NamJoon meraih ponselku yang berdering. Dia menatap layar dengan dahi berkerut.
"Sepertinya Boram menelpon mu." Ponsel dia serahkan padaku.
"Hapal ya pak?" Sindirku.
"Bukan begitu." Elaknya malu.
"Maafkan saya dok, saya ada urusan penting. Baiklah, saya segera ke toko. Tapi maaf, anda belum mengirimkan alamat penerimanya. Baik dok, terima kasih."
NamJoon menunggu penjelasanku.
"Pesanannya kemarin." Aku beranjak menuju kamar mandi begitu juga NamJoon.
"Pergilah ke toko, aku menunggumu disini. Jangan lama-lama." Wanti-wanti NamJoon ketika aku sudah didalam mobil.
"Iya oppa, aku hanya harus mengirimkan barang itu pada kurir, lalu aku akan pulang." Jawabku.
Kami bahkan masih sempat berpagutan cukup lama di garasi. Aku pergi dengan senyum NamJoon mengiringi.
Dokter Boram berdiri didepan tokoku yang masih terkunci. Dia menatap dingin seperti sedang menelitiku. Aku berkali-kali meminta maaf dan berbohong dengan memberinya alasan makan siang.
Kurir mengantarkan barang dokter Boram ke alamat tujuan. Namun dia masih berada dalam tokoku.
"Apa tadi malam NamJoon oppa tidur ditempat mu?" Tanyanya tanpa basa-basi.
Aku menggeleng ragu. Entah mengapa tanpa berpikir panjang kulakukan itu.
"Apa dia mengatakan kemana dia tadi malam?" Tanyanya selidik.
"Maaf dok, seharusnya anda bertanya langsung padanya bukan padaku." Jawabku singkat.
"Kau benar, ponselnya mati dan aku menunggunya di rumah dengan bodoh." Senyum kecutnya muncul.
"Aku tau, kau mantan istrinya bukan?"
Aku tak terlalu terkejut dengan tebakannya itu. Jika kesimpulanku benar maka mungkin saja NamJoon sudah bercerita mengenai aku dan Ha Joon.
"Kami baru saja bertemu dan semua hanya karena Ha Joon." Aku sendiri tercekat dengan jawabanku.
Semua hanya karena Ha Joon? Benarkah? Bahkan aku tak menolak asmara yang kami lakukan sejak semalam. Bahkan permintaannya tadi tak bisa ku abaikan begitu saja. Aku juga ingin kami kembali bersama. Ingin sekali, tapi mungkin saja wanita cantik di hadapanku ini akan kecewa.
"Aku harap kau jujur. Kami tinggal bersama, kau mengerti maksudku bukan?"
Aku tertunduk menyembunyikan kecewa.
"Kemunculan kalian memang tak ku harapkan, tapi aku juga tak bisa melarang hubungan ayah dan anak. Aku hanya tak ingin rencana pernikahan kami terganggu karena kalian berdua, itu saja." Senyum manisnya membuat pahit pikiranku.
"Tidak dok, itu tak akan terjadi."
"Aku harap begitu. Emmm, terima kasih telah membantuku hari ini. Oh ya, sepertinya kau juga sudah punya kekasih." Telunjuk dokter Boram memegang bagian rahang bawahnya.
Terlihat rahang bawah kanan yang memerah dari kaca samping tempat ku berdiri karena Perbuatan NamJoon tanpa ku sadari. Aku tersenyum malu kearah dokter Boram.
"Aigoo, Noona apa kau kelelahan semalam?" Suara Baekhyun masuk toko tanpa melihat sekeliling.
Dokter Boram menyimpan senyumnya dengan susah payah. Kemungkinan besar tebakanku benar, dia menyimpulkan jika pembuat tanda merah ini adalah Baekhyun.
"Ahh, selamat siang. Maaf aku tak memperhatikan. Noona, ayo makan jika kau sudah selesai. Kau harus mengganti energi mu bukan?" Bisiknya padaku.
