Langit hitam pekat yang muncul secara tiba-tiba membuat siang hari nampak mencengangkan. Hujan rintik-rintik sendu mulai diturunkan membasahi tanah kering. Seketika kami--para gapreters berlari meneduh di emperan ruko yang berada di tepi jalan.
Hujan semakin deras dan menggenang. Rasanya akan percuma meneduh jikalau kaki dan tubuh kami juga sama basahnya terkena cipratan dari atas genting.
Indra mengajak kami semua untuk bermain hujan-hujanan sambil mengenang masa kecil kami. Indra melepaskan sepatunya dan memasukkannya ke dalam tas. Ia berlari-lari kecil sambil menarik tangan-tangan kami untuk keluar dari tempat berteduh.
"Terakhir kita hujan-hujanan itu pas SD kelas 4. Sebelum Leo pindah ke Surabaya." Ingatan Jansen masih terasa kuat.
Indra terus mengadahkan tangannya seolah sedang mengumpulkan tetes-tetes air di tangannya. Setelah terkumpul penuh, dilemparkannya tetesan air itu kepada Jansen dan Leo yang ada di sebelahnya. Terlihat jelas para anak laki-laki menikmati momen bermain hujan dengan sangat ceria. Di dalam memori ingatanku, mereka masih sama seperti enam tahun lalu. Masih terlihat seperti anak kecil yang suka bermain mobil tamiya di teras rumah. Jiwa kanak-kanak mereka masih sama, yang berubah hanyalah postur tubuh mereka yang semakin tinggi dengan suara yang semakin berat.
Hujan lebat disertai angin kencang mampu meniup pepohonan hingga bergoyang dan daun berjatuhan. Badan kami semua pun hampir terseret oleh kencangnya angin badai. Tiba-tiba mataku kelilipan benda kecil. Aku mengusap mataku, tetapi benda kecil itu tidak mau keluar dari mataku.
Angin badai berembus kembali. Lebih kencang dan dahsyat. Semua orang berlari menyelamatkan diri. Tapi tidak denganku. Aku masih terpaku mengusap mata, berusaha mengeluarkan benda kecil yang menempel di sklera mataku, memastikan bisa melihat dengan jelas tanpa merasa perih.
Tiba-tiba sesuatu terjadi. Seseorang mendekap tubuhku dengan sangat kencang. Memegang kepalaku seolah-olah sedang terjadi sesuatu. Gerakan tubuhnya menyeretku untuk tidak berada di tempat ini. Dalam hitungan detik, sebuah benda terjatuh dengan suara yang kencang. Aku tidak tahu apa. Tapi sebuah benda kecil yang menempel di sklera mataku tiba-tiba keluar. Aku bisa melihat dengan jelas.
Sebuah plang besi terjatuh mengenai kepala Andra. Aku menjerit histeris disertai para gapreters datang mendekati kami. Kepala Andra berdarah dan kini dirinya terjatuh lemas seakan pusing dengan darahnya sendiri. Jika bukan karena dekapan Andra, mungkin saat itu akulah yang berada di posisi Andra.
Andra terkapar lemas di aspal jalanan. Indra langsung mengangkatnya dan menggendongnya di tengah hujan yang masih deras. Ia sudah tidak peduli lagi akan hujan dan badai, yang terpenting saudara kembarnya segera dilarikan ke rumah sakit. Hanya itu harapannya. Ia tidak mau kejadian Maminya terjadi pada saudara kembarnya.
Kami semua mengikuti Indra menuju rumah sakit kawasan perumahan kami. Dibawalah petugas rumah sakit menuju ruang perawatan. Kami menunggu di luar. Berdoa dan berharap agar kondisi Andra tidak parah. Butuh sekitar lima belas menit dokter yang merawat Andra keluar dari ruangan. Beliau berkata Andra hanya mengalami cedera kepala ringan akibat besi plang yang mengenai kepalanya. Selanjutnya, dokter akan menjelaskan kondisi anaknya melalui Om Sulaiman.
Aku memasuki kamar Andra. Ia terlihat lemas dengan kepala yang sudah diperban. Aku mendekatinya. "An, lo nggak apa-apa? Lo masih ingat nggak nama gue siapa?"
Tatapan Andra terlihat bingung. "Lo siapa?"
Aku gelagapan. "Lo nggak kenal gue?" Aku menyeret Indra, Jansen, dan Leo. "Kalau mereka? Kenal nggak?"
