Aku pulang bersama dengan Dian. Sepanjang perjalanan aku hanya menatap gedung saja tanpa ada niatan berbicara sama sekali.
"Tuan muda mengalami penyakit apa?" tanya Dian.
"Kanker otak stadium 4," ucapku.
"Berarti usia tuan muda tidak akan lama lagi," ucap Dian.
"Begitulah," ucapku.
"Aku akan memberitahu hal ini kepada tuan besar dan nyonya," ucap Dian.
"Tidak perlu," ucapku.
"Sejak bangun dari koma sifat tuan muda berubah," ucap Dian.
"Hanya perasaanmu saja," ucapku.
Aku kembali bungkam tidak mau melanjutkan percakapan malas saja. Aditya bilang waktunya hanya sebulan lagi untuk hidup. Aku hanya perlu bertahan saja menjaga tubuh Aditya selama sebulan ini.
"Ayah, bunda, dan adek pasti sedih," batinku.
Aku terlarut dalam pikiranku sendiri tentang nasib ragaku yang tidak sadarkan diri entah dimana. Aditya bilang ini masih di kota yang sama tempatku tinggal cuma cukup jauh saja.
"Tuan muda sudah tiba," ucap Dian.
Aku keluar mobil pemandangan pertama yang kulihat rumah mewah berwarna putih bersih berlantai tiga, air mancur buatan di depan pintu masuk, dan ada beberapa motor terparkir rapih di halaman rumah.
Aku mengambil tas milikku di bagasi mobil. Aku masuk ke dalam rumah kulihat kedatanganku menarik semua perhatian penghuni rumah.
"Darimana saja kau anak kurang ajar?" tanya Satria Pratama ayah kandung Aditya.
Aku tidak mendengarkan ucapan Satria sama sekali dan berlalu pergi dari hadapan dia begitu saja. Saat aku menaiki tangga ada yang melemparkan sesuatu ke belakang kepalaku.
Aku menyentuh bagian belakang kepalaku hanya ada darah segar yang kurasakan. "Hidupmu menyebalkan Aditya," batinku.
Kulihat pelaku yang melemparkan gelas ke belakang kepalaku kakak pertama. Benar-benar tidak mencerminkan sifat seorang kakak sama sekali.
"Papa berbicara denganmu jawab!" kesal Aprian Pratama kakak pertama Aditya.
"Jawab bodoh!" kesal Adrian Pratama kakak kedua Aditya.
"Kau tuli ya, setelah drama anehmu itu," sarkas Aldo Pratama.
"Gua cuma malas membuang energi. Berbicara sama setumpuk hama seperti kalian," ucapku datar.
"Aditya!" kesal Satria.
"Ya. Tuan pratama," jawabku datar.
"Aku ayahmu!" kesal Satria.
"Aku tidak kenal kau sama sekali," ucapku datar.
Aku menaiki tangga satu-persatu dan menemukan kamar Aditya. Kubuka kamar Aditya cukup bagus juga walaupun didominasi warna terang menyilaukan mata.
"Darah di belakang kepalaku sepertinya berhenti sendiri," ucapku.
"Aditya pasti memilih mati akibat semua ini," batinku.
Aku beristirahat membiarkan mataku tertutup sempurna. Aditya berpesan padaku cukup dua minggu saja aku berada di raga dia sebelum aku kembali ke ragaku yang sebenarnya.
Aku terbangun merasakan air dingin mengenai wajahku hal pertama yang kulihat itu wajah Aldo menatapku remeh.
"Heh pasti kau akan menangis lagi kan seperti biasa!" ledek Aldo.
Aku mendorong tubuh Aldo sangat kuat bahkan sampai menabrak dinding kamarku. Aku menatap Aldo datar dan beranjak pergi dari kamar untuk membersihkan diriku.
Aku melewati orang-orang di ruang tamu tidak peduli kehadiran mereka sama sekali. Selesai mandi aku menuju ke dapur meminta makan.
"Bi ada makanan?" tanyaku.
"Eh tuan muda Aditya!" kaget Bi Tasih.
"Jadi?" tanyaku.
"Sebentar bibi ambilkan dulu," ucap Bi Tasih.
Aku duduk di lantai dapur menunggu makan malamku tidak mau bergabung dengan keluargaku, walaupun sebenarnya itu keluarga Aditya saat ini malas mendengar hinaan mereka.
"Aditya!" panggil Adrian.
Aku tidak mau melirik sama sekali anggap saja suara di belakangku itu setan yang lewat. Bi Tasih menyerahkan makan malam untukku.
"Terimakasih, bi," ucapku.
"Sama-sama tuan muda," ucap Bi Tasih.
"Aditya kau harusnya makan malam bersama keluargamu!" pekik Adrian.
"Kalian bukan keluargaku," ucapku datar.
Aku mendorong bahu Adrian menghalangi jalan saja. Aku kembali ke kamar menikmati makan malam sendirian tidak berkumpul bersama.
