Dark Chocolate

By luminouslia

156 23 6

Cinta yang indah hadir pada orang yang tepat. Cinta yang manis hadir pada waktu yang tepat. Setiap cinta memi... More

Evander - Fire Work
Evander - Clumsy
Kaluna - How to React?
Evander - Warm Up
Kaluna - Get Closer
Evander - The Meeting

Kaluna - Like a Prince

16 4 2
By luminouslia

Hidup tidak melulu tentang uang, tetapi hidup membutuhkan uang. Pepatah itu sangat menggambarkan kehidupanku saat ini. Setiap anak pasti akan memilih untuk hidup di keluarga yang berlebih. Sayangnya mau hidup di keluarga mana kita tidak bisa memilih.

Aku tidak pernah mengeluh hidup sebagai anak dari kedua orang tuaku. Tumbuh di keluarga ini sudah sangat membuatku bahagia. Keluarga yang hangat selalu diciptakan kedua orang tuaku, semua kebutuhan aku dan adikku pun selalu dipenuhi selagi mereka mampu. Papa yang bekerja sebagai pegawai kantoran biasa dengan Mama yang hanyalah seorang ibu rumah tangga, membuat keluarga ini hidup dalam segala kecukupannya. Setidaknya aku bersyukur tidak hidup dalam kekurangan.

Satu hal yang sedikit aku sesali tumbuh dalam keluarga ini. Aku tidak bisa dengan bebas memilih sekolah yang kuinginkan. Biaya yang mahal, ya itulah kendala terbesar yang aku sesali. Aku harus berjuang keras agar aku bisa masuk sekolah impianku. Merelakan sebagian besar masa remajaku agar bisa masuk SMA terfavorit di kota ini, tentu saja dengan jalur beasiswa yang akhirnya bisa kudapatkan.

Melihat namaku tertulis di papan pengumuman rasanya lega karena perjuanganku terbayar. Apakah dengan ini perjuanganku akan berakhir? Tentu saja tidak, ada langkah-langkah besar lainnya yang harus aku lalui sebelum aku bisa berdiri di kakiku sendiri dan membanggakan orang tuaku.

"Kakak, kenapa belum turun juga," kudengar Mama memanggilku.

"Tunggu Ma, ini masih nguncir rambut aku. Mana banyak banget," keluhku dan tetap sibuk memisah rambutku menjadi bagian yang lebih kecil.

"Sini Mama bantu biar lebih cepet."

Mama sigap mengambil sisir dari tanganku. Secepat mungkin ia memasangkan mengikat rambutku dengan tali rafiah hijau. Ugh ... Aku benci hijau. Siapa pula yang menciptakan tradisi aneh ini. Dan kenapa pula harus dengan tali rafiah, ada berbagai macam pita warna di toko, kenapa tidak memakai itu saja.

"Berapa jumlahnya?" tanya Mama memastikan agar ia tidak salah menguncir.

"Delapan Ma. Itu kayaknya udah delapan deh," jawabku sambil menghitung jumlah kunciran yang sudah menempel di kepala.

"Udah nggak ada yang kurang kan?"

"Harusnya sih udah enggak Ma, ini udah Luna cek berkali-kali juga."

Aku melihat isi tas karung goniku sekali lagi memastikan barang-barang yang harus kubawa selama masa orientasi. Aku keluar bersama Mama setelah yakin semua sudah siap.

Andra tersedak tempe goreng yang sedang ia kunyah. Buru-buru menegak segelas air putih menghilangkan rasa perih ditenggorakkan. Tawanya pecah usai menghabiskan setengah gelas air.

"Nggak usah segitunya kalo ngeledek," gerutuku geram.

"Itu rambut lo apain Kak, lo mau sekolah apa cosplay orang gila?" ledek Andra makin menjadi.

"Bisa diem nggak."

Aku melemparkan sepotong kerupuk tepat mengenai badan Andra.

"Luna jangan lempar-lempar makanan. Dan kamu Andra berhenti ngeledekin kakak kamu, dua tahun lagi juga kamu yang kayak gitu."

"Tapi kan nggak pake dikuncir-kuncir kayak orang gila kayak gitu Pa," belanya.

"Ya emang nggak kayak orang gila, tapi kayak orang bloon pake bola di kepala," imbuhku.

"Masih mending daripada kayak orang gila."

"Andra sudah, lanjutkan sarapannya."

