Jangan lupa komen dan vote yaa^^
•
•
•
•
•
Happy reading!
"Kalian siap?" Zaiden menggenggam kenop pintu sambil memandang teman-temannya.
"Tidak." Balas Jihan tanpa ekspresi.
"Baiklah ayo!" Laki-laki itu membuka pintu.
Tidak ada zombie di sekitar area perpustakaan. Aneh, tetapi bukan itu yang harus mereka pikirkan saat ini, semuanya terus melangkah hati-hati dan waspada melihat sekitar.
Langkah Fino tiba-tiba terhenti saat pandangannya tidak sengaja tertuju pada salah satu zombie yang berakhir mengenaskan, ia menahan nafas. Tubuhnya menjadi kaku dengan tangan yang gemetaran.
Azizah menghalang penglihatan laki-laki itu dengan telapak tangannya. "Bernafas perlahan."
Atensi Fino teralih pada Azizah, gadis itu kembali menurunkan lengannya beralih menggenggam lengan yang di penuhi keringat dingin. Perlahan ia menuruti instruktur gadis itu, setelah tubuhnya tidak lagi bergetar gadis itu menarik lengan laki-laki itu menjauh dari sana, mereka semua kembali melanjutkan langkah.
Langkah semuanya terhenti kembali saat melihat ada lima zombie yang berdiri tak tentu arah di dekat tangga yang akan mereka naiki. padahal hanya tinggal sedikit lagi, pikir semuanya.
Mereka semua memang sudah menduga hal seperti ini pasti akan terjadi. tetapi tetap saja, mereka belum begitu siap dan walau begitu mereka juga tidak punya pilihan lain.
Mereka berjalan secara perlahan, semakin meng-eratkan pegangan pada senjata masing-masing, saat telah mendekat kelima zombie itu berlari ke arah mereka semua.
Zaiden dan Arka secara bersamaan memukul kepala dua zombie di depan mereka membuat kedua zombie itu tersungkur, tidak membuang kesempatan mereka berdua kembali memukul wajahnya.
Jihan menendang perut salah satu zombie di hadapannya yang langsung di pukul oleh Decha menggunakan tongkat bisbol pada wajahnya. Azizah mengeratkan genggaman tangannya pada Fino, melihat pemuda itu yang tampak ragu. Laki-laki itu memandang gadis itu sesaat, mencoba menyingkirkan keraguannya, ia menghela nafas pelan. Mengeratkan pegangan pada tongkat bisbolnya, saat dua zombie yang tersisa sudah berada di depan keduanya secara bersamaan mereka memukul zombie itu.
Alya dan Aza berdiri di belakang ke-enam temannya, kedua gadis itu masing-masing menggenggam satu tongkat bisbol dan dua raket, juga terdapat dua olahop pada bagian leher masing-masing.
Jihan melirik keduanya, "pergi duluan ke atas!" Ucap gadis itu sedikit berteriak.
Mereka berdua mengangguk lalu segera berlari menuju tangga, Aza terlebih dahulu menaiki tangga, tetapi secara mengejutkan ada yang menahan kakinya membuat gadis itu tersungkur menghantam tangga dengan bunyi yang nyaring.
Ternyata terdapat satu zombie lagi yang tersembunyi di bagian belakang tangga kehilangan sebelah kakinya.
Alya langsung memukul kepala zombie itu beberapa kali, "bangsat!"
Ia lalu melepaskan genggaman zombie itu dari aza. "Zombie sialan! Cuih." Umpatnya lagi meludahinya.
"Biar aku yang gendong." Ucap Zaiden yang baru saja selesai menghadapi zombie tadi, laki-laki itu menggendong Aza yang pingsan di punggungnya. Azizah mengambil kedua raket yang tadi di genggam gadis itu sedangkan Jihan mengambil tongkat bisbolnya, Fino ikut membantu dengan membawakan dua olahop di leher gadis itu, semuanya secara berurutan kembali menaiki tangga.
Jihan mencoba untuk membuka pintu MIPA 1 tetapi telah terkunci dari dalam. "Ada orang di dalam? Buka pintunya!"