Andra mengangguk. Mengucapkan satu per satu temannya dengan benar. Hanya aku yang tidak ada dalam ingatannya. Aku menangis sekencang-kencangnya di kasur inap Andra. Masa bodoh jika kasurnya penuh dengan air mataku. Ini semua salahku. Andra jadi lupa ingatannya.
Tak butuh lama setelah kalimat itu terucap, Andra tertawa dengan sangat kencang. Puas. Ia tertawa hingga perutnya kesakitan. Andra menoyor kepalaku. "Udah gue bilang berapa kali jangan kebanyakan nonton sinetron. Lebay banget lo jadi orang. Kepala gue nggak apa-apa."
Aku masih tidak percaya akan ucapannya. Terlihat jelas ada luka kecil di kepalanya dengan goresan di dahinya yang kini sudah ditutupi dengan kain kasa. Walau demikian, tetap saja aku terus merasa bersalah. Malangnya nasib Andra. Sudah ditinggal pergi Mami Rita, sekarang malah terkena musibah karena menolongku.
Andra diperbolehkan pulang. Dokter menyuruhnya untuk terus mengganti kasa setiap hari. Selain itu, jika Andra mendapati pusing dan pandangan kabur, ia harus segera kembali ke rumah sakit.
"Jun, maaf aku terlambat nolongin kamu." Leo terdengar sedih menatapku.
Aku memegang tangannya erat. "Kamu nggak terlambat untuk hal apa pun."
Kini aku seperti memiliki kewajiban untuk selalu menjaga Andra sebagai penebusan atas lukanya, juga sebagai pengganti sosok Mami Rita yang ia butuhkan. Aku selalu berada di sisi Andra. Membantunya mengganti kain kasa, membantu mengambil sesuatu di lantai dua, dan hal lainnya. Walaupun Andra bersikeras menolak kebaikanku dan mengatakan lukanya tidak bermasalah. Namun, aku masih merasa was-was jika suatu saat dirinya merasa pusing atau pingsan secara tiba-tiba.
Kejadian yang tidak diinginkan terjadi. Andra merasakan pandangannya kabur disertai telinga yang berdenging. Dengan cepat kusuruh Indra untuk membawanya ke rumah sakit. Dalam kondisi seperti ini, Om Sulaiman tidak bisa ikut mendampingi anaknya. Hari ini beliau ada janji temu dengan notaris untuk proses jual beli tanah baru di daerah Banyuwangi. Tanpa sadar aku ikut menangis. Kasihan Andra.
Keluargaku menjadi pendamping Andra di rumah sakit. Gejala vertigo yang dialami Andra adalah hal yang umum terjadi pada penderita cedera kepala ringan. Andra tidak boleh kebanyakan stres dan beraktivitas lebih demi proses kesembuhannya.
Karena terlalu banyak memikirkan Andra, tanpa sadar aku menyakiti hati seseorang--Galileo. Jahatnya aku yang sudah beberapa hari ini mengabaikan pesannya dan jarang meluangkan waktuku untuknya.
Entahlah hati Leo terbuat dari apa. Ia selalu sabar menantiku, selalu tersenyum di depanku tanpa ada kemarahan dari raut wajahnya. Namun hari ini, ia berdiri di depan rumahku dengan wajah sedihnya.
"Juni, sebaiknya kita putus aja," ucapannya seperti sambaran kilat menghujamku.
"Kenapa?" Suaraku bergetar.
Leo bergeming sesaat sebelum melanjutkan ucapannya. "Aku cemburu. Aku nggak bisa terus-terusan diam melihat kamu di dekat Andra. Aku tau Andra sahabat kita. Dia juga terluka gara-gara nolongin kamu. Nggak bisa dipungkiri aku juga marah sama diri aku sendiri kenapa langkahku bisa didahului Andra. Tapi Jun, Andra suka kamu. Aku nggak mau kamu ninggalin aku demi Andra. Aku tau aku sangat egois. Ini semua karena aku sayang sama kamu."
Akhirnya kalimat sakral itu terucap dari bibir Leo. Ia tahu bahwa Andra menyukaiku. Mengapa semua orang sudah mengetahuinya kecuali aku.
Leo pantas marah dan kecewa terhadap ini semua. Aku tidak mungkin menjauhi Andra dan menuruti apa yang Leo inginkan. Aku sudah berjanji kepada Mami Rita untuk mementingkan persahabatan dibandingkan rasa cinta. Dari awal aku tahu kalau hubungan ini salah. Didasari dari sahabat lalu menjadi cinta.
