[COMPLETED] Fall of the Last...

By vio_nya

3.2K 796 100

Hancur. Itulah kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan Panti Asuhan Bakti Mulia setelah kepala sekolah m... More

Catatan Bryan
Prologue
1. Bryan
2. Alice
3. Bryan
4. Andrew
5. Joshua
6. Gwen
7. Sam
8. Alice
9. Rosaline
10. Bryan
11. Andrew
12. Alice
13. Andrew
14. Joshua
15. Alice
16. Alice
17. Gwen
18. Bryan
19. Rosaline
20. Sam
21. Rosaline
22. Bryan
23. Andrew
24. Bryan
25. Joshua
26. Catherine
27. Alice
28. Sam
29. Rosaline
30. Catherine
31. Joshua
32. Gwen
33. Alice
34. Sam
35. Andrew
36. Joshua
37. Rosaline
39. Joshua
40. Gwen
41. Catherine
42. Andrew
38. Joshua
43. Bryan
44. Alice
45. Bryan
46. Andrew
47. Joshua
48. Alice
49. Andrew
50. Bryan
51. Joshua
52. Joshua
53. Alice
54. Jennifer
55. Bryan
58. Joshua
56. Andrew
59. Bryan
57. Bos
60. Rosaline
61. Joshua
62. Sam
63. Alice
64. ???
65. Gwen
66. Bos
67. Martin
68. Rosaline
69. Sam
70. Alice
71. Rosaline
72. Bryan
73. Gwen
74. Alice
75. Bryan
76. Sam
77. Jennifer
78. Gwen
79. Alice
80. Joshua
81. Alice
82. Bryan
84. Catherine
85. Owen
86. Gwen
87. Joshua
88. Gwen
89. Rosaline
90. Alice
91. Sam
92. Andrew
93. Gwen
Epilogue
EXTRA - Study Tour (1) : Kebun Binatang
EXTRA - Study Tour (2) : Cerita Hantu
After Story 1 - Big Hero Six
After Story 2 - The Intern
After Story 3 - The Sixth Sense
After Story 4 - Mean Girls
After Story 5 - Isn't It Romantic?
After Story 6 - 007 (END)

83. Joshua

27 7 3
By vio_nya

Aku tidak ingat apa yang terjadi.

Mungkin, Tuhan tersinggung karena aku menggunakan salib untuk berbuat kejahatan. Mungkin, aku sudah dikutuk untuk masuk neraka dari saat di mana aku memilih salib itu sebagai senjataku. Aku tidak tahu. Pokoknya, tiba-tiba saja, aku sudah kehilangan kesadaran entah untuk berapa lama, dan terbangun di sebuah ruangan sempit berpintu besi yang tampak seperti bangsal penjara.

Tangan dan kakiku diikat kuat menggunakan tali tambang. Kepalaku pusing. Napasku pendek dan lemah. Pasti mereka memberiku obat bius dengan dosis yang lumayan.

Hal pertama yang kupikirkan begitu membuka mata adalah Bryan.

Apa mereka juga menangkap Bryan?

Kamar mandi yang diperiksa Bryan letaknya hanya terpaut dua ruangan dari kamar Catherine tadi. Tentunya, ia tidak memiliki banyak celah untuk kabur sebelum mereka memeriksa semua ruangan di sekitar situ. Mendadak, sekujur tubuhku yang sudah lemas terasa lebih lemas lagi.

Pasti mereka juga menangkap Bryan.

Seingatku, paling tidak ada lima di antara mereka. Yang berhadapan denganku di luar ruangan tadi hanya ada tiga. Jadi, setidaknya ada dua lagi yang mungkin saja sudah menangkap Bryan pada saat itu.

Aku teringat kembali perkataan Gwen sebelum kami berpencar. Aku dan Bryan bukan wajah-wajah yang paling dicari oleh mereka, melainkan Gwen dan Alice. Tetapi, kalau kami tertangkap seperti ini, apa yang akan terjadi? Apa mereka akan mulai mencari Gwen dan Alice di seluruh penjuru rumah? Apa mereka berdua bisa bersembunyi atau kabur? Lalu, bagaimana dengan Sam dan Rosa? Kalau keroco-keroco Panji mencari di ruangan-ruangan kedok itu, mereka pasti bisa menemukan mereka berdua. Terlebih, kondisi mereka sedang tidak baik dan tidak memungkinkan untuk kabur...

