Yang udah baca GlowApp 2, jangan ovt mentang-mentang Mas Bestie bilang Nalano putus. Soalnya dia punya dendam kesumat sama pasangan ini 😌
🏡🏡
"Huuuuu, Lista bego!"
"Nangis aja lo nangis!"
"Bully Nala aja semangat lo. Giliran ketauan belangnya Vira, malu kan? Belain lampir bangsat kebanggan lo sana!"
"Eh, tapi beneran Vira sebar sendiri buat fitnah?"
"Nggak tau fitnah apa nggak. Tapi Vira yang sebar gituan artinya udah nggak waras dia!"
"Minta maaf ke Nala cepet lo!"
"Iya cepet woy. Nangis mulu lo temen viraun."
"Cepet sana samperin Nala. Kalo nggak, gue—"
Nala menoleh ke segerombolan yang tadi sempat diam saat ia masuk. Tapi ternyata yang dilakukan teman sekelasnya justru memberondong Lista yang sudah menangis di tengah-tengah. Benar-benar tidak terlihat karena dikerumuni banyak siswa.
Tapi tangis sesenggukan Lista masih bisa Nala dengar di antara teriakan teman-temannya. Saat salah satu siswa bergeser dan terlihat Lista dengan mata sembap parah, berdiri, ia mengerjap.
"La ...," panggil Lista, lalu mulai melangkah.
Nala memutuskan mengambil tas di meja dan buru-buru pergi. Bukan ia tidak memaafkan. Tapi hatinya kacau hari ini. Mengingat Vira dan Lista yang memberondongnya dengan bentakan beberapa hari lalu masih tidak bisa ia lupakan.
Lista menendang kursinya.
Vira menamparnya.
Dua itu membekas bagi Nala dan ia masih merasa sakit.
Mungkin nanti Nala akan menerima jika Lista datang kembali untuk minta maaf. Tapi tidak untuk sekarang. Baginya kedua orang itu membuat sakit hatinya lebih parah dari apa yang Alda lakukan. Ia ingat Alda menggertaknya hanya satu kali saat ia masih siswa baru, saat itu di gudang. Setelah itu tidak ada lagi penyerangan.
Jadi ada batas-batas bagi Nala yang bisa ia maafkan dengan cepat.
Langkah Nala sampai di pintu kelas, seketika terhenti saat berhadapan dengan dua orang. Rijal dan Arif sepertinya baru berangkat.
"Eh, La. Si bos mana?" tanya Rijal sambil melihati ke dalam kelas.
Mendengar itu membuat ekspresi Nala berubah muram.
"Bego, ngapain tanya itu." Arif memukul punggung Rijal hingga bunyi bug meski tidak keras pukulannya.
Rijal garuk-garuk kepala, merasa bersalah. Nala pasti sedang ikut pusing sama pemberitaan yang simpang siur.
"La, lo mau balik?" tanya Arif.
Nala mengangguk. Niatnya memang begitu. Untuk apa ke sekolah kalau akhirnya begini?
"Mau ngobrol sama gue bentar nggak?" Arif tersenyum tipis, sedikit canggung karena kejadian beberapa hari lalu.
Awalnya Nala hampir menolak. Ia tidak mau menambah kepeningan hari ini dengan Arif yang entah mau ngomong apa. Tapi lalu berpikir, mungkin dari dua teman Lano ini, ia bisa mendapat banyak sisi pandang berbeda.
"Boleh. Jangan di tempat rame ya, Rif," jawab Nala.
"Warung depan sekolah aja, Rif. Gue belom makan," usul Rijal semangat sambil mengusap perutnya sendiri.
"Lo nggak diajak," desis Arif.
Nala segera menanggapi. "Kamu ikut nggak apa-apa kok, Jal."
Rijal tersenyum bangga seolah menang dari Arif. "Gue diajak tau, Rif. Lagian Nala pasti takut sama muka garang lo. Butuh muka imut gue buat penyeimbang."
"Imut taik!" Arif seolah mau muntah.
Nala berdecak. "Jadi apa nggak?"
"Huh." Rijal kaget. "Bisa garang juga pacarnya si bos."