Aku masih termenung sementara Leo dengan tatapan menggebu-gebu menantikan jawabanku. "Jun, aku udah nggak bisa berbagi kamu dengan cowok lain. Menahan sabar melihat pacarnya mengurus cowok lain--meskipun itu adalah sahabat aku sendiri. Aku sadar sifatku memang kekanak-kanakan. Aku percaya kamu sayang aku. Tapi, nggak menutup kemungkinan jika suatu saat nanti kamu juga akan menyukai Andra." Leo menatapku lamat-lamat. "Cinta itu kayak tanaman liar, Jun. Bisa tumbuh di mana aja. Apalagi jika di tempatkan dengan suhu terbaik, tanah yang subur, tanaman liar itu dapat tumbuh membesar. Aku nggak mau itu terjadi."
Aku masih bergeming.
"Leo, aku nggak bisa jauhin Andra seperti apa yang kamu minta. Aku juga udah janji sama Mami Rita untuk jagain si kembar. Kamu nggak egois. Aku yang jahat. Maaf," ucapku dengan suara bergetar.
Leo mendekapku. Dan aku tak mau melepaskan pelukannya. "Aku juga sayang sama kamu, Le. Tapi bagiku, persahabatan telah menjadi prioritas utama. Maafin aku." Tangisanku semakin kencang. "Kalau kamu udah nggak sanggup sama ini semua, aku bisa menerima keputusan kamu. Memang sebaiknya kita harus putus, Le. Agar kita semua nggak ada yang saling tersakiti." Aku melepaskan pelukan Leo dan menutup pintu rumahku rapat-rapat.
Aku menangis dari balik pintu rumah. Membiarkan Leo kelelahan mengetuk pintu rumahku.
Cinta dan persahabatan adalah dua hal yang merumitkan. Alasanku sudah tepat untuk hal ini. Aku tidak ingin menyakiti Leo dengan semua keegoisanku. Aku berusaha melepaskan cinta pertamaku demi sebuah persahabatan.
Ibu melihatku menangis. Wajah Ibu bak menyimpan banyak pertanyaan kepadaku. Namun, Ibu memilih diam. Kali ini aku berlari memeluknya. Menumpahkan segala emosi dan kesedihanku di depannya. Aku jarang memangis seperti ini di depan Ibu, tapi saat ini aku sangat membutuhkannya.
"Kakak, hubungan itu ada masa pasang surutnya. Ada sedih dan bahagianya. Wajar kalau Kakak nggak bisa memilih antara pacar dan sahabat, karena mereka saling berkesinambungan dalam hidup Kakak. Mereka adalah bagian dari perjalanan hidup Kakak menuju langkah dewasa. Nggak semua hidup harus berjalan mulus dan lurus. Kakak akan menemukan pertigaan, aspal rusak, polisi tidur, serta lampu merah ketika Kakak ingin mencapai suatu tujuan. Begitupun dengan hubungan. Kita nggak bisa memilih semuanya dan membahagiakan semua orang. Tanpa kita sadari, kita pasti pernah melukai hati seseorang. Dan tentu akan ada perasaan yang harus dikorbankan. Kalau Kakak merasa pilihan Kakak sudah benar, apa pun keputusannya, pasti Ibu akan mendukung Kakak. Tapi Kakak harus ingat kembali momen persahabatan yang sudah kalian bendung sejak lama. Hanya karena gagalnya sebuah hubungan, bukan berarti harus menghancurkan hubungan lainnya. Semua tentang waktu, Kak. Baik menyembuhkan maupun sebagai pembelajaran." Ibu memeluk dan mengusap kepalaku.
Aku merasakan kehangatan pada pelukan Ibu. Andai Mami Rita masih hidup, mungkin aku juga akan mendapatkan pelukan ekstra darinya.
Kondisi Andra mulai membaik. Luka di dahinya sudah mengering. Bahkan telinganya sudah tidak berdenging lagi. Akulah yang paling bahagia atas kesembuhan Andra.
"Jun, Leo ke mana? Gue jarang lihat dia ke sini," tanya Andra sambil mengamati rumah Leo yang selalu tertutup rapat.
"Nggak tau," jawabku singkat.
"Lo lagi berantem ya?" Tanyanya lagi.
"Gue udah putus," jawabku singkat.
Andra tak bertanya lagi. Mungkin ia sungkan atau tidak mau mengganggu privasiku.
