3J Universe

By likedpetrichor

2K 91 3

Selalu ada tempat di mana jadi rumah terakhir untuk pulang. Jian, Jean, dan Juan: nggak ada jalan yang mulus... More

3J Reveal
1 - Latihan
2 - Problema
3 - Never Mad at Her
4 - Sebelum Acara
5 - Festival Tahunan
6 - Notifikasi
7 - Puncak
8 - Mine
9 - Senin
11 - Silent
12 - From Yours
13 - Temu
14 - Talk
15 - Kiss
16 - Foto
17 - Perhatiannya
18 - Gazebo dan Coklat Panas
19 - Obat
20 - Ketemu
21 - Between
22 - Wisata Masa Lalu
23 - Hug
24 - The Song
25 - Pukul Rata
26 - Dark Side
27 - Break
INTERMEZZO - BREAK 1
28 - Bunda
INTERMEZZO - BREAK 2
29 - Obrolan 3J
30 - Perpustakaan
INTERMEZZO - BREAK 3
31 - Aula
INTERMEZZO - BREAK 4 - SELAMAT UJIAN
32 - Rencana
33 - Consent
34 - Watch
35 - Game
36 - Juan dan Perempuannya
37 - Keberangkatan
38 - Ternyata
39 - Perlahan
40 - Nasihat
41 - Bicara
42 - Bertemu Adeena
43 - Ketua Osis Baru
44 - New Class New Problem
45 - Say Sorry
46 - Masih Marah
47 - Compare
48 - Ill
49 - Explain
50 - Lose
51 - Denial
52 - Nice Try
53 - Complicated
54 - Let Go

10 - Boleh?

21 2 0
By likedpetrichor

SELAMAT MEMBACA!

10. BOLEH?

Strawberries & cigarettes by Troye Sivan terdengar samar-samar dari dalam kamar Jian. Sang empunya tengah tersenyum tipis sembari menatap layar ponselnya. Sudah setengah jam ia melakukan panggilan video dengan Ghea, mengucapkan maaf berkali-kali karena tadi sore tidak jadi mengantarkan gadis itu pulang.

"Minta maaf sekali lagi dapet piring cantik," celetuk Ghea jengah.

"Piringnya udah ada, tapi nggak cantik. Mungkin karena cantiknya diambil semua sama kamu, ya?" Jian tertawa.

"Aku mau belajar dulu deh, ya? Nggak aman lama-lama jantungku kalau berhadapan sama kamu terus."

"Belajar apa?"

"Belajar ikhlas," kekeh Ghea mendapat balasan tertawa dari Jian.

"Kamu udah lucu, nggak usah ngelucu lagi. Nanti tambah lucu, aku makin sayang."

"Semoga sayangmu itu nggak cuma di mulut doang, ya," sinis Ghea.

Jian tertawa halus. "Iya, semoga, ya."

"Kok jawabnya gitu?!"

"Terus harus gimana?"

"Ih Jian!"

Jian mengacak rambutnya. Merasa gemas dengan sikap Ghea yang meragukan perasaannya terhadap gadis itu. Padahal, Jian tidak pernah main-main dengan siapapun terlebih mengenai perasaan.

"Jangan gemes-gemes, Ghea. Aku nggak bisa ke rumah kamu sekarang," Jian sedikit menekan kalimatnya.

"Makanya sini, catch me, Babe," Ghea mengedipkan sebelah matanya.

"Ghe, aku kalau udah sayang nggak pernah main-main loh. Jangan tinggalin aku, ya? Kalau aku ada salah, tegur aku. Jangan pernah kamu pendam sendiri. Pacaran itu dua orang, jadi kalau ada apa-apa kamu harus bilang."

Ghea mengulum senyumnya. Gurat matanya menandakan gadis itu tengah terbang karena mendengar kalimat yang dilontarkan Jian. Ghea juga sama seperti Jian, mereka merasakan perasaan yang sama. Namun pada akhirnya entah siapa yang akan bertahan dengan perasaan yang sama.

"Aneh banget kalau aku ninggalin kamu, dari awal juga aku yang ngejar-ngejar kamu. Masa giliran udah dapet kamunya malah kulepas? Sayang banget perjuangan aku selama ini."

"Bener banget, kan kamu yang ngejar aku duluan jadi kalau kamu ninggalin aku nggak bakal kukejar balik, Ghe."