Aku menjulurkan lidahnya senang mendapat pembelaan dari Papa. Awas saja dua tahun lagi aku pasti akan menertawakan penampilan anehnya.

Masa orientasi sekolah, salah satu kegiatan wajib yang selalu ada dan terkenal dengan keunikan yang membuat pusing setiap siswa. Bayangkan saja ada saja hal-hal aneh yang perlu dilakukan seperti penampilanku saat ini. Rambut dikuncir sebanyak delapan dengan tali rafiah berwarna hijau lengkap dengan tas yang terbuat dari karung goni, tidak lupa kaos kaki sebelah kanan merah sebelah kiri kuning. Unik sekali bukan, itu yang sedang kutanamkan dalam otakku saat ini dari pada cosplay jadi orang gila seperti yang dikatakan Andra. Ah ... tidak lupa bekal yang harus dibawa pakai kertas minyak.

***

Selama satu minggu kegiatan masa orientasi ini akan berlangsung. Tadi pagi kepala sekolah resmi membuka acara serta memberikan sedikit, itu kata beliau, wejangan-wejangan yang harus kami dengarkan hampir setengah jam penuh. Untung saja matahari pagi sangat bermanfaat bagi tubuh kalau tidak kami semua sudah jadi daging panggang karena berjemur terlalu lama di lapangan. Beliau mengingatkan agar kami tidak disiksa dalam orientasi ini, namun nyatanya beliau sendiri sudah menyiksa kami berdiri ditengah teriknya matahari pagi.

Semua kegiatan harus dilakukan berkelompok, bahkan makan siang pun kami harus duduk melingkar. Makanan sejuta umat menjadi menu makan siang hari ini. Kalian yang sering makan ini pasti tahu bagaimana bentuknya mie goreng yang dimasak dari pagi tetapi baru dimakan siangnya, sangat nikmat bukan.

Rambut awut-awutan, beberapa rambut sudah keluar dari tempatnya. Baju yang tidak serapi waktu datang ditambah keringat-keringat yang menempel membuat penampilan ini lengkap sudah dengan duduk dilantai sambil makan mie goreng kering dibungkus kertas minyak. Dan cosplay jadi orang gila atau gembel complete.

Sabar Luna hanya seminggu saja kok dan tidak sendiri pula.

"Kamu, ngapain kok nggak dimakan?" bentak salah seorang kakak kelas pada anak perempuan di depanku.

"Anu kak ...," jawabnya menggantung.

"Jawab yang bener dong."

"Anu kak, kata Mama aku nggak boleh makan mie instan," ucapnya polos.

"Kenapa nggak boleh?"

"Karena katanya bisa menyebabkan kanker kak, makanya nggak boleh."

"Sekali-kali makan nggak akan bikin kita kenapa-kenapa kok. Makan aja yang lain juga makan," perintahnya.

"Tapi, kalau aku sakit nanti gimana? Mama udah mewanti-wanti nggak boleh aku makan mienya," kekeh gadis itu.

"Denger ya Tuan Putri Aurora ...."

"Rara kak," potong gadis itu.

Kakak kelas itu terlihat sedikit putus asa.

"Oke Rara. Di sini semua harus merasakan apa yang dirasakan temannya. Jika satu makan mie instan berarti yang lain juga harus makan mie instan. Kalau kamu nggak mau makan, berarti yang lain juga nggak boleh makan. Gimana?"

"Terus yang lain makan apa kak? Emang yang lain bawa bekal lagi?" tanyanya lagi.

Aku sedikit heran, apa dia berpura-pura polos apa memang tidak mengerti apa maksud dari perkataan kakak itu.

"Ya nggak makan siang semua. Mau kamu semua anak nggak makan siang hanya karena kamu yang nggak boleh Mamamu untuk makan mie itu?"

Dan akhirnya ia mengerti, "Baik kak aku akan makan."

Aurora itu nama yang tertulis di karton tanda pengenalnya, mulai makan sedikit mienya. Semua orang disini menghentikan kegiatan makan mereka sejak sang kakak kelas menegurnya. Kini setiap pasang mata memperhatikan ekspresi Rara ketika mengunyah makanannya.

"Gimana tuan putri enak?"

"Iya enak juga ternyata mie instan," jawabnya penuh keyakinan.