Sejak Leo memutuskan hubungan denganku, aku sudah jarang melihat keberadaannya. Bahkan di sekolah pun ia selalu menghindar jika berpapasan. Aku pun sama. Kondisi seperti ini mengingatkanku akan cerita Bang Jan dan Mbak Kiara. Entah sampai kapan kami akan berjauhan. Hanya saja, bagiku ini yang terbaik untuk menetralisir perasaanku.
Sepulang sekolah, untuk pertama kalinya, aku melihat perempuan lain yang sedang menggandeng tangan Leo. Bahkan belum ada dua bulan kami putus, Leo sudah membawa perempuan itu ke rumah. Tentu saja hal itu membuatku tercengang dan sedih yang teramat dalam. Semudah itu dirinya melupakanku begitu cepat.
Jansen berusaha mencairkan suasana. "Wih, siapa itu Le?"
"Olivia, cewek baru gue," ucapnya memamerkan pacar barunya di depan kami. Sorot matanya menatapku terus, seperti ingin menunjukkan bahwa dirinya sudah memiliki pacar.
Andra hanya bergeming. Ia menatap mata Leo dengan wajah menegang kesal. Andra menarik tanganku untuk keluar dari lingkaran Leo dan Olivia.
"Lo kenapa sih, An, nyeret-nyeret gue ke sini? Nggak sopan ada ceweknya Leo. Cantik loh dia," ucapku berpura-pura tegar.
"Jun, nggak usah bohong. Gue tau lo terluka. Gue tau lo masih sayang sama Leo. Bahkan gue nggak tau apa penyebab kalian bisa putus. Tapi setelah gue lihat Leo dengan cepat menggantikan lo, gue benar-benar kecewa sama dia." Andra memegang tanganku. Pandangannya lurus menatapku. "Gue sayang sama lo, Jun. Sejak pertama kali kita ketemu di taman Gardenia. Selama ini gue menutupi perasaan gue, menyangkal rasa sayang gue, demi menjaga lo supaya lo nggak menjauh dari gue. Cara gue menyanyangi lo mungkin terlihat aneh. Gue selalu buat lo nangis, kita sering bertengkar, dan mungkin lo membenci semua tindakan gue. Tapi sesungguhnya, gue sayang sama lo dan nggak mau lo terluka. Gue orang yang paling marah ketika lo disakiti hingga menangis. Gue bakal lakuin apapun untuk membuat lo tersenyum, termasuk merelakan lo bersama Leo, sahabat gue. Walaupun gue sedih dan kecewa, tapi gue merasa tenang bisa melihat lo tersenyum dengan pilihan lo. Dan ketika lo putus, gue hanya ingin lo ceria seperti dulu. Bahagia lagi. Ketika senyuman manis lo mulai merekah lagi, tiba-tiba Leo datang dengan orang lain. Gue tau lo akan bersedih lagi. Jun, udah saatnya lo harus bahagia dengan orang yang tulus dengan lo. Gue nggak masalah jika gapreters bubar. Lo nggak perlu memaksakan diri untuk bergabung dengan kami. Pulihkan dulu diri lo dan izinkan gue mengisi ruang hati lo."
Aku menitikkan air mata. Semua pradugaku terhadap Andra keluar sudah. Akhirnya ia mengungkapkan perasaannya kepadaku. Sejujurnya aku sudah tidak terkejut lagi. Justru ekspreskiku sekarang malah menangis.
"An, selama ini gue selalu mengira lo adalah kakak kedua gue setelah Bang Januar. Gue menganggap lo spesial. Lo selalu ada buat gue, menghibur gue, merangkul gue, dan semua kebaikan lo di mata gue itu sungguh indah dan bermakna. Sekali pun dalam hidup gue nggak pernah terbesit untuk berprasangka kalau lo bisa sayang ke gue lebih dari seorang tetangga atau teman. Karena selama ini lo selalu jadi pendengar gue tentang Leo. Dan gue rasa lo tau semua isi hati gue. Sampai di mana Tisha, Serena, Mami Rita, bahkan Leo--mereka bilang kalau lo suka sama gue, gue masih menyangkal. Dan sekarang apa yang gue dengar dari mereka benar-benar terjadi. Gue kecewa sama lo. Tapi gue sadar, gue nggak punya kuasa lebih untuk mengatur isi hati lo. Gue nggak bisa melarang lo untuk suka sama gue. An, gue sayang sama lo tulus sebagai Andra Biantara yang telah menjadi sahabat gue, keluarga gue, musuh gue-bukan sebagai pacar. Gue nggak mau kehilangan lo. Sudah cukup bagi gue kehilangan sosok Leo. Jangan lo tambah dengan pengakuan lo lagi. Kalau lo masih terus suka sama gue, berarti lo harus siap kehilangan gue-sama seperti gue kehilangan Leo. Kita semua akan terluka dan saling membenci. Bahkan gapreters akan hancur dengan keegoisan kita semua." Emosiku meluap membuat Andra diam tak bersuara lagi.
