Aku menatap ke arah cermin yang berada di depanku sambil memegang helai rambutku. Sudah beberapa menit aku berdiri menatap cermin yang berada di depanku. Aku masih tidak percaya dengan penampilanku sendiri. Aku terlihat berbeda dari Roxanne, sangat berbeda.
Rambutku dulu yang berwarna cokelat lurus diganti dengan warna hitam pekat bergelombang, sama seperti ibuku. Mataku yang dulu berwarna cokelat muda, sekarang berwarna biru crystal sama seperti warna mata ayahku. Bisa dikatakan semua penampilanku terlihat lebih elegant dari sebelumnya. Bahkan dengan umurku tiga tahun, aku terlihat seperti anak dengan status tinggi. Aku memang terlihat seperti putri aristokrat.
"Lise sedang apa?" tanya ibuku membuyarkanku dari acara melihat cermin. Aku langsung menengok ke arah ibuku dan menjawab.
"Lise hanya melihat penampilan Lise," aku pun kembali melihat ke arah cermin.
Sudah 3 tahun lewat semenjak reinkarnasiku di dunia novel. Tidak, aku tidak bisa menyebutnya novel lagi karena, semua ini menjadi kenyataan bagiku. Dalam beberapa tahun ini, semua berjalan sama saja, tidak ada hal yang menarik sama sekali. Selama beberapa tahun ini pula aku mencoba menenangkan pikiranku kalau ini benar-benar terjadi dan kalau aku memang tidak bermimpi.
Aku yakin ini bukan mimpi, aku tidak mungkin bisa memimpikan sesuatu seperti ini. Ditambah lagi, ini sudah tiga tahun! Tidak mungkin aku mimpi selama tiga tahun dengan sangat jelas. Aku mungkin selalu bermimpi hal aneh seperti berada di tengah zombie apocalypse atau bahkan terjebak di suatu pulau tapi, mimpiku tidak mungkin seaneh ini dan selama ini. Ditambah lagi, aku masih teringat suara itu sebelum aku terlahir jadi Annalis.
Berbicara mengenai suara itu, aku masih belum tahu siapa yang berbicara kepadaku waktu itu. Agh! Menyebalkan sekali! Setiap hari, setiap saat, setiap menit, dan setiap detik suara itu terngiang kembali di kepalaku.
Tiga tahun berlalu, namun aku masih belum memiliki rencana sama sekali. Aku tidak tahu harus apa. Rencana awalku adalah menjadi orang yang cukup kuat untuk bisa bertahan hidup namun setelah mengulang lagi informasi yang aku ingat dari novel, aku hanya bisa pasrah. Lucas adalah orang yang kuat, bagaimana tidak? Dia adalah sepupu sang pangeran, kekuatannya setara atau bahkan lebih kuat dari sang male lead.
Menurutku, itu cukup mengagetkan karena ya... namanya male lead dia adalah orang protagonis kedua setelah sang heroine. Dibanding denganku yang bisa saja mati hanya dengan sekali tebas pedang. Tapi, bukan berarti aku hanya diam. Hey, kita tidak tahu sampai kita mencoba jadi, mungkin berlatih dan mencari informasi adalah hal pertama bagiku.
'Seingatku Lucas adalah seorang knight,'
Dalam Terra khususnya di kerajaan manusia, peran seseorang di sebuah kerajaan dibagi jadi dua, knight dan mage. Seorang knight atau ksatria adalah seorang yang mengunakan senjata entah sebuah pedang, busur dan panah, atau senjata lain. Mereka biasanya adalah orang yang berada di depan dalam perang dan tidak bisa menggunakan sihir.
Berbeda dengan peran kedua yaitu mage, merupakan peran yang diberikan kepada orang-orang yang bisa menggunakan sihir. Para mage adalah orang-orang yang membantu dari belakang dengan sihir mereka. Setiap mage memiliki sihir yang berbeda-beda, ada yang bisa mengendalikan api, terbang, dan masih banyak lagi.
