[Name] PoV
.
.
.
Mendengar suara yang terasa tak asing itu secara tiba-tiba membuatku sedikit tersentak kaget dan tanpa sengaja melempar asal pulpen yang tadinya sedang ku pegang.
Saat aku berbalik ke belakang, terlihatlah Kiki yang berada tepat di belakangku lengkap dengan senyuman khas nya seolah tanpa merasa bersalah karena telah membuatku terkejut.
"Huft... Ternyata kamu. Ku kira siapa." kataku sambil mengambil pulpen yang tadi ku lemparkan.
"Aku bikin kamu kaget ya? Hehe, maaf ya. Sengaja." sahutnya dengan mata kucingnya.
Aku menatap sebal kearahnya sambil menggembungkan pipiku, "Nyebelin."
"Tapi bikin kangen juga kan?" tanyanya percaya diri dengan menaik-turunkan alisnya.
"Gak juga tuh." jawabku cuek.
"Yah, buat sekarang emang mungkin belum kangen karena kita masih sering ketemu... Tapi siapa tau kan pas liburan nanti ada yang kangen?" godanya sambil melihat kearahku seolah mengatakan secara tidak langsung kalau liburan nanti orang yang akan merindukannya adalah aku.
Aku menghela nafas, "Yaudah iyain aja deh. Btw, kamu ngapain disini?"
"Ohh itu, tadinya aku mau ngajak kamu ke kantin bareng. Tapi karena liat kamu yang lagi serius nulis, aku diem dulu sambil baca tulisan kamu." jawabnya dengan jelas.
Sontak aku langsung menutup buku harianku dan mendekapnya dengan erat, "Kok gak bilang?!"
"Kalau aku bilang pasti gak dibolehin." jawab Kiki dengan santai.
Itu... Tidak salah sih...
"Lagian kalau emang suka nulis kenapa malah ditutup-tutupin? Bukannya bagus ya kalau ada yang mau baca? Ntar orang yang baca itu bisa kasih saran atau pendapat ke kamu." ucap Kiki yang membuatku terdiam memikirkan ucapannya itu.
Ku akui, selama ini aku memang selalu menghindar kalau ada orang yang ingin membaca hasil tulisanku. Tapi itu karena aku malu, dan juga takut. Maksudku, bagaimana kalau di kritik pakai bahasa yang pedas? Atau mungkin dicaci maki? Memang, untuk kata-kata pedas sendiri, aku memang sudah terbiasa mendengarnya dari kedua orang itu. Tapi entah mengapa hal itu masih belum cukup untuk membuat hatiku menjadi sekeras baja.
Selama ini aku selalu berpura-pura. Saat sedang kesal, aku berpura-pura santai seolah tak tersinggung sama sekali. Saat terluka, aku langsung bersikap sarkas dengan raut datarku seolah hal semacam itu tak cukup untuk melukaiku. Saat sedang sedih, aku pun menutupinya dengan raut datar andalanku setidaknya sampai aku ditinggal sendirian.
Sungguh, sebenarnya aku lelah jika terus berpura-pura seperti itu. Tapi, apa gunanya aku menunjukkan perasaanku yang sebenarnya? Kalau mereka tahu kelemahanku, lalu apa? Toh, pada akhirnya mereka hanya akan mengejekku dan membuatku semakin terluka kan?
Aduh, kenapa pembicaraannya malah jadi melenceng jauh seperti ini? Sudahlah, biarkan saja.
"[Name]? Kok malah ngelamun?" tanya Kiki yang membuatku tersadar dari lamunanku.
"Gak, gapapa. Uhm... Itu, kamu udah baca kan? Jadi, menurutmu gimana ceritanya?" jawabku sekalian bertanya balik.
"... Aku baru baca sedikit sih, jadi belum bisa kasih tau gimana pendapatku." jawab Kiki.
"[Name], boleh pinjem bukunya sebentar? Aku mau baca dari awal." pinta Kiki.
Aku tidak langsung menjawab karena memikirkan permintaan dari Kiki yang ingin membaca ceritaku dari awal. Sebenarnya aku ragu, tapi Kiki tidak akan memberikan komentar yang menyakitkan kan? Walaupun memang ada kritik, dia akan mengatakannya dengan halus kan? Baiklah, ku rasa aku akan percaya padanya.
Aku pun menyodorkan buku harianku yang bersampul [fav color] padanya. Kiki menerimanya dan menggumamkan kata terima kasih padaku.
Setelah menerima bukunya, Kiki duduk di bangku kosong yang berada tepat di sampingku lalu membaca tulisanku dengan serius.
Setelah menunggu beberapa menit kemudian, akhirnya Kiki yang sepertinya sudah selesai membaca bukunya pun memberikan buku harian itu kembali padaku.
"Gimana?" tanyaku ulang meminta pendapatnya.
"Menurutku bagus kok ceritanya, aku suka. Tapi gantung sih..." jawabnya.
Aku tidak bisa menahan senyumanku saat mendengar komentar positif yang dilontarkannya tersebut.
"Makasih. Tapi itu gantung karena aku baru selesai nulisnya sampai situ sih..." kataku diiringi dengan kekehan kecil.
"Oalah belum beres toh, pantesan gantung." tanggapnya.
Aku hanya menanggapi ucapannya dengan kembali tertawa kecil.
Kiki terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi baru saja saat ia baru akan mengatakannya, terdengar suara seruan seseorang yang memanggil kami dari pintu kelas.
"[Name]! Kiki! Ayo cepetan! Amu, Sho, sama Toro udah nunggu di kantin!!" seru Upi.
"Iya ini kita mau nyusul!!" balas teriak Kiki.
