Minggu ini sudah memasuki awal musim panas, ini juga hari pertamanya mengajar sebagai guru Biologi di SMA Siloam—sekolah elite di tengah kota Seoul, tempat anak-anak chaebol bersekolah.
Mulai dari desain bangunan, laboratorium, perpustakaan, hingga sistem yang diterapkan selalu digadang-gadangkan paling unggul dan modern diantara sekolah swasta pada umumnya.
Kebebasan berekspresi di sekolah itu juga merupakan suatu daya tarik, bahasa utama sehari-hari bersekolah adalah Bahasa Inggris, para murid diperbolehkan mewarnai rambut dan mengikuti tren yang sedang berlangsung, serta memakai seragam
Sekolah hanya pada hari-hari tertentu.
Ekstrakulikuler di SMA Siloam juga tak main-main. Sekolah ini bahkan memiliki club basket terkenal dengan lapangan yang di desain khusus, sama halnya dengan olahraga golf dan baseball. Mereka menyediakan wadah yang sangat layak untuk setiap minat agar setiap murid dapat bebas berekspresi. Bahkan salah satu siaran terkenal remaja yang baru-baru ini trending topik di seluruh kota Seoul berasal dari SMA Siloam, sebuah podcast berjudul Bloom yang merupakan program resmi milik seorang murid dari sekolah itu.
Bukan hal aneh lagi jika sekolah itu dijuluki The Heaven School.
Sejak ia menapakkan kaki disana, ia sudah dibuat sangat kagum. Hampir tak percaya kalau ini keyataan. Rasa penasarannya selama ini setiap kali melewati sekolah itu seperti terbayarkan, mulai dari hal paling sepele tentang bagaimana kelihatannya kehidupan anak-anak orang kaya di sekolah elit itu. Sampai ke pembahasan tentang bagaimana tingkat kesulitannya jika berhasil menjadi guru di sekolah terkenal seperti ini? Sejauh ini semuanya terlihat baik, namun sehari berada di sekolah itu tentu saja belum cukup untuk menilai semuanya.
Langkahnya perlahan berhenti di depan sebuah pintu kaca. Gugup, bukan tanpa alasan. Ia masih ingin memastikan keberaniannya agar terasa cukup dan bisa segera masuk ke ruangan itu. Apa sekolah ini cukup baik untuk karir pertamanya? Entahlah. Apa memang begini rasanya? Melihat sekolah itu yang begitu istimewa membuatnya cemas tak beralasan. Mungkin ia harus lebih membiasakan diri dengan segala kemewahan ini mulai sekarang. Meski berdebar namun ia tetap harus percaya diri. Kalau bukan karena ia sedang beruntung diterima sebagai pengajar di SMA Siloam, lalu karena apa lagi? Kesempatan ini tak akan ada dua kali jika ia menolaknya sejak awal. Ia hanyalah seorang gadis yang melamar pekerjaan pertamanya pada usia 21 tahun.
CHAPTER 1 : SEKOLAH ELIT
Ia perlahan memasuki kelas 3-2, dimana saat yang bersamaan berpasang mata mulai menyaksikan gerak-geriknya penuh penasaran.
Siapa dia?
Eh, apa dia orangnya?
Bukannya dia terlalu muda ya?
Suara-suara penasaran itu jelas sekali terdengar. Kira-kira begitulah isi tatapan siswa-siswi di dalam kelas saat ia masuk.
"Selamat pagi semuanya, perkenalkan saya Han Sunhee. Guru Biologi baru kelas 3."
Suasana kelas yang semula hening itu berubah gaduh, topik hangat yang beredar dikalangan siswa akhir-akhir ini ternyata benar. Ada guru Biologi baru yang akan mengajar di sekolah mereka, tapi tak ada yang menyangka kalau ia secantik ini.
"Saya mohon bantuannya.." Ucap Sunhee canggung.
Semua siswa di kelas itu kembali tenang. Mulai beradaptasi dengan pemandangan baru itu, meskipun seluruh tatapan masih mengarah padanya. Namun pintu masuk kedua dari barisan belakang tiba-tiba saja berderik. Seorang murid cowok berjalan masuk ke ruangan itu saat sudah terlambat 30 menit, ia tampak santai seperti tak ada kejadian. Sejak awal anak itu melangkah masuk, tubuh tinggi dan tegap dengan bahu lebar itu tampak seperti bukan pemandangan yang asing. Hati dan pikirannya berusaha keras untuk menyusun potongan-potongan memori dikepalanya, mencoba mengingat sebuah adegan Dejavu dikepalanya.
Wajah itu...
Tanpa sengaja pandangan mereka bertemu. Tatapan tajam yang sama! Rambut hitam pekat dengan paparan cahaya yang membuatnya terlihat sedikit cokelat lurus terurai begitu saja diatas keningnya, alis simetris dengan hidung mancung. Ekspresi yang sedingin es. Diantara semuanya yang paling familiar adalah bibir merah dengan sudut tipis yang melengkung sempurna itu. Bagaimana bisa seseorang yang memiliki proporsi tubuh bagus juga memiliki tampang seperti ini? Tidakkah itu namanya terlalu tamak?
Ingatannya mendadak kembali pada tragedi empat bulan lalu, saat hujan salju pertama kali turun dibulan Desember. Dekapan hangat dan aroma tubuh itu yang masih ia ingat dengan jelas.
Dia cowok yang malam itu.