"Ayo, La. Nggak usah dengerin Rijal nggak jelas."
Nala setuju untuk berjalan bertiga. Akan lebih mudah dari warung langsung pulang nantinya.
"Winda cs nggak berangkat, La?" tanya Arif di sisi kirinya. Sedangkan Rijal di sisi kanannya.
"Enggak," jawab Nala singkat. Sebenarnya tadi janjian tidak berangkat. Tapi Nala berubah pikiran dan bilang mau ke sekolah sebentar. Mereka mengerti untuk apa dan tidak ingin menyusul untuk ikutan kepo seperti teman yang lain. Tiga temannya sangat menjaga privasi dan perasaannya.
"Apa lo liat-liat?" Suara Rijal terdengar. "Nggak usah liatin Nala kayak gitu woy. Bidadarinya bos gue ini. Bukan saingan lo cowok tukang rumpi."
Nala meringis dengar Rijal langsung menghalau para cowok cewek yang lihatin mereka. Lebih tepatnya mungkin kepo dengan keadaannnya selepas rumor tentang Lano.
"Biarin, La." Arif mengerti keheranan Nala. "Itu bagian dari keimutan Rijal."
"Enak aja." Rijal tidak terima. "Gue harus lindungin nyonya bos."
"Sinting." Arif geleng-geleng kepala.
"Wah wah. Lo nggak ngerti seberharga apa bantuan Lano buat gue," decak Rijal, giliran geleng-geleng kepala.
Nala mengernyit, tidak paham dengan kalimat yang Rijal ucapkan tapi tidak mau bertanya lebih lanjut.
Mereka terus berjalan sampai di warung seberang sekolah. Nala hanya memesan minum. Dua temannya, ia tidak tau pesan apa karena hanya kembali bawa gorengan saja ke hadapannya.
"Gue minta maaf ya, La," kata Arif terus terang. "Gue dorong lo waktu itu."
"Nggak apa-apa."
Arif meringis. Ia mengaduk jus dengan sedotan, lalu tatapannya lurus ke Nala yang ada di depannya. Mereka dibatasi meja persegi panjang. "Gue pernah kemakan omongan Vira. Dan waktu denger nada lo tinggi ke dia, tanpa mikir panjang gue kira lo yang salah."
"Aku emang salah kok, Rif." Nala tidak mau membela diri. Meski Vira yang memulai mengatai keluarganya lebih dulu, tapi ia juga salah karena kelepasan balik mengatai dengan suara keras.
"Lo nggak salah." Arif percaya hal ini. "Gue minta maaf," ulangnya sekali lagi.
"Nggak apa-apa." Jawaban Nala juga tetap sama.
"Biasanya cewek bilang nggak apa-apa tapi pasti ada sebelnya kan?" Arif terkekeh.
Rijal yang dari tadi diam makan bermacam goreng-goreng, lalu menimpali. "Nala nggak dendaman kali, Rif. Diliat dari Lano yang baiknya kebangetan itu, pasti dapetin cewek yang speknya nggak beda jauh lah."
Kali ini Arif setuju. Ia mengangguk sebagai jawaban. "Kemarin aja abis gue sama dia berantem, dia sendiri yang anterin gue. Dia jelasin ke nyokap kalo ada kesalahpahaman kecil yang bikin gue sama dia berantem. Gue salut sih, dia bisa bikin nyokap gue nggak marahin salah satu di antara kami."
Nala baru tau hal ini. Kernyitan di dahinya muncul saat ada pertanyaan yang terlintas. "Kamu tau tentang Vira dari dia?"
"Nggak," tolak Arif. "Lano cuma bilang, kalo mau tau aslinya Vira, datengin aja rumahnya terus ketemu bokapnya. Udah gitu doang."
"Kamu ke sana?"
Arif mengedikkan bahu. "Dari cara Vira nolak gue anter sampe rumahnya aja udah ketauan, La. Gue nggak mau double bonyok juga sama papanya Vira," tawanya. "Intinya, gue percaya sama Lano."
"Iya, mana mungkin si bos jelekin orang." Rijal menimpali. "Waktu pertama kali lo kena bully itu, La, abis putus sama pacar mokondo, Lano datengin satu-satu orang yang nge-bully lo."