Lagi-lagi dokter Boram menyembunyikan senyumnya dengan menundukkan wajah.
"Baiklah, aku juga harus kembali ke rumah sakit. Selamat menikmati makan siang kalian."
"Terimakasih sudah membeli di toko kami. Jangan lupa kembali lagi. Hati-hati dijalan." Baekhyun mengiringi dokter Boram hingga keluar.
"Apa yang kau bawa?"
"Apalagi selain sup daging kesukaan mu. Mengapa toko mu buka siang begini? Kau membuatku bolak-balik tau!" Baekhyun manyun sambil menyerahkan bungkusan sup daging.
"Aku hanya ingin istirahat satu hari, sebenarnya. Tapi pesanan dokter tadi aku lupa." Aku mengemasi barang-barang.
"Kalau begitu, biar aku yang menjaga Ha Joon siang ini. Sepertinya Noona akan banyak yang harus dibicarakan dengan ayahnya Ha Joon." Senyum jahil Baekhyun muncul.
"Aku tau, tadi aku ke rumah Noona mengantarkan sup daging juga karena haelmoni khawatir setelah dua kali ku bawa pulang lagi sup dagingnya." Jelasnya kemudian memutus tatapan bingungku.
Maka aku merasa terselamatkan karena kemunculan dan backup darinya tadi. Kami berpisah didepan toko dan aku memberinya ijin untuk menjaga Ha Joon siang ini.
"Ohh sayang, apa semua baik-baik saja? Dia bilang apa padamu?" NamJoon menyongsong dengan berondongan pertanyaan sesampai dirumah.
"Dia mencari oppa, hape oppa mati, dia menunggumu, kalian akan menikah. Jadi ini alasan oppa menyuruhku menjauhinya?" Ku lewati begitu saja NamJoon yang berdiri terdiam.
"Siapa yang akan menikah dengannya? Dia hanya menyelamatkan ku dulu. Ku berikan apartemen, kami berteman dan dia sering ke apartemen ku. Hanya itu saja." Jawabnya polos membuatku ingin mengorek lebih dalam.
"Kalian berdua melakukan apa ketika bersama di apartemen? Sama seperti yang kita berdua lakukan dari semalam juga?" Tanyaku kesal.
"Sekalipun aku ingin dan karena aku selalu mengingat mu, bukan berarti aku sembarangan melakukan hal intim itu padanya. Bahkan menciumnya saja tak berani kulakukan. Aku takut kejadian pada kita terulang lagi." NamJoon menatapku yang berkacak pinggang panas.
"Aku tau jika dia suka padaku. Dia fans kami dan aku adalah idolanya. Tidak! Aku tak ingin punya hubungan apapun selain hubungan kita berdua. Kalian berdua sudah cukup untukku." NamJoon hanya mengaduk sup daging dihadapannya yang ku sajikan.
"Mengapa oppa tak menghindar?"
"Aku berhutang padanya. Dia pernah menyelamatkan ku ketika aku mabuk di bar karena perceraian kita. Salahku tak menentukan sikap lebih tegas sejak pertama kali." Helaan nafasnya muncul menganggu ku.
"Ku tanya mengapa oppa tak menghindar!" Jawabannya tadi tak cukup buatku.
"Boram membawaku ke apartemennya malam itu. Aku bangun pagi harinya diatas ranjang dengan kepala pening. Sayang, aku tak tau apa yang terjadi malam itu."
Aku berdiri meninggalkannya diruang makan. Dadaku bergemuruh panas dan hendak meledak. Apa-apaan semua ini? Setelah aku mau kembali padanya lagi, dia menyodorkan masalah pelik ini padaku? Maksudnya apa?
"Sayang, tolong mengertilah."
"Aku sangat mengerti oppa. Aku mengerti jika aku menjadi orang ketiga diantara kalian. Aku pelakor!" Teriakku geram.
"Siapa yang bilang begitu?" NamJoon menatap wajah ku lelah.
"Aku." Jawabanku membuatnya tertunduk jengah. "Jadi, semalam untuk apa? Setelah kita...ahhh, kenapa aku sebodoh ini?" Keluhku.
