••••
Pukul tujuh pagi, Gus Hafizh pergi kepesantren hanya untuk menjemput Fahri yang berada di sana. Dirinya semalam sudah berjanji kepada Khadijah yang meminta untuk menemui Fahri.
Tidak perlu berlama-lama dipesantren, Gus Hafizh langsung membawa Fahri menuju kerumahnya. Mereka menggunakan sepeda motor milik Gus Hafizh.
Ceklek!
Suara pintu terbuka, Gus Hafizh sudah sampai dirumahnya. Kemudian ia menyuruh Fahri untuk mengikuti dirinya ke atas kamar.
"Mbak Ijah dimana, Gus?" Tanya Fahri yang sedang menaiki anak tangga.
"Ada dikamar. Kamu ke kamar aja ya, nggak papa."
"Baik, Gus."
Kemudian Fahri mengikuti langkah kaki Gus Hafizh. Hingga tibalah mereka di sebuah kamar, kamar milik Gus Hafizh dan Khadijah.
"Assalamu'alaikum, Mbak Ijah." Fahri menghampiri Khadijah yang sedang duduk di depan meja riasnya.
"Wa'alaikumussalam. Ya Allah Ari."
Gus Hafizh masuk bersama dengan Fahri. Dia memberikan tangannya untuk Khadijah cium. Setelah itu langsung memeluk tubuh Fahri dengan erat.
Gus Hafizh tersenyum melihat perlakuan istrinya. Mungkin memang inilah yang cocok untuk di dapatkan Gus Hafizh setelah tidak mempercayai, menuduh, dan menyakiti hati istrinya. Begitulah pikir Gus Hafizh.
"Fahri, kamu tuntun Ijah ke kasur ya." Gus Hafizh berkata kepada Fahri.
Fahri menganggukkan kepalanya.
Gus Hafizh yakin, kalo dirinya yang menuntun Khadijah pasti di tolak. Sama seperti tadi pagi saat Khadijah ingin mandi, Khadijah menolak uluran tangan Gus Hafizh yang hendak membantunya berjalan ke arah kamar mandi.
"Ari, mbak takut. Takut kejadian Aslan terulang kembali," ucap Khadijah.
"Ari nggak papa, mbak. Ari cuma kecapekan dan butuh istirahat doang," balas Fahri.
"Saya buatkan kalian teh sebentar," ucap Gus Hafizh.
Kemudian Gus Hafizh langsung pergi menuju dapur. Sebenarnya Gus Hafizh cemburu melihat Khadijah memeluk Fahri. Tapi mau bagaimana lagi? Fahri itu kan adik kandungnya Khadijah. Tidak mungkin kalau Gus Hafizh marah kepada mereka.
Saat di dapur, Gus Hafizh benar-benar fokus membuatkan teh untuk istri dan adik iparnya itu. Keadaan mereka sama-sama kurang baik. Pasti membutuhkan tenaga yang banyak.
Tanpa disadari, air mata Gus Hafizh mengalir begitu saja di pipinya. Dirinya benar-benar merasa gagal menjadi seorang suami. Dia merasa bersalah. Bahkan Gus Hafizh takut kalau Khadijah tidak akan memaafkan dirinya.
"Permisi. Teh nya udah datang," ujar Gus Hafizh yang memasuki kamar sambil membawa sebuah nampan.
"Di minum dulu, Ri."
"Syukron, Gus."
"Saya mau buat materi di kamar ini nggak papa kan? Saya nggak akan ganggu waktu kalian berdua kok," tanya Gus Hafizh.
"Nggak papa, Gus. Ini kan rumahnya Gus Hafizh," balas Fahri.
"Kalo gitu saya pinjam meja belajar kamu ya, Jah." Gus Hafizh berusaha mengajak Khadijah untuk berbicara, tetapi Khadijah tidak menjawabnya.
Setelah 15 menit Fahri berada di sana, ia meminta izin kepada Khadijah dan Gus Hafizh untuk kembali ke pesantren. Fahri juga merasa bahwa diantara Khadijah dan Gus Hafizh sedang ada masalah, sehingga membuat suasana menjadi canggung.
"Gus, Fahri mau balik ke pesantren."
Gus Hafizh menganggukkan kepalanya, "Saya antar kamu."
••••
Setelah Gus Hafizh selesai mengantarkan Fahri ke pesantren, ia masuk ke dalam kamarnya. Berniat untuk menemani istrinya disana. Namun baru saja Gus Hafizh masuk, Khadijah bangkit dari duduknya. Khadijah hendak pergi dari kamar itu.
"Khadijah!!" Gus Hafizh menarik lengan Khadijah.
"Lepas, Gus."
"Khadijah, saya mohon."
"Lepas!"
"Maafkan saya, Jah."
"Ijah capek, Gus."
"Saya tau saya salah. Maafkan saya, Jah. Saya nggak mau pisah dengan kamu," ujar Gus Hafizh yang sudah di penuhi dengan isak tangisnya.
"Saya cinta dengan kamu, Jah. Saya mohon jangan tinggalkan saya, jangan berhenti mencintai saya," lanjut Gus Hafizh.
"Tapi Ijah udah nggak ada rasa sama Gus Hafizh."