Lucas Xavier Nevol, sang villain masuk ke dalam kategori knight yang kuat. Diceritakan bahwa kemahirannya dalam berpedang, setara atau bahkan lebih mahir dibandingkan sang putra mahkota Kerajaan Ervias. Para noble dibuat gelisah akan kekuatan Lucas.
Seorang anak duke dengan yang bisa dibilang kemampuannya setara dengan sang pangeran. Ini membuat para noble, ingin menjatuhkan Lucas dan keluarganya. Dalam novel, Pangeran Ervias saja perlu bantuan sang heroine untuk mengalahkan sang villain. You know, kekuatan cinta apalah itu ya aku juga tidak tahu.
Berbicara tentang sang heroine, tentu saja sang karakter utama masuk ke dalam mage. Bahkan sihirnya tidak usah ditebak lagi, cahaya dan penyembuhan. Sama seperti novel klise yang biasa aku baca di bumi, sang heroine memiliki sihir dengan atribut cahaya dan penyebuhan. Sihirnya pun dibilang kuat, lebih kuat dari anak-anak di Mystica Academy lainnya.
'Ugh... coba saja kalau aku punya sihir penyembuhan, aku bisa saja menyembuhkan diriku jika aku berada di ambang kematian,' Aku menghela nafas tidak ada gunanya memikirkan itu sama sekali.
"Lise mengapa terlihat muram begitu?" tanya ibu secara tiba-tiba yang membuatku lompat terkejut. Aku pun terkekeh sambil mengusap leher belakang.
"Tidak apa-apa! Lise hanya..... berfikir! Iya, Lise hanya memikirkan sesuatu," jawabku. Ibu melihatku dengan curiga sebelum akhirnya menjentikkan jarinya.
"Bagaimana kalau kita ke perpustakaan? Lise belum pernah ke perpustakaan kan? Lagipula ini ide bagus agar Lise tidak bosan terus," ujar ibuku yang membuatku langsung menengok ke arahna. Mataku langsung berbinar mendengar kata perpustakaan.
Tunggu dulu, di sini ada perpustakaan? Aku baru tahu... walaupun aku sudah tinggal di sini selama tiga tahun. Annalis bodoh! Tentu saja di sini pasti ada perpustakaan, keluarga Maqruiss Ethernias memiliki teritori yang cukup besar dan mansion yang aku yakin luas, pasti ada yang namanya perpustakaan di sini.
"Perpustakaan? Di rumah ada perpustakaan?"
"Tentu saja! Perpustakaan rumah cukup besar loh! Ibu sepertinya lupa memberi tahu ya," tawa ibu.
"Lise kira perpustakaan hanya ada di ibu kota kerajaan,"
"Ada beberapa keluarga yang memang tidak memiliki perpustakaan di rumah mereka tapi, ayahmu ini seorang marquiss dengan teritori yang besar, tentu saja dia punya perpustakaan entah di dalam mansion maupun di luar manison," balas ibu sambil menggendongku. Aku pun melihat ibuku dengan mata berbinar.
"Kalau begitu, Lise mau lihat perpustakaannya!" ibu hanya tersenyum melihat perilaku ku, dia pun berjalan sambil menggendongku.
---
Setelah belok menuju lorong lainnya untuk ke seribu kali, akhirnya kami berdua sampai di depan sebuah pintu yang cukup besar. Setelah melakukan perjalan menuju perpustakaan mansion dari kamarku, aku baru sadar seberapa besarnya mansion ini. Memang kekayaan Marquiss Ethernias tidak bisa diremehkan.
"Sampai~ ini dia Lise, perpustakaan keluarga Ethernias," kata ibu dengan semangat. Ia pun mendorong pintu besar yang berada di depannya dan tidak ada kata-kata yang bisa mendeskripsikan keindahan perpustakaan keluarga kami. Mataku berputar menangkap pemandangan yang ada di depanku
Ruangan yang menjadi perpustakaan sangatlah besar sampai-sampai aku bingung bagaimana bisa orang-orang tidak tersesat di dalamnya. Sebuah chandelier menggantung di tengah ruangan dengan rak-rak buku yang melingkari sebuah meja bundar besar yang berada di tengah ruangan. Dari depan pintu, aku dapat melihat bahwa perpustakaan memiliki dua lantai dengan tengah yang terbuka.