Melewati ruang makan mereka melihatku sejenak dengan tatapan tajam tapi aku tidak peduli sama sekali. Aku naik ke kamarku lagi-lagi ada yang menahan bahuku.
"Apa?" tanyaku datar.
"Kau tidak mau bergabung dengan keluargamu dek," ucap Satria.
"Tidak," ucapku datar.
"Sifatmu berubah dek," ucap Satria.
"Aku sudah memendam sifat lamaku," ucapku datar.
"Kenapa?" tanya Satria.
"Pikir pake otakmu," ucapku datar.
"Ucapanmu benar-benar tidak ada sopan santun nya sama sekali!" kesal Marina ibu kandung Aditya.
"Memang kau pernah mengajarkan aku tentang sopan santun nyonya?" Kulihat Marina terdiam akan ucapanku. "Jadi jangan salahkan aku, apabila berbuat tidak sopan terhadapmu," ucapku datar.
Aku tahu melawan orang tua itu tidak boleh tapi pengecualian untuk kedua orang tua Aditya. Dia sosok ayah yang gagal hanya bisa menyalahkan Aditya saja. Bahkan saat Aditya merasakan kesakitan dia seakan tuli akan itu semua.
Aku melanjutkan perjalanan menuju ke kamar menikmati makan malam sendirian. Aku makan dengan cepat dan melihat jendela kamar. Selesai makan aku turun mencuci piring, dan peralatan makanku.
"Dek!" panggil Adrian.
Aku membasuh kedua tanganku meninggalkan Adrian begitu saja malas bertemu dengan dia. Adrian menahan tangan kananku, dan aku menepis tangan Adrian.
"Kenapa tidak menjadi adik cengeng, dan penakut seperti biasanya dek?" tanya Adrian.
"Lelah membuang air mata untuk hal yang tidak akan pernah kugapai," ucapku datar.
Aku pergi menuju ke kamarku tapi ada yang menahan langkahku dia Aprian. Wajah dia menahan kesal, dan memukul wajahku begitu saja.
Aku menggelap darah yang keluar dari hidungku menatap datar wajah Aprian terlihat Aprian kaget akan reaksiku. Dia pikir aku akan menangis mungkin seperti biasa pemikiran dia salah besar.
"Pukul lagi saja!" tantangku.
Aprian kembali memukul wajahku beberapa kali tidak ada suara ringisan keluar dari mulutku. Aku terbiasa adu pukulan dengan orang lain. Aprian berhenti memukul wajahku tampak dia kelelahan.
"Ck kenapa kau tidak menangis sih?!" kesal Aprian.
"Kepribadian lamaku mati," ucapku datar.
"Lu jangan sok seperti orang dingin begitu!" kesal Aprian.
Aku meludah kearah Aprian perbuatanku semakin menyulut emosi Aprian terlihat wajahnya merah padam. Aku tersenyum mengejek kearah Aprian, dan akhirnya kembali saling adu jotos, tapi aku berhasil memelintir tangan kanan Aprian.
"Kau menginginkan kematianku benar?" tanyaku datar.
"Ya! aku harap kau segera mati!" kesal Aprian.
"Permintaanmu akan segera terkabul sebentar lagi," ujarku.
Aku melepaskan tangan kanan Aprian mulai pergi dari hadapan Aprian. Seluruh atensi menatapku tajam, aku tidak peduli sama sekali, dan melanjutkan pergi ke kamarku untuk saat ini.
Di kamar Aditya aku membuka salah satu laci dekat kasur disana ada sebuah gutter yang bau darah.
"Hidupmu sangat menderita Aditya. Pemikiran kedua orang tuamu terlalu sempit, hingga menyalahkan anak berusia lima tahun atas terjatuhnya kakak pertamamu dari tangga," ucapku.
Aku menutup mataku tapi terhenti saat merasakan seseorang masuk ke kamar. Adrian kakak kedua Aditya masuk ke kamar. Dia hanya diam saja tapi dia langsung memeluk tubuhku begitu saja.
"Dek maafin abang," lirih Adrian.
Aku memukul perut Adrian sangat keras hingga pelukan secara paksa terlepas. Wajah Adrian tampak kecewa akan respon yang kuberikan.
"Pergi! aku ingin beristirahat," usirku.
"Dek abang mohon," lirih Adrian.
"Pintu keluar disana tuan!" tunjukku kearah pintu kamarku. "Silahkan keluar," ucapku datar.
Adrian keluar kamarku dengan wajah yang sulit di artikan menyisakan aku yang tiba-tiba merasakan pusing di kepalaku. Aku mencari obat yang biasa dikonsumsi oleh Aditya akhirnya ketemu.
Aku langsung meminum semua obat dalam sekali minum tidak mencari air untuk meredakan rasa pahit obat.
"Lu bodoh, Dit," gumamku.
Perlahan-lahan aku tertidur akibat pengaruh obat penghilang rasa sakit.
Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan bagi penulis agar penulis sebagai semangat menulis
Sampai jumpa
Kamis 18 Agustus 2022
Dirgahayu republik indonesia ke-77 harusnya kemarin maaf telat mengucapkan