Waktu yang ditunggu-tunggu oleh seluruh siswa di sekolah akhirnya tiba. Bel pulang berbunyi dan membuat guru yang mengajar di kelas menyelesaikan kegiatannya. Semua murid berhamburan ke luar kelas dan segera menuju rumahnya masih-masing.
Sama halnya dengan Risa, gadis itu sudah bersiap untuk pulang. Lebih tepatnya hendak belajar bersama Alvan di taman. Risa pikir akan lebih aman jika mereka berdua berada di luar. Gadis itu yakin Alvan tidak akan berani macam-macam padanya.
Melihat Risa yang sudah ke luar kelas, Aji langsung berlari menghampiri gadis itu. Ia ingin memastikan apakah ada seseorang yang membuat gadis itu menjauhinya atau tidak.
"Sa, tunggu!"
Risa berhenti berjalan dan membalikkan tubuhnya ke belakang, menghadap Aji yang baru saja memanggilnya. Melihat hal itu, Risa dibuat kelimpungan. Bagaimana jika Alvan salah paham padanya? Ia ingin menghindari Aji dengan pergi secepat mungkin tapi, laki-laki itu sudah lebih dulu menahan lengannya.
"Lo mau pulang, kan?"
Risa melepas tangan Aji yang menahan lengannya. "Iya."
"Mau bareng gue gak?"
"Sorry, gak bisa."
"Kenapa?"
Bukannya menjawab, Risa malah panik melihat Alvan berjalan menghampirinya dan Aji.
"Gue udah ada janji sama Alvan." Setelah mengatakan itu, Risa menghampiri Alvan yang berada di belakang Aji. Menggandeng tangan laki-laki itu dengan gemetaran.
Aji menoleh ke belakang, mendapati Alvan yang menatap datar ke arahnya. "Pulang bareng Alvan?"
"Mau belajar bareng."
Bukan Risa yang menjawab tapi, Alvan.
"Gue boleh ikut?"
Risa mendongak, menatap Alvan untuk melihat respon laki-laki itu.
Belum sempat Alvan membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Aji, getaran di ponsel Aji tanda adanya panggilan mengintrupsi mereka.
"Bentar. Halo?"
"Ngapain? Iya, iya ini mau ke parkiran."
Setelah berbincang dengan orang yang meneleponnya, Aji memasukkan ponselnya ke dalam celana. Berikutnya, laki-laki itu menghela napas. "Gue gak jadi ikut, ada urusan."
Aji berjalan mendekati Alvan dan berdiri tepat di depan laki-laki itu. Wajah mereka saling berhadapan, kini Aji menatap Alvan tajam. "Kali ini gue biarin, awas aja kalo lo sampe macem-macem sama Risa."
Alvan tidak membalas, hanya ikut menatap Aji dengan tajam. Lagipula Aji tidak ada urusan dengannya dan juga Risa. Mau Alvan melakukan apapun itu ya terserah dirinya.
"Kalo ada apa-apa jangan sungkan hubungin gue," pesan Aji pada Risa sebelum laki-laki itu meninggalkan mereka berdua.
Alvan memutar matanya, kesal dengan perlakuan Aji pada Risa. Ia harus memisahkan Aji dengan Risa. Jangan sampai laki-laki itu merebut Risa darinya.
"Ayo!"
Risa sedikit tersentak karena Alvan menggenggam tangannya kuat. Ia menurut saat laki-laki itu membawanya pergi.
Kini, kedua remaja itu sudah sampai di taman yang dulu biasanya mereka datangi untuk belajar. Risa menghirup udara segar di sana. Rasanya sudah lama sekali ia tidak datang ke sini. Setelah berbagai masalah menghampiri hidupnya yang terasa mencekik, Risa butuh sedikit kebebasan dengan alam seperti ini. Meskipun ia datang bersama seseorang yang tidak diharapkan, setidaknya hari ini ia bisa aman karena berada di tempat umum. Ia yakin Alvan tidak akan berani macam-macam padanya.
Selama belajar, keduanya tidak mengobrol seperti biasa. Risa yang terlalu takut dan Alvan yang tengah pusing tujuh keliling. Mereka hanya mengerjakan soal dan berinteraksi saat membahas soal yang mereka kerjakan saja. Setelah belajar, mereka diam. Masing-masing melihat ke arah langit sore yang cerah.
Tubuh Risa menegang karena Alvan tiba-tiba bersandar padanya. Laki-laki itu menaruh kepalanya di bahu Risa. Gadis itu dapat merasakan beratnya tubuh Alvan, laki-laki itu benar-benar bersandar padanya sepenuhnya.
"Sebentar aja, Sa."
Risa diam. Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalanya. Apakah Alvan sakit? Tapi, untuk apa ia peduli pada laki-laki itu? Setelah apa yang ia perbuat pada Risa, seharusnya ia tidak boleh peduli.
Cukup lama dalam posisi ini karena Alvan tidak bergerak sama sekali membuat Risa tidak lagi sanggup menahan bobot laki-laki itu.
"Al, bangun. Kamu berat."
