adiwira tidak pernah melihat Viola dan Argio berbicara seperti Kakak-Adik pada umumnya. Dan hari ini Adiwira melihat mereka jalan bersama. Tolong katakan pada dirinya, bahwa ia tidak salah lihat.
"Sejak kapan Rara akrab sama Argi?"
Viola menoleh ke arah Argio. Mengedipkan sebelah matanya, memberi kode agar anak itu menjawab pertanyaan dari Papanya.
Argio menjawab sopan. "Argi yang ajak Kak Vio buat joging, Pa."
Tawa Adiwira menguar begitu saja. "Sepertinya Papa ketinggalan banyak cerita, ya?"
"Apaan! Aku sekalian ada kepentingan, Pa. Jadinya ikut deh."
Melihat Papanya sedang menyiapkan pesanan dari pembeli, Argio mendekat. "Argi bantu ya, Pa?"
Adiwira merespon dengan senyum manis. "Terima kasih, ya?"
Sudah hampir satu jam Viola dan Argio membantu Papanya melayani pembeli. Ah, sepertinya cuma Argio yang membantu, sedangkan Viola dengan santai duduk manis di kursi pembeli, bantu doa aja katanya. Tapi, melihat Papanya... membuat Viola sedikit merasa bersalah. Papanya mati-matian menghidupinya, sedangkan ia suka sekali menghambur-hamburkan uang untuk hal yang sedikit kurang penting.
Sebenarnya Viola bisa saja meminta uang kepada Mas Agi, tapi kata Papa kalo butuh apa-apa bilang Papa dulu, jangan langsung minta Mas Agi, karena kamu tanggung jawab Papa. Mas Agi sudah berkeluarga, sudah memiliki tanggung jawab sendiri. Papanya itu juga suka menolak uang pemberian Mas Agi, tapi mana bisa Mas Agi di tolak. Jadi dengan terpaksa Papanya itu menerimanya.
Viola berdiri menghampiri Papa dan Adiknya. "Papa, Rara mau beli es krim dulu ya!" serunya.
"Udah makan belum? Kalau belum makan, nggak boleh beli es krim."
"Rara udah makan kok tadi! Beli bubur ayam," sahutnya semangat.
"Beli satu aja, jangan banyak-banyak," peringat Adiwira.
Viola menurunkan bahunya lesu, tidak lama kemudian, ide licik terlintas di otaknya. "Berarti boleh beli yang gede dong?" ujarnya antusias.
Adiwira melarang Viola dengan gerakan tubuh, "jangan bandel, Ra."
Viola mencebikkan bibirnya. "Rara tanya ya, bukan bandel!" serunya.
"Nurut atau tidak Papa izinkan?"
Viola mengangguk pasrah. Kemudian ia berlari menuju minimarket yang terletak tidak jauh dari tempatnya. Ia mengambil satu es krim rasa coklat. Dan membayarnya di kasir.
•••
"Habis ini Argi ajak Kak Vio pulang aja, anaknya udah bosen kayanya. Kasian, disini juga pasti gerah," ujar Adiwira.
Argio mengangguk sopan. "Iya, Pa."
"Argi sama Kak Vio sejak kap-" Belum selesai Adiwira menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba ada seorang pembeli.
"Permisi, Pak. Beli satu porsi ya?" ucapnya. Senyum di bibir pucatnya merekah. Ia baru mengingat sudah tidak makan selama satu hari full kemarin. Sekarang baru terasa laparnya. Sebenarnya ia ingin membeli nasi, tapi melihat penjual batogor ini, entah mengapa dengan otomatis kakinya melangkah menghampiri.
Adiwira membalas dengan balik tersenyum. "Iya, saya siapkan dulu. Silahkan di tunggu," ucapnya ramah.
Selesai menyiapkan pesanannya, Argio mengantarkannya ke meja makan. "Selamat menikmati," ucapnya dengan senyum tipis.
•••
Terima kasih banyak untuk yang sudah membaca sampai chapter ini💐💗
Jangan lupa tinggalkan vote dan komen ya? hihi🐱 vote dan komen kalian sangat berarti buat aku💗
Sampai jumpa di chapter selanjutnya🤗