Rasanya, aku putus asa. Setidaknya, tadi, kami masih memiliki rencana. Sekarang, kami tidak memiliki rencana apa pun, dan selama sirene belum dibunyikan, aku ragu para polisi akan berani menerjang masuk karena sama sekali tidak ada cara untuk melihat apa yang terjadi di dalam sini.

Aku memutar pandangan ke sekeliling ruangan. Bangsal itu benar-benar kosong, dan dinding dan lantainya pun mulus. Sepanjang perjalanan kemari, aku tidak melihat ruangan seperti ini, yang berarti ruangan ini pasti berada jauh lebih dalam lagi di arah yang berlawanan dengan benang. Di pintu besi ruangan, terdapat ventilasi kecil berjeruji, persis seperti ruang tahanan di penjara yang sering ditunjukkan di film-film.

Saat tatapanku berserobok dengan ventilasi itu, aku nyaris menjerit kaget.

Sepasang mata sedang mengawasiku dari luar sana.

"Dia udah bangun." Samar-samar, aku mendengar suara orang tersebut. Itu adalah salah satu keroco Panji. Bunyi-bunyian yang agak berisik terdengar di luar ruangan, kemudian pintu dibuka, dan seseorang masuk ke dalam.

Tentu saja, itu adalah Stalker.

Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya berjalan mendekat dan mengamatiku di balik topeng putihnya yang bertatapan kosong. Entah mengapa, aku tidak merasakan ketakutan. Mungkin karena aku tahu persis siapa yang ada di balik topeng itu, dan walaupun aku tidak tahu sifat seperti apa yang ia sembunyikan, aku tetap mengenalnya cukup baik.

"Ngomong aja," aku membuka percakapan. Suaraku terdengar serak karena lama tidak minum. "Gue udah tahu, kok, lo siapa. Bukannya kita akrab?"

Ia tetap tidak mau berbicara. Mungkin dikiranya aku hanya menggertak saja, atau berusaha mengorek-ngorek informasi. Pintar juga dia.

"Hei, roommate," sapaku pada akhirnya. "Lo nggak lupa nutup jendela kamar, kan, sebelum ke sini?"

Hening sejenak. Kemudian, cowok di hadapanku mendengus.

Tanpa mengatakan apa-apa, ia membuka topeng yang dikenakannya. Wajah Lukas Angelo yang selalu tampak ramah muncul dari balik topeng itu. Ia menatapku dengan sorot mata dingin yang tidak pernah kulihat sebelumnya.

Aku tersenyum nanar.

Yap. Aku tahu Andrew tidak berbohong.

Selama ini, aku tinggal sekamar dengan salah satu anggota tim psikopat itu. Kurasa, sudah untung aku tidak dibunuh dalam tidur seperti yang belakangan sangat kutakutkan. Inilah alasan mengapa setelah pengakuan Andrew, aku jarang sekali berada di kamar.

Saat ini, berhadap-hadapan dengannya seperti ini, rasanya surreal. Aneh sekali, harus melihat Luke sebagai musuh, saat kukira ia adalah salah satu teman terdekatku. Entah sudah berapa banyak hal pribadi yang kuceritakan padanya di malam-malam saat kami sama-sama tidak bisa tidur, dan entah sudah berapa banyak inside joke yang kami miliki berdua.

Tetapi, saat ini, kami seperti kembali ke titik nol, dan aku harus melihatnya sebagai dirinya yang asli: seseorang dengan moral yang sangat dipertanyakan dan kemampuan akting yang jauh lebih luar biasa daripada dugaanku.

Kurasa, aku sedikit merasa kecewa. Mungkin, aku berharap Andrew berbohong dari hatiku yang terdalam, walaupun aku tahu itu tidak mungkin.

"Di situasi kayak begini, lo masih bisa ngekhawatirin jendela kamar?" Luke membalas sambil tersenyum tipis. Nada bicaranya masih enteng seperti biasanya. "Bukannya harusnya lo khawatir sama hidup lo? Apalagi, setelah lo gebuk gue sekeras itu tadi?"

Aku tertawa. "Tentu aja gue harus melindungi diri," ujarku. "Kalo gue nggak ngelakuin itu duluan, apa yang bakal lo lakuin? Bikin gue pingsan pake taser di kantong lo? Atau bunuh gue pake revolver itu?"

"Revolver ini, maksud lo?"

Jantungku nyaris berhenti berdetak saat Luke mengacungkan revolver ke dahiku.