"Semoga damai bersamamu selalu Marchioness Mikaela Ethernias, nona muda Annalis Rosella Ethernias. Selamat datang di perpustakaan mansion," sapa seseorang yang membuatku buyar dari lamunanku.
Aku pun menengok ke arah samping kanan dan mendapati seorang perempuan tua berdiri di belakang sebuah counter. Wanita tersebut mungkin terlihat tua namun, wajahnya terlihat seperti orang yang tidak ingin kamu lewati sama sekali. Dia terlihat seperti wanita yang serius dan tidak suka bercanda namun aku dapat melihat dibalik keseriusan tersebut, wanita itu adalah orang yang baik.
"Damai bersamamu juga Nyonya Eva, sudah berapa kali aku bilang, panggil saja aku Mikaela lagipula, nyonya lebih tua dari ku," kata ibu tersenyum melihat wanita tua yang aku yakini adalah penjaga perpustakaan mansion ini.
"Tentu saja, Nyonya Mikaela," balas Eva tersenyum kecil. Mata abu-abunya pun menangkan tatapanku.
"Ini pertama kalinya aku melihat nona muda Annalis," ujarnya tanpa berhenti menatapku. Aku pun mengalihkan pandanganku karena malu. Ini membuat ibuku terkekeh kecil lalu membalas.
"Kalau begitu biar aku perkenalkan. Annalis, ini Nyonya Eva, penjaga perpustakaan mansion," Aku menatap Eva dan melambaikan tanganku. Eva pun membalas lambaian tanganku.
"Nyonya Eva, ini putriku yang manis, Annalis Rosella Ethernias,"
"Salam kenal nona muda Annalis, saya senang dapat bertemu dengan nona muda," ujar Eva dengan senyumnya yang tidak hilang dari wajahnya.
"S-salam kenal Nyonya Eva, Lise juga senang bisa bertemu dengan nyonya," balasku terbata-bata.
"Kalau begitu Nyonya Eva, kami ingin melihat-lihat perpustakaan," kata ibu ke Nyonya Eva.
"Tentu saja, selamat menikmati perpustakaan,"
Ibu berjalan perlahan menuju tengah ruangan dimana meja bundar yang besar berada. Dia pun menurunkanku dari gendongannya dan dengan cepat, aku berjalan dan menuju kursi yang ada dan mendudukinya. Aku melihat sekelilingku, terdapat lorong-lorong yang kiri kanannya merupakan rak buku yang cukup besar yang dipenuhi banyak buku.
"Perpustakaan ini dijaga oleh Nyonya Eva, dia sudah lama bekerja di sini. Mama harap, Lise sopan kepada Nyonya Eva, dia adalah orang yang tegas tapi baik," kata ibu membuatku mengangguk.
"Jika Lise suatu saat pergi ke perpustakaan, Lise bisa tanya ke Nyonya Eva dimana buku-buku yang Lise cari berada," lanjut ibu.
"Kalau begitu, Lise ingin baca buku apa?" tanya ibu ke arahku. Dengan cepat, aku langsung menjawab.
"Lise ingin baca tentang kerajaan,"
"Kerajaan Ervias?" aku menagngguk menandakan 'iya'.
"Kalau begitu, biar ibu cari buku mengenai Kerajaan Ervias yang menarik," ibu langsung pergi berjalan menuju salah satu rak yang tidak jauh dengan meja. Dia mengambil sebuah buku dan kembali ke kursi tempat aku duduk. Ibu langsung duduk di sampingku lalu, membuka buku yang baru saja dia ambil.
Aku melihat buku tersebut dengan seksama. Sampul buku tersebut berwana coklat polor. Hanya ada sebuah tulisan yang aku yakini adalah judul di sampul tersebut. Tulisan itu adalah 'Ervias'.