Upi yang mendengar seruan Kiki langsung memasang gerakan hormat lalu berlari meninggalkan kami menuju kantin.
"Yuk [Name] kita nyusul!"
Tanpa ku duga, dengan gerakan cepat Kiki mengambil buku harianku yang tergeletak di meja dan lari dengan kecepatan penuh.
Aku yang melihat hal itu refleks berteriak,
"KIKI! ITU BUKU HARIANKU MAU DIBAWA KEMANA?!" teriakku yang panik karena Kiki sudah berada jauh di depanku.
Dalam hati aku merasa cemas; bagaimana kalau buku itu malah ia perlihatkan ke teman-teman yang lain? Ugh, ayolah... Itu memalukan! Kiki memang sudah bilang kalau ceritanya bagus, tapi pandangan setiap orang berbeda-beda kan? Bagaimana kalau tulisanku malah menjadi aneh saat mereka membacanya?
"PINJEM BENTAR! MAU KU KASIH LIAT KE YANG LAIN!" balasnya dengan balas berteriak dari kejauhan sana.
Astaga, tuh kan...! Lagipula kenapa firasatku yang satu itu malah benar sih?
Aku mempercepat lariku dengan kecepatan semaksimal mungkin yang ku bisa. Tapi itu percuma karena Kiki sudah jauh dariku, jadi Kiki pasti sudah sampai duluan dan menunjukkan buku harianku pada mereka.
Sesampainya di depan pintu kantin, aku menghentikan langkahku dan meraup oksigen dengan rakus dengan nafas yang masih memburu.
"[Name]! Disini!!"
Oh, suaranya Amu. Tapi dimana?
Aku mengedarkan pandanganku ke dalam kantin itu mencari sosok gadis berkerudung putih serta berjaket merah yang tadi memanggil namaku.
Tak lama kemudian, aku yang sudah berhasil menemukan Amu dan yang lainnya pun langsung menghampiri mereka dengan setengah berlari.
Sesampainya di tempat mereka, aku kembali ngos-ngosan dengan memegangi kedua lututku yang sudah terasa sangat pegal hingga rasanya sudah tidak mampu ku gerakkan lagi.
Jadi kurang lebih seperti ini ya rasanya jadi nenek-nenek.
"[Name], mau pesen apa? Biar aku pesenin." tanya Toro.
"Hosh... Hosh... Air putih yang dingin aja." tanyaku.
"Oke, aku pesenin yang biasa." kata Toro lalu melenggang pergi.
"Eh? Tapi kan--"
Ucapanku terhenti begitu melihat Toro yang menghentikan langkahnya dan berbalik kearahku.
"Kalau lagi kecapean, jangan minum air dingin dulu. Gak bagus buat kesehatan." ucapnya.
"Oh... Yaudah deh, yang biasa aja."
Toro mengacungkan jempolnya padaku lalu kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.
Beberapa saat Toro kembali dengan sebotol air mineral di tangannya dan menyerahkan botol itu padaku saat dia sudah berada tepat di hadapanku.
"Nih. Uangnya gak usah ganti, sekali-kali biar aku yang traktir kamu." ucap Toro yang memberikan air itu padaku.
Aku menerimanya dan tersenyum, "Makasih."
"Oh iya [Name], aku udah baca cerita kamu loh." lapor Amu yang membuatku langsung menoleh kearahnya.
"Eh? Udah? Gimana?" tanyaku sedikit tidak sabaran.
"Bagus kok, aku suka." jawab Amu dengan mengacungkan jempolnya kearahku.
"Iya aku juga suka. Tapi itu masih belum beres kah? Soalnya gantung gitu." tanya Upi.
"Iya belum beres. Soalnya tanganku udah keburu pegel." jawabku jujur.
"[Name],"
Mendengar suara panggilan dari teman masa kecilku itu, aku pun menoleh kearahnya.
"Ini kalau kamu setuju aja sih... Tapi gimana kalau ceritamu itu dipakai buat klub drama tampil di acara festival nanti?" tanya Sho.
Entah mengapa otakku malah jadi terasa loading seketika.
"Eh? Tapi kan belum selesai?" kataku setengah ragu.
"Ya gapapa, masih ada waktu kok buat selesainnya." kata Sho.
"Oh iya! [Name], gimana kalau kamu sekalian gabung ke klub drama aja?" usul Upi.
"Nah, ide bagus tuh! Kan kamu juga suka nulis, jadi kenapa gak sekalian gabung klub drama aja? Tulisannya kan bisa dipakai kalau ada event kayak festival sekolah nanti." sahut Amu.
Terdengar suara Sho yang menghela nafasnya,
"Padahal baru aja mau ku omongin..." ucapnya dengan nada kecewa.
"Kalau itu... Bukannya gak mau sih, tapi kan... Anak-anak klub drama udah pada tau soal itu..." kataku yang sengaja memelankan suaraku di kalimat terakhir.
"Kalau soal itu kamu tenang aja, aku yang bakal lakuin sesuatu biar kamu bisa diterima sama mereka." kata Sho dengan santainya seperti biasa.
"Emang kamu bakal lakuin apa?" tanyaku antara bingung dan penasaran.
"Gak tau juga sih, tapi mereka pasti bakal bantu." jawab Sho.
"Nah, bener kata Sho. Kita juga bakal bantu supaya kamu bisa diterima di klub drama." ucap Amu.
Sedangkan yang lainnya(Upi, Toro, dan Kiki) hanya menunjukkan senyumannya padaku seolah memberi isyarat bahwa yang dikatakan oleh Amu memang benar.
Melihat mereka yang tersenyum membuatku ikut tersenyum dengan sendirinya. Aku benar-benar merasa beruntung karena telah memutuskan untuk mempercayai mereka untuk menjadi sahabatku.