"Kok kamu tau?" tanya Nala. Makin bingung kenapa hal seperti ini tidak ia ketahui sebelumnya.
"Ya taulah. Gue yang nemenin aksi gertaknya dia. Nggak tau gimana kok dia bisa pegang kartu as tiap lawannya. Salutnya lagi, dia nggak pernah tegur orang di umum. Yang cowok biasanya dia ajak ngopi, yang cewek kadang juga gitu, atau dibawa ke toilet kalo di sekolah."
"Apa? Toilet?!" Suara Nala meninggi karena kaget. "Ngapain ke toilet?"
"Bego!" Arif menyikut Rijal yang kini mengerjap kaget karena ucapannya mungkin dianggap salah.
"Bukan apa-apa." Rijal mengangkat dua tangannya untuk menghentikan pikiran Nala yang mungkin sudah sampai di tahap membahayakan. "Duh, bisa dipecat gue sama bos."
"Ngapain ke toilet, Jal?" Nada suara Nala mulai turun, tapi justru terdengar sebal.
"Matiin lawan," kata Rijal seolah mencari kata-kata yang cocok. "Tenang aja, La, gue yang jagain di pintu aja nggak denger uh ah kok. Aman. Lano nggak kayak gitu orangnya."
"Siapa yang dibawa ke toilet?"
Duh, belum selesai juga, batin Rijal yang salah bicara di awal. "Yang bully lo waktu itu. Sekelas yang gue tau sih Ida, Dena, Salsa, dah itu aja. Kalo Lista sama Alda diajak ngopi di tempat dia."
Nala menghela napas pelan.
"Intinya bukan di toiletnya, La." Arif mencoba menambahkan. "Tapi, usaha Lano buat bikin mereka nggak nyakitin lo lagi. Yang sadar atau kapok, akan minta maaf ke lo. Yang nggak mempan kayak Lista gitu bakal Lano gertak pake cara lain."
Nala mulai tau korelasinya. Dimulai dari beberapa nama yang Rijal sebutkan tadi itu, telah meminta maaf padanya setelah ia diejek. Artinya itu karena Lano. Padahal dulu mereka belum ada hubungan apa-apa, tapi Lano selalu berusaha menghalau siapa pun yang membuatnya tersakiti.
"Yang di coffee shop waktu sama Alda Lista itu paling parah. Dua-duanya ngeyel di awal. Jadi si bos marah sampai gebrak meja." Rijal geleng-geleng kepala.
"Apa?" Nala mengernyit bingung. "Kenapa sampe gitu?"
Rijal garuk-garuk kepala saat bingung harus menjelaskan dari mana. "Jangan bilangin Lano kalo gue denger ini."
Nala tidak menjawab, tapi tatapannya yang serius membuatnya terlihat meyakinkan.
"Lano bilang kalo itu bukan anaknya. Gue kaget lah pas awal. Anak apaan, eh kesebutlah nama Vira. Ternyata Vira pernah hamil tapi dua lampir itu ngira Lano pelakunya makanya selama ini dendam banget sama Lano."
Tidak hanya Nala, Arif juga kaget lalu bertanya spontan. "Gila, berarti Alda sama Lista udah dicuci otak bertahun-tahun?!"
Rijal meringis. "Ya gitu kira-kira, Rif."
Nala memejamkan mata sejenak. Ini juga mungkin alasan Alda berhenti mengganggunya saat itu. Tapi Lista masih setia di samping Vira seolah menulikan telinga dari kenyataan.
"Lo emang pantes dapetin dia, La. Seniat itu usahanya buat lindungin lo." Arif geleng-geleng kepala, takjub juga atas cara Lano melindungi seseorang yang disayang.
Ada sesak yang terasa bagi Nala. Ia menyadari bahwa sebelum mereka bersama pun, Lano sudah melakukan banyak hal untuknya meski tidak ia ketahui. Lano mungkin benar saat bilang telah banyak cara membuat Vira berhenti menganggu. Sayangnya Vira terlalu sulit dikalahkan.