Sangat... original sekali...
"Kerajaan Ervias merupakan kerajaan manusia pertama yang dibuat, Raja pertama kerajaan ini adalah Raja Alexander Ervias yang merupakan seorang penguasa yang bijaksana dan kuat. Raja Alexander merupakan seorang knight yang dihormati oleh orang-orang, dia..."
Ibu terus melanjutkan membacanya hingga tidak disadari, waktu berjalan dengan cepat dan sudah saatnya untuk makan siang. Ibu menaruh buku yang barusan ia baca, kembali ke tempatnya. Setelah itu, kami pamit kepada Nyonya Eva.
"Salam damai bersamamu, saya harap nyonya dan nona muda menikmati kunjungan perpustakaannya," kata Nyonya Eva
"Tentu saja! Jangan khawatir Nyonya Eva, kami pasti akan berkunjung lagi," kata ibu dengan semangat. Kami pun keluar perpustakaan dan berjalan menuju ruang makan.
"Bagaimana jika Lise memulai pelajaran aristokrat Lise? Apakah Lise mau?" tanya ibu secara tiba-tiba di tengah pelajaran. AKu melihat ke arah ibu dengan kaget.
Memang tidak salah jika seorang anak noble belajar mengenai tata krama dan pelajaran lainnya untuk mempersiapkan diri sebelum masuk Mystica Academy. Hanya saja, aku sedikit kaget ibu sudah bertanya walaupun umurku masih tiga tahun. Biasanya, anak-anak belajar hal tersebut saat berumur empat sampai lima tahun...
Kecuali mungkin para pangeran dan anak duke. Aku yakin mereka belajar saat mereka sudah bisa bicara dan berjalan... kasihan sekali...
Masa kecil yang harusnya dipenuhi dengan main-main, berlari di taman kesana kemari, memanjat pohon, malah dipenuhi dengan pelajaran. Mulai dari belajar main musik, etika, menari, sejarah, matematika semuanya yang jelas belajar. Aku hanya senang pelajaran ilmu pengetahuan yang akan dipelajari tidak akan susah.
Mengapa? karena di sini perkembangan ilmu pengetahuannya belum luas seperti dunia modern. Jelas lah, namanya dunia medieval, pasti perkembangannya tidak sejauh dunia modern.
Berbicara pelajaran, aku meninggal saat 12 SMA. Tunggu dulu, bukannya itu berarti aku tidak mengikuti ujian yang ada di sekolah sama sekali? Oh wow, aku tidak tahu harus senang atau menangis. Tapi hey, aku juga tidak mendaftar ke perguruan tinggi sama sekali karena aku sudah pergi ke dunia ini sebelum aku sempat memikirkan tentang pendaftaran perguran tinggi.
Hm...setelah dipikir-pikir, sebenarnya tidak ada salahnya belajar lebih awal. Aku bisa saja lebih dulu dalam hal edukasi daripada anak-anak lainnya di academy. Ini dapat mempersiapkanku dengan matang di academy nanti. Tidak mungkin aku mau membuat malu nama keluargaku di academy. Aku pun mengangguk dan menjawab.
"Lise mau!"
"Kapan Lise harus belajar?" lanjutku bertanya pada ibuku. Mendengar itu, ibu membalas.
"Nanti mama bicarakan dengan papamu, kita sudah menentukan guru-guru yang akan mengajarmu,"
"Baiklah,"
Tidak lama setelah percakapan tersebut, kami sampai di depan pintu yang besar. Pintu yang terbuat dari kayu dengan ukiran yang indah yang aku yakini bisa memenuhi kebutuhan seharianku selama dua tahun di bumi. Seorang butler yang menjaga di depan pintu, membuka pintu tersebut sambil berkata.
"Marchioness Ethernias dan nona muda Ethernias masuk!"
Aku dan ibu masuk ke dalam ruang makan. Jujur saja, aku masih belum terbiasa dengan kehidupan aristokrat dan lainnya. Bahkan, aku yakin aku tidak akan terbiasa dengan orang-orang memanggil namaku dengan sangat hormat atau dengan nama keluarga dan bukan namaku.