Aku harus meyakinkan diri berkali-kali bahwa ia tidak mungkin membunuhku sebelum menyahut, "Wah. Gue deja vu. Bukannya situasi kayak gini udah pernah terjadi?"

Aku tidak berbohong. Aku ingat betul pernah berada di situasi yang hampir identik: aku dan Luke, saling berhadap-hadapan di taman belakang asrama, dan ia juga mengacungkan pistolnya ke kepalaku. Hanya saja, saat itu aku belum tahu siapa dia, dan mengapa postur tubuhnya sangat mirip denganku, sampai-sampai Catherine sempat mengira aku adalah dia.

Seharusnya aku tahu pada saat itu juga.

Sekarang, semuanya masuk akal. Cara cowok itu bergerak, caranya berdiri, dan hawa di sekitarnya. Seharusnya aku tahu lebih awal bahwa itu adalah Luke, karena aku menghabiskan bertahun-tahun tinggal dengannya.

"Udah pernah," jawab Luke. "Tapi, sori, bro, kali ini, gue nggak akan segan-segan nembakin pistol ini ke kepala lo."

Itu bohong, pikirku. Setidaknya, aku harap itu bohong.

"Gue mau tanya sesuatu," ujarku mantap. "Waktu penyekapan itu, lo cuma pura-pura jadi korban? Waktu mereka ngejar lo ke dalam ruang bawah tanah, lo sebenernya nggak ke mana-mana dan cuma ngelepas kostum lo, lalu berbaur sama para sandera dan pura-pura nggak sadarkan diri?"

Luke terkekeh. "Bukannya itu udah jelas?" ujarnya. "Sam sama Alice berusaha ngejar gue, tapi tentu aja mereka nggak sadar kalo gue udah ada di dalem ruangan itu bersama mereka."

"Wah," balasku. "Keren juga rencana lo."

Luke tidak membalas, hanya mengencangkan pegangan pada revolver-nya.

"Jadi," mulaiku lagi. "Semua pengakuan lo soal denger suara Pak Stenley, dan lihat Pak Stenley sebelum lo disekap, itu juga cuma akal-akalan lo biar kita percaya Pak Stenley terlibat? Dan soal surat kejiwaan itu juga, semuanya lo lakuin buat ngejebak kita?"

"Bukannya lo ranking satu?" balasnya. "Apa gue perlu jawab pertanyaan bodoh itu?"

"Yah, gue, kan, cuma mastiin, bro," balasku santai. Aku benar-benar berharap ponselku ada bersamaku saat ini, sehingga aku bisa merekam semua pernyataannya. Tetapi, tentu saja, mereka sudah mengambil semuanya sebelum membawaku ke sini. "Waktu itu, topeng yang gue colong dan gue taruh di dalem laci, lo juga yang ambil?" tanyaku lagi.

"Menurut lo?" ia bertanya balik.

Aku tersenyum nanar. "Jadi bener," gumamku. "Padahal, gue kira, kita temen deket. Sejak kapan lo... jadi kayak begini?"

Pertanyaan itu membuat Luke menurunkan revolver-nya. "Sori," ujarnya. "Bukan keinginan gue kita berada di sisi berlawanan kayak begini. Gue udah sama mereka sejak gue masuk ke panti, jadi apa yang lo kenal itu, ya gue yang sebenarnya. Bukan berarti gue pura-pura temenan sama lo atau apa. Kalo lo diem aja dan nggak usah ikut-ikutan nyelidikin semua ini, gue juga nggak akan ngelakuin ini ke lo."

"Iya, iya, gue tahu," balasku. "Bener-bener lucu, kita harus ketemu di posisi kayak begini."

"Lagian, lo ngapain, sih, ngelakuin semua ini?" tanya Luke. "Apa yang lo dapetin dari ini? Setidaknya, gue dapet uang untuk ngelakuin pekerjaan gue, sedangkan lo? Kalau pun lo berhasil nangkep kita, apa yang bakal lo dapet? Nggak ada, kan?"

"Lo nggak ngerti," balasku. "Gue bukan orang suci yang bakal ngelakuin hal kayak begini, dan gue akui, gue bukan orang yang akan aktif nyari tahu sesuatu yang nggak ada hubungannya dengan gue, bahkan kalo itu melibatkan orang lain yang terluka, kayak Felli dan Rey. Apalagi, gue nggak deket sama mereka. Normalnya, gue juga akan diem-diem aja daripada terlibat masalah."

