***
"Selamat malam, Tuan Muda Zero Arcean!" sapa suara familiar yang tengah duduk bersantai di sofa ruang tamu.
Suara bariton pria berjanggut tipis itu menggema memenuhi seluruh penjuru mansion, yang langsung membuat Zero si Pemilik nama menoleh takjub.
"Kakek?" Zero berlari turun sebelum sempat habis ia naiki anak-anak tangga tersebut.
"Ahahah...! Kau terkejut dengan kehadiran si Pemilik rumah, huh?" canda Zakaria membuka tangan untuk memeluk cucunya tersebut.
"Hum, cukup mengejutkan." balas Zero memeluk tubuh Zakaria.
"Oh, di mana Herly?" tanya Zero mencari keberadaan si Kakak sepupu.
"Tepat berada di belakangmu," ujar Herly mengangkat tangan, sembari membawakan tas kotak milik kakek mereka.
"Terima kasih, Nak." ucap Zakaria menghargai kebaikan cucunya.
"Ayo duduk," lanjut Zakaria mempersilahkan.
"Astaga... Anda benar-benar seperti pemilik rumah ini, Tuan besar!" puji Zero bergurau.
"Ahahah...!" tawa ketiganya melepas kerinduan.
"Aku memang pemilik rumah ini, kau ingat?" balas Zakaria yang sepertinya gemar sekali tertawa.
"Aku mendukungmu, Kek!" timpal Herly menyemangati.
"Aku tahu, aku tahu!" Zero menahan kata-katanya, mencoba untuk tidak tertawa sembari berbicara.
"Aku memang hanya menumpang di tempat ini." balas Zero menanggapi.
"Lihat, dia mengakuinya, Kek." kekah Herly yang dibalas tawa dari ketiganya.
Setelah itu, mereka terus bercakap ria dengan serunya. Menikmati beberapa gelas Vodka, dengan pembahasan yang tidak terlihat seperti kakek dan kedua cucunya.
"Oh, aku ingin membawamu ke suatu tempat, Zero," ujar Zakaria yang cukup memberi kesan tenang bagi ruangan.
"Ke mana, Kek?" tanya Zero meneguk habis minuman di gelasnya yang entah sudah keberapa kali.
"Ke suatu tempat yang mungkin akan membuatmu marah." unggah Zakaria menatap mata cucunya yang terdiam seketika.
Melihat itu, Harly Allen yang juga adalah cucu sambung Zakaria, akan tetapi berbeda marga, hanya dapat tersenyum tipis, melirik mimik wajah Zero yang tiba-tiba saja membeku di sana. Sepertinya, Zero sedikit mengetahui sesuatu yang lebih buruk dari itu.
***
Bruk!
Blue membuang tubuh lelahnya yang masih terkesan sedikit lembab di atas kasur empuk. Menatap lurus langit-langit kamar yang begitu teramat familiar, membuatnya mengantuk dan merasa ingin segera tertidur. Akan tetapi, sesuatu di bawah sana terasa nyeri, tatkala ia menggerakkan tubuhnya dengan sembrono.
"Ah...," lirih Blue berdesis kesakitan.
Sepertinya, Zero terlalu brutal menggarap tubuh gadis kecilnya itu. Blue menarik selimutnya, menyembunyikan diri di dalam balutan hangat kain berbahan tebal itu agar tidak ditemukan oleh cahaya. Memejam dengan penuh harap, semoga saja segalanya berjalan seperti apa yang ia harapkan. Namun, takdir sepertinya terlalu suka bermain-main.
Banyangan itu, ... bayangan bagaimana Zero memperlakukan dirinya kemarin, sungguh membuat Blue sesak hingga terasa lebih menyakitkan lagi. Gadis malang itu meringkuk memeluk lutut, meluapkan segala kekesalan dan perasaan sakit di dalam hatinya.
...
"Kau ingin membawaku ke mana?" tanya Blue tatkala Zero mengarahkan laju mobilnya ke jalan asing yang tidak Blue dapatkan dalam memori.
Gadis itu masih tidak tahu, hal buruk apa yang akan terjadi kepadanya nanti. Namun, Blue yang mengingat setiap kejadian dengan detile, seolah ingin membodoh-bodohkan diri sendiri, yang terlalu luluh dan percaya dengan Zero.