Tak lama terdengar suara sahutan yang tidak asing bagi Jihan di dalam. "S-siapa?"
"Anna? Hei, ini aku Jihan!" Balas gadis itu agak bersemangat.
Gadis yang di panggil Anna itu memastikan ucapan Jihan dengan melihat dari balik jendela, ia membulatkan mata tidak percaya saat melihat benar-benar Jihan yang berada di luar, dengan cepat ia membuka kunci dan pintu itu dengan lebar.
"JIHAN? KAMU MASIH HIDUP!" Teriaknya langsung memeluk gadis itu.
"Ssttt jangan keras-keras, mau zombie-zombie itu datang kesini lagi!" Ucap Arka dengan kesal.
"E-eh maaf." Cicitnya, ia melepaskan pelukannya lalu memandang gadis di depannya itu dengan berkaca-kaca.
Arka, Fino dan Zaiden yang merasa pembahasan para gadis itu tidak akan berakhir memilih untuk masuk duluan dengan Aza yang masih di gendongan Zaiden.
"Ini beneran kamu? Aku kira ka-kamu, kamu..." Gadis itu mulai terisak
Jihan menghapus air mata gadis itu lalu tersenyum, "ayolahh, tidak semudah itu untuk mengalahkan seorang Jihan, kan." sombongnya menyeringai, mendengar itu yang lain memutar bola matanya.
Anna yang baru sadar dengan luka di kening Jihan sedikit mengerutkan kening dengan ekspresi khawatir. "Kenapa kening mu bisa terluka?"
Jihan menyentuh luka di keningnya. "Oh ini.. aku tidak sengaja tersungkur dan kepala ku terkena batu,"
"Seharusnya kamu lebih berhati-hati." Gadis itu hanya membalas dengan anggukan.
"Siapa mu Ji? Sahabat baru ya? Wah parah Jihan punya sahabat lagi di belakang kita," ucap Decha dengan mengdramatis.
"Iya, tak kawan lagi kita!"Alya menimpali.
"Enggak kok! Anna cuma teman, orangnya memang cengeng begini," entengnya yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari empunya. "Aku nggak cengeng!" Kesalnya sambil menghapus airmata.
"Iya deh si paling nggak cengeng." Balasnya melarikan diri ke dalam saat Anna hendak mengeluarkan mencubitnya, ke-tiga sahabatnya geleng-geleng kepala melihat tinggah gadis itu, ketiganya menyusul masuk dan kembali mengunci pintu.
Di dalam terdapat dua orang lagi yang duduk berjauhan, yang satu laki-laki sedangkan satunya lagi perempuan.
Zaiden yang telah membaringkan Aza di atas meja yang telah di satukan berbaring di lantai bersama Arka sedangkan Fino duduk di salah satu kursi, setelah meletakkan senjata masing-masing di lantai kelima gadis itu berdiri mengelilingi Aza. Terdapat luka di bagian kening gadis itu dengan beberapa bagian lengan lecet dan kedua lutut yang mulai membiru.
Kelimanya mulai mengobati luka Aza dengan air dan tisu seadanya yang ada di dalam kelas itu dengan hati-hati.
"Pakai air sama tisu doang kurang deh, lebih baik kita ke uks untuk melanjuti pengobatannya." Usul Decha.
"Uks? Kalian mau membahayakan diri sendiri dengan pergi ke sana dalam keadaan seperti ini? Jangan ngaco!" Sahut seorang gadis yang tidak mereka kenali dengan suara agak meninggi sambil berdiri.
"Callia, jangan emosi dulu," tegur Anna mendekati gadis itu dan memintanya untuk duduk lagi.
"Harus banget pake emosi? Lagian kita juga nggak mungkin terus berada di sini, kita bahkan belum makan apa-apa," delik Alya.
"Lebih baik mati kelaparan di sini dari pada.. menjadi seperti yang lain," balasnya masih mengerutkan kening dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Jadi kau ingin menyerah begitu saja? Cih"
"Terus harus bagaimana lagi? Aku lemah, tidak seperti kalian," lirihnya.