Luke terdiam menanti kelanjutan perkataanku. "Tapi?" tanyanya.

"Tapi, temen-temen gue bukan orang kayak begitu," lanjutku. "Bryan tentu aja nggak akan tinggal diem. Gue tahu, dia sering ngomong seolah-olah dia cuma ingin hidup lurus-lurus aja, bla bla bla, tapi cowok itu punya sense of justice yang jauh lebih tinggi daripada orang biasa. Dari kecil. Dari pertama kali gue kenal dia. Jadi, tentu aja, saat kalian berulah, dia nggak bisa tinggal diem.

"Gwen juga. Gue tahu, dia berusaha nyelidikin ini bukan karena dia dituduh mati-matian. Gue kenal dia, dan dia bukan orang yang bakal repot-repot ngurusin rumor tentang dirinya, walaupun dia dikatai pembunuh, psikopat, atau apalah itu. Dia ngelakuin ini semua karena utang budinya sama Pak Stenley.

"Dan gue? Tentu aja gue bukan orang semulia mereka. Tapi, kalo ada satu hal yang gue tahu, itu adalah bahwa gue nggak akan ngebiarin temen-temen terdeket gue membahayakan diri mereka tanpa gue. Jadi, untuk menjawab pertanyaan lo, gue ngelakuin semua ini karena ikut-ikut." Aku menyeringai lebar, seolah-olah tidak memiliki rasa takut.

"Wah, lo tahu itu alesan yang mulia, kan?" Luke membalas, entah sarkastis atau tidak. "Ikut-ikutan ngebahayain nyawa lo demi temen-temen lo, lo kayak protagonis anime, tahu?"

Oke. Itu sarkastis.

"Wah, makasih," balasku.

"Harusnya gue rekrut lo, ya. Kalo prinsip lo cuma ngikut-ngikut temen, harusnya lo bisa jadi tenaga yang lumayan di tim kita," ujar Luke.

Aku tertawa. "Mimpi aja," balasku. "Walaupun gue bukan orang suci, tapi gue juga bukan orang bejat yang nggak bisa ngebedain mana yang bener dan yang salah."

"Lo hanya nggak paham," ujarnya. "Film-film dan temen-temen sok suci lo itu kayaknya udah nyuci otak lo."

Ingin sekali rasanya kubalikkan perkataannya itu. Bukannya dia yang otaknya sudah tercuci?

"Oh, ya?" balasku. "Jelasin, dong, ke gue. Kenapa emangnya lo join mereka? Gue kira lo bukan orang yang gila uang."

Luke tertawa geli. Kalau ada orang yang mendengarkan percakapan kami sekilas dari luar ruangan, pasti mereka akan mengira kami sepasang sohib yang sedang mengobrol asyik karena dari tadi, kami terus tertawa-tawa seolah-olah tidak sedang ada revolver yang menanti untuk ditarik pelatuknya di ruangan ini. "Josh," ujarnya. "Emangnya ada orang yang nggak gila uang? Lo sendiri, kalo misalnya saat ini juga gue tawarin duit berjumlah milyaran, emangnya lo akan menolak?"

"Yep," balasku pede. "Gue malah takut sama duit segede itu. Lagian, siapa bilang semua orang kepingin jadi sekaya Bill Gates?"

"Yah, itu karena lo nggak ngalamin langsung aja," katanya. "Gampang ngomong kayak gitu kalo lo nggak berada di situasi itu secara langsung, karena kita semua udah dicuci otak buat menjunjung keadilan bla bla bla, padahal pada dasarnya, semua manusia itu busuk dan egois."

"Jadi, lo beneran join cuma gara-gara uangnya?" simpulku.

"Nggak juga," balasnya. "Pada dasarnya, kita cukup mirip."

Aku tidak tahu apakah aku harus tersinggung dibilang mirip dengannya.

"Dari segi apa?" tanyaku. "Selera humor?"

"Ya, itu juga," balasnya. "Tapi, terutama, gue juga suka ikut-ikut orang yang gue sayang, sama kayak lo. Terlebih, kalo orang itu udah nyelamatin hidup gue dari keluarga gue yang abusive."

"Orang itu..." aku bergumam. "Bos lo? Panji?"

"Catherine," jawabnya. "Gue akan selalu berada di sisi Catherine karena gue sayang dia, dan gue yakin, lo ngerti hal ini."

Sebuah pemikiran yang mengerikan langsung terlintas di benakku.