"Males banget masa nggak mau ngejar balik, sih?" Ghea mencebikan bibirnya.

"Bukan nggak mau ngejar balik, Ghe," Jian mengais nafas sejenak. "Tapi, aku belajar buat ngelepas orang yang memang udah nggak mau sama aku. Anggap aja orang itu sejatinya nggak ditakdirkan buat kita. Aku nggak akan menyalahkan siapapun atas itu, paling aku cuma bisa minta maaf dan nyalahin diri sendiri karena nggak berhasil ngejaga apa yang aku punya."

Tidak ada sahutan dari Ghea, panggilan video itu menyala tanpa suara. Kedua insannya saling memandang namun sibuk dengan pikiran masing-masing. Tidak tahu angin dari mana tiba-tiba keduanya terlibat deep talk.

"Jian, boleh Bunda masuk, Nak?"

Jian seketika tersadar saat mendengar suara Zeya dari balik pintu kamarnya. Tanpa mematikan sambungan teleponnya Jian membukakan pintu untuk Zeya—mempersilakan wanita paruh baya itu masuk ke dalam kamarnya yang bernuansa gelap.

"Lagi apa?" tanya Zeya menatap anak semata wayangnya.

"Hallo, Bunda!" Suara riang Ghea dari seberang sana mengalihkan atensi Zeya pada benda pipih berwarna hitam itu. Zeya tersenyum manis membalas sapaan Ghea.

"Hallo, Nak Ghea. Oh lagi teleponan sama Jian, ya? Bunda ganggu jadinya, nih?" Zeya menggoda.

Ghea tertawa. "Nggak kok, Bunda. Bunda apa kabar?"

"Kabar baik. Kamu sendiri gimana? Baik juga, kan? Pasti baik lah, Jian sering cerita soalnya."

Jian menarik ujung baju yang dikenakan Zeya. Mengisyaratkan Zeya untuk tidak terlalu banyak berbicara tentangnya pada Ghea. Namun Zeya acuh, ia malah mencubit pelan pipi Jian yang menampilkan semburat warna merah.

"Jian cerita apa memangnya, Bunda?"

"Cerita banyak, Ghea mau tau? Sini main, nanti Bunda ceritain semuanya."

"Bunda ih ngapain, sih?" rengek Jian pelan.

"Apa, Nak? Bunda lagi bicara sama Ghea jangan ganggu. Kamu diem dulu."

Jian hanya bisa pasrah, menatap sang Bunda dengan sang pacar bergantian lalu menyugar rambutnya ke belakang.

"Terserah deh, malu ditanggung sendiri," gumam Jian.

"Kasian Jian udah merah banget pipinya." Ghea tertawa. "Nanti deh kapan-kapan Ghea main ya, Bunda? Sekalian mau belajar bikin kue, boleh kan, Bunda?"

"Boleh dong, datang aja. Bunda tunggu, ya, cantik."

Tangan Ghea terangkat menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Aduh Bunda bisa aja," ucapnya salah tingkah.

"Bunda tinggal dulu ya, Jian kayaknya mau kangen-kangenan lagi sama kamu, Ghe."

Setelah puas menggoda Jian, Zeya pergi dari sana. Tujuannya ke kamar Jian sebenarnya ingin bertanya mengenai sekolah Jian. Biasalah, evaluasi mingguan untuk memantau perkembangan anak semata wayangnya. Sebab sebesar apa pun Jian, ia tetap anak kecil di mata sang Bunda.

"Nggak usah didengerin apa kata Bunda ya, Ghe. Maaf kalau nggak nyaman," Jian tersenyum canggung.

"Apa sih, Jian? Nggak pa-pa loh, kamu minta maaf terus deh. Kenapa, sih?"

"Aku mau minta maaf sekali lagi, janji ini yang terakhir," Jian mengangkat jari telunjuknya.

"Apa?"

"Bandku diundang sama sekolah sebelah buat acara Dies Natalis bulan depan. Jadi kemungkinan aku bakal sedikit sibuk. Maaf ya kalau aku slow respon atau jarang ketemu selain di sekolah."

"Iya nggak pa-pa, nggak usah dipikirin Jian. Fokus aja sama apa yang jadi tujuan kamu sekarang. Kalau capek istirahat dulu, ya? Aku di sini, cerita sama aku kalau kamu lagi penat. I'll hug you from here."