Batinnya berontak, tak mau menerima kenyataan yang berlangsung di depan matanya. Sangat mengejutkan bahwa kenyataannya dia adalah seorang siswa di SMA ini. Murid seorang cewek bernama Han Sunhee.
Dia gak mengenalku kan?
Bagaimana bisa mereka bertemu lagi dengan cara seperti ini? Ini bukan pertemuan tak disengaja yang bisa Sunhee terima dengan lapang dada, ini juga bukan suatu kebetulan yang bagus baginya. Sial, jika anak itu membuka mulut sekali saja tentang kekacauannya malam itu, maka sebagai guru yang baru meniti karir disana tamatlah sudah. Tapi dia tak akan melakukannya kan? Untuk apa dia melakukan hal itu?
Sementara Lee Juyeon, cowok itu juga sempat terkejut. Wajah lugu dan polos ditengah ruangan itu juga masih ia ingat dengan jelas, ia tidak lupa apa lagi amnesia. Ia tertawa pelan menyeringai, merasa heran walau baginya takdir memang selalu saja berujung aneh. Meski begitu, pada akhirnya ia hanya bersikap seolah tak terjadi apa-apa seperti biasa. Ia segera duduk dibangku singgahsananya. Di pojok kanan paling belakang.
Namun bibirnya tanpa sadar telah mengulum senyum tanpa dimengerti, tidak mungkin ia tak bergumam memperdebatkan bagaimana bisa cewek itu bisa muncul di sekolahnya. Dan sebagai gurunya? Ia menggaru kepalanya yang sama sekali tak gatal. Haruskah ia berpura-pura tidak kenal? Haruslah. Mana mungkin seorang Lee Juyeon akan membiarkan dirinya peduli dengan hal-hal seperti itu.
Melihat reaksi aneh Juyeon yang sudah ia duga, Ji Changmin tersenyum menggeleng. Tentu saja karena ia tahu tentang malam tak terduga itu.
**
Mungkin ini hanya sebuah takdir walau kedengarannya aneh,
Kltakkk!!
Suara pool ball yang beradu keras itu terdengar nyaring. Mata Eric Sohn mulai memprediksi bola mana yang selanjutnya harus menjadi targetnya. Cowok yang lama tinggal di Los Angeles itu memang terkenal jago bermain billiard, bahkan ia digelari sebagai Eric si tangan keberuntungan. Tak ada alasan lain, selain karena ia selalu menang taruhan.
"Ini giliranku kan?" Tanya kim Younghoon.
Cowok jangkung itu merebut stik billiard dari tangan Eric. Badannya yang kurus dan tinggi mulai membungkuk dan membidik bola target.
Kltakkk!!
Kini terdengar sayup suara pintu yang juga berderik, "Yaa.. Kim Younghoon, Ji Changmin."
Cowok berambut perunggu bernama Kim Sunwoo masuk dan langsung menghempaskan dirinya ke sofa. Matanya masih lekat dengan sebilah ponsel, tersenyum begitu lebar.
"Apa guru baru itu masuk ke kelas kalian tadi?" Tanyanya tiba-tiba.
"Kau kenapa dah? Penasaran?" Respon Younghoon cepat.
"Yeee pake nanya lagi. Ya jelaslah, katanya dia cantik dan masih muda banget. Kok bisa kalian B aja?"
Changmin terkekeh, menampilkan sebuah garis lengkungan indah membentuk lesung pipinya, "Tanya tuh ke Juyeon." Tunjuk Changmin dengan dagunya. Sementara mata cowok itu kembali menatap lagi ke meja billiard.
"Ah serius, kau kenal bu guru itu? Jangan bilang kalau dia salah satu dari 'mereka'?" Desak Sunwoo pada Juyeon yang sejak awal memang terbaring di sisi sofa menutupi wajahnya.
Anak-anak lain yang tak mengerti apa-apa mulai bergidik, ikut memandangi Juyeon. Jika membahas tentang cewek, kebiasaan mereka adalah menjadikan Juyeon sebagai imbas rasa penasaran. Bukan karena Juyeon yang playboy, melainkan tiap-tiap cewek yang mereka jumpai pasti pernah terpikat dan ingin memacari Juyeon namun ditolak mentah-mentah. Jadi, jarang bila ada cewek yang tak Juyeon kenal, bahkan Juyeon juga sampai dikenal sebagai maskot SMA Siloam yang hidup tanpa ketertarikan pada perempuan. Betapa bodoh si pembuat gelar itu. Padahal aslinya cowok itu hanya bersikap bodo amat, berprinsip ingin bebas tanpa cewek dan melarikan diri dari gosip tak jelas yang akan jauh lebih memusingkan lagi.
Akhirnya Juyeon berdiri setelah merasa terusik oleh Sunwoo yang mengganggu tidur siangnya. Lalu ia tiba-tiba berjalan ke meja billiard dan merebut lagi dan lagi setangkai stik dari tangan Eric.
"Hei! Bukannya tadi kau gak mau main? Pake stik Changmin gih sana!" Eric jadi kesal.
Lalu cowok dengan tinggi 181cm itu langsung membungkuk, membidik setiap inci jarak bola ke bola. Matanya yang selalu memancarkan kekelaman menatap lurus ke ujung stik yang siap ia adu dengan bola putih itu,
"Gak kenal." Jawabnya,
Kltakkkk!!!
Walau aku sama sekali tak percaya takdir - Lee Juyeon
"Cuma pernah lihat aja."