Jleb!
Khadijah terkejut saat melihat Gus Hafizh memohon sampai berlutut, bahkan bersujud kepada Khadijah.
"Berdiri, Gus. Jangan seperti ini."
"Kamu boleh marah dengan saya, tapi jangan diemin saya seperti ini. Kamu boleh marah, tapi jangan meminta untuk pisah dari saya. Saya nggak mau, Jah," ucap Gus Hafizh yang berada di kaki Khadijah.
"Berdiri, Gus. Nggak baik kalo Gus seperti ini," ujar Khadijah sambil membantu Gus Hafizh untuk berdiri.
Namun, Gus Hafizh menolak untuk berdiri. Dia lebih memilih bersujud di kaki istrinya.
"Gus, ayo bangun. Sini duduk di sebelah, Khadijah."
Kemudian Khadijah kembali memegang pundak Gus Hafizh, dan membantunya bangkit dari sujudnya. Khadijah membawanya untuk duduk di atas kasur.
"Saya mohon. Maafkan saya, Khadijah."
"Ijah maafin. Tapi kalo mencintai kembali, Khadijah rasa belum bisa."
"Serius?"
Khadijah mengulum senyumnya, "Gus Jangan seperti tadi, nggak baik kalo dilihat orang," ucap Khadijah sambil menghapus air mata Gus Hafizh.
"Saya boleh bantu kamu untuk mencintai saya kembali?" Tanya Gus Hafizh.
Khadijah menganggukkan kepalanya.
"Boleh saya memelukmu?" Tanya Gus Hafizh kembali.
Khadijah langsung memeluk Gus Hafizh. Sebenarnya Khadijah juga sangat merindukan suaminya.
"Terimakasih, Jah. Terimakasih sudah memaafkan saya," ucap Gus Hafizh yang kini tengah memeluk Khadijah juga.
"Jangan menangis lagi. Gus jelek kalo menangis," ucap Khadijah yang sudah melepaskan pelukannya.
"Ana uhibbuki fillah, Ya Zawjatii."
••••
"Khadijah!!" Panggil Gus Hafizh saat memasuki kamarnya.
"Makan dulu, Jah. Kamu belum ada makan dari semalam."
"Itu apa, Gus?" Tanya Khadijah.
"Nasi goreng. Kamu mau kan?"
Khadijah menganggukkan kepalanya.
"Kamu di atas kasur aja nggak papa. Biar saya bawa nasi sama minumnya ke situ."
Kemudian Gus Hafizh membawa sebuah nampan yang berisi nasi goreng dan air putih. Dia meletakkannya di atas nakas.
"Saya suapin?" Tawar Gus Hafizh.
"Perhatian banget sih, Gus galaknya Ijah."
Gus Hafizh tertawa mendengar ucapan Khadijah.
"Masya Allah, ketawanya berdagame sekali."
Gus Hafizh kembali tertawa. Namun, tawanya kali ini lebih keras dari pada yang tadi.
"Jangan sering ketawa gitu ya, Gus."
"Memangnya kenapa?" Tanya Gus Hafizh.
"Nanti Ijah jadi jatuh cinta lagi sama Gus."
"Bagus dong. Saya malah seneng kalo gitu. Biar kita bisa buat debay," ujar Gus Hafizh.
"Heh!!" Khadijah memukul lemgan Gus Hafizh.
"Ayo buka mulutnya, aaaaaa." Gus Hafizh mulai menyuapkan Khadijah dengan nasi goreng yang dibawanya tadi.
"Enak, Gus. Beli dimana?"
"Enak aja, buat sendiri dong."
"Gus bisa masak?"
"Saya cuma bisa goreng telur, nasi goreng, sama mi instan." Khadijah menganggukk paham.
"Gus udah makan?" Tanya Khadijah.
"Belum."
"Kongsi aja, Gus. Biar lebih romantis, sepiring berdua."
"Memangnya boleh?"
"Boleh. Tapi apa Gus nggak jijik makan pakai sendok bekas Ijah?"
"Kalo saya jijik, kenapa waktu di taman belakang saya cium—"
"Jangan dilanjutkan, Gus." Potong Khadijah.
"Kamu kapan bermake-up nya, kok pipi kamu jadi memerah?" Tanya Gus Hafizh dengan nada usil.
"Gus!" Khadijah memukul lengan suaminya.
"Kamu nggak mau mengulanginya lagi?" Tanya Gus Hafizh dengan sedikit menggoda istrinya itu.
"Gus!"
Gus Hafizh tertawa renyah melihat wajah Khadijah yang kini semakin memerah akibat perkataan yang keluar dari bibirnya.
"Gus makan juga ya, Khadijah juga nggak mau kalo Gus jadi sakit," ujar Khadijah kepada Gus Hafizh.
"Iya, kita kongsi. Sepiring berdua dengan Humaira ku."
•••
Halo gess!!!
Gimana nih sama chapter 23?
Akhirnya aku lebih memilih untuk menyatukan mereka kembali dari pada harus membiarkan mereka bercerai
Makasih buat yang udah baca dan ngefollow akun ini
Saranghae♡
Jangan lupa vote, dan komentar gess ❤️❤️