Ghea memberikan senyum terbaiknya. Menghangatkan cowok di depannya itu dengan kalimat-kalimat tulus yang dirangkai sedemikian rupa. Ghea berbicara jujur soal itu, Ghea ingin menjadi tempat sandaran Jian mulai sekarang. Berbagi suka, duka, keluh, dan kesah bersama. Apa pun tentang Jian, Ghea selalu ingin memberikan yang terbaik selagi ia bisa.

"Makasih, Ghe, makasih banyak. How lucky I'am to have you."

"I'm more lucky to have you, Jian," Ghea berucap rendah.

"Besok pulang sama aku, ya?"

"Katanya latihan?"

"Lusa baru latihan."

"Oke, see you!"

******

Jian menepati janjinya untuk pulang bersama Ghea sore ini. Sudah sejak dari 7 menit yang lalu Jian menunggu di parkiran. Ditemani oleh kedua sahabatnya tentu saja. Mereka banyak mengobrol soal hari yang telah mereka lewatkan kemarin. Juga bertanya soal Jian yang kebetulan berpapasan dengan Reynald di pintu toilet sebab kemarin belum sempat bertanya.

"Lo mau ngapain emang ke toilet?" Jean bertanya sembari mengunyah permen karetnya.

"Lo pikir ke toilet mau ngapain, Jean? Nanam jagung?!" Juan meninggikan suaranya, jengah.

"Sabar, Ju, orang sabar kuburannya dalem."

"Habis kesabaran gue kalau ngomong sama lo!"

Jian terkekeh, memperhatikan bagaimana Jean yang suka memancing dan Juan yang emosian. Sungguh perpaduan yang sangat pas untuk memulai pertikaian.

"Gue kebelet, udah nahan-nahan pas di hukum sama Bu Septi kemarin. Eh di pintu toilet malah papasan sama dia," celotehJian.

"Terus lo jadi ke toiletnya?" tanya Juan.

"Nggak jadi, tiba-tiba pipis gue masuk gitu aja."

"Bangsat!" Jean tertawa sampai permen karetnya jatuh ke tanah.

"Anjing jorok banget lo, Jean! Pungut nggak?! Pungut, Dik! Jangan buang-buang makanan!"

"Astaga," Jian tak habis pikir. Ulah Jean sanggup membuatnya tertawa juga.

Pada akhirnya mereka tertawa bersama, menertawakan bagaimana permen karet itu keluar begitu saja dari mulut Jean.

"Ada apa sih ini kok kayaknya seru banget?" Citra menegur membuat tawa ketiganya perlahan terhenti.

"Kok berhenti? Ayo lanjutin, mau ikutan juga," ujar Ayra.

Jean menarik lengan Ayra sampai gadis itu berada di sampingnya. "Nggak boleh, Ay. Ayo ketawa sama aku aja, akan kubuat kau tertawa sampai kencing."

"Bodoh! Pergi lo sono, muak gue liat lo!" usir Juan.

"Lo pikir gue nggak? Bye, Jean anak ganteng mau balik!"

Pada hakikatnya, di balik pertengkaran selalu ada rasa sayang yang sulit diutarakan. Dan itu terjadi pada Jian, Jean, dan Juan. Pertengkaran dan adu mulut adalah love language ketiganya.

"Gue juga mau balik, duluan, Ji, Ghe," pamit Juan.

Citra melambaikan tangannya yang dibalas oleh Ghea.

"Ayo, pulang," Jian memberikan helmnya pada Ghea.

Dahi Ghea mengernyit. "Tumben pakai helm ini? Kenapa nggak pakai helm yang biasa aja?"

"Mau ciuman, jadi harus pakai helm itu."

Jawaban Jian sontak mengingatkan gadis itu pada malam saat Jian mengutarakan perasaannya. Saat Jian dan dirinya resmi berpacaran setelah beberapa bulan ia memperjuangkan Jian. Ghea tersenyum sendiri mengingatnya.

"Nggak usah senyam-senyum, ayo naik."

"Idih siapa yang senyam-senyum?"

"Suka banget denial ya Ghea Azzahra ini," ledek Jian.

"Berisik deh Jian, ayo cepetan jalan."

"Iya Tuan Putri, siap laksanakan."

"Tuan Putri mau peluk, boleh?" Ghea memiringkan sedikit kepalanya.