Aku berlari pulang.
Selama ini aku selalu mengira bahwa tidak ada orang yang menyayangiku. Namun nyatanya, aku menerima banyak cinta dari orang terdekatku. Tapi, mengapa aku sangat kecewa? Cinta dari mereka sama seperti bumerang yang akan membunuhku secara tiba-tiba.
Kini gapreters mulai merenggang. Aku berusaha mungkin menjauhi Andra dan Leo. Pesan Andra tidak ada yang kubalas. Sering kali ia mencariku lewat Bang Jan, tetapi aku sudah menyuruhnya untuk tutup mulut dan mengatakan aku tidak ada di rumah. Caraku menatap Andra sudah tidak seperti dulu lagi. Aku merasa telah kehilangan sahabat setelah dirinya mengungkapkan cinta kepadaku. Memang benar kata pepatah-tidak ada persahabatan antara lawan jenis. Pasti salah satunya ada yang menyimpan rasa. Kupikir aku bisa merahasiakan rasa sukaku kepada Leo, sampai akhirnya ia juga memiliki rasa yang sama denganku.
Jika saja aku dan Leo tidak berpacaran, apakah gapreters akan baik-baik saja? Apakah kami masih bisa seperti dulu lagi? Bermain, bercanda, bercerita, dan kegiatan lainnya. Aku rindu momen itu. Momen kebersamaan mereka.
Cluster Gardenia semakin terlihat sepi. Tak ada suara berisik dari depan rumah. Biasanya ada para gapreters yang suka main basket di taman Gardenia. Tapi kali ini, lapangan menjadi sepi.
Kudengar Leo tidak pernah membawa Olivia lagi ke Gardenia. Ia sibuk menjadi volunteer untuk para atlet muda. Jansen mendapatkan tawaran kerja lepas sebagai fotografer untuk majalah bisnis. Si kembar sibuk dengan kompetisi basket dari ekskul sekolah.
Setelah kepergian Mami Rita, aku tidak merasakan lagi kehangatan seperti dulu. Suasana Cluster Gardenia yang selalu ramai dan penuh cerita. Kini para warga sibuk dengan hidupnya masing-masing. Kini mereka menjadikan rumah sebagai tempat singgah sementara bukan sebagai tempat berteduh dan berkumpul.
Saat aku sedang bersantai di ayunan taman, aku mendapati Leo sedang memegang sudut bibirnya. Tak sengaja wajahnya menoleh ke arahku. Dengan cepat ia menutupi bibirnya dan melengos begitu saja. Saking cepatnya ia berjalan, ia menabrak badan adikku. Dek Ta tersungkur dan menangis dengan kencang.
Aku berlari melihat kondisi adikku. Leo sudah duluan membantu Dek Ta mengelap lukanya. "Maafin Mas Leo ya, Dek."
Tangisan Dek Ta berhenti. Tangannya menunjuk sudut bibir Leo. "Bibir Mas Leo kenapa biru-biru?" Dek Ta memanggilku. "Kakak, Mas Leo berdarah juga."
Aku refleks memegang sudut bibirnya yang biru lebam. Leo menatapku tak berkedip. "Lo kenapa? Habis berantem ya?"
Butuh waktu lama untuk Leo mau menjawab. Ia merespons dengan sebuah gelengan kepala. "Cuma kepentok besi." Leo langsung berdiri dan berusaha menghindariku. Sebelum kakinya melangkah jauh. Ia menoleh ke arah Dek Ta. "Nanti Mas Leo belikan es krim Baskin Robbins ya asal Dek Ta nggak nangis. Mas Leo janji."
Dek Ta lompat-lompat kegirangan. Dan aku pun ikut tersenyum ringkas. Mengingat momen kami berdua yang suka makan es krim Baskin Robbins. Semua itu telah menjadi kenangan masa lalu.