Jam istirahat berdentang. Guru yang berada di kelas itu mengakhiri sesi belajar mengajar, lantas keluar dari kelas. Hampir semua murid berhamburan setelahnya, ada yang pegi ke kantin, ada yang pergi ke lapangan basket, ada juga yang tinggal di kelas, malas keluar.
Mata Irish membulat saat pergelangan tangan mungilnya secara tiba-tiba diraih oleh seseorang. Dia berencana hendak pergi ke taman bersama Jenni, makan bersama Johnny—kembaran Jenni, seperti yang biasa mereka lakukan setiap harinya, sebelum langkahnya terhenti karena itu.
"Aku perlu bicara denganmu dulu, sangat penting."
Irish mengangkat satu alisnya tak mengerti pada Efron, oknum yang menahan lengannya barusan. Jenni yang awalnya bingung akhirnya juga hanya bisa menganggukkan kepalanya, dan pergi terlebih dahulu meski merasa penasaran setengah mati. Begitulah, Efron memiliki aura tersendiri di mana sanggup membuat orang lain menuruti perkataannya, tak membantahnya, dan ... respect saja padanya, hormat.
"Ada apa?" ujar Irish akhirnya dengan perasaan yang sedikit dongkol karena waktunya yang telah diganggu oleh pria tak dikenal ini. Dan tanpa repot-repot menjawab atau menjelaskan pada Irish, Efron melangkahkan kakinya ke luar, dengan lengan Irish yang masih berada di genggamannya, ia geret
Irish merasa tidak nyaman tentunya, tapi dia mengatur ekspresi wajahnya agar tak mendapat perhatian berlebihan dari sekitar mereka. Harus calm. Efron yang berjalan di sepanjang lorong saja menarik setiap pasang netra yang jelas selalu terpana dengan mata birunya –yang dikata Irish berwarna hijau. Irish tak mau memperburuk keadaan dengan memberontak dari Efron, menyebabkan keributan.
Mereka berakhir di ruangan ekstrakurikuler jurnalistik, satu-satunya ruangan yang kebetulan kosong dan tidak dikunci saat itu. Efron menarik Irish ke dalam ruangan, lantas menutup pintunya.
"Apa yang kau lakukan," pekik Irish pada akhirnya, menghempaskan tangannya, memberontak dari genggaman Efron.
"Kau—" ujarnya seketika dengan nada dingin yang sangat mengintimidasi perempuan berambut ikal bawah sebahu itu. Irish memundurkan langkahnya refleks, respons tubuhnya begitu merasakan sesuatu yang berbahaya.
Efron berusaha menenangkan dan mengendalikan diri setelahnya, tak berniat menakuti gadis di depannya ini. Irish sendiri menatap makin tak suka pada Efron, dan masih bersikap waspada dengan segala kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.
"Apakah ini benar-benar terlihat hijau di matamu?" tanya Efron seraya menunjuk dua matanya dengan dua telunjuknya. Itu perubahan perilaku yang sangat ekstrim. Irish terdiam, merasa agak sedikit lucu dengan tingkah si Efron. Maksudnya, kenapa tidak menunjuk salah satu dengan satu jarinya saja, sih? Kenapa harus pakai dua jarinya? Batin Irish bertanya sungguh-sungguh.
Irish membenahi posisi berdiri yang tadinya agak condong ke belakang terintimidasi. Menegakkan punggung, ia berdehem dan mengangguk mengiyakan tanpa melihat pada pria tinggi di depannya ini. Lantas perlahan dia mencoba menciptakan kembali kontak mata dengan Efron, dan agak terjengat kaget mendapati pelototan mata Efron yang sebenarnya bukannya sengaja ditujukan untuknya, tapi sebagai bentuk ekspresi keterkejutannya.
"A-ada apa?" tanya Irish canggung karena Efron yang belum juga menormalkan mata melototnya.
"Sungguhan hijau?" ujarnya lagi. Irish makin bingung sebenarnya, tapi mengangguk saja, membenarkan perkataannya.
"Harusnya ini tak terjadi, harusnya kau melihatnya berwarna biru," ujar Efron dengan nada naik seoktaf yang tentu segera membuat emosi Irish terpancing kembali pada akhirnya.
"Tapi itu benar-benar berwarna hijau! Hijau emerald yang sungguh ... indah ...." Irish berkata seraya menunjuk manik Efron dan kemudian terlarut dalam keindahan hijau emerald itu tanpa ia sadari. Matanya tak berkedip, mulutnya setengah membuka, dan ia melangkah mendekat pada Efron bak orang yang terhipnotis.
"Sangat indah ...," gumamnya lagi dengan langkah yang makin mendekat. Efron gugup, bingung harus bagaimana, terlebih saat Irish makin dan makin memangkas jarak keduanya, makin dekat dan dekat. Ujung sepatu mereka sudah bertautan, kini hanya tinggi badan Efron yang memisahkan keduanya. Irish berjinjit, meraih seragam Efron untuk berusaha mendekatkan wajahnya agar lebih mudah lagi untuk bisa meniliki mata hijau itu.