"Apa maksudmu? Semalam adalah rekonsiliasi kita sebagai pasangan lagi. Jangan lupakan Ha Joon, Eden-aa."
"Dia akan baik-baik saja. Jangan lupa 5 tahun ini dia sangat baik-baik saja, TANPA MU!"
Perdebatan kami berakhir setelah aku menegaskan dua kata terakhir. Ku lukai harga dirinya, aku melukai hatinya dan aku juga yang menyesal. NamJoon duduk diam ditempatnya tak berkata apapun. Dia mengatakan rahangnya sambil menatap jari-jarinya menyembunyikan kesal.
Aku terlalu keras menyudutkan dia. Ku dekati dia lalu aku memeluknya. Ku bisikkan kata maaf yang dia benci itu. Harus ku ungkapkan penyesalanku lagi. NamJoon butuh beberapa detik untuk membalas pelukanku.
"Maaf, aku menyakitimu lagi dengan cara yang lain."
"Bukan, aku malah yang menempatkan oppa dalam masalah baru. Jika kita tak bertemu, ini tak akan terjadi. Jadi lebih baik jika kita tak usah bertemu lagi."
NamJoon mengurai pelukan kami. Manik mata monolitnya menusuk mencari tau kesungguhan ku.
"Jangan rusak hidup oppa yang sudah tertata lagi hanya karena kami. Kami sudah bahagia dengan hidup kami. Oppa juga berhak untuk bergerak maju."
"Jika itu mau mu, oke. Aku tak akan mendebat, untuk yang terakhir kalinya...."
NamJoon menyesap bibirku kasar. Dia terburu-buru mengikuti keinginanku untuk mengakhiri pertemuan kami. Kakinya melangkah maju membuat kakiku mundur. Dengan sabar dan hati-hati dia menjagaku yang berjalan mundur hingga kamar tidurku. Kakinya menutup pintu dengan sekali tendang.
NamJoon tak ingin pelan-pelan, tangannya mengoyak bajuku hingga robek. Hanya sekali tarik, celanaku terlepas dari bagian bawah tubuh. Tubuhnya yang kekar berada di atas badanku sedang sibuk menikmati gundukan dada yang dia selalu kagumi.
Kali ini dia tak ingin melewatkan waktu lebih lama dengan berkasih sayang. Jarinya masuk dalam area intimku tanpa basa-basi seperti semalam. Gerakan keluar masuk dan mengaduk berkali-kali dilakukannya yang membuatku kewalahan antara nikmat dan sakit yang bersamaan.
Aku berteriak sambil tercekat menumpahkan hangat yang membuatnya menyudahi permainan jarinya. Dia berlutut di atas tubuhku sambil melepaskan kaos kemudian hanya menurunkan celana hingga sebatas lutut. Tangannya merentangkan lagi kakiku sambil mengisi kedua kaki diantaranya.
"Akh!" Kami berdua berbarengan mengalirkan suara.
Hanya sepersekian detik dia melihatku, kemudian pinggulnya bergerak berirama. Tangannya mencengkeram bilah tempat tidur yang memberikan tambahan daya ketika dia mendorong propertinya memasuki ku.
NamJoon menikmati desahan yang keluar dari mulutku. Bukan hanya desah tapi juga teriak tercekat karena perbuatannya membuatku tak berdaya. Orgasme kedua melelelahanku, tapi tidak dengannya. Saatnya belum muncul untuknya.
NamJoon mengungsikan tubuhku kesamping dia memberiku ruang sejenak untuk bernafas. NamJoon sengaja menempatkan tubuhnya dibelakangku, masih mencari kepuasannya, dia kembali memasukkan propertinya ke kedalaman lipatan pahaku.
"Oppa, aku sudah lelah." Keluhku meremas tangannya juga kain penutup kasur.
"Aku tak akan membuat pertemuan kita berlalu dengan sia-sia begitu saja." Ucapnya datar masih mencari puas.