Jian mengangkat jempolnya. "Sangat boleh, apa pun untuk Tuan Putri."

Ghea tertawa renyah. Tangannya lantas menelusup masuk melingkari perut Jian. Menghantarkan sengatan pada jantungnya yang berdetak anomali. Baik Ghea maupun Jian, keduanya masih amatir dalam menangani debaran jantungnya masing-masing ketika bersentuhan.

******

Tidak ada suara sama sekali dari Ghea, gadis itu hanya menatap hamparan danau yang airnya begitu jernih. Dengan bibir sedikit terbuka dan Jian yang senang memperhatikannya. Ghea tidak turun dari motor, ia duduk menyamping dengan Jian yang meletakkan kedua tangannya di sisi pinggang Ghea, antisipasi jika gadisnya tiba-tiba tidak fokus dan terjatuh.

Jian mengusap bilah bibir Ghea yang terbuka yang langsung dikatupkan oleh sang empunya. Merasa malu karena raut wajahnya yang tak terkondisikan tertangkap basah oleh sang pacar.

"Kamu senang?" tanya Jian sedikit berbisik.

"Sangat senang! Ini boleh nyebur nggak? Aku mau berenang."

"Boleh, tapi kalau nggak balik lagi jangan salahin aku, ya?"

Ghea memukul pundak Jian pelan. Kesal akan jawaban cowok itu yang selalu tepat sasaran.

"Ini danau untuk diliat, bukan untuk berenang, Ghea," terang Jian.

"Iya, nggak usah ngomong, diem," suruh Ghea.

Ghea menatap langit yang sudah mulai redup. Menunjukkan semburat orennya yang memantul dari air danau. Hatinya berisik, rasa senangnya membuncah. Ghea turun dari motor tanpa persetujuan dari Jian. Ia berlari ke sisi danau, ingin menyaksikan sendiri bagaimana matahari itu terbenam dengan indahnya.

Matanya berbinar lalu mengeluarkan ponselnya. Mengambil gambar dengan rakus seakan tidak ada hari esok untuk melakukannya.

Lain hal dengan Jian. Cowok itu malah mengambil gambar Ghea dari belakang. Baginya, tidak ada yang lebih indah dari presensi Ghea sore ini. Ghea bahkan lebih indah dari matahari terbenam. Rambut panjang sedikit kecokelatan yang menari-nari itu menjadi favorit Jian untuk saat ini. Ingin rasanya untuk terus mengusapnya lembut sampai tangannya kebas sekalipun.

"Ghea," panggil Jian membuat sang puan menoleh.

"Kenapa?"

Ghea mengerjapkan matanya saat Jian tiba-tiba mendekatkan wajahnya. Kelopak matanya sontak menutup saat hembusan nafas Jian terasa menyapu kulit wajahnya.

"Mau cium kening kamu, boleh?"

Jian bertanya begitu dekat membuat kedua netra coklat itu kembali terlihat. Nafasnya tercekat sebelum Jian memegang kedua pundaknya untuk menarik nafas sejenak.

"Ke-kenapa nanya? Aku malu," cicit Ghea.

"Aku perlu consent dari kamu, Ghe."

Ghea mengangguk dengan yakin. Sudah tidak sanggup dirinya berada sedekat ini dengan Jian apalagi dengan kedua obsidian sehitam jelaga itu menatap mata coklatnya begitu dalam. Ghea gugup namun ingin, biarkan sore ini menjadi saksi bahwa Ghea kembali jatuh pada Jian.

Anggukan kepala Ghea membuat sudut bibir Jian terangkat. Perlahan wajahnya kembali mendekat, dengan perlahan mendaratkan bibirnya di sana. Mencium kening gadisnya beberapa saat dengan degupan jantungnya yang bertalu-talu.

Lupa caranya bernafas saat benda kenyal sedikit basah itu mendarat di permukaan kulitnya. Ini pertama kalinya untuk Ghea dan Jian memberikan kesan sempurna. Perlakuan lembutnya membuat Ghea kewalahan mengatasi gejolak hatinya sendiri.

"Nafas, Ghe," Jian terkekeh halus.

Ghea tidak menjawab, Ghea langsung saja merengkuh Jian—menyembunyikan wajahnya pada pundak cowok itu. Cukup seperti ini untuk beberapa saat, Ghea ingin menikmati bagaimana wangi tubuh Jian masuk ke dalam indra penciumannya.

