••••
Setelah selesai bermain di pantai, Gus Hafizh dan Khadijah bergegas pulang saat mendengar suara adzan ashar telah berkumandang.
Saat di perjalanan pulang, mereka juga tidak lupa untuk mampir ke sebuah masjid dan melaksanakan shalat ashar.
"Khadijah," panggil Gus Hafizh.
"Saya, Gus."
Gus Hafizh diam tak bersuara.
"Ada apa, Gus?" Tanya Khadijah, penasaran.
"Kenapa kamu melarang pelayan tadi untuk manggil saya dengan kata 'mas'?" tanya Gus Hafizh.
Khadijah berdeham untuk menetralisirkan suaranya. "Tadi enak ya gus masakannya?" Tanya Khadijah untuk mengalihkan topik pembicaraan.
"Jangan mengalihkan pembicaraan. Jawab aja apa susahnya?"
"Gus kepo ya?" Dengan polosnya, Gus Hafizh mengangguk kecil.
"Dia manggil Gus dengan embel-embel 'mas' itu seperti suami istri. Saya aja yang istri Gus belum pernah manggil mas," jelas Khadijah.
"Kamu cemburu?"
Khadijah menganggukkan kepalanya, "Sedikit."
"Nggak banyak?"
"Gus, Khadijah gantian mau nanya. Gus cinta nggak sama Khadijah?" Tanya Khadijah.
Gus Hafizh menggelengkan kepalanya. "Saya lagi belajar untuk mencintai kamu, Jah."
"Kamu cantik. Kecantikanmu membuat saya merasakan sesuatu, tapi saya belum tau itu apa. Saya hanya mau ketika saya mencintaimu, cinta itu adalah cinta karena Allah," tutur Gus Hafizh.
Khadijah mengangguk paham. Ia tidak akan memaksa suaminya itu. Khadijah juga tidak mau ada pemaksaan didalam hubungan rumah tangga yang tengah mereka bina bersama.
"Kamu gapapa kan, Jah?"
"Gapapa, Gus. Saya juga akan belajar lebih untuk mencintai Gus." Khadijah mengembangkan senyum manisnya pada Gus Hafizh.
Keduanya saling diam satu sama lain. Gus Hafizh yang tidak tau mau membahas apa lagi itu hanya berfokus untuk menyetir mobil.
Sedangkan, disatu sisi lain, Khadijah sudah tidak kuasa menahan kantuknya. Sebenarnya sejak shalat tadi, ia sudah berulang kali menguap.
"Kalo kamu, apa kamu cinta sama saya, Jah?" Tanya Gus Hafizh tanpa melihat ke arah Khadijah.
"Khadi—" Gus Hafizh menatap tak percaya ke arah Khadijah.
Persekian detik setelahnya Gus Hafizh langsung tersenyum simpul ketika ia melihat wajah Khadijah yang cantik saat sedang tidur.
Lalu Gus Hafizh menghentikan mobilnya sejenak dan menurunkan sandaran kursi mobil yang duduki oleh Khadijah dengan perlahan.
"Tidur aja cantik," gumamnya.
"Menikahi yang dicintai itu harapan, tapi mencintai yang telah dinikahi itu kewajiban. Bantu saya ya, Jah, bantu untuk mencintai kamu sampai saya bisa berkata 'ana uhibbuki fillah'," ucap Gus Hafizh.
••••
Pukul enam kurang mereka sudah tiba dirumah. Gus Hafizh membangunkan Khadijah dari tidurnya dan segera turun dari dalam mobil.
"Jah kamu mandi dikamar, biar saya yang mandi dibawah. Udah hampir jam enam, takutnya kalo saya nunggu kamu kita telat maghrib," ujar Gus Hafizh.
"Gus sholat di masjid? Biar Khadijah siapin bajunya dulu ya."
Gus Hafizh menggeleng kuat. "Hanya kamu yang menjadi makmum saya saat maghrib nanti," ucapnya.
"Kamu mau?" Tanya Gus Hafizh.
"Kenapa nggak? Bahkan Khadijah senang kalo di imamin sama Gus."
"Kenapa kamu tidak pernah bilang? Kalo kamu bilang saya bakalan lebih sering shalat dirumah sama kamu."
"Tapikan kita nggak boleh melarang seseorang yang hendak ke masjid," jawab Khadijah.
"Memang benar, tetapi menyenangkan hati kamu itu juga kewajiban saya, Jah. Boleh kan saya menyenangkan hati dan perasaan kamu?"
"Jangan izin lagi, Gus, kita udah sah, udah halal untuk melakukan apa aja."
"Berarti boleh dong kalo saya hm.. itu.. anu-—
"Apa, Gus?" potong Khadijah.
"Meminta hak suami kepada istri," bisik gus Hafizh di telinga Khadijah.
"Gus, ayo mandi, udah mau Maghrib," ajak Khadijah.
"Mandi bareng?"
"Ngg-nggak, Gus. Sa-saya mandi dikamar," jawab Khadijah dengan gugup.
"Kok gugup? Takut?" Khadijah menggelengkan kepalanya.
"Terus? Malu?" Khadijah menggelengkan kepalanya kembali.
"Ohiya, saya lupa. Pipi kamu kan bisa berubah warna." Kini Gus Hafizh sudah mengeluarkan suara tawanya yang renyah.
"Aduh, Jah. Baru gini doang dah baper," batin Khsdijah.