Seharusnya Nala tidak menyalahkan Lano begitu saja. Bukan tidak mau berusaha banyak, tapi Lano butuh waktu untuk menyelesaikan. Karena tidak semua lawan bisa dilumpuhkan dengan cepat.
"Halo."
Suara itu membuyarkan lamunan Nala. Ia lihat Rijal mengangkat ponsel sampai telinga, sebelum berdecak.
"Bentar, kalo nggak loudspeaker nggak kedengeran, Bos."
Detakan di dada Nala makin kuat saat tau siapa yang menelepon Rijal. Belum lagi cowok itu benar-benar mengeraskan suara dan meletakkan ponsel di meja.
"Lo di sekolah nggak, Jal?"
"Iya, gimana?"
"Liat Nala?"
Rijal jadi bingung jawabnya. Apalagi Nala menggeleng seolah menandakan jangan dibocorkan rahasia kalau mereka sedang bersama. "Liat. Tapi sekarang gue lagi di warung seberang sekolah, Lan."
"Oh." Suara Lano terdengar kecewa.
"Gue kira suruh gue masuk sekarang jadi barista."
"Gue jadi inget. Besok coffee shop tutup. Mungkin sampe bulan depan."
"Apa?" Ini lebih mengagetkan bagi Rijal. Mukanya pucat pasi. "Gue kosong dong sebulan ini?"
"Iya. Tenang aja, lo jaga mess kayak biasa. Entar gue supply makanan."
"Baik bener lo."
Lano tertawa pelan.
"Entar lo ke kafe nggak, Lan?"
"Enggak. Bisa dimarahin kakak gue entar. Pinggang gue masih encok soalnya."
"Abis ngelembur apaan lo encok? Bangun seribu candi?"
"Kalo cewek gue minta itu juga gue bangun beneran, Jal."
"Bucinnya nggak usah transparan gitu, Bos. Malu sama karyawan."
"Lo temen gue, bukan karyawan."
Rijal hanya berdehem dan kembali menggigit gorengan. Ia mengamati dua manusia di sana yang masih diam seolah menghargainya berbicara dengan seseorang.
"Jal, boleh minta tolong?"
"Apa, Lan?"
Lano terdengar menghela napas pelan. "Tolong bilangin Nala suruh buka hp. Gue tau lo lagi di situ sama Nala sama Arif juga."
Nala tersentak. Entah Lano tau dari mana, ia tidak menyangka. Tapi kalau dengar cerita Rijal tadi kalau Lano pegang kartu as banyak orang, sudah pasti cowok itu punya orang lain untuk melaporkan apa saja di sekolah.
"Entar gue bilang ke anaknya," jawab Rijal.
"Thanks, Jal. Udah kebelet kangen soalnya." Meski Lano tertawa, tapi hanya Nala yang mengerti bahwa sebenarnya Lano tidak sepenuhnya bercanda dengan ucapannya.
Setelah itu percakapan selesai karena diakhiri dari pihak Lano.
Kini Nala merasakan dua orang di hadapannya menatap intens.
"Gue tau ini bukan urusan gue, La." Rijal seperti bingung mau bilang apa, mengatur kata-katanya agar tidak menyinggung Nala, sekaligus tidak menyalahkan keduanya. "Tapi fitnah Vira ini pasti pengaruh sama pandangan lo ke dia, padahal lo tau bukan dia pelakunya."
Nala menunduk. Ia menelan salivanya susah payah. Semua kalimatnya tertahan di tenggorokan. Ia tidak bisa menjawab.
"Coffee shop itu juga," sambung Rijal. "Gue denger kemarin dia tanya ke gue. Kalo nutup coffee shop sementara apa nggak apa-apa? Kalo ganti nama apa bakal ngurangin vibes-nya? Apa pengaruh sama pengunjungnya? Lano keliatan takut mau ambil langkah, tapi harus. Dan gue ngerti ini pasti ada hubungannya sama lo juga."
Apa Nala terlalu kejam saat bilang ia sakit hati karena nama coffee shop milik Lano dan itu membebani Lano sendiri? Tapi ia memang benar sakit hati.