"Ayo pulang, mau pelukan sampai kapan?"

"Sampai kebas."

Lagi-lagi kekehan halus keluar dari mulut Jian. Tangannya semakin lihai melingkari pinggang Ghea. Sembari sesekali mengusap surai coklat kesukaannya naik turun lalu berpindah pada punggung dan memberi afeksi memabukkan di sana.

"Tadi katanya mau ciuman pakai helm itu?"

"Nggak jadi, aku mau cium kamu langsung," Jian tersenyum tipis. "Lebih enak langsung kan, Ghe?"

"Nggak usah banyak omong!" sergah Ghea.

"Lucu banget, ayo pulang. Udah sore nanti kemalaman di jalan."

Rengkuhan itu terlepas begitu saja. Menyisakan keduanya yang saling menatap dalam diam. Sampai akhirnya tangan Jian bergerak untuk merapikan rambut Ghea yang menutupi wajah gadis itu karena sedikit tertiup angin sore.

Jian menggenggam tangan Ghea dengan percaya diri. Membawa gadis itu berjalan menuju motornya. "Nanti kapan-kapan kita ke sini lagi ya, sayang."

"Hah? Bilang apa barusan?" Ghea terperanjat.

"Sayang?" ulang Jian.

"Ish! Semuanya tiba-tiba banget. Aku nggak siap," Ghea menggigit bibirnya.

"Siap-siap aja, siapa tau nanti aku tiba-tiba bawa ayah dan bundaku ke rumah kamu, kan?"

"Hah? Mau ngapain?"

"Ngelamar kamu?"

"Ish Jian! Stop teasing me!"

Jian tergelak karena pinggangnya dicubit main-main oleh Ghea. Puas rasanya mengais bahagia sore ini bersama dengan gadisnya.

Motor besar itu perlahan melaju meninggalkan danau yang sudah menjadi saksi kedua insan mengadu rasa. Jian meletakkan telapak tangannya di lutut Ghea yang sedikit terbuka karena jaketnya tidak sampai menutupi seluruh kaki jenjangnya. Memberikan usapan halus di sana menepis dingin yang menyeruak.

"Makasih banyak, Jian. Aku senang banget hari ini dan semuanya karena kamu. Akhir-akhir ini kesenanganku memang selalu bersumber dari kamu sih, Ji."

"Aku juga, thanks for everything you do, Ghe. I love you, as usual."

Maka Ghea semakin mengeratkan pelukannya. Membelah jalanan lengang ditemani langit yang mulai menggelap.

"Actually I love you more than I do, Ji," pungkas Ghea.

******

GIMANA SAMA CHAPTER INI?

BAPER NGGAK? ANJIRLAH GUE DEGDEGAN SENDIRI WOY NULISNYA. INI OTAK SAMBIL NGEBAYANGIN AKU SAMA SEOKJIN ADEUH ADEUH JADI MALU:)

KALIAN GIMANA? AYO UNGKAPIN SEPUASNYA!!!!

DROP EMOJI YANG MENGGAMBARKAN EKSPRESI KALIAN WAKTU BACA PART INI DONG BESTIE!

SAMPAI KETEMU DI CHAPTER SELANJUTNYA!

SALAM HANGAT DARI CALON ISTRINYA MAS TERANG(BVC) DAN MAS GANTENG(KSJ)!

Follow ig; noviaanisawati_
Follow ig; wattpad_novvvans

Continue Reading

You'll Also Like

13.1M 394K 89
Boring. That is one word to describe Sadie Jefferson's life. She goes to school, is on the honor roll, has two best friends, comes from a wealthy fam...
3.4M 109K 55
Meet Aubree Mary Turner our regular fun loving, sarcastic, childish, happy-go-lucky girl. She has been through a lot and Alone. After a life shatteri...
754K 37.2K 41
"Jangan dekat dengan cowok lain, aku nggak suka" ucap alfa tepat di telinga aiyla. Dapat aiyla rasa kan deru nafas tak beraturan menerpa leher jenjan...
2.1M 116K 34
"NARA CUMAN PUNYA GUE ANJING!" Sentak Bara. "BACOT BANGSAT!" Mereka tetap saling pukul satu sama lain, wajah mereka juga sudah babak belur, hingga...