Harus kuakui, dia benar juga. Kami berdua memang mirip dalam hal itu. Kalau ada seseorang yang kusayang, aku akan mati-matian berada di sisinya dan membelanya. Gwen, misalnya. Aku yakin, salah satu faktor terbesar yang mendorongku untuk ikut penyelidikan ini adalah karena ia begitu terlibat di dalamnya.

Bagaimana kalau seandainya Gwen melakukan hal-hal buruk seperti membahayakan atau membunuh orang lain? Apa aku juga akan mengikuti dan membelanya?

Bukannya tidak mungkin aku melakukan hal itu.

Mendadak, aku merinding.

Ah, nggak, nggak, aku segera menepis pemikiran itu. Pasti aku sudah mulai gila, atau Luke yang terlalu pintar bicara. Tentu saja aku tidak akan menyukai orang jahat dari awal. Aku bukan Luke yang sakit jiwa. Aku tahu mana orang yang baik dan yang moralnya dipertanyakan.

Tapi, lagi-lagi... Aku juga tidak pernah menebak bahwa Luke, Andrew, atau Catherine adalah orang-orang seperti ini.

Ah, aku tidak tahu apa yang harus kupikirkan.

"Bahkan setelah lo tahu soal kondisi kejiwaan Catherine yang kayak begitu, lo masih sayang sama dia?" tanyaku. "Wow, lo bener-bener sesuatu."

"Justru karena gue tahu kondisi kejiwaan dia, gue jadi makin sayang sama dia," jawab Luke. "Itu kelemahan dia, dan dia butuh perlindungan seseorang. Gue nggak akan ninggalin dia mengetahui dia punya penyakit kayak gitu."

"Bahkan kalo suatu saat, lo dibunuh Queen dalam tidur lo?" tanyaku.

Luke tidak menjawab, tapi tatapan matanya berubah dingin kembali. Ia tersenyum tipis, kemudian mengantongi revolver-nya. "Udah cukup obrolan hari ini," ujarnya datar. "Bye, Joshua. Gue akan ngunjungin lo lagi nanti."

Setelah mengatakan itu, ia berbalik dan keluar dari ruangan. Aku mulai memutar otak, memikirkan bagaimana caranya aku bisa lolos dari sini. Kemudian, aku teringat sesuatu.

Aku menekuk kakiku, mencoba merasakan benda di dalam sakuku.

Bingo.

Ada. Mereka tidak mengambil pecahan kaca Rosa yang kukantongi. Aku bisa kabur dari sini kalau berhasil mengeluarkan dan menggunakannya untuk memotong tali pengikatku. Sekarang, aku hanya harus memikirkan caranya...

"Oh, ya." Luke tiba-tiba mengintip lagi dari pintu. Aku langsung berhenti bergerak. "Gue lupa bilang," katanya. "Jangan harap lo bisa kabur dari sini."

Setelah itu, pintu terbuka lebih lebar, dan seorang keroco bermasker gas masuk dan mengacungkan pistol ke kepalaku.

"Lo akan diawasi secara pribadi sama orang ini," kata Luke. "Bye, semoga dia nggak harus nembak kepala lo."

Oh, crap.

Aku seharusnya tahu dia akan melakukan ini.

***

Heyy, makasih udah baca MOTO sampai sini ^^ Kalau kamu enjoy sama cerita buatanku jangan lupa difollow atau diadd ke library supaya bisa ikutin terus berbagai cerita menarik buatanku ya. Oh iya, buat kalian yang mau jajain author secuil boba boleh banget dukung author lewat trakteer.id/vionya/tip makasih ^^

Continue Reading

You'll Also Like

TREASURE By Ann

Teen Fiction

159K 21.7K 45
Ketika olimpiade memanfaatkan para remaja ambis untuk menggali kasus yang dibiarkan terkubur.
KANAGARA [END] By isma_rh

Mystery / Thriller

7.7M 554K 93
[Telah Terbit di Penerbit Galaxy Media] "Dia berdarah, lo mati." Cerita tawuran antar geng murid SMA satu tahun lalu sempat beredar hingga gempar, me...
The Haunted School By Bummble

Mystery / Thriller

116K 7.9K 24
Mistery. Love. Friendship.
38.8K 2.8K 30
~Bayangan Mafia di Balik Kerudung~ Semua bermula ketika seorang pria tampan yang terluka di sekujur tubuhnya, di temukan tidak berdaya di belakang...