Efron akhirnya meraih dan menahan kedua bahu ringkih itu ketika ujung hidung mereka hampir bersentuhan, menghentikan jinjitan Irish. Yang dihentikan langsung berkedip cepat, dan mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Beberapa belas sekon dilakoninya dengan dunga-dungu, dia akhirnya melompat ke belakang, sedikit terjengkang tapi berhasil menyeimbangkan tubuhnya dengan cepat.
"A-aku tidak melakukannya!" bentak Irish yang membuat Efron terkaget sekaligus bingung luar biasa. Wajahnya masih merah karena kejadian barusan, bahkan ia masih merasakan bekas napas Irish di wajahnya saking dekat sekali jarak antara keduanya tadi.
Sedang Irish makin merasa salah tingkah. Ia hanya menjawab kata batinnya sendiri, tapi tak menyangka jika ia akan menyuarakannya tanpa sengaja, bahkan dengan volume yang sangat lantang. Makin menambah malunya. Wajahnya tak kalah merah sekarang.
"Maksudku—maafkan aku, tadi sepertinya aku melamun," jelas Irish mencoba membela diri. Efron menelan ludahnya dan hanya mengangguk kaku.
"Aku juga hanya ingin berkata, jika kau memang melihatnya berwarna hijau seperti itu, tolong rahasiakanlah dari siapa pun," jawab Efron dengan kalimat yang kaku meski tak seterbata Irish, dia berhasil mengatasi krisisnya. Irish mengangguk kecil dan cepat tanpa berani lagi melihat pada Efron.
"Kalau begitu aku duluan," ujar Irish kemudian yang langsung diberi anggukan persetujuan oleh Efron. Irish meninggalkan ruangan tanpa repot-repot melihat lagi ke arah Efron. Dia berjalan dengan berusaha setenang mungkin, sampai akhirnya saat merasa sudah jauh dari tempat kejadian dan juga melewati satu belokan, kakinya lemas. Ia berjongkok dengan napas yang terengah. Memegangi wajahnya yang terasa sangat panas.
Di dalam ruang jurnalistik, satu pria tinggi juga masih dalam keadaan wajah yang sangat merah, bahkan sampai ke kedua telinganya. Apa-apaan tadi? Dia tak pernah berada dalam kondisi di mana ia sedekat itu, dengan siapa pun, gadis mana pun. Rasanya napasnya terhenti sesaat, begitu pun dengan jantungnya. Saat Irish sudah menjauh, jantungnya langsung bekerja lagi, tapi dengan luar biasa cepat, lalu wajahnya mulai terasa panas dan kaku.
"Aku ingin beli minuman. Wah, kenapa tiba-tiba gerah sekali," gumamnya mengipasi wajah dengan tangan besarnya, dan mulai berjalan keluar dari ruangan itu. Dia menuju kembali ke kelas, hendak mengajak si kembar ke kantin, saat langkahnya mulai melewati belokan, lantas terhenti seketika.
"Ah, kamu tak apa-apa?" tanya Efron dengan nada yang sangat canggung, namun harus, karena sudah terlanjur melihat seorang Irish yang duduk di bawah seraya berbicara sendiri.
Irish terkejut, dan langsung berdiri seraya tertawa kecil, dengan sangat tidak natural. Tapi tiba-tiba terlihat lucu di mata Efron. Gadis ini sedang salah tingkah.
"Aku tak apa-apa. Aku duluan dulu, ya," ujarnya berpamitan lagi dan langsung kabur tanpa menunggu respon dari Efron. Dia masih merasa sangat malu, belum sanggup bertemu dengan Efron lagi setelah melakukan hal sememalukan itu.
"Aish, di mana mukaku sekarang? Apa ini benar-benar akhirnya? Aku sudah tak punya muka lagi di hadapannya. Bagaimana bisa itu terjadi saat aku harus bertemu enam hari dalam seminggu dengannya," gumam Irish gemas pada dirinya sendiri.
"Tapi apa itu sepenuhnya salahku? Oh, tentu tidak. Dia mencoba menghipnotisku tadi, aku yakin sekali. Ah, apakah aku hampir jadi korban penipuan? Tidak, tidak. Aku tidak boleh playing victim, itu tindakan yang jahat. Efron adalah korbannya, aku yang adalah ...,"
"... Pelakunya," lanjutnya sendiri dengan meringis dan menepuk pipinya keras-keras, masih merasa sangat malu.
Efron yang dari belakang lumayan jauh sana melihat bagaimana Irish menampar dirinya sendiri. Dia tersenyum kecil tanpa sadar. Namun, tatapannya segera berubah kembali.
"Dia tak boleh mengatakan pada siapa pun tentang warna mataku," gumamnya lagi serius menatap punggung kecil yang kian menjauh itu.
Hal itu memang benar-benar tak boleh terjadi. Bisa gawat jika identitas sebenarnya terungkap.