Sejujurnya, alasan terbesar mengapa Blue tidak pernah menyerang ataupun menyakiti Zero seperti menyakiti musuhnya adalah, setiap kali gadis itu melihat atau dekat dengan Zero, perasaan tenang selalu menyelimuti hatinya.
Zero begitu mirip dengan Ayahnya, Zain Arcean, di mana seperti yang kita ketahui, Blue tumbuh besar hingga menjadi gadis yang tangguh dalam perlindungan serta pelukan Zain Arcean. Satu-satunya Ayah yang ada di dalam sanubarinya. Sekalipun berbeda perasaan, Blue selalu merasa seolah Ayah dan Ibundanya ada, tatkala melihat Zero dengan setiap tingkah laku anehnya.
"Zero?" Blue terkejut, tatkala Zero membawanya ke sebuah Mansion tua yang terawat, sehingga masih terlihat seperti beberapa tahun lalu.
Mansion indah yang membuat Blue mengingat semua kenangan antara ia dan Zero di masa kehidupan Blue Allen sebagai Ibunda Ratu mereka, dan Zain Arcean sebagai Ayahanda, Raja pemilik tahkta yang begitu menyayangi kedua anaknya.
"Apa kau mengingat sesuatu?" tanya Zero yang begitu yakin jika Blue tidak mengingat apapun tentang rumah tersebut.
Lelaki itu memarkirkan mobil tepat di depan tangga pintu utama, kemudian beranjak keluar untuk menarik Blue ikut dengannya. Tidak merespon apa-apa, Blue hanya melangkah lemas mengikuti Kakak angkatnya yang menggandeng erat pergelangan tangan Blue.
Rumah besar itu tidak berpenghuni, akan tetapi masih terlihat begitu bersih dan terawat. Sepertinya, Zero enggan meninggalkan rumah itu dengan banyak kenangan di dalamnya. Apalagi, itu adalah istana di mana ia, Blue Allen, dan Zain Arcean bahagia di masanya.
"Mengapa kau mengajakku kemari, Zero?" tanya Blue tiba-tiba.
Zero menghentikan langkahnya, kemudian berbalik untuk melihat wajah Blue yang terkesan lelah.
"Kau akan tahu setelah kita berada di atas," ujar Zero kembali mengandeng tangan Blue, hendak memasuki kamar mendiang Ayah dan Ibunya.
Namun, lelaki itu hanya mampu memegang gagang pintu berbahan kayu tersebut, tanpa berani membukanya sama sekali.
"Kau baik-baik saja, Zero?" tanya Blue khawatir, lantaran Zero terlihat begitu pucat.
"Hum, aku baik-baik saja." ulas Zero yang kemudian beranjak meninggalkan pintu tersebut, menuju pintu lain yang tidak terdapat banyak kenangan di dalamnya.
Sepertinya, itu adalah kamar kosong yang biasa digunakan untuk para tamu. Melihat dari dekorasi dan bentuknya saja, Blue cukup yakin dengan hal itu.
"Untuk apa kita di sini?" tanya Blue berusaha menenangkan diri.
Pasalnya, gadis itu juga merasa trauma, setiap kali Zero membawanya ke tempat-tempat sunyi seperti ini.
Zero mendudukkan Blue di atas ranjang berbalut seprai putih, kemudian membungkuk sedikit untuk berbisik pelan.
"Aku ingin verifikasi," ulas Zero yang membuat Blue bingung keheranan.
"Verifikasi?" ulang Blue tidak mengerti.
"Ya. Aku ingin memastikan, apa aku benar-benar mencintai mu, atau tidak, Blue," kata Zero yang ditutup dengan kecupan hangat di pipi serta bibir gadis tersebut.
Cup!
"Umh!" Blue dersesis ringan, tatkala Zero tiba-tiba saja melumat bibirnya.
Gadis itu sudah tidak dapat berpikir jernih lagi kali ini. Ia tahu apa maksud Zero dengan kata verifikasi tadi. Dengan kasar, Blue mendorong tubuh Zero, menjauhkan lelaki itu dari tubuhnya.
Bruk!
Blue bangkit setelah Zero terjatuh ke lantai.
"Apa yang kau pikirkan, Zero?" tuntut Blue marah.