Tidak hanya panggilan nama, melihat ruangan-ruangan di mansion ini saja sudah cukup membuatku kaget. Bahkan saat ini saja, aku masih melihat ruang makan mansion dengan kagum.
Ruang makan cukup luas, tidak seluas perpustakaan tapi tetap saja luas. Di tengah ruangan terdapat chandelier yang menggantung dengan indah. Dibawah chandelier, ada meja makan panjang dan banyak kursi. Memang keluarga kami hanya bertiga, kursi-kursi tersebut hanya untuk para tamu yang berkunjung. Di ujung ruangan, terdapat sebuah pintu lain menuju dapur tempat para chef memasak.
Di atas meja, terdapat piring kosong yang biasa sudah disiapkan. Di samping piring tersebut, terdapat banyak sekali alat makan yang sampai sekarang aku tidak tahu sendok ukuran mana untuk makanan apa. Kayak serius, banyak banget sendoknya.
Tidak jauh dari piring, terdapat serbet makan yang tertata rapih. Serbet makan, piring, dan alat makan biasanya disiapkan sesuai kebutuhan jumlah orang yang makan. Ya karena hari ini tidak ada tamu jadi hanya kami bertiga yang makan.
Di dalam ruang makan terlihat ayahku, Elijah, sudah duduk dengan rapih. Sepertinya, dia telah menunggu kedatanganku dan ibu. Aku dan ibu berjalan lalu mengambil tempat duduk dekat dengan ayah. Ayah sebagai kepala keluarga, duduk di meja panjang. Sedangkan ibu biasanya duduk dekat dengan ayah dan karena kami makan bertiga, aku duduknya juga dekat dengan ayah.
"Selamat datang, kalian habis dari mana?" tanya ayah bingung
"Kami habis dari perpustakaan, Lise terlihat bosan jadi, aku membawanya ke perpustakaan," jawab ibu. Ayah mengangguk lalu menyuruh para butler yang ada di ruangan, untuk membawa makanan ke atas meja.
Secara serentak, para pelayan membawa tray berisi makanan dan menaruhnya di atas meja. Seorang pelayan yang berada di dekatku, mengambil beberapa sayur dan lauk yang ada di atas meja dan menaruhnya di atas piringku. Jelas saja ini karena aku masih anak-anak, tanganku belum bisa menggapai sesuatu yang jauh.
Aku pun mengambil sebuah garpu dan mulai makan. Untungnya karena umurku, aku belum diperbolehkan menggunakan sebuah pisau makan jadi, sang pelayan sudah memotong makananku menjadi beberapa bagian,
Sesuatu yang masih aku belum terbiasa juga adalah makanan di mansion ini. Makanan di mansion ini sangatlah enak dan berkualitas. Aku yakin makanan di sini memiliki standar restoran bintang lima, sangat mewah dan enak. Senang saja setiap hari bisa disajikan makanan-makanan yang tidak mungkin bisa aku makan di kehidupan lamaku.
"Eli~ Lise setuju untuk memulai pelajaran aristokratnya," ujar ibu secara tiba-tiba membuat ayahku melihat ke arah ibuku dengan kaget sebelum akhirnya menatapku.
"Benarkah?" tanya ayah. aku menelan makanan yang berada di mulutku lalu membalas.
"Iya! Lise mau belajar!" ayah mengangguk mengerti.
"Baiklah, mulai minggu depan kamu akan memulai pelajaranmu," aku mengangguk dengan senang dan melanjutkan makanku. Namun, satu hal terlintas di kepalaku. Siapa yang akan menjadi guruku? Aku pun menengok ke arah ayah dan bertanya.
"Ayah, siapa saja yang akan menjadi guruku?" ayah langsung berhenti makan. Dia pun mengusap mulutnya dan menjawab.
"Tenang saja, ayah dan ibumu ini sudah memilih guru yang bagus dan berkualitas,"
Ok... aku tidak tahu harus senang atau deg deg an.