"Setau gue, dia selalu totalitas kalo buat cewek yang dia sayang. Soalnya Lano pernah curhat katanya niat ganti nama coffe shop taun depan. Tapi ternyata ..." Rijal menunjuk ponsel sembari tertawa pelan. "Lo denger sendiri tadi. Besok, katanya."
"Nggak gampang buat dia putusin langkah besar kayak gini." Arif lagi-lagi takjub dengan langkah yang Lano ambil. "Nggak banyak orang juga yang bisa lakuin hal dengan terstruktur kayak yang Lano lakuin. Gue harap lo bisa pikirin ini, La. Nggak maksa, tapi menyayangkan kalo kalian nggak sama-sama. Lo baik, Lano juga baik."
Rijal menyeruput minuman sebelum menambahkan, "Lo pasti tau kisah hidupnya. Dia juga butuh dingertiin, La. Kadang gue kasian liat dia." Ia tertawa pelan. "Tapi kalo lo mau cari yang lebih baik dari Lano, semoga dapet. Umur kita masih muda, mungkin lo masih mau cari pembanding siapa tau ada yang lebih segalanya dari dia. Gue yakin sih kalo lo izin kayak gitu, pasti Lano iyain. Terus dia juga bakal bilang, kalo lo nggak nemuin di orang lain, silakan balik ke dia."
Arif tertawa. Ia mengangguk-angguk. "Iya, pasti gitu. Gue paham gayanya."
Rijal tersenyum menyadari ada yang sependapat dengannya. Lalu ia menatap Nala lagi, serius kali ini. "Gue yakin dia nggak akan sia-siain lo. Jadi gue harap lo ngelakuin hal yang sama ya, La."
***
"Belum sembuh?"
Lano meringis, lalu terbatuk lagi. Ia menerima uluran gelas dari Frisya lalu meneguknya. Batuk beruntun kembali terdengar karena air masih tidak mampu melegakan tenggorokan.
"Istirahat dulu, Lan," ucap Frisya, mengusap kepala adiknya. Rambut Lano sudah agak panjang lagi, berantakan. Tangannya disentuhkan ke dahi Lano dan seketika menghela napas lelah. "Masih panas. Kenapa nggak mau istirahat?"
Lano menggeleng, kembali menekuni buku di hadapannya. Ia belajar untuk tes masuk perguruan tinggi. Meski masih beberapa bulan, tapi ia tidak mau menyiakan waktu.
"Mau lanjut belajar sampe jam berapa?" tanya Frisya pelan.
Lano kembali terbatuk dan kali ini disertai bersin-bersin. "Sejam lagi, Kak."
"Ya udah, abis itu tidur ya."
"Abis ini liat pembangunan coffee shop."
"Tidur, Lan." Suara Frisya lebih tajam dari sebelumnya. "Beberapa hari ini tidurnya cuma bentar."
Lano belum menjawab, seolah tidak mendengarkan ucapan kakaknya. Iya, memang belum genap seminggu sejak ia menyerahkan bukti ke kepala sekolah. Juga sebuah video yang ia dapat dulu di salah satu tempat clubbing bahwa Vira terang-terangan menenggakkan alkohol secara paksa untuk Albert.
Setelah itu, Lano tidak tau kelanjutannya. Ia tidak peduli lebih tepatnya. Mengurus coffee shop dan belajar agar masuk ke kampus yang sama dengan Nala, jadi prioritasnya.
"Aku kunci pintunya dari luar," putus Frisya lalu berdiri.
"Jangan, Kak."
"Makanya istirahat. Kamu kecapekan."
"Nggak capek kok."
"Lano, jangan ngeyel kayak gitu." Frisya kembali mendekat dan urung keluar kamar adiknya. Ia kembali menghampiri Lano.
"Aku harus cepet-cepet, Kak." Suara Lano meski terdengar sengau karena batuk pilek dan panas di tubuhnya, tapi terkesan kesal. "Lagian kenapa cuma bongkar beberapa ruangan aja lama banget."
Frisya mengernyit. "Kamu nggak sabar?! Renov sendiri aja sana pake tangan kamu. Belum ada seminggu udah pengin selesai aja. Lagian ngapain kamu ke sana tiap menit, ha? Nggak bakal ubah apa-apa. Semua butuh waktu, Lan. Mereka yang ngerjain juga manusia, butuh istirahat!"