"Kau berkata bahwa kau tidak ingin menyakiti ku, bukan?" ucap Blue menyadarkan laki-laki bermata legam itu.
Mendengarnya, Zero terdiam sejenak, terkekah lirih dengan ucapan Blue kepadanya.
"Apa yang kupikirkan?" tanya Zero mengulang kata-kata gadisnya seraya bangkit dan berjalan perlahan mendekati Blue.
Melihat raut Zero yang tidak biasa, Blue lantas berlari menuju pintu keluar yang ternyata terkunci.
Clak! Clak! Clak!
Gadis itu berupaya membuka paksa pintu berbahan jati dengan cat putih di atasnya dengan tergesa-gesa, takut kalau-kalau Zero lekas mendapatkan tubuhnya.
Bruk!
Terdiam, tatkala Blue mendapati tangan Zero menahan pintu di atas kepalanya. Lelaki itu berdiri menjulang di belakang Blue, mendesak tubuh gadisnya untuk lekat dengan pintu.
"Kau ingin kabur, Sayang?" tanya Zero berbisik halus, kemudian menggigit kecil leher Blue dari belakang.
"Zero, aku belum mandi." ungkap Blue mencoba mengulur waktu.
"Kau ingin aku memandikan mu, huh?" tanya Zero yang membuat Blue bergeleng kuat.
Namun, sedetik setelahnya, lelaki berdarah campuran Asia-Eropa tersebut lekas menarik kasar tubuh Blue untuk ikut bersamanya ke kamar mandi.
Bruk!
"Akh!" Blue berdesis pedih, tatkala Zero membuang kasar tubuhnya ke tembok kamar mandi.
"Zero, hentikan ini!" kecam Blue berupaya mengembalikan kesadaran Zero yang seperti lenyap begitu saja.
Mengambil selang shower, lelaki itu lantas menyiram tubuh Blue yang berada di bawahnya tanpa ampun sama sekali.
Crash...!
Blue yang diguyur terus-menerus, sedikit kesulitan untuk bernafas dengan baik. Gadis itu terus menghalangi air yang menyiram langsung ke wajah, berupaya menghalangi air yang menggangu pernafasan.
"Uhuk! Uhuk! Zero," Blue berbicara terbata-bata, seperti seseorang yang tengah tenggelam.
"Zero cukup!" kecamnya geram, akan tetapi tidak dipedulikan oleh pacarnya tersebut.
Bosan dengan permainannya, Zero pun dengan keras membuang selang ke sembarang arah, kemudian mulai mengerjakan apa yang sudah pasti jadi tugasnya.
SRAK...!
Dengan satu tarikan, Zero berhasil menanggalkan kemeja seragam Blue. Merasa terancam, Blue lantas menampar keras kepala Zero, mencari cela untuk kabur.
PLAK!
Pukulan yang cukup kuat, lantaran tenaga Blue setara dengan laki-laki dewasa pada umumnya. Walau tidak meninggalkan luka, akan tetapi rasa nyeri tidak dapat Zero pungkiri juga.
"Akh... Sial!" umpat Zero tanpa melepaskan cengkraman tangannya di tubuh Blue.
Dengan wajah murka, Zero mengangkat tangannya tinggi-tinggi, membuat ancang-ancang untuk membalas pukulan gadis tersebut. Refleks, Blue memejam, meringkuk takut di bawah kendali laki-laki tersebut.
PRANG!
Nafas Blue tercekat, membuka mata perlahan, dan melihat kaca pelindung di samping mereka runtuh berkeping-keping. Tangan Zero yang memerah dan terlihat sedikit terluka, meyakinkan Blue bahwa ialah pelaku utamanya.
"Aku benar-benar akan memakan mu, kali ini." kecam Zero yang kemudian mengendong tubuh basah Blue, membawa gadis itu kembali ke kamar, kemudian membuangnya kasar ke atas ranjang.
"Hiks! Zero, tenangkan dirimu. Kau sudah berjanji, bukan?" Blue menangis, memohon dan terus membujuk.
"Aku tahu, tapi bukan berarti aku tidak bisa mengingkari, Sayang." ulas Zero yang membuat hati Blue terenyuh.
"Kau brengsek, Zero."
BUAGH!
***
To be continued...
Novel dari Amanda Do Rara🍓