Beberapa orang melongo bahkan tidak sedikit yang tertawa atas jawaban Rara. Jadi dia benar-benar belum pernah makan mie instan, padahal mie instan adalah makanan penyelamat bagi orang-orang. Ah ... benar mungkin saja kami hidup di dunia yang berbeda.

Ada yang terlahir dengan sendok emas, ada yang terlahir dengan sendok perak sepertiku, bahkan ada yang terlahir dengan sendok besi. Sekali lagi kehidupan yang tidak dapat dipilih oleh seorang anak, tidak olehku, Aurora, atau bahkan anak lain pun di dunia ini.

***

Berakhir masa orientasi menandai berakhirnya masa 'keseruan'. Hari terakhir masa orientasi dimanfaatkan sebagai ajang promosi bagi klub ekstrakulikuler kepada siswa baru. Sejak pagi berbagai macam pertunjukkan telah ditampilkan oleh masing-masing perwakilan. Beberapa ada yang membuatku tertarik untuk bergabung. Aku masih harus mempertimbangkan waktu yang harus kubagi jika ingin mengikuti salah satu dari mereka.

Puas melihat pertunjukkan, aku pergi mencari tempat yang sejak datang ke sekolah ini ingin aku kunjungi. Perpustakaan. Lagi-lagi dikarenakan keterbatasan biaya aku harus pintar-pintar memanfaatkan kesempatan. Perpustakaan menjadi penyelamatku saat aku untuk menambah sebanyak apapun ilmu tanpa mengeluarkan biaya. Saat orientasi pengenalan lingkungan sekolah, perpustakaan ini menjadi salah satu yang diperkenalkan kepada murid baru, namun sayang saat itu kita tidak diperkenankan untuk masuk.

"Selamat siang bu, apa saya boleh masuk?" tanyaku ramah pada penjaga perpustakaan, sepertinya.

"Boleh-boleh, kamu anak baru?"

"Iya bu," jawabku sopan.

"Masuk saja, tetapi jangan ribut ya."

"Terima kasih."

Besar. Satu kata yang bisa aku gunakan untuk menggambarkannya. Perpustakaan ini lebih besar daripada perpustakaan di sekolahku yang dulu. Berderet-deret rak buku mengisi hampir seluruh ruangan besar ini. Tidak hanya itu, ada beberapa meja kursi yang dapat digunakan untuk membaca, disudut ruangan ada beberapa meja baca yang bisa membuat siswa fokus karena ada pembatas di setiap mejanya.

Aku berkeliling, melihat koleksi yang ada. Buku pelajaran tentu saja ada, ada buku-buku pengetahuan umum, ada kumpulan novel juga, bahkan ada beberapa buku kerajinan tangan yang juga cukup banyak. Sepertinya aku akan betah berada di sini. Aku berbelok penasaran dengan apa yang ada dibalik rak besar berisi novel ini. Bagaikan ruangan tersembunyi, ruang baca ini dikelilingi rak buku hingga membuatnya seperti sebuah ruangan dengan jendela disatu sisinya.

Di sanalah aku melihat seorang pangeran, duduk dekat jendela. Salah satu kakinya ia naikkan ke atas meja, membelakangi jendela membuat sinar matahari terhalang membentuk siluet tubuhnya. Sebuah buku terbuka di tangan kanan, sedang tangan kirinya menopang dagu. Dahinya sedikit berkerut, apa yang ia baca hingga ia menampilkan ekspresi seperti itu.

Apa yang aku pikirkan, tidak mungkin ada seorang pangeran di negara republik ini. Aku menggelengkan kepala menghalau khayalanku yang sedikit terpengaruh oleh manhwa yang sering kubaca. Berpura-pura tidak melihatnya, aku berjalan melihat apa yang ada di rak bagian dalam. Ternyata ada berbagai macam komik juga disini. Menarik juga perpustakaan yang menyediakan komik sebagai bahan bacaan siswanya.

Rasa penasaranku lebih besar dari rasa maluku. Aku ingin melihatnya sekali lagi, memastikan bahwa aku sedang tidak berhalusinasi. Bisa jadi yang aku lihat tadi hanyalah imajinasiku yang kadang tidak tahu tempat muncul begitu saja. Aku berusaha melirik tanpa menarik perhatiannya. Dia benar-benar nyata, dan kenapa dia melihatku seperti itu.

Continue Reading

You'll Also Like

641K 28.2K 43
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
1M 99.2K 53
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
6.7M 342K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
2.9M 305K 50
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...