Alvan sama sekali tidak menjawab. Padahal Risa sudah menepuk-nepuk punggung laki-laki itu, memanggilnya terus-terusan, bahkan sudah beralasan ingin pulang pun Alvan tetap diam.
Risa mencoba bergerak, memindahkan kepala Alvan, siapa tau laki-laki itu tidur. Namun, saat kepala Alvan sudah tidak bersandar lagi pada Risa, tubuh laki-laki itu hampir jatuh. Untung saja Risa segera menangkap Alvan, jika tidak, mungkin kepala Alvan sudah terjatuh ke tanah.
"Al? kamu kenapa?"
Risa panik melihat Alvan yang tidak sadarkan diri. Wajah laki-laki itu pucat, tangannya dingin, tapi suhu tubuhnya panas.
"Ya ampun, Al, kamu kenapa?"
Dengan panik, Risa berteriak meminta tolong hingga akhirnya ada yang datang menghampiri.
"Mas, tolong, temen saya pingsan."
"Sebentar, saya telepon ambulan dulu," ucap seorang pemuda pada Risa. Ia menelepon ambulan dan memberitahu lokasi mereka saat ini.
"Temennya sakit apa gimana, Dek?"
"Gak tau, Mba. Tadi bilangnya cuma mau nyender tapi malah gak sadar kayak gini."
Pemuda yang tadi membantu Risa untuk menopang tubuh Alvan. "Ambulannya lagi di jalan, kamu jangan panik dulu, lebih baik hubungin orang tuanya."
Risa mengangguk lalu mengambil ponsel Alvan yang berada di tas. Risa membuka kunci ponsel Alvan dengan deteksi wajah atau Face ID. Kemudian, ia mencari kontak kedua orang tua Alvan.
Namun, semua panggilan Risa entah itu kepada ayah atau ibunya Alvan sama sekali tidak mendapatkan respon. Sesibuk apa kedua orang tua Alvan sampai ditelepon berkali-kali tidak ada yang menjawab.
"Gak ada yang angkat?"
"Iya, kayaknya lagi sibuk."
"Ya ampun, resiko punya orang tua sibuk emang begini. Anak sakit aja mereka gak tau."
Risa menunduk. Ia merasakan apa yang Alvan rasakan. Orang tuanya sibuk sehingga tidak bisa menghubungi atau mengabarinya setiap hari, bahkan untuk bertemu saja susah.
Bunyi ambulan menyadarkan mereka. Petugas rumah sakit segera membawa Alvan masuk ke dalam ambulan.
"Maaf saya gak bisa ikut, nanti kamu telepon lagi aja, siapa tau orang tuanya ngerespon."
Risa mengangguk mendengar ucapan pemuda itu. "Terima kasih Mas, Mbak." Kemudian, ia masuk ke dalam ambulan, menemani Alvan di sana.
Setelah mengurus administrasi dan sebagainya, Risa duduk di kursi yang disediakan di ruangan tempat Alvan berada. Gadis itu sudah berusaha berkali-kali menelepon orang tua Alvan tapi, tidak ada yang menjawab. Akhirnya, Risa menyerah dan menunggu laki-laki itu sadar.
Risa dapat mengingat dengan jelas ucapan dokter mengenai keadaan Alvan saat ini. Laki-laki itu sepertinya kurang tidur dan istirahat sehingga proses metabolismenya memburuk. Bisa jadi karena kegagalan sementara pada sistem saraf yang diakibatkan stress.
Lama menunggu Alvan sadar, Risa memilih untuk menelungkupkan kepalanya di sisi ranjang Alvan sampai gadis itu ketiduran.
Tepat pukul 9 malam, Alvan sadar. Ia membuka mata perlahan dan mencoba melihat dengan jelas di mana dirinya berada saat ini. Alvan menoleh ke samping, tepat ke arah Risa yang tidur sambil duduk di sampingnya.
Tangan Alvan mengusap kepala Risa pelan. Sejujurnya ia sangat terkejut melihat gadis itu menunggunya seperti ini. Senyum tipis terbit di bibir Alvan. Ternyata Risa masih peduli padanya.
Alvan menghentikan usapannya kala melihat Risa bergerak dan bangun dari tidur. Gadis itu mengucek matanya, mencoba untuk bisa melihat dengan jelas.
"Udah sadar?"
Suara khas bangun tidur dari Risa membuat Alvan tersenyum. Laki-laki itu mengangguk menjawab pertanyaan Risa.
"Ayo pulang!" Ajak Alvan.
"Emangnya kamu udah gak apa-apa? Lebih baik di rawat inap dulu."
"Aku gak apa-apa, kok, cuman kecapean aja. Nanti di rumah bisa istirahat."
Risa menghela napas, Alvan memang keras kepala. "Yaudah sebentar, aku panggil perawatnya dulu."
Alvan mengangguk lalu mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Mata Alvan membesar melihat jam yang muncul di layar ponselnya. Pukul 9 malam, ia terlambat datang ke tempat les.
Ada banyak telepon masuk dari guru lesnya dan semuanya tidak terjawab. Sepertinya Risa sudah tertidur sebelum guru lesnya menelepon. Oleh karena itu, tidak ada satupun panggilan yang terjawab.
Alvan mendesah berat. Tamat sudah riwayatnya.