"Gus Hafizh!" Pekik Khadijah.
Khadijah langsung lari ke kamarnya, ia menaiki anak tangga dengan tergesa-gesa. Khadijah harus segera menghindar dari Gus Hafizh jika tidak ingin tambah baper.
"Hey, suaramu Khadijah! Jaga auratmu," tegur Gus Hafizh.
Khadijah kembali menghampiri Gus Hafizh. Ia menuruni anak tangga dan melihat gus Hafizh yang sedang menuangkan air putih kedalam gelas.
"Ada apa? Mau mandi bareng saya?" tanya Gus Hafizh saat Khadijah tiba di bawah tangga dengan sedikit menggoda.
"Maaf ya, Gus. Maaf karna Ijah telah berteriak dan tidak menjaga suara ini. Ijah permisi dulu, mau mandi," ucapnya.
Gus Hafizh menganggukkan kepalanya. Ia tersenyum melihat tingkah laku istrinya itu. Mulai dari ia melihat Khadijah yang manja pada Fatimah dan Hasan di bandara, kejadian di restoran, dan kejadian yang baru saja terjadi di dalam rumah.
Seketika sadar, ia langsung membuyarkan senyumnya dengan mengucapkan sesuatu.
"Astaghfirullahaladzim." Gus Hafizh mengelus dadanya.
"Eh tapi kan dia istri saya, nggak papa dong," monolognya.
Lalu Gus Hafizh meneguk segelas air putih yang baru saja ia tuangkan ke dalam gelas berukuran sedang.
"Khadijah, Khadijah," ucapnya lirih.
Gus Hafizh beranjak mengambil handuk didalam kamar kemudian mandi di kamar mandi bawah dan melaksanakan shalat maghrib dan isya berjamaah dengan Khadijah.
••••
Saat ini Khadijah tengah sibuk mempersiapkan alat-alat untuk belajarnya besok, dan ia juga menyiapkan baju untuk suaminya mengajar juga.
Sedangkan Gus Hafizh, ia tengah sibuk membuat materi yang akan diajarkan besok pada santri-satrinya.
Selain menjadi guru, Gus Hafizh memiliki jabatan sebagai ketua keamanan dan anggota kebersihan di lingkungan pesantren Darratul Islam.
Setelah Hasan pensiun dari masa jabatannya, Gus Hafizh lah yang akan melanjutkan tugasnya menjadi pimpinan pesantren Darratul Islam. Namanya sudah tertera bahwa ia akan menjadi penerus kedua setelah Hasan.
"Khadijah," panggil Gus Hafizh.
Khadijah pun menoleh dan menghadap suaminya.
"Kamu udah selesai?"
"belum Gus, tinggal setrika pakaian Gus aja kok. Gus pilih dulu pakaian yang mau Gus pakai besok."
"Kamu saja yang pilihkan, saya kebawah dulu ya."
"Ngapai? Sudah malam Gus, jangan keluar."
"Siapa yang mau keluar?" tanyanya dengan menaikkan sebalah alisnya.
"Ya-ya mana tau Gus Hafizh mau keluar liat pemandangan," jawab Khadijah.
"Jangan mikir yang macam-macam. Saya mau mengunci pintu dibawah."
"O-oh. Yaudah," ucapnya ketika Gus Hafizh sudah pergi keluar kamar. Kemudian Khadijah mengunci pintu kamarnya.
"Khadijah buka pintunya," ujar Gus Hafizh.
"Sebentar Gus, Khadijah ganti mukenahnya dengan hijab dulu."
Memang benar, sejak shalat isya tadi Khadijah belum membuka dan melipat mukenahnya kembali.
Tidak lama kemudian Khadijah pun membuka pintu kamarnya dan membiarkan Gus Hafizh masuk kedalam kamar.
"Lama," ucap gus Hafizh.
"Maaf ya Gus, tadi Ijah lupa kalo hijabnya udah masuk kedalam cucian kotor. Mana hijab Khadijah nggak banyak," balasnya.
Hening. Gus Hafizh hanya berdiam diri tidak menjawab sekata pun kepada Khadijah yang baru saja menjelaskan sesuatu padanya.
"Gus, jangan marah," lirih Khadijah.
"Saya nggak mau dibilang istri durhaka."
"Gus!'
"Gus Hafizh!"
Khadijah mendengus pelan, ia menjadi sebal melihat Gus Hafizh. "Gus Nazeef!"
Gus Hafizh langsung mengalihkan pandangannya dan menatap ke arah Khadijah yang baru saja memanggilnya dengan menggunakan nama depan miliknya.
"Siapa Gus Nazeef?" tanya Gus Hafizh.
"Nazeef Hafizh Nugroho S. Pd I, kan?" Tanya Khadijah balik.
"Tidur, ini sudah malam. Ingat ya, jarak kamu dari sini ke kampus itu 30 menit," ucap Gus Hafizh.
"Tapi maafin Khadijah dulu, Gus," pintanya.
"Cepat tidur, atau kamu tidur diluar," ancam Gus Hafizh.
Khadijah langsung pergi tidur, ia takut kalau sudah melihat Gus Hafizh seperti itu. Sungguh benar-benar menakutkan bagi diri Khadijah.
"lucu," gumam Gus Hafizh sebelum ikut memejamkan matanya.
••••
Halo readers!!
Kembali lagi bersama aku disini, hihi :D
Jangan lupa vote, dan komen yaa ❤️