Lalu diam setelahnya. Suara Frisya tadi memang sedikit meninggi karena kekesalan akan adiknya yang ngeyel tidak mau dibilangin apa pun. Bahkan sampai sakit begitu tapi memaksakan diri terus memantau perubahan coffee shop.
Di tengah hening, Frisya mendapati Lano menatapnya dengan mendongak. Dua mata itu merebak. Wajah Lano terlihat pucat. Frisya akhirnya merendahkan tubuh, menyejajarkan dengan adiknya yang duduk, lalu ia bawa Lano dalam pelukan.
Seketika itu terdengar Lano yang sesenggukan. Kondisi tubuh yang sedang tidak baik-baik saja pasti berpengaruh juga pada perasaan adiknya. Frisya amat mengerti keadaan Lano tiap kali seperti ini.
"Tapi Nala ... belum ... balas chat-ku, Kak," kata Lano, persis seperti anak kecil yang merajuk pada mamanya.
Frisya mengusap punggung Lano pelan. "Kalo kangen, samperin dia, Lan. Jangan kayak gini."
"Tapi coffee shop-nya belum jadi." Lano terbatuk setelah mengucapkan itu. "Nanti aku harus ngomong apa?"
Karena ia janji akan menyelesaikan secepatnya. Jadi jika ia datang dengan keadaan yang masih sama, Nala pasti berpikir ia tidak bergerak kan? Meski sebenarnya telah ia kirimkan banyak pesan tentang perkembangan atas rencana-rencananya. Ia juga bilang ke Nala akan menyelesaikannya dulu. Jadi secara intens ikut serta memastikan proses renovasi dari awal sampai akhir.
"Ya omongin apa yang pengin kamu omongin," jawab Frisya menenangkan. Ia melepas peluk dan mengusap wajah adiknya yang basah. Ia tidak heran kalau Lano jadi melankolis.
Tiap sakit dan panas tinggi, Lano memang kerap begitu. Apalagi sekarang ditambah masalah lain.
"Aku udah bilang lagi proses ganti nama, Kak," lapor Lano. "Tapi dia masih nggak bales chat."
"Udah, besok samperin aja. Nggak usah takut." Frisya kembali memberi semangat. "Masa cowok takut ditolak. Kejar terus dong."
Lano mengerjapkan matanya yang terasa berat. Ia memikirkan kata-kata Frisya. Iya, benar, harusnya ia terus menemui Nala saja tanpa berpikir banyak hal. Sudah biasa ditolak dari awal kan? Kenapa sekarang ia harus merasa takut?
"Makanya sekarang istirahat, udah malem. Besok pagi temuin Nala. Harus ganteng biar dia mau ketemu kamu. Kalo keadaannya kayak gini, dia bisa lari." Frisya bercanda.
Lano menuruti. Ia bangkit dan berniat pindah ke tempat tidur. Ia mengerang pelan. Belum reda sakit pinggangnya kemarin yang kata dokter terkena cedera otot, kini demam membuat tubuhnya terasa menggigil.
"Aku ambilin obat dulu. Kalo besok masih belum baikan, aku panggilin dokter."
Tatapan Lano nyalang ke atap kamar setelah Frisya berlalu. Ia mengerjap dan mengusap sisa-sisa air mata. Terasa hangat di tangannya. Sekarang air di sudut mata mulai mengalir lagi, bukan atas rasa frustrasi, tapi matanya memang terasa panas.
Lano mengulurkan tangan ke nakas, meraih ponsel. Ia membuka ruang obrolan dengan Nala. Cewek itu juga jarang online sekarang. Panggilannya sudah beberapa kali tidak dijawab, apalagi pesannya yang hanya dibaca. Telah banyak pesan yang terabaikan.
Masih pukul 9 malam, semoga Nala belum tidur. Lano harus mencoba berusaha lagi. Ia mengirimi pesan lagi ke Nala.
Lano
Aku udah boleh tlp belum, La?
🏡🏡
Pasti sebel sama Nala😌
Sabar, deket ending nih, dah panjang soalnya jalannya bocil putus nyambung xixi