Alya menghela nafas, "kita bisa saling melindungi! Aku yakin kau tidak selemah itu, jika belum mencoba kita tidak akan tau hasilnya!"
Gadis itu perlahan meneteskan air matanya. "Dan menjadi beban untuk orang lain?"
Semuanya mendadak hening, Anna menghapus air mata Callia lalu memeluk gadis itu.
Alya memijat pelipisnya, memilih untuk duduk menyandar di kursi parisan pertama dekat dinding, "terserah lah."
Melihat situasi yang mendadak canggung Jihan berinisiatif untuk membuka suara, "ekhem, bagaimana kalau kita hubungi pihak berwajib saja terlebih dahulu? Siapa tahu ada yang bisa membantu kita dan juga kita belum mengabari orang tua masing-masing ingat,"
"Mereka tidak akan datang," sahut laki-laki yang sedari tadi hanya diam membuka suara.
"Dan kenapa kamu begitu yakin?"
"Aku sudah menghubungi pihak berwajib itu sejak pada jam sepuluh tadi, mereka bilang mereka akan segera datang tetapi nyatanya sampai malam ini mereka tidak kunjung datang," jawabnya dengan helaan nafas gusar.
"Mungkin ada hambatan? Kalian tau sendiri bagamana kondisi sekarang ini kan, " sahut Decha.
"Mereka ada banyak jika kau lupa, di setiap daerah bahkan sudah mendapat tugas masing-masing." hening, ia memandang semua orang di kelas lalu melanjutkan. "Hahh.. Di saat seperti ini kita hanya bisa mengandalkan kekuatan masing-masing, tidak akan ada orang yang dapat kita andalkan."
Callia menggebrak meja, memandang pemuda itu dengan tatapan yang sulit di artikan. "Lio!"
Pemuda yang di panggil Lio itu memandang balik Callia tanpa ekspresi. "Kenapa?"
Untuk beberapa saat tidak ada balasan.
"Kau tidak mengerti," mengalihkan pandangannya.
"Jika kau terus bersikap seperti ini hal itu tidak menyelesaikan masalah, dia tidak akan senang jika melihat dirimu yang seperti ini. Jika kau tidak ingin hidup untuk diri sendiri, hiduplah untuk kehidupan yang di berikan kepadamu." Ucapnya mulai kesal.
Ia mengusap jawahnya. "Huffh.. Maaf karena membuat situasi menjadi seperti ini lagi, lebih baik kalian hubungi keluarga kalian terlebih dahulu."
"Tidak ada lagi yang mau menelpon?" Tanya Decha yang di balas gelengan.
Pandangan Jihan tidak sengaja melihat pada Arka yang duduk termenung dengan menyandar pada dinding, dengan inisiatif sendiri menghampiri pemuda itu.
"Boleh duduk disini?" Tanya nya.
"Huh? Silahkan ..." Jawabnya tersadar dari lamunan.
"Kenapa nggak ikut menghubungi keluargamu juga? Apa nggak papa?"
"Kenapa harus menghubungi jika orangnya berada di sini,"
"Huh?"
"Maksudku Fino, hanya dia keluarga yang ku punya."
Gadis itu terpaku. "Sorry.."
"Santai, tak masalah."
Di sisi lain, Decha mendekati Aza yang telah bagun, "are you okay?" Khawatirnya.
"Yeah.. gapapa kok cuma masih agak pusing aja." Jawab gadis itu.
"Bohong." Ucap Azizah dingin.
Aza terlihat gelagapan. "Itu-"
"Jangan cari alasan." Potong Azizah, gadis itu bungkam.
"Lebih baik kita pergi ke uks sekarang," ucap Zaiden.
"Se-sekarang?" Sahut Callia terbata.
"Jika ada yang keberatan bisa terus tinggal di sini." Acuh laki-laki itu bangkit dari duduknya.
Anna memandang Callia dengan tatapan memohon, gadis itu menghela nafas gusar dengan ragu berkata. "... Baiklah."
TO BE CONTINUED
21-07-2022